Selasa, 22 November 2011

PENGANTAR PILSAFAT

A W A L A N

P E N G A N T A R M A S A L A H F I L S A F A T




BAB I
Peranan Filsafat dalam Memajukan Kehidupan Masyarakat:
Kritik atas Mitologi dan Mistisisme





A. Peranan Filsafat dalam Memajukan Kebudayaan Masyarakat

Kebingungan macam apa yang telah diciptakan oleh filsafat? Orang banyak kerap berpendapat bahwa filsafat itu bukan ilmu sembarangan. Terlebih di suatu negeri dengan langit mistik yang masih tebal sebagai atapnya. Filsafat terkesan asing, abstrak, rumit, tidak praktis, dan tidak merakyat. Bahkan tak jarang orang berpendapat filsafat itu lebih dekat pada klenik ketimbang ilmu. Berfilsafat sering disamakan dengan pekerjaan paranormal, tukang ramal segala peristiwa yang akan datang. Filsafat juga identik dengan pendeta yang berjubahkan kesalehan, orang yang berlagak sebagai pemegang sertifikat tunggal atas suatu kebenaran. Dalam lingkungan akademis, citra ahli filsafat kerap dibayangkan sebagai sosok profesor dengan kata-kata teoritis yang menegangkan mirip mantera-mantera yang menyakitkan kepala. Potongan-potongan kesan tersebut segera disusul dengan berbagai pertanyaan skeptis: apakah benar kita butuh filsafat? Bukankah seseorang tidak menganut suatu filsafat juga bisa hidup? Apa manfaatnya seorang buruh, petani penggarap, mahasiswa dan masyarakat umum belajar filsafat?
Filsafat adalah ilmu berpikir yang mengandung aspek-aspek teoritis sekaligus praktis. Kita tak pernah bisa menjawab soal-soal tersebut tanpa uraian-uraian yang menghubungkan antara aspek teoritis dan praktisnya.
Meskipun tidak semarak seperti jamur tumbuh di musim penghujan, filsafat dan ahli filsafat (filosof) adalah produk masyarakat dalam suatu zaman. Potongan-potongan kesan di atas juga merupakan produk masyarakat. Mengapa citra filsafat identik dengan kerumitan abstrak atau kata-kata yang menegangkan? Karena filsafat terlalu banyak bicara tentang ide-ide atau suatu hal-ihwal yang tidak ada di dunia ini dengan otak-otak manusia yang berpijak di atas penderitaan konkrit bumi ini. Dalam zaman Abad Tengah yang panjang, filsafat bahkan telah menjejali pikiran manusia dengan hal-hal asing dan telah menjadikan filsafat sebagai ladang tandus bagi pikiran kemanusiaan warga dunia. Suatu filsafat yang anti kenyataan, anti-perkembangan, dan pada akhirnya jatuh ke dalam lumpur anti-kemanusiaan. Sebuah parade teoritik yang abstrak dan muram; ratapan pilu yang sepenuhnya mencari suaka ke pangkuan klenik. Disebabkan titik tolak dari pangkalan yang mistis-metafisis, sejarah pernah melahirkan suatu filsafat yang lancung karena hanya pantas untuk melepas iring-iringan rombongan pengantar jenazah ke pekuburan. Filsafat yang turun dari langit. Filsafat yang diperbudak oleh mistik dan membodohi umat manusia. Ia sungguh tak memiliki sumbangan bagi kemajuan manusia oleh karena dosa-dosa sejarahnya yang teramat besar pada umat manusia.
Filsafat dalam periode Abad Gelap hingga Abad Tengah lebih berfungsi sebagai gramafon gema-gema dari langit ketimbang suara-suara murni kepentingan umat manusia di bumi. Di bawah naungan Kekaisaran Suci, dijajakan oleh para pengkhotbah keliling, diresmikan oleh lembaga-lembaga negara dan agama, juga di universitas-universitas yang mereka sponsori sendiri dengan profesor-profesor filsafat yang mereka lantik dengan sogokan; filsafat berceramah dengan suara gembrang-gembreng tentang makanan rokhani rakyat dengan lauk-pauk yang tak ada di dunia ini. Sungguh otak manusia diperas dengan kerja paksa untuk memahami suatu hal yang tak nyata dan tak terurai untuk maksud-maksud yang selalu tersembunyi. Segala apa yang memang tidak ada itu, mereka sembunyikan dalam bungkus kekeramatan dan kesucian yang dipaksakan. Kerja paksa otak yang menjemukan ini telah terbukti membawa manusia pada wilayah asing yang tak dikenali (terra incognita). Manusia yang terasing dari kehidupan obyektif dan hukum-hukum yang menggerakkan dunia obyektif. Inilah faktor pokok mengapa filsafat (idealisme) Abad Tengah hingga abad-abad berikutnya gagal dipahami dengan baik oleh warga dunia atau rakyat kebanyakan hingga dewasa ini.
Suatu filsafat yang tidak memiliki semangat duniawi dan manusiawi karena terlalu banyak sembahyang ketimbang mencerahkan pikiran; terlampau membudak pada mistisisme ketimbang mengabdi pada humanisme. Filsafat yang mengalami pencampuran klenik sampai pada taraf yang memabukkan kepala. Sang filosof itu sendiri menjadi wakil dari manusia terasing dengan pikiran-pikiran rumit dan abstrak. Mereka berceramah dan menulis buku-buku yang tak berjiwa, berpikir dengan kepercayaan yang tidak sesuai dengan kehidupan obyektif sebagai nyawa dari kebenaran ilmiah. Mereka pada perkembangannya anti-kenyataan, anti-perkembangan yang historis, dan tidak memiliki pandangan jauh ke hari depan. Inilah akar dari semua keterasingan filsafat. Ketika ia gagal menampilkan diri sekokoh, senyata, dan sepraktis ilmu kimia, fisika, kedokteran, biologi yang membedah isi kenyataan-kenyataan induktif di sekitar kita. Filsafat sejati sudah semestinya kembali ke “ibu kandung” yang telah melahirkannya: alam semesta dan masyarakat manusia! Berpikir tentang seluruh hal-ihwal hukum-hukum dunia obyektif, alam semesta dan masyarakat manusia. Filsafat akan merakyat dan praktis bila menjadi cermin dari kenyataan dan kepentingan warga dunia. Menempatkan kedudukan filsafat sebagai cermin dunia obyektif di dalam kepala kita, maka sudah sepantasnya pemahaman dan pengamalan filsafat akan mendapatkan ganjaran setimpal. Yakni pencerahan pikiran yang menerangi tindakan praktis manusia. Inilah tugas mulia yang dipikul di pundak filsafat; melakukan peranan emansipatif dalam memajukan taraf berpikir umat manusia dari cengkeraman kebodohan (subyektifisme) dan ketidakpastian (spekulatif).
Filsafat menyediakan peralatan bernalar kepada kita, suatu cara pandang dan metode berpikir untuk memahami seluruh hukum-hukum kehidupan obyektif secara ilmiah. Disebabkan oleh faktor yang fundamental inilah, pada prakteknya seseorang yang memiliki otak dan menggunakan pikirannya tak bisa lepas dari pengaruh suatu filsafat. Ia berada dalam posisi dipengaruhi dan dituntun oleh suatu filsafat tertentu. Artinya, seseorang pasti menganut suatu filsafat sebagai perwujudan dari cara pandang dan metode berpikir dalam memecahkan 1001 masalah hidup yang obyektif ini. Bagaimana seseorang memandang alam semesta, kehidupan, kematian, nasib, persoalan baik dan buruk, benar dan salah, bencana alam, perang dan damai, moralitas, cinta-kasih, kemiskinan, revolusi, dan sebagainya. Masalah-masalah hakiki kehidupan merupakan perkara yang maha rumit dan kompleks. Suatu perkara yang tak bisa lagi diuraikan dan dipecahkan dengan meletakkan suatu materi kenyataan di atas kaca preparat kemudian diteropong dengan lensa mikroskop milik ilmu pasti.
Bumi manusia semakin disesaki oleh derita dan kejahatan. Mayoritas umat manusia semakin dihinakan oleh segelintir sesamanya. Ratusan tahun usia ratapan kemiskinan rakyat Indonesia, teka-teki hidup yang keras dan ruwet dalam cengkeraman kemiskinan kemudian melahirkan lamunan tentang ‘ratu adil’ atau “juru selamat” sebagai sang pembebas; adalah wujud suatu filsafat. Kaum miskin yang tak mampu memecahkan akar kemiskinan dan tak menemukan kekuatan kelasnya, lantas terbuai oleh janji-janji surgawi tentang bagaimana kelak di nirwana akan menemukan bahagia dihibur oleh dewa-dewi; adalah cermin suatu filsafat. Demikian pula dengan segerombolan aktifis mahasiswa yang marah pada keadaan, di tengah krisis ekonomi berkepanjangan yang semakin menderitakan rakyat, kemudian membakar ban sambil berteriak-teriak di jalanan tentang penumbangan rejim dan revolusi secepatnya, juga cermin dari suatu filsafat. Bagaimana mereka memandang dunia, cara menyelesaikan masalah dan mengubah keadaan dunia, semuanya mencerminkan suatu filsafat.
Dari mana seluruh pola pikir itu membentuk filsafat seseorang? Hidup kita hari ini tak pernah lepas dari kepungan propaganda yang dicekokkan melalui mimbar-mimbar pidato resmi para demagog reaksioner, pengkhotbah keliling, pendidikan sekolah, siaran radio, surat kabar, televisi, kitab-kitab suci, papan reklame, dsb. Semua propaganda tersebut sebagai media pengorganisasian pikiran, cara pandang, konsep-konsep ekonomi-politik dan moralitas dari sistem masyarakat yang sedang berlangsung. Baik dalam pengertian teoritis maupun praktis, kita semua tidak pernah lepas dari pengaruh suatu propaganda tertentu atau pengaruh cara berpikir (filsafat) tertentu.
Kehidupan bukanlah kehampaan. Sejarah juga bukan semata-mata tumpukan hari, bulan, tahun, abad, tanpa arti. Alam semesta dan sejarah masyarakat menyusun diri dalam tatanan material yang saling berhubungan dan senantiasa bergerak, berkembang secara abadi. Seseorang yang tak mempersenjatai diri dengan pemahaman filsafat yang benar, hidupnya akan dituntun oleh prasangka-prasangka kabur yang menyesatkan. Pandangannya terombang-ambing seperti pepatah Melayu mengatakan, “seperti air di daun talas”. Mereka mewarisi pandangan-pandangan kuno yang disuntikkan oleh lembaga-lembaga tua yang reaksioner; batu gunung tradisi yang beku dan penghambat kemajuan kebudayaan manusia. Dan hanya dengan filsafat yang benar kita menemukan sejumlah jawaban yang tepat atas seluruh gejala dan hakekat alam semesta beserta sejarah masyarakat. Inilah arti penting kita memahami dan mengamalkan suatu filsafat yang benar. Tak lain sebagai upaya untuk memajukan kebudayaan masyarakat. Suatu cara di mana kita akan mencapai derajat kesadaran yang sepenuh-penuhnya sebagai manusia tatkala kita mengenali seluruh hal-ihwal secara tepat dan obyektif. Pengenalan atas hal-ihwal obyektif ini akan menjadikan manusia sanggup menentukan nasibnya sendiri. Manusia tidak lagi bergantung pada hal-hal yang asing, abstrak, dan jauh mengawang-awang di luar dunia ini. Pendek kata, kita menolak seluruh perspektif takdir dan ketidakmerdekaan manusia; cara pandang yang telah menyusutkan makna manusia tak lebih sebagai wayang-wayang yang tertancap di batang pisang. Hidupnya bergantung di tangan seorang dalang. Secara merdeka manusia harus menyatakan tutup buku pada segala kitab-kitab dogma yang telah mempermainkan nasibnya, untuk selama-lamanya. Manusia harus mandiri dan berdaulat. Menjadi tuan atas nasibnya sendiri.


B. Filsafat sebagai Kritik atas Mitologi

Filsafat berbeda sama sekali secara isi dan bentuk dengan takhayul atau mitologi. Filsafat lahir sebagai kritik fundamental atas mitologi. Takhayul yang lazim mengambil bentuk dongeng atau cerita-cerita lisan merupakan kisah yang bersumber dari fantasi manusia yang subyektif, bukan kenyataan obyektif. Pada perkembangannya yang telah berlalu, ia bahkan berkembang menjadi sebuah sistem kepercayaan yang dianut oleh suatu masyarakat. Dongeng ini biasanya berjalan secara tradisional, dilanggengkan secara lisan dan turun-temurun lintas generasi. Masih ingatkah ketika kita masih bocah, di saat malam menjelang tidur orang tua kita mendongeng tentang si Kancil, Dewi Sri, Malinkundang, Ular Baru Klinting, hikayat Sangkuriang, dsb. Itulah mitologi atau takhayul. Demikian juga yang terjadi dalam masyarakat dengan peradaban paling tua seperti Mesir, Tiongkok, India dan Yunani. Nenek moyang bangsa Yunani Kuno, sejak zaman Homerus yang terkenal menciptakan Iliad dan Odyssey, juga berbagai hikayat lain seperti Herakles, Oidipus, Pelayaran kaum Argonaut, pengembaraan Odysseus, peperangan Troya, dan cerita tentang dewa-dewi dari langit. Kita bisa mengulas betapa besar dan panjang pengaruh Homerus, yang merupakan salah satu hasil karya sastra yang sangat penting selama hampir 300 tahun terhadap tokoh-tokoh seperti Sophocles, Euripides, dan Aristoteles dalam naskah drama dan sajak. Walaupun sistem mitologi Yunani Kuno paling komplit dan sistematis dibandingkan dengan masyarakat di tempat lain, namun mitologi apa pun bentuknya tetap sebuah hikayat penuh fantasi sebagai cara pandang suatu masyarakat terhadap alam semesta dan masyarakat.
Daya cipta masyarakat Yunani Kuno dalam menciptakan mitologi tak lepas dari kondisi objektif masyarakat manusia itu sendiri. Mereka memuja langit dengan segala tanda-tandanya. Mereka memuja matahari yang memancarkan cahaya dan menimbulkan panas yang memberi hidup. Mereka memuja laut, gunung-gunung, bintang-bintang dan berbagai kekuatan alam lainnya. Lama-lama mereka menciptakan bentuk-bentuk seperti manusia kepada benda-benda yang dipujanya dilengkapi sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia dengan kekuatan dan kelemahannya. Keburukan, malapetaka, kebencian, dendam, keadilan, cinta-kasih dan kebajikan ditempelkan pada benda-benda dengan nama dewa-dewi. Mereka menciptakan banyak dewa-dewi yang mereka puja-puja sendiri dan mereka sembah-sembah sendiri. Hal ini berarti, fantasi manusia dalam penciptaan mitologi dibentuk dan ditentukan oleh alam sekitar dan segala fenomena kenyataan yang menyertainya.


Sepenggal kisah mitologi Yunani Klasik

Pada awalnya adalah ruang tiada batas, penuh kabut dan gelap. Lantas muncullah bumi (gaia) sebagai wakil perempuan dan langit (uranos) sebagai lelaki. Keduanya kemudian sebagai pasangan suami istri. Kaum Titania adalah keturunan yang lahir dari pasangan ini, yang bungsu bernama Kromos dan merebut kekuasaan ayahnya di bumi dan bahkan menempati kedudukan ayahnya. Istri Kromos adalah Rhea yang juga puteri Uranos dan Gaia. Karena orang tua Kronos telah meramalkan bahwa seorang di antara putera-puterinya akan menggulingkan dirinya dari singgasana, maka Kronos menelan semua putera-puterinya. Namun putera mereka yang bungsu, Zeus namanya, oleh suatu muslihat istrinya dapat diselamatkan. Ia menukar Zeus dengan sebuah bungkusan berisi batu dan tanpa diperiksa segera ditelan oleh Kronos. Zeus disusukan pada kambing Amaltheia yang tinggal di gunung Ida di pulau Kreta. Ketika ia telah dewasa, ia menelan Kronos ayahnya dan memuntahkan kembali semua putera-puterinya yang telah ditelan.
Kemudian terjadilah pertempuran hebat antara Kronos dan kaum Titania di satu pihak, melawan Zeus bersaudara di pihak lain. Zeus bersaudara keluar sebagai pemenang dan mereka melempar kaum Titania ke dalam jurang Tartaros yang gelap gulita. Hadiah kemenangan ini adalah kekuasaan di muka bumi. Pembagian kekuasaan dibagi sebagai berikut: Zeus berkuasa di kerajaan langit, di laut dan sungai dikuasai oleh Poseidon, dan Pluton diserahi kekuasaan dunia roh dan dunia bawah.
Namun perjuangan Zeus bersaudara belum usai. Mereka masih terlibat pertempuran melawan kaum Gigantia, yaitu putera-puteri bumi. Kaum Gigantia adalah makluk-makluk dengan raksasa yang memiliki kekuatan fisik yang sangat perkasa, dengan kaki seperti ular, mereka melempari para dewasa dengan batu-batu besar dan pepohonan. Hanya dengan mengerahkan seluruh kesaktiannya Zeus berhasil mengalahkan kaum Gigantia dan mendapatkan kekuasaan mutlak. Demikianlah cara Zeus dengan keturunannya menanamkan kekuasaannya. Kaum ini juga dinamakan dewa-dewa Olympus, yang berasal dari nama sebuah gunung Olympus yang menjulang tinggi dan menjadi tempat tinggal para dewata.

Masyarakat Yunani mengalami periode mitologis yang panjang. Selama ratusan tahun Sebelum Masehi, sejak zaman Homerus hingga memasuki periode ketika manusia-manusia perintis ilmu pengetahuan membawa alternatif pemikiran yang sama sekali baru. Mereka adalah orang-orang yang tidak lagi puas dengan seluruh penjelasan mitologis. Mereka mulai menggunakan akal pikiran untuk mempertanyakan seluruh hal-ihwal secara baru. Periode mitos (takhayul) kemudian melangkah maju menuju periode logos (pengetahuan rasional). Batu pal pertama filsafat dipancangkan di zaman Yunani Kuno sekitar 600 tahun Sebelum Masehi yang silam.
Filsafat secara terminologi merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Yunani: philo (cinta) dan sofia (kebenaran). Filsafat dengan demikian mempunyai pengertian semantik: cinta pada kebenaran atau kebijaksanaan. Kebenaran apakah yang pantas dicintai? Kebenaran yang senantiasa dicari dengan akal budi manusia yang mandiri sampai menemukan hakekat kebenaran yang obyektif. Kebenaran yang tidak lagi bersifat dogmatis. Orang-orang yang punya akal waras dan sibuk berpikir dalam upaya mencari kebenaran yang obyektif itulah yang disebut dengan ‘filosof’ atau ‘pencari kebenaran’. Seorang yang mencari ada apa di balik tabir misteri yang terhampar di alam semesta, rahasia di balik tatanan hidup masyarakat, alam pikiran manusia dan persoalan-persoalan hakekat lainnya. Ilustrasi pekerjaan filosof, menurut Sokrates, persis seperti pekerjaan seorang bidan yang membantu proses kelahiran seorang bayi sebagai “manusia baru”. Tugas filosof menurut Sokrates adalah orang-orang yang membantu melahirkan kebenaran-kebenaran baru di tengah masyarakat. Kebenaran baru yang lebih sesuai dengan kenyataan obyektif, bukan kebenaran kuno yang hanya bertolak dari fantasi manusia dan tidak sesuai dengan kenyataan obyektif. Itulah mengapa, secara subyektif, setiap filosof senantiasa melibatkan diri dalam perburuan panjang tentang apa yang seringkali disebut dengan “kebenaran”.
Kenapa kebenaran harus dicari? Dalam pengertian filosofis, kebenaran itu tidak pernah terberi secara gratis. Ia juga tidak datang sebagai barang jadi yang siap pakai. Berfilsafat adalah bentuk kegiatan yang menggunakan akal pikiran sebagai instrumen untuk mencari dan menguji suatu kebenaran sampai ke akar-akarnya (radikal), menyeluruh (komprehensif), sistematis, dan mendalam ke tingkat hakekat (esensial). Bersama akal budi untuk mencari kebenaran yang rasional (logos) inilah yang membedakan diri antara kegiatan berfilsafat dan kegiatan bertakhayul (mitos). Sesuatu yang kemudian bisa kita nilai dari tingkat kebenarannya; apakah suatu kebenaran yang rasional dan obyektif atau suatu “kebenaran” yang tidak obyektif dan tidak bisa lagi dikatakan sebagai kebenaran.
Mereka adalah sederet nama seperti Thales, Anaximenes, Empedokles, Heraklitus, yang mulai menanam dan menumbuhkembangkan tunas filsafat dalam memajukan kebudayaan umat manusia. Mereka sesungguhnya pelopor revolusi kebudayaan dalam arti yang sebenarnya. Mereka mendudukkan filsafat sebagai ratu di antara ilmu-ilmu (regina scientiarum). Orang-orang Yunani Kuno itu menggunakan alam semesta sebagai laboratorium berpikir yang pertama (kosmosentris). Bagaimana Thales (600 S.M) menggantikan dewa Zeus dengan materi bernama air sebagai kenyataan pertama yang menyusun kehidupan (ontologi). Hippokrates (463-377 S.M) merintis kegiatan penyembuhan dari klenik menjadi ilmu kedokteran. Ia mengajarkan bahwa orang jatuh sakit karena sebab-sebab alamiah, dan bisa disembuhkan dengan sarana-sarana alamiah pula. Aristarchus dari Samos (310-232 SM) menemukan Heliosentris, matahari berputar mengelilingi bumi jauh hari sebelum Kopernikus dan Galileo. Phytagoras (580-500 S.M) menemukan dalil ilmu ukur yang berbunyi, “dalam segitiga siku-siku, jumlah kwadrat sisi siku-siku sama dengan kuadrat sisi miring”. Eratosthenes (275-194 S.M) pendiri ilmu geodesi, menghitung keliling bumi dengan pengukuran sudut-sudut matahari, 1800 tahun sebelum Magellan mengukur keliling bumi dengan cara penjajakan astronomis. Hasilnya hanya berbeda 80 kilometer dari hitungan ilmu modern. Euklides (330-275 S.M) dalam bukunya Elemente mengumpulkan dan menyatukan semua ilmu matematika di zamannya menjadi satu sistem saja. Sampai sekarang sistem ini tetap menjadi dasar dari ilmu geometri. Sokrates (469-399 S.M) menemukan metode induksi dan grounded research yang meletakkan dasar-dasar metodis penelitian ilmiah yang masih sahih hingga dewasa ini.
Seluruh batu pal revolusi kebudayaan tersebut, suatu cara pandang baru atas dunia yang lebih maju, celakanya tidak jatuh dari langit atau bisikan ghaib hasil pertapaan di gua-gua keramat. Seluruh penemuan tersebut ditempuh dengan perjuangan ilmiah yang panjang, keras, dan berliku; oleh orang-orang gelisah yang kurang saleh, dengan cara-cara yang dalam penilaian dogma agama sering disebut sebagai jalan kafir yang mengobrak-abrik benteng iman.
Orang-orang Yunani Kuno itu, sungguh manusia-manusia biasa dengan kualitas universal yang cemerlang. Dunia filsafat memberi penghormatan bukan semata-mata apa yang telah mereka hasilkan, namun lebih apa yang mereka usahakan. Mereka adalah peletak asas-asas berpikir secara umum yang tidak bisa diklaim oleh manusia lain, di tempat lain. Yunani Kuno adalah tempat segala pemikiran manusia dimulai dan dirujuk oleh seluruh pemikiran modern. Mereka melakukan kegiatan berpikir dalam kesederhanaan dan kecerdasan yang murni. Mereka melakukan penyelidikan dunia obyektif secara langsung, ketika langit pemikiran masih bersih dari rintangan-rintangan yang dipasang oleh teologi Abad Tengah (monoteisme) yang anti nalar atau metafisika Abad ke-17 dan 18 yang cacat metode itu. Seluruh kemurnian yang paling alamiah dan manusiawi dari filosof Yunani tersebut, sudah sepantasnya mendapatkan ganjaran besar dalam arti sebagai peletak fundasi ilmu yang tak tergoyahkan dan tak tergadaikan. Suatu kualitas yang membedakan dengan filosof-filosof Abad Tengah atau penggagas metafisika Abad ke-17 dan 18, yang telah melacurkan filsafat pada mistik dan kelas-kelas reaksioner di zamannya. Pun juga para filosof masa kini yang sebagian besar masih di bawah pengaruh sisa-sisa filsafat Abad Tengah yang reaksioner. Mereka tidak memiliki sinar pandangan hari depan kecuali menyuarakan pesimisme dan eskapisme di zaman pembusukan imperialisme ini. Tatanan dunia yang semakin pincang dan tertatih-tatih ini, di tengah rasa frustasi yang menyebar di benak mayoritas rakyat dunia, kembali dituntun mencari jalan keluar takhayul yang anti-nalar dan anti-humanisme. Seluruh fenomena ini pun bukanlah hal baru di bawah kerling mata filsafat yang tak pernah terpejam. Sudut pandang filsafat yang historis yang berusia lebih dari 2500 tahun. Krisis imperialisme dewasa ini mengandung gejala yang memiliki kemiripan dengan krisis-krisis zaman sebelumnya; transisi masyarakat kepemilikan budak menuju feodalisme seiring dengan hancurnya kekaisaran Romawi yang menghantarkan pada Abad Kegelapan yang panjang. Demikian pula pada zaman kebangkrutan sistem feodalisme; hancurnya monarki Turki Ottoman, bangkrutnya ajaran Katolik Roma dan seluruh filsafat Abad Tengah yang menyokongnya, di hadapan fajar Renaisans hingga Abad Pencerahan yang dibawa oleh kelas borjuis Eropa melalui pukulannya yang mematikan oleh Revolusi Perancis (1789).
Tugas filsafat dalam pengertian yang sejati tentu memiliki peranan yang sangat penting dan historis dalam menyingkirkan kesadaran-kesadaran dogmatis. Kesadaran mistis yang dipasok dari paham dan adat-istiadat kuno. Filsafat membawa pencerahan rasional dari belenggu dogma lama yang kemudian ditinggalkan oleh umat manusia. Dan memahami filsafat dalam konteks ini, bukan semata-mata filsafat untuk filsafat, atau abstraksi untuk abstraksi. Namun filsafat yang mampu menggantikan seluruh cara berpikir lama yang salah. Filsafat yang mampu merumuskan hukum-hukum yang menggerakkan dunia obyektif dan menuntun praktek untuk mengubah tatanan dunia yang busuk ini menjadi dunia yang lebih baik. Filsafat yang menjadi obor penuntun jalan perjuangan kita dengan kesadaran manusiawi yang penuh, teguh, dan berhari depan. Sebab kita tahu bahwa seluruh tatanan sosial ini tidak akan berubah hanya dengan kepasrahan do’a atau mengemis perbaikan nasib kepada faktor-faktor di luar manusia – misteri yang asing dan bungkam 1000 bahasa. Dan filsafat yang benar, landasan epistemologis yang paling komplit dan valid dalam kurun waktu sejarah filsafat hingga dewasa ini, hanya ditemukan di dalam materialisme dialektika dan historis: doktrin filsafat Marxisme yang terus berkembang dan sesuai dengan jalannya kenyataan hingga dewasa ini. Belum ada pemikiran filsafat lain yang mampu mengunggulinya.




School of Athens, Lukisan karya Raphael, 1509. Para filosof yang digambar tampak Plato dan Aristoteles (tengah). Dari kiri ke kanan: Zeno, Epikurus, Ibnu Rusdy, Pytagoras, Alcibiades, Xenophone, Aeschines, Parmenides, Socrates, Heraklitus, Diogenes, Euclid, Zoroaster, dan Ptolemy.


Tidak sepenuhnya salah bila ada anggapan bahwa mitologi adalah kitab yang mempesonakan masa kanak-kanak kita. Ada banyak fantasi dan kesenangan kanak-kanak yang ditiup dari sana. Dalam banyak konteks, mitologi sebagai cara pandang juga menjadi media pengorganisasian pikiran rakyat yang efektif. Dalam masyarakat dengan peradaban tua, setidaknya kita pernah membaca atau mendengar tentang mitologi sebagai sistem kepercayaan di masyarakat Yunani Kuno, India, Tiongkok dan Mesir. Dan siapa bilang raja-raja feodal itu tidak mengorganisir pikiran rakyat? Cerita satu ini, hanyalah satu contoh takhayul yang diambil di antara sekian banyak kerajaan di Nusantara ini. Sebuah kisah usang yang menepi dari bibir Pantai Selatan Jawa. Mari kita kupas dengan pisau filsafat dan ekonomi-politik. Sebuah takhayul yang masih dipercaya di sebagian besar rakyat Jawa hingga kini. Kurang lebih begini jalan ceritanya:
Jarum waktu menunjukkan tahun 1560-an Masehi. Syahdan, tersebutlah seorang pemuda dusun yang gagah perwira bernama Sutowijaya yang kemudian berganti nama (gelar) menjadi Panembahan Senopati. Ia seorang pendekar yang mampu mengalahkan Aryo Penangsang, seorang Adipati yang memberontak terhadap kekuasaan Demak. Dalam rangka mewujudkan mimpinya membangun kerajaan dan menjadi raja – karena belum ada sistem kepartaian dan pemilu – ia bertapa selama 40 hari 40 malam di sebuah ceruk tebing Laut Selatan. Ia menghadap ke laut Selatan. Ia menahan lapar, dahaga, dan kenikmatan ragawi untuk mencapai kemuliaan diri. Sampai hari terakhir, dikisahkan betapa terjadi badai angin yang memporakporandakan seisi lautan. Ombak besar menggulung-gulung. Ikan-ikan berhamburan dan mati. Lantas muncullah sesosok peri yang konon menjadi ratunya Laut Selatan: Nyai Roro Kidul. Ia muncul ke permukaan laut untuk mencari tahu sumber prahara di kerajaannya. Dan tampaklah dari arah daratan, seberkas cahaya dari dalam gua. Segera mendekatlah ia dan betapa disaksikannya seorang pemuda tampan sedang terpekur dalam pertapaannya.
Sang Ratu membangunkannya. Dialog pun terjadi. Sang Ratu bertanya kepada pemuda pertapa tentang maksud dan tujuan aktifitas pertapaan yang konon sampai mengguncangkan laut seisinya itu. Pemuda itu pun menjawab bahwa ia bertekad membangun sebuah kerajaan besar di tanah Jawa. Demi mendengar jawaban dan tekad besarnya, Sang Ratu pun tertarik mengundang pemuda Sutowijaya untuk berkunjung ke keratonnya di dasar Laut Selatan. Tawaran ratu peri yang dilukiskan cantik jelita itu pun disambut oleh pemuda Sutowijaya. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Dan Sutowijaya tak hanya mampir. Lazimnya bumbu utama dari kisah-kisah feodal-patriakhal lainnya, ia diceritakan tak hanya melihat-lihat kerajaan peri tersebut. Ia diundang ke ranjang sang Nyai. Kedua makluk yang berbeda dunia itu bercinta di sana. Mungkin selama 3 hari 3 malam. Lantas dalam lelap usai bercinta, sang Ratu ditinggalkan oleh Sutowijaya yang kembali ke daratan.
Dan mulailah Sutowijaya membangun keraton Mataram. Di tengah kesibukan pembangunan kraton, tiba-tiba sayup terdengar suara isak tangis Nyai yang ditinggalkannya di pedalaman Laut Selatan sana. Syair kerinduan pun didendangkan dan bersambut menjadi bait-bait puisi. Sebagai lambang kerinduan dan percintaan, ketika pemuda Sutowijaya yang kemudian menjadi raja Mataram, tersebutlah tarian Bedaya Ketawang sebagai lambang kecintaan sang pangeran pada Nyai-nya itu. Sampai hari ini tarian Bedaya Ketawang masih menjadi obyek tourisme yang menarik setiap tahun perayaannya baik di Keraton Solo maupun Jogjakarta.
Bagaimana kisah ini disusun? Apa pesan moral dari seorang raja kepada rakyatnya dengan propaganda picisan ini? Dalam bahasa awam, pencipta propaganda ini ingin berkata kepada khalayak ramai bahwa lautan pun tunduk padaku. Raja juga akan berkisah tentang gunung paling besar yang berdiri di sekitar wilayahnya. Dan ia akan berceloteh tentang takhayul kekuasaan atas gunung, bagaimana gunung itu pun juga akan merunduk padanya. Belum puas dengan takhayul laut dan gunung, ia juga memamerkan koleksi jimat-jimat yang dikeramatkan seperti keris, belati, batu akik, tombak, pedati, kerbau yang semuanya dilumuri dengan cerita-cerita keramat. Juga mantra-mantra perdukunan idealis yang paling tulen. Dalam bahasa pewayangan yang populer di Jawa, dia hendak berkata pada dunia bahwa, “Aku adalah orang sakti No 1 di wilayah lautan dan daratan ini. Bila laut dan gunung sudah merunduk padaku, apakah masih ada rakyat yang berani menentang perintahku?”. Suatu sabda yang khas monarki mutlak sebagaimana kelakuan anti-demokrasi yang sering dipertontonkan oleh raja-raja feodal di berbagai penjuru dunia yang kini telah gulung tikar.
Sejak zaman Mataram kuno, kisah ini berjalan lancar. Ketika memasuki Mataram Islam dan Mataram Pancasila masa kini, kisah ini telah diresmikan oleh para penerusnya bahwa semua raja-raja Mataram konon selalu mempermaisurikan Nyai Roro Kidul. Dan rakyat pun tidak pernah tahu bagaimana prosesi akad nikah kedua mempelai ini, atau hal ihwal permesuman ini berlangsung terus menerus hingga sekarang. Semua cerita ini berjalan demikian gelap seperti diselimuti asap kemenyan. Para pujangga feodal keraton memang pandai meramu kisah-kisah yang paling berkenan bagi selera lidah tuan feodalnya. Kisah-kisah yang diproduksi dan direproduksi sebagai bahan propaganda, dan tentu saja masalah ini menyangkut satu aspek penting dalam operasi ideologi kelas feodal, yakni pengorganisasian pikiran masyarakat. Hasilnya, rakyat Jogjakarta dan sekitarnya saban tahun akan tetap manggut-manggut mengunyah takhayul kuno ini.
Kabar dari laut itu akan tetap aman kalau Profesor. G. J. Resink, pujangga modern dari negeri Belanda itu tidak menyingkapnya. Memang benar pada mulanya Hanyokrokusumo alias Sultan Agung (1613-1645) adalah penguasa Laut Jawa yang mempunyai nilai strategis dalam jalur perdagangan domestik maupun internasional. Namun semua kebesaran Mataram ini berakhir ketika Portugis hadir dan merajai armada perang laut dengan senjata meriamnya yang terkenal itu. Sultan Agung juga bangkrut karena gagal mengusir armada Belanda di Batavia pada tahun 1629. Serangkaian kekalahan ini harus ditebus. Dan kitab penebusan ini disusun oleh para pujangga kraton untuk mengongkosi derita dari keok dan malu karena hilangnya kewibawaan Mataram. Maka dikembangbiakkan suatu kisah bahwa ayah Sultan Agung, mempersunting puteri Laut Selatan, Nyai Roro Kidul namanya. Sebuah kisah, menurut Prof. Resink, untuk menyatakan bahwa Mataram masih punya hubungan kekuasaan dengan laut. Dalam bahasa lain, sebuah gema takhayul untuk menghibur diri bagi pihak yang menjadi pecundang; ratapan cengeng Sultan Agung yang malang di atas batu nisan kekuasaannya. Lebih celakanya, sebutan apalagi selain kemalangan di atas kemalangan, bila ratapan cengeng seorang pecundang dan permesuman yang memalukan itu, diturunkan ke anak-cucu, disebarluaskan di kalangan rakyat yang segera disambut dan dilestarikan oleh satu-satunya agen sindikat mereka; dukun-dukun klenik feodal kontemporer! Cerita takhayul yang sepercik pun tidak mengandung sifat kebaikan dan keuntungan bagi rakyat.
Dalam suatu ulasan, Pramudya Ananta Toer menyinggung tentang kronik sejarah kekuasaan di Jawa sebagai kronik yang diwariskan tanpa menyinggung tentang nurani, yang nampaknya memang tak terdapat dalam pembendaharaan kekuasaan Jawa. Diawali dengan kekalahan Sultan Agung, hilangnya kekuasaan atas jalur dagang di Laut Jawa, beroperasinya kapal-kapal meriam milik armada Barat, maka golongan menengah Jawa, yang senyawa dengan pemilikan kapal dan pedagang antar-pulau serta internasional terhalau dari bandar-bandar dan tergiring ke pedalaman, menjadi mundur, dan terjatuh dalam kekuasaan satria pedalaman. Bila kita teliti dengan sudut pandang ekonomi-politik, bukanlah hal yang mustahil sejak kekuasaan Sultan Agung kalah di laut dan bergeser ke pedalaman, maka sejak itulah negeri kepulauan Nusantara ini sibuk membangun karakteristik kekuasaan birokrasi militer pedalaman yang salah satu produknya adalah berkuasanya Angkatan Darat hingga sekarang.
Di luar analisis ekonomi-politik di atas, tulisan ini hanya ingin mengulas bahwa Sultan dan raja-raja feodal itu pun, sejak Mataram Kuno (1500-an) hingga Mataram Pancasila hari ini, sudah dan masih mengorganisir pikiran rakyat. Mereka yang sangat membenci aktifitas-aktifitas demokratis, berpropaganda selama ratusan tahun tentang kekuasaan mereka. Berceloteh tentang “tahta untuk rakyat”. Mereka berpropaganda untuk membangun citra bahwa raja adalah manusia terpilih, junjungan rakyat, sakti, bijaksana, dsb. Mereka melantik diri dengan nama-nama gelar yang megah dan congkak (Mangkubumi, Pakubuwana, Hamengkubuwana, dsb). Juga termasuk kisah peri ratu Laut Selatan Jawa tersebut. Sehingga bukan perkara mudah bagi kita untuk menggeser pemahaman rakyat tani miskin dan petani penggarap di sebagian wilayah Jawa, bahwa Sultan atau Raja itu hakekatnya adalah tuan tanah besar – kelas penghisap buruh tani – hanya melalui satu minggu ‘sekolah rakyat’ atau ‘serangkaian advokasi’ tentang kasus tanah. Setidaknya kita bisa perbandingkan usia pengorganisasian pikiran mereka sejak tahun 1500-an hingga sekarang, dengan tempo pengorganisasian aktivis gerakan sosial di Indonesia yang baru marak sejak 1998 setelah 32 tahun rezim Suharto mempreteli seluruh ideologi pembebasan dan alat-alat perjuangan politik rakyat. Ide-ide lama akan terus bersemayam di benak rakyat selama kekuatan-kekuatan yang maju dalam masyarakat tidak memproduksi bahan-bahan propaganda yang mencerahkan dan memajukan cara berpikir lama. Tuan tanah punya cara pandang (ideologi) dan metode kerja (termasuk mengembangkan takhayul) dalam menggalang rakyat menuju tatanan yang dia kehendaki. Yakni kepentingan cita-cita feodalisme dengan segala kemegahan kampungan dalam gelembung takhayul serta manusia dengan gelar-gelar yang tak ada artinya bagi rakyat itu.
Dalam aras yang sama, mitologi atau takhayul yang diciptakan rakyat berbeda 150 derajat dengan takhayul milik kelas feodal di masa lalu. Takhayul memang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kelas dalam suatu waktu tertentu. Sehingga takhayul milik raja di Jawa tentu berbeda dengan takhayul milik rakyat yang hidup di pedalaman Kalimantan. Masyarakat Dayak, sebagai komunitas organik dengan hutan juga memiliki sistem ideologi (sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan). Mereka hidup secara komunal dan menggantungkan kelangsungan hidupnya pada sungai dan hutan seisinya. Bertolak dari kebutuhan pokok demi kelangsungan hidup inilah mereka mengembangkan mitologi sebagai sistem nilai yang tak lepas dari sistem ekonomi, politik, kebudayaan sebagai cermin dari taraf perkembangan berpikir mereka.
Cerita rakyat yang hidup di kalangan sub-etnik Dayak di pedalaman Kalimantan bertutur tentang kehidupan di hutan atau sekitar hutan, bahkan pohon-pohon besar, atau spesies kayu tertentu dipandang sebagai perlam¬bang kekuatan mistik. Banyak jenis pohon yang tidak boleh ditebang karena diyakini tempat bersemayamnya Tuhan mereka. Seni tari, nyanyian rakyat, ukiran, pahat-memahat, semua¬nya berhu¬bungan dengan burung-burung dan makhluk kasar dan halus yang berdiam di hutan. Bagi masyarakat Dayak sendiri, hubungan antara hutan, ladang, dan Tuhan memiliki pertalian organik yang erat. Jika ladang mereka tidak membuahkan hasil seperti yang diharap¬kan, maka berarti Tuhan marah karena manusia tidak bisa memelihara hutan dan segala isinya. Dengan semakin sempitnya lahan perladangan seperti sekarang ini, karena kegiatan pembabatan hutan dalam skala luas oleh HPH, perkebunan skala besar (kebun kelapa sawit, coklat, karet, dsb), dan hutan tanaman industri, secara langsung telah mengancam eksistensi komunitas Dayak. Untuk melindungi hutan tersebut di atas, maka diada¬kan upacara adat yang disebut Adat Pangkarah. Adat Pangkarah artinya sumpah janji secara adat untuk mempertahankan lingku¬ngan hidup dan untuk mempertahankan keaneka¬ragaman hayati di dalamnya. Menyangkut hutan lindung, dilarang keras untuk dijadikan lahan perla¬dangan. Barang siapa yang melanggar sumpah janji tersebut, tentu saja si pelakunya dapat dihukum secara adat. Dan pelanggaran tersebut tidak boleh diteruskan. Andai kata si pelanggar bersikeras tidak mau membayar hukum adat, oknum tersebut akan ditimpa malapetaka atau musibah tujuh di darat dan tujuh di laut. Sehingga mengakibatkan kehidupan si pelanggar tidak sempurna sampai pada keturunan yang ketujuh.
Sebagai pengukuhan sumpah janji adat, maka oleh nenek moyang zaman dahulu, dilaksana¬kanlah upacara "adat Pangkarah" dengan materi adatnya satu ekor babi, satu ekor ayam berbulu merah, satu ekor anjing berbulu hitam, dan satu buah kundur atau gamang. Kundur dengan tiga macam darah binatang tadi kemudian disatukan dan dibungkus dengan daun rinyuang merah. Setelah itu ditanam dalam tanah di lokasi hutan lindung yang sudah ditentukan batas-batasnya atas kesepakatan bersama. Latar belakang perlunya perlindungan hutan oleh nenek moyang zaman dulu karena hutan dan sungai mereka anggap sebagai "rumah" bersama dan sebagai "milik" bersama. Tanah dan sungai adalah sebagai Ibu dan Ayah kita. Dari sanalah kita hidup dan berkembang. Air yang mengalir sebagai nafas yang memberi kehidupan yang segar kepada manusia dan mahluk hidup lainnya.
Bila kita mengkaji perbedaan antara takhayul kelas feodal dan takhayul masyarakat komunal Dayak di atas, sudah tampak jelas maksud dan tujuannya. Tuan feodal menciptakan mitos sebagai impian individu (megalomania), untuk kejayaan dirinya dengan cara memanipulasi kesadaran rakyat. Sementara mitos yang diciptakan rakyat adalah sistem nilai yang dikembangkan untuk melindungi komunitas masyarakat dan alam dari eksploitasi dan penghancuran kehidupan komunal mereka. Mitos dalam hal ini bahkan menjadi mimpi kolektif yang mencitakan keadilan dan kesejahteraan yang sinambung sampai anak cucu kelak. Itulah kenapa mereka menghukum sangat keras bila ada oknum-oknum penjarah sumber daya alam sebagai lumbung kesejahteraan komunal tersebut dengan kutukan celaka di darat dan laut sampai tujuh turunan. Bertolak dari cita-cita inilah sebuah mitos disusun, tidak hanya menjelaskan taraf kesadaran berpikir (kebudayaan) mereka, namun juga cermin kepentingan sosial-ekonomi suatu kelas dalam masyarakat.
Seluruh hal-ihwal dan perbedaan itu menjadi pelajaran berharga bagi kita tentang arti penting apa yang membedakan filsafat dan takhayul, bagaimana takhayul disusun berdasar kepentingan kelas-kelas dalam masyarakat. Persoalan kebudayaan masyarakat adalah persoalan pokok dalam filsafat. Sudah selayaknya, dengan senjata filsafat kita membedah soal-soal tersebut untuk memajukan taraf kebudayaan berpikir masyarakat.


C. Filsafat sebagai Kritik atas Mistisisme

Wer von Goot dazu verdammt ist, ein philosoph zu sein
(Siapa yang dikutuk Tuhan, akan menjadi filosof)
G.W. Friedrich Hegel

Ilmu adalah pelita hati
(Pepatah Melayu)

Dengan latar belakang dan tujuan berbeda, perdebatan antara filsafat dan ilmu-ilmu sains melawan dogma agama sudah berlangsung sangat lama, baik dalam hal epistemologi maupun metodologi. Terdapat kekacauan perspektif bila kita mengkaji perdebatan tua antara filsafat, sains dan kepercayaan agama. Pertentangan perspektif antara hal yang obyektif (materialisme) dan hal yang subyektif (idealisme). Dalam wilayah metodologi pertentangan antara dialektika melawan metafisika. Kekacauan berpikir dalam konteks ini sering mengambil bentuk, di mana kita mendapati pandangan-pandangan dualisme, sinkretisme, atau pencampuradukkan antara filsafat, ilmu dan kepercayaan agama secara dangkal dan tak berprinsip. Satu sisi ada usaha-usaha untuk meletakkan ilmu dan filsafat di bawah naungan mistik, di sisi lain agama-agama senantiasa membawakan diri ke dalam penyesuaian tiada henti pada seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Keduanya seolah-olah saling berhubungan satu sama lain, saling melengkapi dan menyempurnakan. Atau dalam bahasa yang khas sinkretis, akal dan iman adalah dua fakultas yang berbeda, yang pada akhirnya akan menyatu dalam lingkungan universitas. Kecenderungan yang umum juga menyatakan bahwa dunia obyektif (sains) dan sistem kepercayaan memiliki ranahnya sendiri-sendiri. Kita tidak boleh saling menyerang dan dituntut sikap bijaksana dan saling menghormati atas nama ‘kebenaran’ masing-masing; suatu pandangan yang menjadi bonggol pohon bagi cabang dan ranting tempat kuncupnya buah-buah dualisme dan sinkretisme. Buah pikiran yang tidak memiliki makna secara ilmiah dan membingungkan secara filosofis. Pendek kata, ia menjadi sampah dalam pikiran umat manusia.
Tulisan ini memberi perspektif untuk menyinari situasi problematis dan berbagai inkonsistensi yang berakar dari suatu kekacauan berpikir dan metodis yang telah mengakibatkan kesulitan permanen, kekusutan, dan pertentangan yang berlarut-larut tanpa fundasi. Kekacauan berpikir yang masih saja berakar kuat dalam kebudayaan berpikir manusia modern dewasa ini.
Tulisan ini secara sengaja hendak memperkarakan asumsi-asumsi dasar yang menjadi landasan tempat berpijak pandangan-pandangan idealisme dan metafisika; segala pikiran yang dipasok mentah-mentah dari kitab-kitab suci agama. Ada suatu anggapan bahwa monoteisme menjadi akar tempat tumbuhnya pohon sains dan filsafat dalam konsepsinya yang klasik maupun kontemporer. Kitab-kitab suci mengabarkan tentang genesis, kreasionisme, atau asal-usul alam dan kehidupan yang disesuaikan dengan ayat-ayat dari kitab suci mereka. Kredo kuno dari Abad Pertengahan menyebutkan, “the fear of God as the source of knowledge”. Dalam kalimat pertama Injil Yohanes juga dinyatakan, “Pada permulaan adalah sabda”. Mari kita telusuri persoalan ini dari perspektif filsafat dan ilmu secara obyektif.
Sudut pandang filsafat materialisme dialektika dan historis dengan tepat menyatakan: perkembangan ilmu pengetahuan ditentukan oleh perkembangan kekuatan produktif (pertanian, teknik, sains, dan industri) masyarakat, bukan oleh sebab-sebab yang lainnya. Dalam periode klasik, ketika manusia belum sanggup memahami dan menjelaskan seluruh hal-ihwal tentang dunia obyektif karena kekuatan produktif belum mampu menciptakan alat-alat material untuk menggapai pengetahuan ilmiah. Bagaimana di Zaman Batu, ratusan ribu tahun Sebelum Masehi, spesies manusia menemukan palu batu dan tongkat. Palu batu digunakan untuk menghancurkan benda-benda keras, dan tongkat untuk berburu dan menambah daya ayunan tangan manusia. Manusia dalam situasi serba terbatas dan menyandarkan diri pada tindakan-tindakan produktif yang secara langsung mengembangkan otak manusia sebagai instrumen berpikir. Perjuangan manusia untuk memahami hal-ihwal dunia sungguh memiliki pertalian erat dengan perjuangan manusia untuk menjawab kontradiksinya dengan alam dalam meneruskan kelangsungan hidup mereka. Memajukan diri dari periode mitos menuju logos. Dari tingkatan pengetahuan hewani menuju kesadaran manusiawi. Dari kesadaran yang teralienasi menjadi kesadaran yang terang dan obyektif. Semua usaha-usaha ilmiah adalah tindakan emansipasi manusia untuk menemukan kebenaran diri manusia yang sejati dan membebaskan diri dari jubah-jubah lapuk yang memiliki cantelan pada mistik. Seluruh usaha ini harus kita maknai sebagai perjuangan umat manusia untuk memahami hakekat kemanusiaan dan dunia obyektif yang kita huni ini. Apa yang juga sudah mulai dirintis oleh ilmu-ilmu praktis masyarakat kuno di lembah Sungai Indus, Nil, Tigris, dan Eufrat ribuan tahun Sebelum Masehi. Bagaimana para ahli pertanian Mesopotamia membangun sistem irigasi terbesar pertama kali pada zaman kuno untuk mengairi gurun pasir yang jauh dari sungai. Para ilmuwan dari Sumeria dan Babilon yang memiliki kepandaian memecahkan soal aritmatika dan aljabar, kemudian mampu meramalkan gerhana matahari maupun bulan. Dan orang Yunani Kuno yang kemudian berhasil mengorganisasikan semua perkembangan ilmu pengetahuan tersebut menjadi filsafat yang mempertanyakan masalah-masalah mendasar kehidupan ini.
Perkembangan ilmu juga mencatat sebuah institut yang pernah dibangun di Iskandariah, Mesir, 300 Abad S.M. oleh Ptolomeus I, panglima Raja Iskandar Agung. Ptolomeus adalah pendiri dinasti yang beberapa waktu kemudian dipimpin oleh Kleopatra. Institut tersebut disebut dengan Museum, dalam arti tempat yang dipersembahkan kepada Mousa. Yakni dewa-dewi Yunani pelindung kesenian dan ilmu pengetahuan. Di dalam gedung ini para sarjana Yunani bekerja dengan tekun mempelajari ilmu-ilmu obyektif, menggunakan deduksi dan eksperimentasi. Museum Iskandariah ini merupakan gabungan universitas dan laboratorium, tempat para sarjana mempelajari teori-teori (logikon) dan eksperimentasi (cheirourgikon). Perpustakaan Museum Iskandariah juga paling lengkap dengan koleksi sekitar 100.000 gulungan kertas, sebagai hasil dari rampasan perang dan kebijakan politik Raja Ptolomeus yang memaksa kepada seluruh orang yang masuk kotanya harus menyerahkan gulungan kertas. Hingga masa surutnya, Museum Iskandariah ini merana di zaman Romawi dan akhirnya punah sewaktu kota tersebut direbut oleh tentara Islam. Sesudah periode itu, kegiatan ilmiah berpindah ke tangan para sarjana Muslim dan Konstantinopel, yang memperkaya ilmu dengan mengembangkan aljabar, mekanika, optika dan ilmu kedokteran, selain menerjemahkan dan menyebarluaskan pemikiran filsafat Yunani Kuno di wilayah Eropa dan dataran yang dikuasai oleh kaum Muslim.
Para ilmuwan Eropa Abad Tengah adalah juga sekaligus para tukang, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan praktis rekan mereka sejak Zaman Batu, meneruskan dan mengembangkan pengetahuan teknis manusia. Mereka membuat tali-temali pakaian yang lebih efisien untuk menarik kuda, membangun bendungan yang lebih baik, memanfaatkan kincir angin dan roda air sebagai sumber tenaga, mengembangkan mesiu untuk senjata meriam, hingga kertas untuk menyebarluaskan karya tulis. Penemuan mesin cetak mengantarkan manusia pada zaman ilmu yang baru, yang memungkinkan laporan-laporan tertulis sehingga perkembangan ilmu menjadi sinambung dan meluas. Penemuan kompas sebagai alat penunjuk mata angin, menghantarkan manusia mengarungi luasnya samudra untuk menemukan benua-benua baru. Para juru bicara zaman ilmu pengetahuan, tampil seperti Galileo, orang Italia yang menyebarluaskan ilmu dengan menggunakan pengukuran, ilmu matematika dapat dipakai untuk melukiskan kegiatan alam. Johanes Kepler, ilmuwan Jerman kemudian memajukan lagi dengan menyusun hukum-hukum matematika yang cocok bagi hukum gerak planet-planet. Dan Newton kemudian menyempurnakan dengan merumuskan bahwa segala gerak dari semua benda di langit maupun di bumi disebabkan oleh gravitasi dan kemudian melahirkan hukum gravitasi umum. Kemajuan ilmu teknik atau kemajuan tenaga produktif manusia semakin membawa umat manusia pada langkah-langkah raksasa yang cemerlang; menemukan magnet, termometer, kronometer, mikroskop, teleskop hingga satelit ruang angkasa. Sarana-sarana ilmiah yang memberi sumbangan besar pada ilmu pengetahuan modern dalam menemukan dunia dan seisinya. Suatu perkembangan yang menggeser “kebenaran lama” yang dipasok dari kitab-kitab dogma. Dan secara frontal memicu pertentangan antara filsafat, ilmu, dan ajaran dogma agama. Dogma agama dalam konteks ini semakin memperjelas jati dirinya; tak lebih sebagai penjelasan dari sisa-sisa kehidupan pra-ilmiah.
Dunia ilmu modern terus bergerak maju dan dihadapkan pada kereaksioneran dogma agama. Berbagai pertentangan ini bisa kita uraikan dengan contoh-contoh nyata. Bagaimana teori Kreasionisme muncul sebagai reaksi penolakan gereja atas teori evolusi makhluk hidup yang muncul pada Abad ke-19, dengan juru bicaranya Charles Darwin. Di sebuah negara modern bernama Amerika Serikat, memiliki kisah naif dalam mengusung kreasionisme dan memperlakukan teori evolusi-nya Darwin secara semena-mena. Pada bulan Maret 1925, Legislatif negara bagian Tennessee membuat Undang-undang anti-evolusi yang melarang seluruh sekolah negeri mengajarkan teori evolusi. Pada 10 Juli 1925 sebuah kemalangan menimpa John T Scope, seorang guru biologi Sekolah Lanjutan Dayton. Ia diseret ke pengadilan yang terkenal dengan sebutan “Pengadilan kera” itu karena mengajarkan teori evolusi, dan dinyatakan bersalah dengan denda sebesar 100 dollar. Keputusan ini segera menuai badai kritik di seluruh negeri hingga pada tahun 1927 pengadilan banding membatalkan keputusan yang mengelikan itu. UU anti-evolusi akhirnya dicabut pada tahun 1967. Dalam konteks ini kita mendapat pelajaran, bagaimana teori kreasionisme mendapati diri sebagai sains palsu (pseudo-science) yang melawan sains obyektif dengan teori penciptaan yang mereka cari pembenarannya dari ayat-ayat kitab suci. Mereka hendak meng-kristen-kan alam, tumbuhan dan hewan-hewan. Mereka hendak mengunci alam yang segar, terbuka dan semarak itu menjadi macet dan buntu dalam gembok dogmatisme agama yang gelap. Dialektika alam yang obyektif itu mereka lumuri dengan fantasi-fantasi kesalehan tentang teori penciptaan yang hampa. Secara sewenang-wenang, dengan segala kenaifan fantasinya, mereka tampaknya memiliki ambisi menjadikan seluruh tumbuhan dan hewan-hewan itu beriman pada Tuhan agar kelak bisa masuk ke surga-Nya. Tindakan yang kekanak-kanakan ini, semakin menunjukkan sikap kereaksioneran agama yang tertutup dan mengisolasi diri dari perkembangan sains. Dogmatisme yang mandek dan anti-nalar ini semakin membelejeti subyektifisme diri mereka di hadapan kecemerlangan ilmu-ilmu sains modern yang semakin obyektif.
Agak mundur ke belakang, kita bisa memaparkan contoh lain bagaimana posisi filsafat dan ilmu di hadapan dogma agama dalam kasus perdebatan klasik tentang sistem tata surya (astronomi). Perdebatan antara revolusi ilmu yang berpandangan Heliosentris melawan rejim dogmatik Vatikan yang kukuh memegang kebenaran Geosentris. Sistem Heliosentris (matahari sebagai pusat) sebagai pandangan kosmologis yang dicap “kafir” pada waktu itu, sudah dipikirkan jauh hari oleh Aristarchus dari Samos (310-230 SM). Karena bertentangan dengan dogma, khususnya ajaran fisika Aristoteles dan kitab suci yang menjunjung tinggi sistem geosentris yang dirumuskan oleh Ptolomeus dalam bukunya Almagest, sistem heliosentris ini hilang dari peredaran dunia ilmu pengetahuan umat manusia. Ia diberangus atas nama “kebenaran” dogma gereja Katholik. Kemudian sistem kosmos yang berpusat pada matahari ini, muncul kembali di awal fajar Eropa (Renaissance) lewat pemikiran biarawan Nikolaus Kopernikus (1473-1543). Ia seorang karyawan gereja yang semula diberi tugas oleh Paus untuk mengembangkan sistem kalender, namun hasil investigasinya justru menjadi laporan tentang temuan heliosentris yang revolusioner itu. Pada tahap perkembangannya, pandangan ini dikukuhkan oleh Johannes Kepler (1571-1630) yang mengajukan sejumlah hukum gerak dan orbit benda-benda langit. Galileo Galilei (1564-1642), lelaki kelahiran kota Pisa ini, lebih menandaskan kebenaran sistem Heliosentris dengan menggunakan teorinya sendiri yang ia anggap lebih kokoh. Karya awal Galileo tentang astronomi adalah Sidereus Nuncius yang terbit pada bulan Maret 1610. Galileo kemudian menyusun karya ilmiahnya yang penting berjudul Dialogo sopra i due Massimi Sistemi del Mondo (Dialog Tentang Dua Sistem Penting Dunia antara Ptolomean dan Kopernikan). Buku ini merupakan peragaan hebat tentang hal-hal yang menyangkut dukungan ilmiah terhadap teori Kopernikus dan buku ini diterbitkan tahun 1632 dengan ijin sensor khusus dari pihak gereja.
Meskipun demikian, penguasa-penguasa gereja menanggapi dengan sikap berang tatkala buku ini terbit. Galileo langsung diseret ke muka Pengadilan Agama di Roma dengan tuduhan melanggar larangan tahun 1616. Iman adalah panglima. Dogma agama menjadi kitab kebenaran tunggal. Dinas Suci Inkuisisi, pemilik otoritas tertinggi Gereja Katolik bahkan ingin menghapuskannya dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Semua ini terjadi karena ilmu sains menyuarakan sebuah pandangan baru yang waktu itu dianggap sebagai kekafiran besar yang akan merusak keimanan umat manusia: pandangan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta dan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya. Setelah melewati pengadilan yang tidak dihadiri oleh Tuhan tersebut, Galileo divonis bersalah. Ia kemudian menjalani tahanan rumah, seperti layaknya sebuah kebenaran ilmu yang hanya akan sia-sia dikurung dari peradaban umat manusia.
Galileo setidaknya memiliki nasib yang lebih mujur ketimbang rekannya Giordano Bruno (1548-1600) yang malang. Ia seorang ilmuwan astronomi yang menjadi pastor Ordo Dominikan. Pada tahun 1600, Giordano Bruno dibakar di alun-alun Campo di Fiore di kota Roma karena bersikeras meyakini bahwa bumi bergerak mengitari matahari, bukan diam di tempatnya sebagai pusat semesta. Bruno juga bersaksi bahwa ada banyak planet seperti bumi ini yang bertebaran di alam semesta. Penyucian Bruno di atas kayu bakar dan kobaran api yang menjilat-jilat kebenaran itu, merupakan pelaksanaan dari pandangan menjaga iman umat manusia. Bahwa setiap ajaran yang mengganggu iman manusia harus dihapuskan. Hancurnya iman akan membuat Tuhan murka dan mendatangkan bencana. Anggapan gereja, semua ini demi kebaikan manusia itu sendiri. Mereka yang tidak mau bertobat harus dibantu dengan disucikan lewat api agar mereka tak lagi menerima siksa api di neraka kelak. Pada tahun 1619, Dinas Suci Inkuisisi juga memakan korban di Perancis. Mereka mencabut lidah Lucille Fanini, seorang pemikir dari Perancis. Calvin membakar hidup-hidup Servetus ketika ia mengulas penjiplakan mentah-mentah doktrin trinitas dari filsafat Yunani Kuno (Sofisme). Demikianlah iman bersabda. Iman sebagai panglima. Giardano Bruno, Lucille Fanini, Servetus, setidaknya menjadi sosok “Sokrates” yang lain; menempuh jalan pedih berduri yang dipasang oleh dogma agama. Mereka semua harus kita hormati karena mati sebagai syuhada-syuhada ilmu pengetahuan, pahlawan kebudayaan umat manusia.




Kematian Sokrates lukisan karya Jacques-Louis David, 1787. Sokrates dihukum oleh penguasa Polis yang anti-demokrasi dengan dua pilihan: menarik pandangan-pandangannya yang dianggap “menganggu” ketertiban sosial atau minum racun. Ia memilih minum racun hingga meninggal dunia ketimbang menarik pandangan-pandangan kebenaran filosofisnya.


Seiring dengan perkembangan tenaga produktif umat manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dalam praktek sosial, manusia telah berhasil menyingkap berbagai tabir misteri yang semula tak terpecahkan. Ilmu pengetahuan semakin maju, luas dan akurat dalam menjelaskan keadaan alam semesta dan manusia. Ia semakin perkasa dan merdeka dari campur-tangan doktrin kepercayaan agama. Ilmu pengetahuan yang pada periode Kopernikan-Galilean-Darwinian baru menyingkap permukaan alam semesta, mendapat kemajuan luar biasa dengan filsafat materialisme dialektika Marxian yang menghantarkan manusia mencapai pemahaman esensial seluruh proses bagaimana kenyataan obyektif tumbuh dan berkembang. Buah terbesar dan terpenting dari kemajuan ini adalah dirumuskannya cara pandang dan metode berpikir Marxisme (filsafat materialisme dialektika dan historis) yang bernilai universal karena selaras dengan dunia obyektif (ilmiah) dan humanisme. Marxisme, dalam suatu proklamasi yang terang-terangan telah menyingkirkan dan membuang ke laut untuk selamanya apa yang dikatakannya sebagai “spiritualisme yang tak berdaging dan misantropis”; suatu spiritualisme yang bertolak belakang baik dengan kebenaran obyektif yang ilmiah maupun kemanusiaan.
Pencapaian kemajuan berikutnya, bukan suatu mukjizat bila kemudian Uni Soviet meluncurkan pesawat ruang angkasa Sputnik I pertama kalinya dalam sejarah umat manusia pada 4 Oktober 1957. Peluncuran yang dilaksanakan tanpa ada pemberkatan dari gereja. Pada 12 April 1961, Uni Soviet kembali memimpin pengiriman manusia pertama ke angkasa luar, Yuri Alekseyivich Gagarin, seorang mayor Angkatan Udara yang meluncur dengan kapsul Vostok I. Perkembangan teknologi dan penemuan-penemuan ilmiah yang semakin raksasa dan independen dewasa ini, semakin mengangkat derajat ilmu pengetahuan pada kedudukan yang mulia. Siapa yang benar dan siapa yang salah dalam persoalan ini? Pihak ilmu atau iman? Siapa yang bekerja keras dengan memecahkan hukum-hukum obyektif dan siapa yang hanya berkhotbah tentang omong kosong? Kebenaran praktek telah memberi pelajaran nyata bagi umat manusia untuk menyimpulkan sendiri ajaran mana yang benar dan yang salah. Dan sudah selayaknya bila para pembicara filsafat dan ilmu yang terbukti tidak profesional itu keluar dari dunia ilmiah.
Sejarah kemudian juga mencatat dan seluruh warga dunia bersaksi bahwa pada tahun 1992, setelah ratusan tahun usia kesalahan iman, pihak Tahta Suci mengakui kesalahannya melalui mulut pimpinannya langsung -- Paus Johanes Paulus II. Dengan muka masam dan rambut yang telah beruban dalam ketakhayulan itu, mereka akhirnya mengakui kebenaran heliosentris walau sangat terlambat dan sia-sia. Ia menanggalkan “teleskop dogma” yang salah dan mengakui teleskop ilmu-nya Galileo yang benar. Para hamba dogma itu, mereka memulai dengan pesona keghaiban atau ketidaksadaran mistikus (kekosongan), berkhayal dengan cara mengada-adakan sesuatu yang tiada, dan berakhir dengan kekosongan kembali. Kekosongan tanpa makna. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak membiarkan lagi mereka membodohi umat manusia dengan kesewenang-wenangan mistik. Secara nyata, dualisme antara iman dan ilmu di sini tentu tidak berprinsip pada hal yang obyektif. Pencampuran ilmu dan iman, atau klaim perkembangan pohon ilmu berakar dari iman melalui bantuan wahyu, mendapati diri dalam kesalahan yang fundamental. Kebenaran justru berlaku sebaliknya: “Im anfang war die tat” (Pada permulaan adalah perbuatan) seperti kata penyair Goethe melalui tokoh karangannya, Dr. Faust. Bukan “pada permulaan adalah sabda” seperti apa kata Injil Yohanes itu. Terlepas biarawan Nikolaus Kopernikus mempersembahkan buku ilmiahnya De Revolutionibus Orbium Coelestium untuk Paus Paulus III, raja klenik terbesar dari Vatikan itu, namun perspektif dan metodis dari buku tersebut justru menyerang iman pimpinan tertinggi gereja Katholik tersebut. Juga seorang pastor Bruno, membantah iman dari jantung pertahanan dogma (gereja) tempat semula ia mengabdi.
Mengutip Voltaire, salah seorang juru bicara Abad Pencerahan Perancis, sejarah adalah perjuangan antara akal dan mistik sebagai ganti dari doktrin pernyataan St. Augustinus yang menganggap sejarah adalah perjuangan antara Tuhan dan setan. Temuan heliosentris bukanlah temuan iman. Bukan pula hasutan setan. Namun terang benderang sebagai temuan ilmu pengetahuan yang bersandar pada hal-hal yang obyektif (materialis). Ia menyingkirkan dogma dari cantelan mistik (idealisme) untuk selama-lamanya. Ya, ilmu telah membuang dogma dari isi pikiran manusia untuk selama-lamanya! 1000 maha dewa yang mereka panjatkan puja-puji saban hari itu, tak mampu membela dogma dengan mengubah heliosentris menjadi geosentris. Ia telah merana karena ditundukkan oleh takdir historis ilmu pengetahuan. Segala jenis dogma kian lama kian lapuk dan sudah selayaknya masuk ke museum nasional bersama benda-benda keramat lainnya. Sebaliknya dengan ilmu pengetahuan modern yang telah menemukan kemandiriannya; penemuan-penemuan ilmiah terus berkembang pesat. Akar-akar ilmu terus menembus dunia bawah sub-atom dan menjulang tinggi menembus galaksi di keluasaan ruang angkasa; merayakan kemerdekaannya dengan penyingkapan ilmiah atas ruang-ruang obyektif di alam semesta raya ini.
Dalam suatu keterangan paling ringkas, Albert Einstein – ilmuwan penting abad ke-20 itu menyimpulkan: kemajuan ilmu di Barat berhutang besar pada penemuan dua hasil karya ilmu pengetahuan pokok, yaitu ditemukannya sistem logika formal dalam geometri Euklides oleh para filsafat Yunani dan ditemukannya hubungan sebab-akibat oleh eksperimentasi ilmiah yang sistematis zaman Renaissance. Sejak itulah ilmu pengetahuan berkembang demikian pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan sebagai bunyi canang yang menyingkirkan segala hal yang subyektif. Mengusir seluruh rumusan mistik dari pikiran umat manusia untuk selama-lamanya. Rezim-rezim klenik yang menjadi pusat-pusat penyebaran bid’ah-bid’ah yang mengerikan atas kenyataan, dipaksa tanpa ampun untuk mencabut seluruh doktrin palsu mereka dari pengajaran umat manusia. Termasuk mengubah sikap iman yang konservatif, mentah dan kekanak-kanakan di hadapan ilmu. Iman yang berlaku sebagai batu karang reaksioner yang menghambat kemajuan kebudayaan manusia; musuh bagi seluruh kemajuan umat manusia. Suatu sikap yang tidak bisa lepas dari kedudukan kelas dan kepentingannya. Dengan dasar inilah kita berpendapat bahwa segala usaha untuk mendamaikan ilmu dan agama dalam konteks ini, sekali lagi, adalah pekerjaan sia-sia yang tak mendapatkan ganjaran sekepeng pun. Sikap medioker, dualisme, sinkretisme sudah tidak dibutuhkan lagi dalam persoalan ini; dihadapkan pada kebenaran ilmiah (obyektif) yang pancaran sinarnya seterang matahari, yang tak memungkinkan lagi ruang-ruang persembunyian bagi “kebenaran palsu” di jagat raya obyektif ini kecuali di dalam sel-sel otak dogmatik mereka sendiri yang gelap dan reaksioner itu. Hanya itulah benteng pertahanan terakhir mereka. Tak ada tempat persembunyian lainnya. Dogmatisme (subyektifisme) sebagai benteng pertahanan yang sekaligus sebagai penjara bagi diri mereka sendiri yang ditinggalkan oleh kemajuan umat manusia.
Persoalannya kemudian lebih merupakan bagaimana bigot-bigot klenik itu belajar filsafat dan ilmu secara jujur dan mandiri. Bukan sebaliknya. Lebih terangnya, kritik filsafat materialisme dialektika terhadap mistisisme dan metafisika, merupakan suatu bentuk pertentangan teoritik yang mendasar. Pertentangan yang melahirkan pertarungan terbuka satu lawan satu. Perang tanding ini bukanlah model pertarungan antara dua kesatria lama (chivalry) memperebutkan tanah jajahan; juga tidak mempersoalkan apakah si penantang dan yang ditantang lebih mulia, lebih agung, lebih suci. Namun lebih soal pertarungan kemajuan melawan sebongkah batu penghambatnya. Dunia baru yang berhari depan versus dunia lama seluruhnya. Pertarungan historis antara sang penantang yang tak mau lagi membiarkan umat manusia sekejap pun dalam cengkeraman kebodohan dan kepasrahan, melawan si kepala batu yang terkantuk-kantuk dalam kepasrahan mistik reaksionernya. Cangkang reaksioner sekeras apa pun pasti akan hancur oleh kesadaran dialektis yang semakin tumbuh dan membesar di jagat kebenaran obyektif ini.
Namun pertarungan tetap belum paripurna. Pertentangan hebat antara ilmu dan iman. Antara yang obyektif materialis dan yang subyektif idealis. Antara metafisika dan dialektika. Dan antara kelas-kelas revolusioner yang mengusung kepentingan dan pandangan filsafatnya yang maju, melawan kelas-kelas reaksioner dengan seluruh pertahanan filsafat dogmatik serta aparatus mereka. Mengapa pertarungan? Mengapa bukan perdamaian yang indah? Persoalan ini bukan perkara suka tak suka. Perkara ini memang obyektif sebagai pertarungan. Kita tidak perlu mendamai-damaikan hal yang memang berlaku dan bersifat sebagai hukum pertarungan. Persoalan ini bukan semata-mata karena kaum materialis keras kepala dan suka bertengkar. Namun berangkat dari hukum dialektika yang obyektif di dalam memandang hal-ihwal seluruh persoalan hidup ini.
Dan masih ada satu pertanyaan yang harus kita jawab dalam pertarungan filsafat ini. Tentang kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa filsafat idealisme masih bertahan bahkan mampu mengukuhkan dominasinya di zaman ketika ilmu pengetahuan telah tumbuh berkembang secara luar biasa dewasa ini. Apakah hal ini memperjelas kekalahan telak di kubu materialisme dialektika? Dan kemenangan di pihak idealisme reaksioner? Bagaimana kita menjawab persoalan ini?
Mari kita segera menjawabnya. Persoalan akar dari pandangan filsafat, dalam perspektif Marxisme, tidak bisa lepas dari kepentingan kelas-kelas tertentu di dalam masyarakat. Filsafat idealisme saat ini masih berkuasa karena masih berguna untuk menopang kepentingan kelas-kelas reaksioner yang berkuasa. Lebih tepatnya menjadi senjata berpikir mereka. Filsafat yang menjadi landasan bagi tindakan-tindakan tak bermoral untuk mengejar cita-cita tak bermoral. Filsafat yang berguna untuk menyatakan betapa elok dan rasionalnya seluruh sistem kapitalisme dewasa ini. Filsafat yang berguna untuk memberkati hak kepemilikan pribadi. Filsafat yang merestui keberangkatan pasukan imperialis (gerombolan maling besar) dalam perang-perang penggarongan (agresi) yang mereka ciptakan sendiri. Filsafat yang turut mensyukuri super-profit yang mereka keruk dari alam, apa yang mereka hisap dan timbun dari keringat rakyat pekerja sembari membaca puji Tuhan sebelum mereka menyantap makanan super lezat yang melimpah-ruah dalam pesta-pesta mereka. Dan tak lupa, sebagai kebijaksanaan yang tampak suci dan agung, praktek idealisme mengambil bentuk pelantikan seluruh presiden negara reaksioner di dunia ini berdiri di atas sumpah kitab-kitab suci yang mereka junjung tinggi kemudian mereka campakkan dan injak-injak sendiri. Demikianlah landasan filsafat mereka yang dekaden. Demikianlah mereka telah memperlakukan rakyat dan bumi milik kita bersama ini secara sewenang-wenang.
Kita tidak perlu sedih atau putus asa dalam mengikuti lakon drama komedi sekaligus tragedi tentang tingkah-polah para tuan dan nyonya idealis yang sudah bisa kita tebak ujungnya. Sebagaimana kita sudah mengikuti dengan tekun segala keterbatasan dan kenaifan mereka sampai pada pengakuan dosa atas kesalahan-kesalahan di masa lalu seperti dalam hal ilmu berpikir, astronomi, biologi, dsb. Masih banyak bidang kehidupan yang harus kita ikuti dan buktikan dengan konsisten sampai ke ujung sejarah. Pertarungan masih berlanjut antara unsur-unsur maju berhari depan melawan perintang-perintang reaksioner yang lambat-laun kian membusuk oleh kontradiksi-kontradiksi yang semakin menajam. Semua gejala “perdamaian relatif” dewasa ini, sesungguhnya tengah menantikan kematangan dunia untuk suatu ledakan besar yang akan menentukan kerubuhan bangunan besar dan tua – sistem kapitalisme yang sudah lapuk ini. Pembusukan universal sebagai penderitaan yang dibawakan oleh krisis imperialisme semakin nyata. Kelas buruh dan rakyat tertindas di segala penjuru dunia sudah dan sedang mengetuk pintu sejarah. Berbagai perlawanan sedang bergema dalam berbagai suara, juga sedang bentrok baik dengan kepalan tangan yang semakin keras maupun perjuangan bersenjata. Gerakan revolusioner tengah mematangkan diri: melakukan kritik dan otokritik atas kesalahan-kesalahan di masa lalu; memperkaya perspektif program perjuangan; memperkuat, memperdalam dan membajakan taktik revolusioner yang tak kenal kompromi; mengasah keberanian, disiplin, ketekunan dengan serangan-serangan yang sinambung dan terukur bagi meluasnya kualitas perlawanan rakyat. Bila seluruh keaktifan revolusioner sudah mencapai kematangannya, maka tak ada satu dogma pun yang sanggup menyangga sistem renta yang sedang goyah ini. Anak zaman telah lahir untuk membuat zaman baru. Batu-batu penghambat dan sampah-sampah peradaban akan disingkirkan. Segala yang lama akan disapu bersih. Gerak sejarah semakin berderap maju bersama rakyat sembari mengibarkan panji-panji kemenangannya; mendendangkan nyanyian yang selaras benar dengan jiwa kehendak merdeka seperti syair yang bersejarah ini:

Kehendak mulia dalam dunia
Senantiasa bertambah besar
Singkirkan adat dan paham lama
Kita massa rakyat yang sadar
Dunia sudah berganti rupa untuk kemenangan kita..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar