Selasa, 22 November 2011

PENDAHULUAN PENGANTAR FILSAFAT MATERIALSIME

P e n d a h u l u a n





Mari sejenak membuat semacam contoh soal “matematika kebudayaan”. Bila revolusi kebudayaan pertama di Eropa terjadi pada tahun 600 Sebelum Masehi di Yunani Kuno, kemudian zaman Renaissance mulai bersinar pada tahun 1400 Masehi, dan Abad Pencerahan sebagai revolusi kebudayaan kedua Eropa terjadi pada tahun 1700 Masehi; maka berapa tahun yang dibutuhkan oleh kebudayaan Eropa untuk mencapai revolusi kebudayaan yang kedua? Jawabnya adalah Eropa membutuhkan waktu 2000 tahun untuk mencapai zaman Renaissance sebagai pintu gerbang pencerahan yang masih membutuhkan waktu 300 tahun untuk mencapai puncak revolusi kebudayaan kedua berupa Abad Pencerahan. Total jenderal waktu yang dibutuhkan dengan demikian adalah 2000 + 300 = 2300. Suatu rentang waktu yang tidak singkat. Dibutuhkan waktu selama 2300 tahun untuk menghantarkan Eropa mencapai Abad Pencerahan. Bila kita hitung usia produktif rata-rata manusia hidup adalah 20 tahun, maka angka 2300 tersebut kita bagi 20 dan kita menemukan angka 115. Dengan demikian, untuk mencapai revolusi kebudayaan keduanya di Abad Pencerahan, Eropa membutuhkan 115 generasi umat manusia. Generasi umat manusia yang membentangan sejak bapak revolusi kebudayaan pertama Thales di tahun 600 S.M hingga puncak abad pencerahan di tangan Karl Marx di tahun 1800-an Masehi.
Dan lihatlah, revolusi kebudayaan kedua tersebut memberi pengaruh yang luar biasa besar terhadap kemajuan-kemajuan berikutnya seperti revolusi industri, revolusi politik, revolusi sosial yang menghantarkan Eropa pada perkembangan kebudayaannya di Abad XXI ini. Batu pal waktu tersebut menjadi penting karena menyangkut peristiwa-peristiwa historis yang menandai pergantian cara berpikir dan kemajuan masyarakat antar generasi yang datang dan pergi silih berganti. Dalam perspektif dialektika, “matematika kebudayaan” tersebut mengandung muatan pertarungan internal di dalam masyarakat antara unsur-unsur kesadaran positif dan negatif. Antara kekuatan penggerak kemajuan (revolusioner) dan kekuatan batu beban yang menghambat kemajuan (reaksioner) yang bergesekan demikian sengit dan lama hanya untuk menggerakkan gerinda kebudayaan selangkah-dua langkah maju ke depan. Lebih konkretnya, pertentangan sengit antara rakyat yang menderita dengan juru bicaranya, melawan kelas-kelas yang berkuasa dengan juru bicaranya. Pertentangan antara kesadaran ilmiah dengan juru bicaranya melawan kesadaran dogmatis dengan juru bicaranya.
Dalam hal mana kita juga bisa mengukur tingkat perkembangan kebudayaan masyarakat di negeri kita tercinta, Indonesia. Setidaknya untuk menerbitkan dua buah pertanyaan yang sepadan: adakah peristiwa besar semacam revolusi kebudayaan pernah terjadi di Indonesia? Siapakah orang-orang semacam Thales, Sokrates, Kopernikus, Newton, Charles Darwin, Hegel, hingga Karl Marx sebagai pahlawan kebudayaan yang pernah dihasilkan oleh bangsa Indonesia?
Sungguh sukar untuk menjawab dua pertanyaan tersebut. Dalam tataran dunia pendidikan sebagai basis komunitas ilmu pengetahuan pun, kita mendapati nama-nama universitas yang seringkali tak ada sangkut-pautnya dengan sejarah ilmu pengetahuan modern. Universitas Gadjah Mada, Airlangga, Brawijaya, Padjajaran, Diponegoro, Kalijaga, dsb. Nama-nama yang lebih dekat dengan sejarah perbudakan dan feodalisme ketimbang ilmu pengetahuan. Masyarakat kita memang telah menghasilkan monumen-monumen kebudayaan seperti candi Borobudur, Prambanan, Mendut, dsb, namun apa sumbangannya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan rakyat bila dibandingkan dengan Revolusi Kopernikan, teori evolusi Charles Darwin, teori relativitas Albert Einstein, maupun materialisme dialektika Marx-Engels? Pembedanya adalah yang pertama sebagai monumen bisu. Yang kedua adalah pelita hidup sebagai kunci pembuka rahasia obyektifitas kehidupan alam dan masyarakat. Yang pertama adalah relief-relief sejarah narsistik milik tuan budak; yang belakangan adalah pandangan hidup yang ilmiah sebagai karunia universal bagi seluruh ras manusia dalam memajukan kebudayaannya.
