Jumat, 26 November 2010

puisi


Dan ada kejenuhan yang terpanggang

Kembali

Perlu bertanya

Masihkah ada damai direlung kita

relungku dan ingatan

Belum lepas pangdangan, ketika puluhan tahun belakang

Ketertindasna menghimpit, ketakutan mencekam, ketegangan bagai iar bah

Kekusaan jadii gigi-gigi bertaring

Kebebasan teraniaya

Dan harkat manusia tergadai akibat ambisi kepentingan.

Hhahhahaahh (meraung)

Mestikah menjelma hantu-hantu baru

gentayangan siang dan malam dengan kuku tajam

Siap menerkam

Tidak

Sebab luka tanah ini masih sisakan nyeri, air mata belum henti tetesi bumi

Duhai kini dan seok lagi

Kita bidik matahati

Kita sapa sang dewi malam

Kita sambut bintang-bintang

Pertikain sudahlah hentikan

Lenyaplah cepat dendam benci, jabatan akhiri permusuhan .. damai rasa tangan disetiap diri

Huhu

Kita ini saudarkau

Beda warna satu lukisan

Beda suara satu irama

Beda ibu satu keluarga

Beda bahasa satu bangsa

Hoh hoooooo

kita ini sahabat

Tangis tawa berdampingan, senangn susah beriringan, pintu senasib tentukan naman-nama, dan cipta kau kan merasa

Hohooooooo

Damai

Damailah damai

Kilau laut menari ikan-ikan

sapa nelayan jangan lepaskan

damai

damailah damai

damai anak bangsa

damailah penghuni negeri

damai

dmailah damai

sekuumpulan bocah tarik layang-layang

belah angkasa hantarkan cita-cita

damai

damailah damai

damai

damai jiwa

damai hati

damai

damailah dami

damai dalam cinta

Air serius air main-main

Semua kita maklum bahwa ir benentuk zat air dengan susunan kimia H2O

Sifatnya bisa ada dimana-mana,

Ditengah kota atau dipelososk desa

udara dan laut juga ada air

hendaknya disuka oleh mahkluk apa saja,

karena merupakan kebutuhan yang utama,

malah api sekalipun suka lo kepadanya

seyogyanya

air sumur untuk keperluan dapur

air hujan suburkan tanaman

air kali gadis-gadis seksi nyuci dan mandi,

air suci jernihkan hati

namun yang terjadi

air sawah bercampur limbah,

air gunung kayu gelondongan mengapung-apung

air mengalir eh berupa banjir

sungguh air tidak disuka ketika ia berubah bencana

jadi perlu keseimbangan

kita pakai sekedarnya

kita plihara semampunya

terlalu kurang datang kerontang,

terlewat berlimpah malah musibah,,,

nah naaaaaaaaah naaaaaaah

jika terjadi musibah,

semua gundah gelisah mencari siapa yang salah

semua rumuskan solusi berpijak teori mau benar sendiri

kalau benar,


(selengkapnya lihat ling di bawah ini dan beberapa hal lainnya)

http://www.ziddu.com/download/12718282/pidatodanceramah.ppt.html

http://www.ziddu.com/download/12718283/pembacaanpuisi.mp4.html

http://www.ziddu.com/download/12718284/PUTRIMANDALIKA.doc.html

http://www.ziddu.com/download/12718285/puismasWINSA.rtf.html

http://www.ziddu.com/download/12718286/Englishversion.doc.html

http://www.ziddu.com/download/12718287/MELATIDANROSE.rtf.html


TERHANTAR BEBERAPA CORETAN


---“”SERAU SUARA MALAM””---

Dalam gemericik detik-detik malam

Kucoba tuk

Meraih

Merangkul

Dan merangkai kata-kata untukmu

Yang akan kujadikan sebagai kata-kata abadi Dalam lentera hatiku

Namun kata-kata itu tak pernah menghampiriku dan kumengerti

Karena kata-kata itu

Telah dipoles oleh corat-coret angin malam yang bisu

Dan dibungkam oleh mentari yang sebentar lagi kan menyapamu

Wahai engkau

Sang kata dan

Maha kata

Mari sini duduk dekatku dan tersenyumlah padaku

Biar aku memiliki secangkir harapan

Untuk menyongsong hari esok




DUKA

KAU SUNTING DUKAKU
DENGAN GELIMANGAN AIR MATA DARAH
KAU GROGOTI FIKIRANKU
DENGAN KETAKUTAN YANG MENCEKAM
KAU
...KAU
KAU
KAU JEJAL AKU
DENGAN RASA RISAU
KAU
SIAPA SEBENARNYA
YANG TUMBUH, TIMBUL MENJALAR DALAM BATHIN
MENGAKAR DENGAN DIAM-DIAM
MENYELIMUTI DENGAN BISU YANG PIKUN

KAU GANDENG AKU DENGAN BALUTAN LUKA YANG KIAN MENGANGA
KAU SUGUHKAN SEBERKAS HARAPAN YANG PUNAH
KAU MAMPIR DALAM KESEMUAN

KU INGIN BERHENTI SEJENAK
BERPALING DARI DUNIA TAK PASTI
KU INGIN
SUNGGUH AKU SANGAT INGIN.......

AKANKAH KEINGINANKU INI
HANYA PERCIKAN API
YANG TAK HABIS PADA SUMBU LAMPU LENTERA NELAYAN
YANG MEMBUAT IKAN-IKAN MENARI TERSIPU

BUKANKAH HIDUP TIDAK SEDIMIKIANNYA.....




( KEGALUTAN NOPEMBER 2010)

M. ZAINUL KIROM


senja di taman

SENJA DI TAMAN

Iwan Simatupang

Pemain:

Orang Tua (OT)

Laki-laki Separuh Baya (LSB)

Penjual Balon (PB)

Wanita (W)

Setting: sebuah taman, dalam jangka waktu kurang lebih satu jam, terus-menerus

(Taman. Bangku. OT masuk, batuk-batuk, duduk di bangku. Masuk LSB, duduk di bangku)

LSB : Mau hujan

OT : Apa?

LSB : Hari mau hujan. Langit mendung

OT : Ini musim hujan?

LSB : Bukan. Musim kemarau

OT : Di musim kemarau, hujan tak turun

LSB : Kata siapa?

(Bunyi guruh)

OT : Ini bulan apa?

LSB : Entah

OT : Kalau begitu, saya benar. Ini musim hujan

LSB : Bulan apa kini rupanya

OT : Entah

LSB : Kalau begitu, saya benar. Ini musim kemarau

OT : Salah seorang dari kita mesti benar

LSB : Kalau begitu, saya kalah. Ini musim hujan

OT : Tidak, tidak.! Yang lebih tua mesti tahu diri, dan mau mengalah. Ini musim kemarau.

OT : Tidak! Tidak! Yang lebih muda mesti tahu menghormati yang lebih tua. Ini musim hujan.

(Bunyi guruh)

OT : Kita sama-sama salah.

LSB : Maksudmu, bukan musim hujan, dan bukan pula musim kemarau?

OT : Habis, mau apa lagi?

LSB : Beginilah, kalau kita gila hormat

OT : Maumu bagaimana?

LSB : Ah, kita boleh lebih kasar sedikit

OT : Lantas?

LSB : Akan lebih jelas, musim apa sebenarnya kini.

OT : Dan kalau sudah bertambah jelas?

LSB : (diam)

OT : (merenung) Dan kalau segala-galanya sudah bertambah jelas, maka kitapun sudah saling bengkak-bengkak, karena barusan saja telah cakar-cakaran. Dan siapa tahu, salah satu dari kita tewas pula dalam cakar-cakaran itu. Atau, kita berdua. Dan ini semua, hanya karena kita telah mencoba mengambil sikap yang agak kasar terhadap sesama kita. (tiba-tiba marah). Bah, persetan dengan musim! Dengan segala musim!

(Bunyi guruh. Tak berapa lama kemudian, masuk PB. Balonnya beraneka warna )

OT : (kepada PB) Silakan duduk.

PB : (bimbang masih saja berdiri)

OT : Ayo, silakan duduk! (menepi di bangku)

LSB : Tentu saja dia menjadi ragu-ragu bapak buat

OT : Kenapa?

LSB : Pakai silakan segala! Ini kan taman! (tiba-tiba marah). Dia duduk kalau dia mau duduk, dan dia tidak duduk kalau dia memang tak mau duduk. Habis perkara! Bah!(melihat dengan geramnya kepada PB)

PB : (duduk)

LSB : (masih marah) Mengapa kau duduk?

PB : Eh ....... saya mau duduk

OT : (tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal)

LSB : (sangat marah) Mengapa bapak tertawa?

OT : (dalam tertawa) Karena ...... saya mau tertawa ..... (terbahak-bahak)

(Bunyi guruh. Angin berhembus. Balon-balon kena hembus. Sebuah mau terlepas. Dengan cepat PB menangkapnya. LSB menerkam balon itu, ingin supaya ia lepas, terbang ke udara. PB dan LSB bergumul. Balon-balon lainnya kini lepas semua dari tangan PB, terbang ke udara. Sebuah balon itu dapat tertangkap oleh OT, yang kemudian bermain-main gembira, kekanak-kanakan dengannya)

LSB : (lepas dari pergulatan dengan PB berdiri, nafasnya satu-satu)

PB : (duduk di tanah, menangis)

OT : (masih dengan gembiranya bermain-main dengan balon tadi)

LSB : (kepada PB) Mengapa ...... hei, mengapa kau menangis?

PB : (tak menyahut, terus duduk di tanah, menangis)

LSB : (timbul marahnya) Hei! Mengapa kau menangis?

OT : (sambil terus bermain-main dengan balon) Karena dia memang mau menangis

PB : (tiba-tiba) Bukan! Bukan karena itu.

OT + LSB = (tercengang)

LSB : Kalau begitu kau menangis karena apa?

PB : Karena balon-balon saya terbang

OT : (mengerti) Ooooo! Dia pedagang yang merasa dirugikan

LSB : Oooo, itu! (merogoh dompoetnya dari saku belakangnya). Nah ini sekedar pengganti kerugianmu!

PB : (berdiri) Tidak! (duduk di bangku tangisnya menjadi) Saya tak mau dibayar.

OT + LSB = (serempak) Tak mau?

PB : (menggelengkan kepalanya)

LSB : Mengapa?

PB : Saya lebih suka balon

LSB : (tak mengerti) Tapi kau kan penjualnya?

PB : Itu hanya alasan saya saja untuk memegang-megang balon. Saya pencinta balon

LSB : Apa-apaan ini?

OT : Mengapa merasa aneh? Dia pencinta balon, titik. Seperti juga orang lain pencinta harmonika, pencinta mobil balap, pencinta perempuan-perempuan cantik. Apa yang aneh dari semuanya?

LSB : (masih belum habis herannya). Jadi kau sebenarnya bukan penjual balon?

OT : (kepada PB). Ini terima balonmu kembali.

PB : Tidak. Bapak pegang sajalah terus

OT : (heran) Saya pegang terus?

PB : Karena saya lihat, bahwa bapak juga menyukainya. Saya suka melihat orang yang suka

OT : (tertawa kecil). Ah, ini bukan lagi kesukaan namanya, tapi kenangan. Kenangan kepada dulu. Tidak, nak. Sebaiknya bila kau sudi menerima kembali balon ini

PB : Saya tak sudi dan tak berhak menerima kenangan orang. (menolak balon)

(Masuk W, mendorong kereta orok)

W : (menggapai ke arah balon). Berilah kepada saya, kalau tak seorang yang menghendakinya.

OT : (tiba-tiba memecahkan balon itu, lalu melihat geli kepada W)

LSB : (sangat marah). Mengapa bapak pecahkan?

OT : Karena saya mau memang mau memecahkannya. Jelas? (tertawa)

LSB : Jahanam! Orang tua keparat! (menerkam OT)

W : (melerai). Sudah, sudah! Jangan berkelahi hanya karena itu. Bukan itu maksud saya tadi dengan meminta balon itu.

LSB : Lepas! Lepaskan saya! Biar saya hajar dia dulu!

W : Jangan! Jangan! (menangis)

LSB : (kesal melihat W menangis). Ah, ir mata lagi! Persetan! Mengapa nyonya datang ke mari?

W : (tiba-tiba sangat marah). Siapa bilang saya nyonya?

LSB : O, baik, baik! Jadi nyonya bukan nyonya. Kalau begitu, nyonya apa? Nona barangkali?

W : (gugup). Ti ........... (menangis)

OT : Ahaaaa! Nyonya bukan, nona pun bukan ......... Ahaaaaa! (tertawa)

PB : Sungguh kasar. Sungguh biadab kalian! (menuntun W supaya duduk di bangku). Sudahlah, bu! Jangan hiraukan mereka. Sebaiknya ibu lekas-lekas saja pergi dari sini, sebelum mereka menghina ibu lebih parah lagi nanti. Pergilah!

OT : (kepada PB) Ahaaa, pergi dengan kau? Ahaaa! Akhirnya sang putri bertemu dengan sang pangerannya di tengah sebuah taman. Dan .....ahaaa! Si anak pun akhirnya bertemu dengan ayahnya ........(terbahak-bahak)

PB : (tiba-tiba menyadari makna kata-kata OT). Siapa bilang saya ........ (melihat silih berganti kepada OT, W, dan ke dalam kereta orok bayi). Tidak! Tidak! Saya bukan ..........

OT : (cepat-cepat nyeletuk). Bukan apanya, nak?

PB : (kepada OT). Bapak mau menuduh saya?

LSB : Menuduh apa, bung? Kau tampaknya begitu bernafsu berbincang tentang suatu tuduhan yang sebenarnya tak ada. Kemudian kau tampaknya begitu bernafsu menolak tuduhan itu. Ingat! Tuduhan yang tak ada itu, hingga ......... (tertawa) saya kini benar-benar mulai curiga dan benar-benar menuduh kau tentang sesuatu yang dengan terus-terang saja kukatakan belum jelas bagiku sendiri.

PB : (bingung). Tidak! Tidak!

W : (dengan bernafsu sekali datang mendekat kepada PB, memperhatikan wajahnya dengan sangat teliti)

PB : (semakin gugup oleh sikap W). Tidak! Tidak! Bukan saya! (mencoba menutupi mukanya dengan kedua tangannya)

W : (geram). Ayo! Buka tanganmua, aku mau melihat kau! Ayo! (merenggutkan tangan PB dari mukanya)

PB : Tidak! Bukan saya! Bukan saya!

W : Jahanam! Ayo, buka tanganmu kataku! Buka, bukaaaa!

PB : Bukan saya! Bukan saya!

W : Kurang ajar! Kau telah lari, ha! Lari, dan kau tinggalkan aku sendirian dengan seluruh keadaan ke dalam mana kau campakkan aku dengan perbuatanmu. Aku sendirian harus menaggungkan semuanya. Aku seorang wanita, sendirian! Bah! (merenggutkan dengan sangat kuatnya kedua tangan PB dari mukanya). Ayo, bukaaaa!

PB : Bukan saya! Bukan saya! Saya cuma berbuat sekali saja!

OT : (nyeletuk). Itu, kan sudah cukup, tolol!

LSB : (membantah OT). Belum tentu. Menurut ilmu kedokteran modern ....

W : Ayo, buka tanganmu! (kepada OT dan LSB). Tolonglah saya, tuan-tuan!

LSB : Bukan saya tak mau menolong. Tapi saya secara prinsipil tak sudi ikut-ikut campur dalam urusan yang bukan urusan saya

W : (kepada OT). Ayo, pak tolonglah saya.

OT : Saya orang tua

LSB : Bah! Apa pula maksudmu dengan kalimat datar serupa itu: “Saya orang tua”. Semua kami melihat bahwa bapak memang orang tua, dan sedikit pun tak ada memperlihatkan tanda-tanda bahwa bapak adalah kebalikan dari ucapan itu.

OT : Katakanlah saya hanya ingin mempertegas kedudukan saya dalam peristiwa yang sedang kita hadapi ini, yakni: Ketuaan saya melarang saya terlibat sedikitpun di dalamnya. Dan kalau kalian tanyakan bagaimana pendirian saya dalam peristiwa kalian yang sedikit rumit ini, maka jawab saya: Saya pro kalian berdua, lepas dari pertanyaan apakah benar atau tidak peristiwa itu benar-benar terjadi. Tegasnya: saya pro setiap kejadian beginian.

LSB : Kata-kata hanya kata-kata yang muluk-muluk! Sedang yang diminta sekarang ini dari bapak adalah “perbuatan”

OT : Kata-kata saya yang mengemukakan pendirian saya, itu adalah perbuatan saya!

LSB : Bagus! Bagus! Berkata-katalah terus, dan persaksikanlah betapa kedua mereka ini sebentar lagi bakal saling telan-menelan. (maju menolong W merenggutkan kedua tangan PB dari mukanya)

PB : (sangat dahsyatnya). Bukan saya! Bukan saya! Sungguh mati, saya cuma melakukannya sekali, tak lebih ......

OT : (geli) ........ dan tak kurang!

LSB : Diam bangsat! Cuma sekali ......... itu kan sudah cukup? Maumu berapa kali, ha? Serakah! Jadi, kau mengaku sekarang?

W : (histeris). Aku ............ aku ditinggalkannya, dan dia menghilang, meninggalkan aku menghadapi semua akibatnya. (buas). Ayo, buka tanganmu!

LSB : (sangat dahsyatnya). Buka! Buka!

(Setelah bergumul sebentar, LSB berhasil merenggutkan terbuka kedua belah tangan PB dari wajahnya, sedang kedua tangannya terus dikepit oleh LSB ke belakang punggungnya)

PB : Bukan saya! Bukan saya .........

W : (maju dekat sekali melihat ke wajah PB). Bangsat! Laki-laki jahanam! Kurangajj ...... (tiba-tiba memekik). Bukan! Bukan! Ya, Tuhan. Bukan, bukan dia ...........

LSB + OT = (serempak). Bukan dia?!

W : Bukan ...... (pingsan, tapi cepat-cepat dipegang OT)

PB : (terus meraung-raung putus asa). Bukan saya! Cuma sekali! Cuma sekali!

LSB : (gemas melepaskan kedua tangan PB). Huh, bukan kau .........

PB : Bukan, bukan, bukan sayaaaa! Cuma sekaliiiiiii ...........

OT : (repot mengipasi W yang pada saat itu sudah dibaringkannya di bangku). Sudah, cukup! Biar kau telah melakukannya lebih dari sekali sekali, sekarang ini soal itu sudah tak penting lagi. Ayo, mari, daripada kau nberteriak-teriak tak berguna begitu, lebih baik kau (melihat kepada LSB) kalian, menolong saya dengan dia ini (terus mengipasi W)

LSB : Menolong bagaimana?

OT : (sangat kesal). Ya, menolong dengan melakukan apa yang lazimnya dilakukan pada setiap orang yang pingsan seperti ini.

LSB : Saya merasa agak segan

OT : Segan? Kenapa?

LSB : Dia, eh ......... perempuan

OT : ..............dan kau laki-laki. Bah! Lagi-lagi ucapan cemplang. Semua orang melihat bahwa dia ini memang wanita dan kau memang laki-laki. Lalu, mau apa?

LSB : Maksud saya, saya ......... eh, segan bersentuhan dengan tubuh wanita

OT : Apa? Apa-apaan ini! Ayo, lupakan kelaki-lakianmu dan tolong aku

LSB : Saya adalah jenis laki-laki yang bila bersentuhan dengan tubuh wanita bisa saja terus ........

OT : (cepat-cepat memotong). Saya tahu, saya tahu. Tapi, laki-laki mana yang tidak?

LSB : O, jadi bapak juga menganut prinsip yang sama?

OT : (sangat tercengang). Prinsip?! Ah, kata siapa ini soal prinsip. Aku malah lebih cenderung menyebutnya sebagai penyakit. Ah, persetan dengan semuanya. Bukankah tiap prinsip adalah penyakit juga? Dan sekarang ku minta dengan hormat padamu: hentikan kesukaanmu yang agak berlebih-lebihan pada dan dengan kata-kata itu. Sadarlah, bahwa dalam peristiwa seperti ini yang sangat segera dibutuhkan adalah perbuatan, tindakan cepat. Dan tindakan cepat di sini adalah menolong aku berbuat sesuatu dengan wanita pingsan ini.

LSB : Kalau aku tak salah, dengan orang pingsan ---- entah dia perempuan, entah dia laki-laki --- kita tak dapat berbuat apa-apa selain menantikan pingsannya lewat lewat dengan sendirinya.

OT : Ya, ya. Tapi bagaimana bila pingsannya tak bakal lewat?

LSB : Dalam hal demikian; maka dalam artinya yang sesungguhnya, kita telah berhadapan lagi dengan seorang wanita pingsan, tapi ........

OT : (sangat takut). Tapi, apa?

LSB : Ya, bisa saja: dengan wanita yang ..........

OT : (sangat takut). Yang ...............?

(Orok dalam kereta orok menangis)

W : (mendengar oroknya menangis, W tiba-tiba berdiri lalu cepat-cepat menuju ke kereta). Anakku! Anakku! (berusaha menyruh diam oroknya dengan cara menggoyang-goyangkan sedikit kereta orok). Kalian telah membuat dia bangun! Bah! Laki-laki kasar kalian semua! (suara orok menangis terus)

OT + LSB + PB = (saling berpandangan)

W : Sungguh laki-laki kasar, kasar ....................(kepada oroknya dalam kereta). Ssst, ssst, ssst .......... diamlah nak, diam. Laki-laki semuanya sama saja, kasar tanpa kecuali (menangis)

LSB : Stop! Stop! Stop dengan air matamu, mau kau?

(Orok dalam kereta orok tambah kuat menangis)

LSB : (mau menyerbu ke kereta orok). Stop menangis! Stoooooooop!

W : (mencegah LSB). Jangan, jangan apa-apakan anakku!

PB : (berhasil menahan LSB). Apa-apaan ini? Kau mau membunuh orok ini barangkali! Gila, benar-benar telah gila engkau!

LSB : (dalam rangkulan kasar dari PB). Sudah kukatakan: stop! Berhenti! Jangan menangis! Jangan lagi ada yang menangis .............. Aku tak kuat melihatnya .................... Tak kuat .................... (menangis tersedu-sedu)

(OT, W, dan PB melihat terharu kepada LSB yang mencoba menindas isak-tangisnya. Mereka terharu, iba. Dan di antara isaknya, LSB mengisakkan: janganlah ........lagi ada yang menangis......... Aku tak kuat .............. tak kuat melihatnya ................)

PB : (kepada W). Sebaiknya ibu pergi saja sekarang

OT : Ya, kau sebenarnya telah menyebutkan kata yang setepat-tepatnya yakni: ibu. (kepada W). Ya, sebaiknya ibu pergi saja.

W : (agak gugup). Ibu ............Saya ibu ............ (melihat kepada bayinya di dalam kereta). Baik, baik, saya kira juga lebih baik bila saya pergi.

OT : Nah, bagus. Dan jagalah dia (melihat ke dalam kereta) baik-baik. Dia (OT lalu berdiri di samping W melihat kepada orok dalam kereta) sungguh manis, anak yang sehat. (menggelitik-gelitik orok dalam kereta. Kedengaran suara orok tertawa-tawa)

PB : (berdiri di samping OT dan W, ikut melihat lucu kepada orok dalam kereta orok)

LSB : (berhenti dari isaknya, dan juga pelan-pelan pergi berdiri di samping OT, W dan PB melihat dengan tersenyum kepada orok dalam kereta orok)

OT : (terus menggitik-gitik si orok yang terus tertawa-tawa geli). Nah dengar tuh, hujan bakal datang. Lekaslah ibu pulang.

PB : Nanti dia (menunjuk ke dalam kereta) basah, bisa sakit

LSB : Kalau ibu berjalan cukup cepat, ibu masih bisa kering sampai di rumah

W : Baiklah. (melihat terharu kepada ketiganya). Terima kasih banyak kawan-kawan! Berkat kalian bertiga, aku telah menemui diriku kembali. Pertemuan dengan kalian ini tak akan mudah dapat kulupakan. (menjabat tangan PB). Maafkanlah aku, aku telah menempatkan saudara tadi dalam kedudukan yang sangat memalukan. (menjabat tangan LSB, kemudian tangan OT). Harap saudara-saudara sudi memaafkan aku. Dan semoga kita saling bertemu lagi. (pergi, lenyap dari pentas)

OT + LSB + PB = Sampai bertemu lagi, bu ....... (kemudian mereka berpandangan penuh arti)

(Bunyi guruh)

LSB : Langit telah gelap benar. Hari mau hujan

OT : (jenaka) Kata siapa?

LSB : Alaaa, mau main pencak dengan kata-kata lagi?

OT : Siapa yang mau main kata-kata? Lihat, tuh, langit justru mulai terang

OT + LSB + PB = (sama-sama melihat ke langit)

PB : Sungguh ajaib! Langit benar-benar mulai terang sekarang

LSB : (heran). Dan guruh yang barusan?

OT : (tambah jenaka). Ya, tetap guruh. Soalnya sekarang adalah, bahwa guruh yang barusan saja kita dengar itu sedikit pun tak mempunyai sangkut-paut apa-apa dengan hujan. Hujan tak bakal turun, jelas?

LSB : Sungguh saya tak memahaminya lagi. (geleng-geleng kepala, duduk di bangku)

PB : Dan saya, sekiranya ditanyakan secara jujur kepada saya, sedikit pun saya tak memahami persoalan apa sebenarnya yang ada antara kalian berdua. (duduk di bangku. Memungut balon yang dipecahkan OT dari tanah, meniup sobekan-sobekannya menjadi balon-balon kecil)

OT : Itulah celaka dari tiap taman. Setiap orang yang datang atau lewat di taman menganggap dirinya merdeka untuk mencampuri setiap pembicaraan. Ya, setiap kehidupan yang kebetulan sedang terjadi di situ.

LSB : Habis, ini kan taman! Ini adalah tempat terbuka untuk umum. Di setiap tempat umum, ada pembicaraan umum. Oleh sebab itu setiap orang boleh saja terus ikut berbicara. Demi pendapat umum! Kalau bapak mau punya pendapat pendapat sendiri, yah..... janganlah datang ke taman!

OT : Lalu saya harus ke mana?

LSB : Ke mana saja asal jangan ke taman

OT : Kau enak saja bicara. Ke mana saja! (sedih, pilu). Saya tak dapat ke mana-mana

LSB : Mengapa?

OT : (tiba-tiba menangis). Tak ada seorang pun yang menginginkan saya. Seorang pun tidak

LSB : Anak-anak bapak?

OT : Delapan orang. Tapi, tak seorang pun dari mereka menyukai saya.

LSB : Terlalu! Dan istri bapak bagaimana?

OT : (tiba-tiba meraung). Minah! Minah!

PB : (pada saat itu ia telah siap membuat beberapa balon-balonan kecil dari sobekan balon-balonnya tadi). Siapa Minah?

LSB : Sssst, ibu ........ maksud saya: istri bapak kita ini

PB : (terperanjat) I-b-u?

LSB : Sssst, ibu ........ maksud saya: istri bapak kita ini

PB : O, katakan begitu dari tadi, dong. Hhh, saya benar-benar dibikin kaget oleh kata “ibu” itu tadi .......... Eh, mengapa ibu, eh, istri bapak kita ini rupanya?

LSB : Sssst, jangan keras-keras. Saya sendiri belum tahu

OT : (meraung-raung). Minah! Minah!

LSB : Apakah Minah istri bapak?

OT : Minah, Minah, mengapa kau tinggalkan aku?

LSB : (kepada PB). O, jadi Minah memang istrinya, dan rupa-rupanya dia minggat

OT : Minah, Minah, mengapa kau tinggalkan aku, setelah kita hidup bahagia delapan tahun?

LSB : Wah, delapan tahun. Kalau begitu, dia tiap tahun dapat seorang anak

PB : Hebat juga si Minah, eh, istri bapak kita ini, maksud saya

LSB : Hebat? Itu kau katakan hebat? Huh, begitu rupanya tanggapanmu tentang manusia dan kemanusiaan, ya? Itu tafsiranmu rupanya tentang wanita, ya? Aku menyebutnya: iseng! Manusia lelaki yang tak punya fantasi, lalu merongrong tubuh manusia perempuan.

PB : Merongrong gimana, ah! Kalau si perempuan tidak mau dirongrong, saya kira seluruh persoalan dan filsafat iseng itu tak akan pernah ada

LSB : Ah, kau tahu apa! Seolah-olah filsafat iseng itu hanya filsafat ranjang dan hormon yang berlebihan saja. Seandainya bapak kita yang terhormat ini punya fantasi sedikit, maka apa yang hendak ku katakan adalah: alangkah baiknya, seandainya selama delapan tahun dia berumah tangga dengan istrinya yang bernama Minah itu, dia cukup membuat anak dua orang saja dan enam buah novel misalnya

PB : Ahaaa! Kau seorang pengarang rupanya. Pengarang gagal, yang lalu terdampar ke taman untuk menganalisa peristiwa-peristiwa kecil sebagai hiburan untuk melupakan kegagalanmu itu.

LSB : Tahu apa pula kau tentang makna sebenarnya dari kegagalan? Betapa banyak kejadian, bahwa kegagalan itu merupakan penampikan yang paling prinsipil terhadap karya yang punya mutu kepalang tanggung. Dan kau jangan lupa: tak ada yang lebih dapat merasakan arti berhasil selain orang yang telah mengalami kegagalan.

OT : Minah! O, Minah! Telah ku cari kau ke mana-mana. Di mana kau, o, Minah

LSB : Apa dia tak ada di rumah salah seorang anak bapak yang delapan itu?

OT : Tidak!

PB : Apa bapak sudah pasang iklan di koran?

LSB : Soal-soal seperti ini tak layak diiklankan.

PB : Banyak saya baca iklan-iklan demikian. Seperti yang saya baca pagi tadi di salah satu koran, berbunyi: ADINDA NUR! KEMBALILAH KEPADA KAKANDA. PINTU RUMAH KAKANDA SELALU TERBUKA LEBAR UNTUK KAU. KAKANDA TELAH MAAFKAN SEMUANYA

LSB : (marah). Laki-laki bubur, bah! Setelah istrinya yang bernama Nur itu berbuat jahanam dengan laki-laki lain, kemudian lari karena ketahuan berbuat begitu, nah --- sekarang sang suamiberwatak daun pisang pembungkus itu mau mengambil sikap seorang pahlawan dari roman-roman abad pertengahan. Dan sikap ini dipertontonkannya kepada kita, masyarakat dari abad ke-20 ini, melalui media komunikasi yang paling murah dan paling vulgar: suratkabar. Bah!

PB : Vulgar? Melalui iklan suratkabar adalah cara yang paling praktis. Dan jangan lupa, bukan suami si Nur saja yang telah berbuat begitu

LSB : Pers abadke-20 ini akan lebih tertolong, apabila mereka menolak iklan-iklan bergaya suami si Nur ini. Dan tahukah kita, berapa lagi berkeliaran lelaki macam suami si Nur ini di luar kantor surat-suratkabar? Bayangkan, seandainya orang yang senasib dengan dengan suami si Nur ini berbuat hal yang sama.

OT : (nyeletuk). Saya juga telah menyuruh siarkan kehilangan Minah melalui radio

LSB : Ck,ck. Hebat. Dan bagaimana hasilnya?

OT : Nol

LSB : Seperti yang kuduga. Ck,ck,ck

OT : (kembali meraung-raung). Minah! O, Minaaaah!

LSB : (dengan sikap yang sangat menyangsikan). Tunggu dulu, pak! Minah ini sebenarnya siapa?

OT : (suara datar). Kucing betina saya. Kucing yang saya sayangi

LSB + PB = Kkk-ucing?!

OT : Dia senantiasa pulang pulang kembali. Tapi kali ini, dia telah menghilang lebih dari seminggu. (meraung). Minah! Minah!

LSB : (kesal sekali). Kucing! Dan istri bapak sendiri di mana?

OT : Ada di rumah

LSB : Di rumah?! Rumah siapa?

OT : Rumah saya, sudah tentu

LSB : Ah, rupanya bapak mau mempermainkan kami. Kata bapak tadi, bapak tak bisa ke mana-mana. Tak seorang pun menyukai bapak.

OT : Benar. Sebenar-benarnya. Dan istri saya juga tak menyukai saya

LSB : Kenapa?

OST : Dia istri saya yang kedua. Dia hanya menginginkan harta saya saja. Setelah harta saya habis dijualnya untuk dibelikannya barang-barang yang di hadapan notaris diakuinya sebagai miliknya sendiri, lalu saya tak ingin lagi dia lihat, katanya.

LSB : Lalu siapa yang ingin dilihatnya sekarang?

OT : Laki-laki lain, lebih muda, lebih gagah

LSB : Hm, tentu, tentu. Masak dia bakal mencari laki-laki yang jauh lebih tua dan lebih buruk dari bapak. Dan kini, di mana laki-laki lebih muda dan gagah ini sekarang?

OT : Di rumah saya, sudah tentu.

LSB : Hm, ya, sudah tentu, sudah tentu.

OT : Dia sudah menggantikan kedudukansaya dalam artinya yang menyeluruh

LSB : Hm, tentu, tentu. Kecuali sikat gigi bapak saja saya kira yang tak ikut dia ambil alih

OT : Juga sikat gigi saya

LSB : Wah, laki-laki yang sungguh hebat. Sungguh hebat! Juga sikat gigi! Dan lalu, bapak kini tidur di mana?

OT : Di rumah saya itu juga, tapi di gudangnya. Sebelah kamar babu, dan bersama Minah

LSB : Kalau boleh saya mengajukan pertanyaan terakhir: Istri bapak yang pertama di mana sekarang?

OT : Mati delapam tahun yang lalu

LSB : Namanya?

OT : Minah (tiba-tiba dia meraung kembali). Minah! Minah!

LSB : (termangu-mangu, mengerti kini duduk perkara yang sebenarnya)

PB : (geram). Bah! (memecahkan balon-balon kecil itu semuanya satu-persatu)

LSB : (kepada PB). Hei, hei! Mengapa kau?

PB : (sangat marahnya. Sebuah balon-balonan kecil rupanya sulit benar dipecahkan dengan tangannya. Dengan sangat marahnya balon-balonan kecil itu ditaruhnya di tanah, lalu diinjak-injak dengan gemasnya). Bah! (ia pergi lenyap dari pentas)

(Di kejauhan terdengar lonceng gereja, menandakan pukul enam petang)

LSB : (setelah diam hening sejenak). Hari telah petang, pak. Pulanglah ke rumah. Itu lebih baik, bagi kau dan bagiku

OT : (pilu). Pulang ke rumah mana, nak?

LSB : Ke gudang apekmu, sebelah kamar babumu

OT : Tanpa Minah?

LSB : (pilu sekali) Tanpa Minah. Minah kedua-duanya ........

OT : (menangis terisak-isak kecil). Tak dapat aku, nak. Tak dapat. Dan pula aku tak mau

LSB : Pulanglah, pak. Taman ini diadakan kotapraja untuk dapat sekedarnya menghibur warga kotanya yang letih, yang risau. Apa pula kata mereka nanti di koran, bila esok pagi mereka dapati bapak di sini mati kedinginan?

OT : Mati adalah lebih baik bagiku dalam keadaanku seperti sekarang ini.Minah tak ada lagi. Minah .........

LSB : Benar, dan aku pun sependapat dengan bapak. Hanya kematian bapak dalam gudang apek itu akan lebih menyamankan kotapraja daripada di sini

OT : Mati di taman lebih indah

LSB : (tertawa). Indah, ya .......... bagi para pencinta roman picisan, yang menyukai judul-judul seperti, “Mati di Tengah Taman”, atau “Taman Maut”. Pulanglah, pak. Nantikanlah dengan tawakal di gudang apekmu yang penuh cecunguk dan tikus itu hari penghabisanmu. Sungguh sangat menyedihkan! Tapi, sayang sekali .............. jalan lain memang tak ada lagi bagi bapak.

OT : (merenung). Cecunguk, tikus ........

LSB : ...........dan kesepian

OT : Dan kau, nak. Bagaimana dengan kau sendiri?

LSB : (tersenyum). Tak lebih baik sedikit pun dari bapak. Habis, kita mau berbuat apa lagi? Seperti kata penjual balon tadi: aku mencoba menjadikan kegagalanku suatu barang tontonan idah di taman. Bapak lihat kembang itu? Di sana? Bagus, bukan? Dan bapak baca tulisan di papan yang ditancapkan oleh kotapraja di hadapannya? “DILARANG MEMETIK BUNGA” ............... (tersenyum)

OT : Ya, kau pengarang dan kau mahir benar membenamkan deritamu di balik kata-kata yang sewaktu-waktu dapat kau hamburkan. Tapi, bagaimana, nak, dengan kesunyianmu? Ikutlah saya ke gudang apek saya. Agar ada teman saya. Dan, agar ada teman anak.

LSB : Terima kasih, pak. Kebersamaan kita seperti sekarang yang bapak gambarkan itu lebih parah lagi daripada kesendirian kita masing-masing.

OT : Naluri saya --- dan ingat ini naluri orang tua, lho --- berkata, keadaan anak tak jauh bedanya dari keadaan saya

LSB : Saya tak akan membantahnya. Tapi, telah saya katakan: usia yang lebih muda ada pada saya. Kemungkinan-kemungkinan dari kesepian saya jauh lebih banyak.

OT : Artinya anak tak mau ikut saya?

LSB : Selamat malam, pak. (menyalam dengan sangat mesranya OT). Siapa tahu, besok kita bertemu lagi.

OT : Besok?

LSB : Ya, besok. Mengapa bapak sangsi akan hari esok?

OT : Dengan keadaan kita seperti sekarang ini?

LSB : Justru karena keadaan kita seperti inilah!!

OT : (tertawa sayu). Tidak, tidak! Aku tak mau bertemu kau lagi. (tersenyum). Selamat malam, nak. Mudah-mudahan tidurmu nyenyak --- di mana saja kau tidur malam ini. (sambil batuk-batuk pergi pelan-pelan, lenyap dari pentas)

(LSB menaikan leher bajunya. Bangku dibersihkannya dengan tangannya. Semua gerak-geriknya menandakan ia mau tidur malam itu, seperti juga malam-malam, dan malam-malam yang akan datang lagi, di bangku itu ......)

LSB : (melihat ke langit). Syukurlah, hujan tak bakal turun. Atau ......... mudah-mudahan hujan tak bakal turun malam ini. Tidur di bawah jembatan, dengan udara kotanya yang bertumpuk di situ, membuat bengekku makin menjadi.(ia melihat sekeliling, kalau-kalau ada orang yang datang. Kemudian ia merebahkan diri di bangku itu. Suara binatang-binatang malam mulai terdengar. Angin menghembus, dedaunan di taman itu gemersah. Di kejauhan terdengar suara-suara mobil lewat, anjing menyalak, kemudian suara kereta api yang lewat sangat jauh, jauh sekali. Tak berapa lama kemudian, kedengaran suara seorang pria dan seorang wanita, tertawa-tawa genit, semakin mendekat. Masuklah ke pentas sepasang muda-mudi berpegangan tangan erat sekali)

GADIS : (melihat LSb tergolek di bangku). Ssst, ada orang

LSB : (tergelak tiba-tiba). Ya, ya. Bangku ini sudah ada orangnya. (dia duduk di bangku). Tapi ini, kan, taman. Di sana ada bangku kosong (tertawa). Ke sanalah kalian. Saya tak akan melihat, sungguh ....... (tergelak). Lagi pula saya sangat mengantuk

GADIS + PEMUDA = (malu)

LSB : Ayo, pergilah ke sana. Jangan sia-siakan kesempatan, selagi kalian masih muda (tergelak). Saya benar-benar tak akan melihat. Lagi pula saya amat letih, amat mengantuk .......

GADIS + PEMUDA = (setelah ragu-ragu sebentar, pergi ke arah yang ditunjuk oleh LSB)

LSB : (tertawa mengerti. Sejenak ia ikuti mereka dengan matanya. Kemudian ia rebahkan kembali tubuhnya di bangku itu). Lagi pula ....... saya amat mengantuk ....... amat letih .......... letih ...... (suara binatang-binatang malam semakin kentara. Angin berhembus. Di kejauhan seekor anjing menyalak, dan suara kereta yang lewat .......)

LAYAR TURUN PELAN-PELAN

BUEQ, MAN!!!