Bila jantung dari revolusi kebudayaan adalah revolusi cara berpikir, maka seluruh hal-ihwal persoalan ini menyangkut sepenuh-penuhnya urusan filsafat dan ilmu pengetahuan (sains). Tidak ada faktor yang lain. Dan tidak kalah sukar kita menemukan kajian filsafat di negeri ini sebagai soal yang benar-benar mandiri dari campur tangan klenik dan metafisika. Dalam cita-rasa yang telah menjadi pasaran, aneka ragam klenik telah menjadi bumbu penyedap utama dari kajian filsafat hingga taraf yang paling memabukkan kepala. Para ahli filsafat kita ini, baik mereka yang muncul dari pencampuran feodalisme lokal maupun siswa-siswi klenik pewaris Abad Tengah Eropa, Timur-Tengah, hingga rezim berpikir borjuis di zaman kapitalisme hari ini, telah mendominasi hampir seluruh mata pelajaran dalam mengoperasionalkan cara pandang dan metode berpikir masyarakat kita. Mereka berpikir tentang filsafat, ekonomi-politik, moralitas, dengan segala pencampuran yang memabukkan tersebut. Dan sudah sekian lama pencampuran yang mengacaukan pikiran ini telah memiliki kewarganegaraan yang sah, bahkan hak hidup yang terhormat dalam dunia kefilsafatan resmi Republik Indonesia tanpa serangan teoritis yang kritis dan sungguh-sungguh.
Masalah kebudayaan merupakan masalah yang memiliki hubungan secara langsung dengan perkembangan masyarakat, sebagaimana pertalian historis yang menghubungkan antara Abad Pencerahan dengan revolusi borjuis demokratis tipe lama di Perancis (1789). Bila pada kenyataannya bangsa Indonesia belum pernah membuat suatu jawaban historis atas nasib masyarakatnya sendiri, juga tidak bisa lepas kaitannya dengan soal kebudayaan. Indonesia, negeri kita tercinta, masih dan tetap menjadi landasan kekuasaan reaksioner yang datang silih berganti menganiaya rakyatnya. Revolusi Agustus 1945, sebagai upaya melakukan jawaban historis atas penjajahan kolonialisme selama ratusan tahun; dengan materi-materi kekuatan revolusioner dan progresif yang tersedia; pada akhirnya kandas secara de facto di tangan pengkhianatan borjuis Hatta dan Syahrir (1949). Secara politik Revolusi Nasional 1945 memang telah mengusir kekuasaan kolonial dari bumi Indonesia. Namun secara ekonomi dan sosial, ia gagal merombak secara mendasar seluruh sistem sosial lama untuk melahirkan Indonesia baru yang bebas dan demokratis. Sukarno sudah melakukan pekerjaan paling keras yang bisa diperbuat oleh tangan seorang borjuis nasional yang anti-imperialis; seorang wakil termaju dari kalangan borjuis nasional di dunia. Namun semuanya harus kandas di tangan seorang boneka imperialisme yang paling fasis dan terbelakang bernama Suharto (1966). Suharto, sang boneka yang telah merestorasi imperialisme di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan; tak ubahnya menjadi pintu masuk bagi penjajahan imperialisme jilid dua yang menimpa rakyat Indonesia dan tanah air hingga sekarang.
Riak gelombang berikutnya sebagai manifestasi gerakan rakyat Indonesia secara nasional adalah gerakan reformasi demokratis Mei 1998. Betapa pun terbatas namun tetap sebagai energi dari kekuatan positif yang bergolak melawan kekuatan negatif yang menghambat kemajuan Indonesia. Bagaimana lautan borjuis kecil dari berbagai kalangan: mahasiswa, dosen, intelektual, bercampur dengan kelas proletar yang belum terlatih, lumpen-proletariat yang liar tak terorganisasi, dan oportunis-oportunis moderat yang mengambil keuntungan dari gerakan Mei 1998. Krisis ekonomi yang meluluhlantakkan fundasi ekonomi nasional vis a vis dengan situasi perlawanan rakyat yang mengamuk di kota-kota penting; secara dialektis telah menghasilkan gerakan reformasi. Reformasi adalah reformasi. Ia bukan revolusi sebagai perubahan yang menghancurkan hubungan produksi lama yang telah usang. Dan pada kenyataannya, seluruh motor penggerak Gerakan Mei 1998 rontok tanpa mampu mengurus kepentingan kelas, rakyat maupun diri mereka sendiri. Aspirasi demokratis masih teramat mentah dan gagal bertumpu pada kekuatan kelas-kelas demokratis dan revolusioner. Mei 1998 adalah pelajaran berharga bagi gerakan rakyat Indonesia. Terlepas tetap terhitung sebagai upacara dengan biaya besar hanya untuk memecat seorang juragan kampungan piaraan imperialis. Karena bukan revolusi demokrasi rakyat, ia gagal merontokkan persekutuan keji dari kelas-kelas reaksioner lama – borjuis besar komprador, tuan tanah maupun gerombolan birokrat parasit di sekitar istana lama tuannya.
Jakarta, Mei 1998 memang bukan Komune Paris, 1871. Teladan dari kegagahan proletariat sebagai kelas seorang diri berhadapan dengan segerombolan republik borjuis baru yang terdiri atas: aristokrasi keuangan, borjuis industri, kelas menengah, borjuis kecil, tentara, lumpen-proletariat yang diorganisasikan dalam Garda Mobile dengan kaum intelektual, pendeta dan penduduk desa. Komune Paris adalah teladan dari keberanian dan keteguhan proletariat pada saat masih miskin pengalaman namun tetap berperang melawan borjuis sampai tetes darah penghabisan. Proletariat modern dan kaum tani Indonesia belum berpengalaman dalam melancarkan pukulan-pukulan yang mematikan terhadap kelas-kelas reaksioner dalam sejarah kolonialisme hingga republik borjuis dewasa ini. Gerakan reformasi demokratis Mei 1998 kemudian lebih sebagai bentuk penyesuaian borjuis komprador dan tuan tanah dalam kerangka demokratisasi borjuis bagi kepentingan reaksioner domestik dan tuan imperialisme-nya; suatu capaian yang sungguh mematikan harapan proletariat modern maupun kaum tani yang mayoritas di Indonesia. Berikutnya, situasi kembali ditertibkan. Indonesia mendapati buah-buah reform borjuis konstitusional yang paling sederhana dan menyebalkan. Kemakmuran rakyat tetap fatamorgana. Praktek trias-politika berjalan secara dangkal dengan susunan eksekutif yang paling korup, legislatif yang paling mandul, yudikatif yang paling manipulatif, serta benih-benih fasisme yang terus mengintai hak-hak demokrasi rakyat. Seluruh kekuatan reaksioner tersebut, sejak 1998 hingga kini, sia-sia mengatasi krisis ekonomi yang semakin kronis yang terus menerus dipikul oleh rakyat di negeri setengah jajahan dan setengah feodal ini.
Di tengah panggung ekonomi-politik yang buruk inilah, lautan kaum borjuis kecil Indonesia kembali terbelah mengikuti takdir sosio-historisnya yang paling khas. Borjuis kecil sebagai manusia sub-kelas yang paling perbatasan. Mereka terombang-ambing antara loyalitas lama dan solidaritas maju proletariat; antara egoisme yang tidak memiliki hari depan dan sosialisme. Disebabkan belum kuatnya Partai kelas buruh yang revolusioner dan ketidaksanggupan mereka membangun partai borjuis kecil yang mandiri, mayoritas dari mereka melacurkan diri dalam parit-parit sempit pragmatisme yang tersedia sebagai bentuk penyelamatan diri yang paling egois. Disebabkan ketidakmampuan mereka memahami sengitnya perjuangan kelas dan hasil akhir dari perjuangan revolusioner melawan sistem ekonomi semi-feodal dan politik semi-kolonial negeri ini sebagai bagian dari revolusi sosialis, mereka lebih suka merayakan ruang-ruang demokrasi borjuis (liberal) ketimbang membangun dan memperkuat demokrasi rakyat (buruh dan petani). Naluri-naluri revolusioner mereka semakin tumpul karena tidak ditempa dalam sengitnya perjuangan rakyat. Mereka lebih memilih tindakan-tindakan oportunisme yang hakekatnya membela kaum reaksioner ketimbang meruncingkannya. Mereka disuap dengan harga sangat murah. Mereka mengekor di belakang partai-partai borjuis besar dan borjuis menengah sovinis agar dapat duduk di kursi parlemen sebagai agenda perbaikan nasib yang mengarah pada pemborjuisan diri. Mereka menjadi “calo-calo kekuasaan” baik di pemerintahan lokal maupun pusat, juga menjadi pelayan dalam lingkaran istana reaksioner; mengincar kedudukan penting di BUMN-BUMN, departemen-departemen dan komisi-komisi di dalam pemerintahan; ongkos yang harus mereka tebus dengan menjadi pembela kebijakan yang paling anti rakyat sekali pun. Mereka juga berperan sebagai kaum profesional, intelektual liberal, bergiat di dalam proyek-proyek reform LSM-LSM dan filantropisme. Dan sisanya, saudara-saudara borjuis kecil kita ini, bertualangan seorang diri sambil berkotek-kotek sendirian. Mereka yang sendirian – tidak masuk dalam kolektif kerja produksi dan berhimpun dalam organisasi perjuangan rakyat — berkeluh-kesah di kandang nasibnya yang semakin buruk dan tak pasti karena hantaman badai krisis ekonomi yang semakin hebat. Banyak dari kalangan mereka menjadi semakin a-politis, a-sosial, frustasi dan mendekap kembali mistik di dadanya sembari pasrah menunggu mati. Krisis kebudayaan dewasa ini, berbagai fenomena yang tampak dengan ditempuhnya jalan pelarian melalui mistisisme, asketisme, dan mesianisme, sungguh memiliki pertalian erat dengan krisis yang menghantam keadaan dunia dewasa ini baik di bidang ekonomi, politik, maupun lingkungan. Tragedi hidup baik yang muncul dari bencana sistem sosial maupun bencana alam, telah menerbitkan pesimisme yang semakin mencekik kehidupan umat manusia dalam kemiskinan dan penderitaan tanpa jalan keluar yang historis dan membebaskan.
Dan borjuis kecil Indonesia, betapapun tinggi tingkat pendidikan mereka – bahkan tidak sedikit lulusan universitas- universitas terbaik di Eropa dan Amerika, namun belum tertempa dalam bentrokan-bentrokan pandangan dan tindakan yang keras dan mematikan. Horizon mereka tak melebihi batas-batas kaki-langit kapitalisme, dengan mengandalkan pasifisme gerakan moral sebagai lolongan orang-orang gelisah yang tidak berbahaya karena jauh dari karakter gerakan politik dan tanpa basis massa. Sebagai perbandingan, mereka belum mencapai – dalam pengertian yang sempurna – seperti model borjuis Perancis yang berhasil melancarkan serangan terbuka dan mematikan terhadap monarki feodal sekaligus ideologi feodalisme yang menopangnya – dogma gereja dari pendidikan umat manusia. Apa yang menjadikan pandangan dan tindakan borjuis Perancis (1789) demikian revolusioner? Secara tepat mereka memadukan keluasan wawasan ilmu pengetahuan modern dan filsafat (kebudayaan), kepentingan kelas (ekonomi), dan bakat-bakat perlawanan (politik) yang paling tajam dan berani. Mereka benar-benar menghancurkan tata-tertib lama yang usang dan tidak ada manfaatnya bagi kehidupan kecuali dihancurkan. Itulah peranan historis mereka yang terpenting.
Namun tetap saja ada fenomena yang patut dicatat dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, bahwa terdapat sebagian sangat kecil dari kalangan kelas buruh, kaum tani dan borjuis kecil yang sudah tertempa dalam praktek perlawanan historis melawan rezim kolonial, rezim fasis Suharto dan rezim-rezim penerusnya, yang berhasil melongok hari depan sosialis. Mereka memperhebat teori dan praktek dengan melibatkan diri ke dalam pusaran gerakan proletariat modern dan kaum tani. Setidaknya mereka menjadi manusia-manusia sadar dan positif, memahami seluk-beluk persoalan rakyat menyangkut apa yang menurut istilah kawan Lenin – where is to be done, what is to be done. Mengerti dari mana harus dimulai, dan memahami apa yang harus dikerjakan sebagai tugas sejarah yang harus dituntaskan. Suatu pilihan tindakan yang menyelaraskan diri dengan takdir sejarah, yakni membangun gerakan rakyat revolusioner dengan menempa diri dalam kancah perjuangan kelas yang sengit dan keras menuju hari depan sosialis.
Buku berjudul Sejarah Filsafat Menuju Materialisme Dialektika: Filsafat Marxisme sebagai Pandangan Hidup yang Ilmiah ini menjadi salah satu cara untuk menyusun cara berpikir sebagai masalah fundamental dalam hal mendekati seluruh fenomena kehidupan alam dan masyarakat. Suatu usaha kebudayaan dengan menerjemahkan filsafat Marxisme yang universal dan ilmiah dalam konteks keindonesiaan. Marxisme sebagai pandangan hidup yang berhadap-hadapan dengan mistisisme dan metafisika sebagai pandangan beku dan mati. Masalah kefilsafatan ini, menurut hemat penulis, sangat berguna dalam membedah masalah-masalah mendasar kehidupan rakyat: merumuskan pertanyaan fundamental, mencari akar-akar masalah, melakukan usaha-usaha nyata penyelesaian masalah, dan pada akhirnya menuntun praktek mengubah keadaan dunia menuju hari depan yang lebih baik. Dan yang terpenting adalah menjadi senjata berpikirnya kelas buruh yang mandiri dari campur tangan cara berpikirnya borjuis maupun tuan tanah. Cara berpikir kelas buruh yang menuntun gerakan revolusioner sebagai jaminan hari depan sosialis.
Mengapa seluruh kekayaan dunia ini tidak bisa memberi makan seluruh umat manusia di bumi ini barang sehari saja? Di mana moralitas yang adiluhung dari para bangsawan, negarawan, rohaniawan, dan cendekiawan itu bersarang? Di mana para pemuja dan perawat sistem tua ini, hingga kemiskinan semakin memburuk dan berlarut-larut? Mengapa Tuhan-tuhan dan para utusannya itu demikian absurd, berlaku sangat tidak metodis, sangat tidak praktis dalam mengurus keadaan? Masyarakat manusia seperti dimangsa oleh kekaburan dan prasangka yang diciptakannya sendiri.
Hal mendasar dari pemahaman dan pengamalan Materialisme Dialektika adalah meninjau semua kenyataan secara obyektif, perkembangan kenyataan obyektif dan menempatkan perspektif kelas sebagai sudut pandang pokok sejarah perkembangan masyarakat. Dan berikutnya adalah memperdalam, memperkuat, dan membajakan kesadaran kelas dalam praktek perjuangan kelas proletariat Indonesia yang memiliki mandat historis. Seluruh pembajaan tersebut menjadi syarat penting dalam memerangi berbagai pandangan yang salah, kabur, dan bertele-tele dalam pusaran nasib tanpa jalan keluar seperti yang terjadi sejauh ini. Seluruh pembajaan tersebut menjadi penting untuk memerangi semangat tanpa kebenaran, kebenaran tanpa semangat, pahlawan-pahlawan tanpa tindakan pembebasan yang historis, apatisme orang-orang frustasi, dan pada akhirnya sejarah tanpa pergolakan yang memajukan masyarakat itu sendiri. Revolusi sosial dengan segala bentuknya adalah himpunan energi kesadaran yang memiliki aspirasi positif dan membebaskan. Suatu daya penghancur apa yang mati dan membatu dalam sejarah. Suatu daya cipta historis yang baru. Ia seperti bunyi musik alam terindah dalam sejarah. Musik terindah bagi segenap manusia-manusia pendamba kemajuan. Namun bunyi musik ini tidak akan terdengar bagi kuping-kuping bebal reaksioner yang memang tidak memiliki cita-rasa musikal kecuali kemapanan dan kemandekan. Dan seluruh orkestra musikal kemajuan ini memang tak ada maknanya di hadapan seekor kerbau. Rezim yang memerintah negara boneka sejak jenderal fasis Suharto hingga yang berdiri terakhir kini, adalah pemimpin negara lama dengan jiwa reaksioner. Jiwa yang mengawetkan hidup rakyat Indonesia dengan cara membudak kepada imperialisme. Jiwa perbudakan yang telah merasuki dan mewataki kesadaran nasional bangsa Indonesia dewasa ini. Itulah jiwa yang mengemis dan patuh. Ayunan jiwa yang loyo, pasrah dan tanpa daya. Suatu keadaan yang sengaja diciptakan baik oleh alam pikir lama feodalisme maupun imperialisme.
Dengan datangnya Marxisme bersama masyarakat dan sejarah di zaman kapitalisme kini, ia menyediakan jawaban atas teori dan praktek bagi kehidupan rakyat yang bebas dan demokratis. Suatu pendidikan revolusioner dalam perjuangan sosial agar rakyat menjadi kaya dan bumi menjadi indah dengan dihancurkannya sistem penghisapan dan penindasan manusia atas manusia. Suatu pendidikan yang baik untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan mencintai rakyat dan bangsa ini dengan jalan perjuangan revolusioner. Dan kini saatnya untuk sungguh-sungguh mengungkit sanubari dan pikiran reaksioner bangsa ini dari ketentramannya yang merugikan.



Jakarta Barat,
24 Desember 2007


Hary Prabowo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar