Selasa, 22 November 2011

PENGANTAR TEORITIS FILSAFAT MARXISME

P E N G A N T A R T E O R I T I S
F I L S A F A T M A R X I S M E

BAB V
Sumber Teori dan Kelahiran Filsafat Marxisme
























“Para filosof hanya menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah bagaimana mengubahnya.”
Karl Marx, Thesis tentang Feuerbach (1845)


EPILOG

Kapitalisme, pada perkembangannya pada abad ke-20, telah mencapai tingkat tertinggi dan terakhir dalam bentuk imperialisme. Memasuki abad ke-21 dewasa ini, kapitalisme telah memasuki babak krisis demi krisis yang semakin kronis, semakin tidak cocok dengan semangat zaman, dan menuju keruntuhannya yang niscaya. Dalam perkembangannya yang historis, ia telah menyusun dirinya dalam disiplin sistem yang lengkap menyangkut seperangkat cara pandang, metode berpikir, kategori-kategori sistem ekonomi-politik, moralitas, kebudayaan, serta buah-buah pencapaian masa kini yang selalu mencari dalil pembenaran sebagai sistem masyarakat yang paling rasional dan pungkasan. Seluruh usaha keras untuk menghancurkan sistem reaksioner ini akan menemui kegagalan dan sia-sia apabila seseorang masih berpikir dan bertindak dalam disiplin sistem yang sama; yakni cara berpikir borjuis dan bertindak dalam kerangka sistem kapitalisme. Untuk melawan dan menghancurkan sistem tua yang busuk ini, menuntut seseorang untuk membangun disiplin sistem yang sama sekali baru. Seperangkat teori revolusioner yang paling komplit, ilmiah dan konsisten; yakni teori yang terdiri dari seperangkat senjata berpikir, analisis ekonomi-politik dan cara bagaimana menjebol kapitalisme dan membangun sosialisme, hanya ditemukan di dalam ajaran Marxisme-Leninisme. Belum ada teori yang lebih unggul darinya. Suatu teori yang telah teruji di dalam pengalaman praktek.
Di segenap penjuru dunia yang beradab, ajaran-ajaran Marx ditentang dan diperangi oleh semua ilmu pengetahuan borjuis (baik pejabat resmi maupun kaum liberal), telah memandang Marxisme semacam "sekte jahat". Tidak bisa diharapkan adanya sikap lain, karena tidak ada ilmu sosial yang netral dalam suatu masyarakat yang berbasiskan perjuangan kelas. Lewat satu dan lain cara, semua pejabat resmi dan ilmuwan liberal, membela perbudakan upahan (wage slavery). Sedangkan Marxisme telah jauh-jauh hari menyatakan perang tanpa henti terhadap perbudakan itu. Mengharapkan sikap netral dari ilmu pengetahuan dalam masyarakat perbudakan upahan adalah sama naifnya dengan mengharapkan sikap netral dari para pemilik pabrik dalam menghadapi pertanyaan apakah upah buruh dapat dinaikkan tanpa mengurangi keuntungan modal.
Kita tak perlu sedih atau putus asa dalam memandang dan bersikap atas seluruh hal-ihwal ini. Serangan yang semakin hebat dari waktu ke waktu terhadap Marxisme merupakan hal wajar sebagai cermin obyektif pertentangan kelas-kelas di dalam masyarakat. Antara kelas-kelas reaksioner yang keras kepala mempertahankan sistem tua ini, melawan kelas revolusioner yang muncul sebagai anti-tesis yang menawarkan sintesis kesejahteraan dan kemuliaan bagi umat manusia. Kesibukan besar borjuis dalam memerangi Marxisme di seluruh dunia, bukannya menunjukkan kelemahan atau kekalahan Marxisme. Justru sebaliknya. Kebenaran dan keilmiahan Marxisme semakin teruji. Berlipat-ganda kuat dan perkasanya sebagai cara pandang atas dunia dan doktrin perjuangan kelas proletar secara universal. Ia adalah spirit zaman kini yang paling obyektif dan revolusioner. Tidak ada satu otoritas pun di jagat raya ini, betapa pun dewa-dewa di kayangan maupun seluruh kekuatan reaksioner zaman ini berkumpul menjadi satu, yang sanggup meniadakannya, memusnahkannya.
Mengapa Marxisme tidak bisa dihancurkan di zaman kapitalisme ini? Jawaban atas pertanyaan ini memiliki arti penting untuk menjelaskan betapa sia-sianya seluruh tindakan borjuis reaksioner yang memeranginya. Meniadakan ajaran Marxisme berarti mensyaratkan hancurnya syarat-syarat yang telah melahirkan Marxisme. Yakni musnahnya sistem kapitalisme itu sendiri. Musnahnya kapitalisme berarti mensyaratkan dihapuskannya penghisapan kelas borjuis atas kelas buruh. Dihapuskannya sistem perbudakan upahan modern berarti sama dengan meniadakan cara produksi utama zaman kapitalisme ini seluruhnya. Ya, hanya dengan penghapusan seluruh sistem busuk itulah yang akan menjadikan Marxisme tidak relevan lagi. Marxisme yang kehilangan sifat obyektif dan daya revolusionernya karena sudah dihancurkannya sistem penghisapan manusia atas manusia, penghisapan kelas atas kelas.
Sanggupkah borjuis-borjuis itu membayar ketentuan ongkos sejarah tersebut? Kita tentu tahu jawabnya. Watak kelas mereka yang rakus dan egois itu tidak akan mau dan tidak akan sanggup melakukannya. Tindakan itu sama dengan mencabut nyawa mereka sendiri. Menciptakan kiamat bagi kepentingan kelas mereka. Jadi sia-sialah seluruh usaha reaksioner untuk menghancurkan ajaran Marxisme di zaman kapitalisme ini; setimpal dengan kesia-siaan pula apabila kita mengharapkan pikiran-pikiran reaksioner mereka yang keras membatu itu berubah menjadi revolusioner.
Ada tiga senjata utama dalam teori Marxisme. Pertama, filsafat materialisme dialektika sebagai cara pandang terhadap dunia serta metode berpikir yang benar. Materialisme sebagai kritik terhadap cara pandang idealisme. Dialektika sebagai kritik atas metode berpikir metafisika. Materialisme dialektika kemudian diterapkan dalam sejarah perkembangan masyarakat yang melahirkan doktrin materialisme historis. Materialisme dialektika dan historis dengan demikian menjadi filsafat atau senjata berpikirnya kaum Marxis di seluruh dunia. Kedua, ekonomi-politik Marxis, sebagai pisau analisis yang membedah rahasia penghisapan sistem kapitalisme; tempat diktatur borjuis melangsungkan penghisapan dan penindasan atas kelas buruh dalam masyarakat modern dewasa ini. Ketiga, sosialisme ilmiah, sebuah paparan ilmiah tentang bagaimana kelas buruh dan rakyat tertindas lainnya harus melancarkan perjuangan kelas secara revolusioner, merebut kekuasaan negara dari tangan borjuis, menegakkan diktatur proletariat untuk menghancurkan batu bata dan tiang-tiang pancang yang menopang bangunan kapitalisme, menguburnya, dan membangun di atasnya sebuah tatanan masyarakat baru sosialisme menuju masyarakat komunisme. Sosialisme ilmiah membedakan diri dari para penganut sosialisme utopia dan jenis sosialisme palsu lainnya (revisionisme dan sosial-demokrasi) yang hendak membangun sosialisme dengan cara-cara reformis yang sudah terbukti gagal sebagai teori dan praktek.
Ketiga senjata tersebut sangat berarti dalam genggaman kelas buruh dan rakyat tertindas untuk memahami kepentingan kelasnya, kesadaran kelasnya, kekuatan kelasnya, dan misi sejarah yang dipikulnya. Misi sejarah sebagai kelas pembebas dari sistem penghisapan manusia atas manusia dewasa ini (imperialisme). Tiga senjata teori revolusioner inilah yang akan menuntun jalannya praktek-praktek revolusioner.
Tulisan ini menguraikan sumber teoritik filsafat materialisme dialektika dan historis sebagai senjata pertama Marxisme. Persenjataan pertama yang tidak cukup hanya dipahami, namun harus dipegang teguh dan diamalkan sebagai kerangka berpikir kita dalam memecahkan semua persoalan dunia obyektif; alam semesta, masyarakat, dan perjuangan kelas. Tulisan ini juga mengulas bagaimana filsafat Marxisme ini disusun oleh Marx dan Engels – doktrin yang kemudian diperkaya dan dikembangkan lebih maju oleh Lenin dan Mao Tsetung. Arti penting uraian ini menjelaskan sumber teoritis filsafat Marxisme, konteks sejarah bagaimana Marx dan Engels memerangi ide-ide filosofis yang keliru di zamannya. Hal terpenting berikutnya adalah bagaimana kita menggunakan filsafat Marxisme sesuai maksud dan tujuannya: yakni memahami hukum-hukum tatanan masyarakat dunia dewasa ini untuk mengubahnya menjadi masyarakat dunia yang baru. Filsafat Marxisme bukanlah kerumitan-kerumitan abstrak yang tiada guna dan tanpa daya.
Kematangan filsafat Marxisme tak lepas dari kajian yang sangat mendalam dan ilmiah oleh dua orang bapaknya, Karl Marx dan Frederick Engels. Kajian sejarah filsafat yang tak bisa lepas dari sejarah perkembangan masyarakat secara menyeluruh. Terkait dengan peranan Frederick Engels, ada banyak intelektual borjuis kecil yang mengecilkan dan meragukan peranannya sebagai salah satu penopang pilar teori Marxisme. Namun pandangan ini tentu salah dan tak berdasar. Karya-karya Engels secara khusus sungguh memperkaya pengertian dialektika sebagai metode berpikir. Penguasaan Engels yang sangat baik dalam ilmu-ilmu alam, telah memberi sumbangan besar untuk menyediakan dalil-dalil induktif dari perkembangan ilmu pengetahuan atas kebenaran materalisme dialektika. Tak hanya konsistensi dalam hal teori, Engels juga terlibat dalam momen-momen penting praktek perjuangan proletar bersama Marx maupun sesudah Marx meninggal. Konsistensi teori dan praktek Engels, sungguh menjelaskan posisi Engels sebagai comrade in arms sekaligus sahabat yang mulia karena kesetiaan dan pengorbanannya. Dengan demikian Marx-Engels menjadi dwi-tunggal dari Marxisme yang tak terpisahkan dan sudah teruji dalam tempaan teori dan praktek perjuangan revolusioner. Bila memang Marxisme memiliki dua bapak, lantas mengapa hanya menggunakan satu nama dari dua bapak kita ini? Mengapa tidak Marx-Engelsisme? Secara jujur dan rendah hati Engels menyatakan bahwa Marx memiliki andil yang jauh lebih besar dibanding dirinya. Dalam suatu pengakuan pribadi, Engels menulis sebagai berikut:

“Saya tak dapat menyangkal bahwa baik sebelum maupun selama empat puluh tahun bekerjasama dengan Marx, saya mempunyai andil tertentu dan tersendiri dalam meletakkan dasar-dasar teori itu, terutama dalam pengolahannya. Tetapi bagian yang lebih besar dari prinsip-prinsip pokok yang terpenting, terutama di lapangan ilmu ekonomi dan sejarah, dan di atas segala-galanya, formula terakhir yang tajam, adalah andil Marx. Apa yang saya sumbangkan setidak-tidaknya, kecuali karya saya di beberapa lapangan khusus, Marx dapat mengerjakannya dengan sangat baik sekali tanpa saya. Apa yang dihasilkan oleh Marx, saya tak dapat mencapainya. Marx berdiri lebih tinggi, melihat lebih jauh, dan memandang lebih luas serta lebih cepat daripada kita semua. Marx adalah seorang jeni; kita paling banter hanya menjadi orang yang berbakat. Tanpa dia teori ini akan jauh dari apa adanya kini. Karena itu sudah tepat memakai namanya.”


DIALOG

Dalam periode menggali teori-teori umum filsafat, Marxisme tidak bisa lepas dari pengaruh secara khusus beberapa filosof penting seperti Epikurus, Hegel dan Feuerbach. Untuk memahami teori filsafat Marxisme secara mendalam, sungguh tak ada metode yang tepat selain mengkaji seluruh karya-karya filsafat Marx-Engels secara langsung dan sistematis. Hanya dengan cara inilah kita akan mendapatkan pemahaman yang paling berbobot secara ilmiah, ketimbang mengkaji dengan cara mengecer dari para penafsir tangan kedua yang penuh deviasi. Tindakan ilmiah ini setidaknya membawa kita untuk memahami secara langsung jejak-jejak ilmiah Marx-Engels, bagaimana filsafat Marxisme disusun landasannya sebagai dasar yang kokoh bagi cara pandang dan metode berpikir yang ilmiah dari kelas proletar. Tanpa memahami ini semua, sama saja kita tidak memiliki senjata berpikir yang benar. Tanpa persenjataan berpikir yang benar, kita tidak memiliki syarat-syarat berpikir yang obyektif dan ilmiah untuk mengenali keadaan zaman secara obyektif dan mengubah keadaan dunia ini. Situasi yang akan segera memerosokkan kita ke dalam kesalahan-kesalahan subyektifisme; gerhana berpikir (delusi), dangkal, sempit dan berat sebelah. Semua bentuk subyektifisme merupakan penyakit berpikir yang akan melahirkan kesalahan demi kesalahan dalam tindakan. Kesalahan subyektif merupakan pangkal dari kekalahan dalam perjuangan revolusioner kelas proletar. Inilah arti penting perjuangan teoritik, khususnya dalam hal filsafat.
Karya-karya pokok filsafat Marx-Engels sebagai sumber rujukan teoritis filsafat Marxis adalah sebagai berikut (menurut urutan tahun): Perbedaan antara Filsafat alam Demokritus dan Epikurus, Naskah-naskah (manuskrip) Ekonomi dan Filsafat, Keluarga Suci, Tesis-tesis Tentang Feuerbach, Ideologi Jerman, Kemiskinan Filsafat, Anti-Duhring, Ludwig Feuerbach sebagai Akhir Filsafat Jerman Klasik.
Secara menyeluruh memang sulit memisahkan secara tersendiri karya-karya filsafat Marx-Engels. Sebagian besar karya-karya awal, selain tulisan-tulisan terpisah, banyak karya filsafat Marx-Engels yang bercampur dengan soal-soal ekonomi-politik dan sosialisme ilmu. Namun hal ini tidak menjadi alasan bagi kita untuk mempelajarinya dengan lebih cermat dan teliti segala hal yang menyangkut teori filsafat. Dan menurut hemat penulis, buku-buku filsafat tersebut mutlak dibaca agar kita memahami dengan benar ajaran filsafat Marxisme dan mengamalkannya dalam praktek. Mari kita mengupas pokok-pokok pikiran beberapa karya utama filsafat tersebut.


• Perbedaan antara Filsafat Alam Demokritus dan Epikurus

“Perbedaan antara Filsafat alam Demokritus dan Epikurus” karya yang berupa disertasi doktoral Karl Marx ini musti dimaknai sebagai upaya menyusun batu fundasi teoritik dalam hal mematangkan pemahaman Marx tentang filsafat materialisme. Marx membuka kembali kitab-kitab tua dari filsafat Yunani Kuno yang membicarakan tentang materialisme. Kedua filosof Yunani Kuno ini merupakan dua bibit unggul materialisme kuno, filosof atomis yang mengulas tentang atom sebagai inti dari materi. Menurut Demokritus (460-370 S. M), dunia ini terdiri dari gugusan atom sebagai bagian terkecil dari materi yang tak dapat dipecah lagi. Perbedaan jumlah dan susunan atom membedakan keberadaan materi-materi. Selain membahas atom, Demokritus juga membahas tentang ruang sebagai tempat pergerakan atom, saling mendorong dan berkontradiksi sehingga terjadi berbagai macam gejala dan gerak. Atom dan ruang merupakan dua unsur materi yang konkret sebagai tempat bergerak dan berkembangnya seluruh gejala kenyataan.
Kemudian Epikurus (342-271 S. M) adalah pelanjut yang memajukan filsafat atom Demokritus. Ia menerangkan bahwa semua gejala pikiran, perasaan, roh manusia, adalah perwujudan dari gerak-gerak atom. Sebagai seorang filosof atomis yang paling penting, Epikurus menyatakan bahwa atom sebagai inti materi dan gerak atom sebagai proses kontradiksi dalam perkembangannya membentuk semua realitas materi. Gerak atom tidak ditentukan oleh faktor luar atau campur tangan dunia ghaib. Epikurus juga mengakui adanya materi yang berada di luar kesadaran manusia, dan tak bergantung pada kesadaran manusia. Dalam karya akademisnya ini, Marx menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk menemukan sumber dari kesadaran diri manusia dan ide yang berpijak di atas realitas material. Dasar penemuan ini menjadi titik keberangkatan filsafat untuk keluar dari kepompong lama, dunia ide-ide abstrak, menuju dunia nyata sebagai hamparan realitas material yang menyediakan nyawa bagi kebenaran obyektif. Menemukan bahwa keberadaan (eksistensi) seringkali tidak sesuai dengan esensi (inti kenyataan), maka filsafat harus berlaku praktis dengan keluar dari surga dan turun ke dunia. Keluar dari kepalsuan subyektif menuju kesejatian obyektif yang terhampar di alam semesta dan sejarah masyarakat. Inilah konstribusi penting dari dua filosof Yunani Kuno atau filosof atomis yang menjadi rujukan Marx. (Keterangan lebih jauh tentang perbedaan filsafat Demokritus dan Epikurus lihat bab. II).


• Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat

Buku ini selesai ditulis oleh Karl Marx pada tahun 1844. Secara umum karya ini mengulas masalah-masalah ekonomi transisional dari feodalisme ke kapitalisme (upah kerja, laba modal, kerja yang teralienasi, sewa tanah, kuasa uang dalam masyarakat borjuis). Suatu pendekatan awal dalam mengungkap karakteristik penghisapan dalam sistem kapitalisme, sekaligus menjadi analisis yang membedakan antara tinjauan Marx dengan para ahli ekonomi dan politik borjuis kecil pada waktu itu. Suatu perbedaan yang tak lepas dari penguasaan dan keunggulan Marx yang luar biasa tentang masalah filsafat. Seperti dalam membedah masalah alienasi (keterasingan) kaum pekerja, Marx menekankan aspek keterampasan kerja yang membedakan dengan teori alienasi Hegel tentang kesadaran diri maupun teori alienasi milik Feuerbach tentang alienasi manusia abstrak yang a-historis dan non-kelas; hasil tinjauan yang menjadikannya metafisis. Dengan pengertian lain, Marx lebih unggul dalam menganalisis soal teori alienasi karena ia memberi muatan konsepsi alienasi dengan masalah-masalah konkrit ekonomi-politik, kelas dan sejarah.
Di luar masalah-masalah ekonomi-politik, satu kajian filsafat terpenting dalam bab penutup buku ini adalah soal Kritik atas Dialektika Hegel dan Filsafat secara Keseluruhan. Apa arti penting tulisan ini? Arti pentingnya adalah penaklukan Karl Marx atas filsafat Hegel pada khususnya dan filsafat pada umumnya. Seperti yang Marx sendiri tuliskan dalam kata pengantar, bahwa ia menuntaskan pekerjaan filosofis yang memang harus dituntaskan. Seluruh kecenderungan filsafat hingga pada zamannya, di mana para ahli teologi kritis sedang berteriak lantang tentang filsafat (termasuk Hegel dalam artian negatif dan Feuerbach dalam artian positif), namun mereka tetap seorang ahli teologi. Seluruh pikiran teologi dalam filsafat pasti tidak akan tuntas dalam melahirkan sistem filsafat yang sepenuhnya murni dan mandiri. Kekurangtuntasan mereka bukan suatu kebetulan, namun semata-mata karena pikiran mereka betapa pun kritis namun tetap teologis. Pikiran yang berangkat dari prasangka-prasangka, dugaan-dugaan, dan spekulasi namun mereka katakan sebagai pikiran yang paling memiliki wewenang (otoritas). Dan apabila muncul penemuan baru dari pikiran orang lain, di mana mereka sendiri mulai ragu-ragu dengan pikirannya sendiri, serta-merta mereka melepaskan dugaan-dugaan tersebut tanpa pembelaan dan berlaku sebagai pengecut yang tak bertanggung-jawab. Inilah asal-usul dari pikiran yang membudak, negatif, tidak sadar dan bersifat sofistik. Suatu kecenderungan buruk yang telah menjangkiti seluruh sejarah filsafat dan melahirkan berbagai teori filsafat yang lemah dan tidak visioner. Menulis teori filsafat bukanlah menurunkan catatan-catatan abstrak yang bisa ditulis sewaktu-waktu untuk mendapatkan uang atau memuaskan semua pihak, khususnya kelas yang berkuasa.
Marx dengan sangat piawai mendirikan materialisme dialektika dengan cara mempertentangkannya dengan filsafat Hegel dan Feuerbach; dengan melakukan semacam “adu-domba” teoritis atas kedua orang tersebut. Maksud “adu-domba” dalam konteks ini adalah sebagai berikut: untuk melawan idealisme Hegel, Marx menyodorkan pikiran-pikiran materialis Feuerbach yang telah melancarkan serangan yang mematikan terhadap idealisme Hegel, khususnya penilaian Feuerbach tentang manusia yang bersifat sensual dan material. Sangat terang Feuerbach menyatakan bahwa filsafat idealisme absolut ciptaan Hegel tak ubahnya sebagai lolongan teologis. Inilah arti penting materialisme Feuerbach, tempat dimulainya suatu materialisme dalam artian yang positif, alamiah dan humanis. Namun Marx segera menuding materialisme Feuerbach mengidap individualisme abstrak, dengan meminjam metode berpikir dialektika Hegelian yang menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk yang tak bisa lepas dari hubungan sosial dan historis. Di sinilah Marx memperagakan dengan cemerlang kepiawaiannya dalam menaklukkan kedua orang jagoan besar filsafat Jerman tersebut; mempertentangkan idealisme dialektika Hegel dengan materialisme metafisis (non-dialektis) Feuerbach; mempertontonkan kemalangan filsafat kedua orang ini dan mendirikan di atasnya materialisme dialektika yang lebih perkasa.
Ini pula yang dimaksudkan oleh Marx menuntaskan pekerjaan filosofis yang memang harus dituntaskan. Suatu pekerjaan yang tidak mungkin dipikul oleh seluruh filosof teologis yang paling kritis sekalipun. Dengan terbitnya karangan ini, secara langsung maupun tidak langsung, Marx memproklamirkan kemenangan teoritik filsafat materialisme dialektika dihadapan berbagai jenis filsafat yang telah diperanginya sebagai jenis filsafat yang kurang sempurna dan tidak tuntas. Dan karena filsafat materialisme dialektika tidak berangkat dari dugaan dan prasangka, namun kenyataan obyektif sebagai pemilik otoritas tertinggi kebenaran ilmiah; Karl Marx mencengkamnya dengan tanggung-jawab yang teguh dan penuh hingga kematian menjemputnya.


• Keluarga Suci

“Keluarga Suci, atau Kritik atas Kritisisme Kritis” adalah karya bersama (co-authoring) yang pertama dari Marx dan Engels dalam sejarah persahabatan teori dan praktek mereka. Dalam buku tersebut, kedua kawan kita ini melancarkan kritik atas kecenderungan teori kritisisme kritis yang berkembang pesat di Jerman sejak diletakkan dasarnya oleh Immanuel Kant dalam karya-karya Kritik der reinen Vernunft (Kritik atas Rasio Murni), Kritik der praktischen Vernunft (Kritik atas Rasio Praktis), dan Grundlegung zue Metaphysik der Sitten (Fundamen Metafisika Moral). Selain Immanuel Kant, Frederick Hegel adalah penyumbang terbesar bagi puncak filsafat Jerman Klasik. Hegel, sejak lahir karya Fenomenologi dan Logika, telah menjadi rujukan utama dari seluruh ahli filsafat Jerman. Suatu sejarah pemikiran yang menghantarkan Jerman dalam kubangan filsafat metafisika spekulatif yang sangat kuat. Secara langsung dan tajam Marx dan Engels menyerang klaim-klaim pencerahan ilusif yang ditawarkan oleh seluruh filsafat spekulatif Jerman ini. Dan untuk tujuan peperangan teoritik itulah Keluarga Suci diciptakan.
Satu per satu, dengan ketekunan dan pembedahan yang paling tajam, Marx-Engels sengaja menggunakan polemik ini sebagai persiapan bagi karya-karya filsafat berikutnya yang lebih mandiri. Polemik itu sendiri merupakan suatu cara ilmiah untuk menjadi batu uji teoritis, suatu perang tanding teoritis untuk menunjukkan obyektifitas dan kebenaran suatu teori di hadapan publik. Istilah Keluarga Suci itu sendiri dimaksudkan oleh Marx sebagai “nama ledekan” untuk menggambarkan para penganut kritisisme kritis itu, Bruno Bauer, dkk, yang berdiri di atas kenyataan masyarakat, partai dan politik. Mereka yang mengambil sikap dengan cara keluar dari tengah-tengah masyarakat yang buruk dan menderita; lautan massa manusia yang mereka tinggalkan dalam kebodohan dan tidak kritis. Mereka memencilkan diri laksana Tuhan yang keramat, berlaku sebagai para dewata kesepian dalam Keluarga Suci di kayangan. Mereka bahkan tidak berani berbaur dengan masyarakat luas, karena barangkali kebodohan atau sikap tidak kritis itu semacam penyakit menular yang akan menjangkiti kejeniusan pikiran kritis mereka.
Sang pengkritik itu sendiri, seolah-olah bebas dari nafsu manusiawi dan duniawi, dengan berlaku seperti layaknya “pribadi gusti allah” saja. Seluruh kerajaan nalar yang dibangun oleh para “pangeran jenius” ini, pikiran kritisisme kritis itulah, menurut Marx merupakan perwujudan idealisme spekulatif sebagai musuh sejati dari humanisme Jerman. Dan humanisme Jerman yang sejati akan tumbuh semarak dengan materialisme dialektika sebagai senjata berpikir yang telah mampu mengusir idealisme spekulatif yang sok suci tersebut.


• Tesis-tesis tentang Feuerbach

“Tesis-tesis Tentang Feuerbach” merupakan karya awal sebagai bagian dari proyek filosofis Marx menyusun buku berjudul Ideologi Jerman (The German Ideology). Bila kita membaca keduanya sangat nampak bagaimana seluruh gagasan pokok bab pertama Ideologi Jerman mencerminkan 11 tesis tentang Feuerbach. Secara esensial Tesis tentang Feuerbach bermaksud memerangi tradisi kontemplasi pasif yang mandek dari kaum materialis pra-Marx. Suatu tradisi filosofis yang memiliki akar yang kuat dalam tradisi filsafat secara umum sejak Yunani Kuno. Marx mengubah tradisi filsafat yang hanya berlaku sebagai renungan pasif menjadi filsafat yang progresif dan membimbing pikiran manusia untuk maju dan berkembang. Dalam hubungannya antara obyek dan subyek, subyek sebagai subyek yang sadar dan bertindak. Marx menemukan sisi aktif dari materialisme yang gagal dipahami oleh Feuerbach, yang hanya bertumpu pada obyek inderawi yang berbeda dengan obyek pemikiran. Ia hanya menghasilkan benda dan renungan-renungan alam; merenungkan seorang petani, merenungkan tanaman dan sawah, cangkul, sabit, dsb. Feuerbach tidak merenungkan bagaimana petani merebut tanah, memegang cangkul, memeras keringat di atas sepetak tanah, atau bagaimana buruh mengeluarkan tenaga kerja dalam sistem penghisapan borjuis, hingga gemuruhnya perjuangan kelas sebagai roda penggerak sejarah masyarakat. Renungan Feuerbach menjadi renungan abstrak tanpa daya karena tidak memahami bahwa aktifitas tindakan manusia merupakan aktifitas obyektif dari subyek yang sadar, sehingga senantiasa memiliki arti keaktifan dan revolusioner. Kesalahan fatal Feuerbach dengan demikian adalah memandang aktifitas teoritis sebagai satu-satunya aktifitas murni manusia.
Marx memberikan penekanan pada praktek sebagai peranan yang paling menentukan bagi pemikiran manusia termasuk lahirnya teori filsafat itu sendiri. Segala keghaiban yang secara menyesatkan dan membawa teori kepada kebuntuan mistik, kini telah menemukan pemecahannya yang rasionil dalam praktek umat manusia. Penemuan suatu kebenaran obyektif juga bukanlah soal teori, namun lebih sebagai perkara praktek. Dalam praktek manusia harus membuktikan kebenaran itu, dan daya kemasakinian dari pemikirannya yang aktual. Perdebatan mengenai suatu kebenaran tanpa peranan praktek, maka hanya akan melahirkan kebenaran yang terasing, kebenaran abstrak yang menggantung di atas realitas. Kebenaran yang terasing adalah masalah besar yang dijumpai umat manusia sejak zaman skolastik. Sementara kebenaran zaman baru adalah teori kebenaran yang bertalian erat dengan praktek. Teori dan praktek yang menyatu sebagai palu dalam aktifitas revolusioner; perjuangan kelas untuk memajukan keadaan sosial. Inilah doktrin materialisme dialektika yang aktif dan maju.
Marx juga menemukan konsepsi materialis tentang hakekat manusia dalam karya Tesis ini, yang berseberangan dengan konsepsi manusia menurut Feuerbach dalam buku karangannya, Hakekat Agama Kristen. Konsepsi Feuerbach tentang manusia sangat abstrak karena memisahkan manusia dari kesatuan hubungan sosial dalam kenyataan sejarah. Feuerbach juga meleburkan hakekat agama ke dalam hakekat manusia sehingga manusia menjadi sebuah konsep individu-individu yang terasing, juga menjadi keumuman internal yang bisu. Disebabkan sudut pandang metafisis ini, maka titik tertinggi yang dicapai oleh materialisme kontemplatif adalah materialisme yang pasif karena kebuntuannya. Ia mengalami cacat metodis dalam berpikir sehingga tidak menemukan manusia sejati karena ia tidak memahami kepancainderaan sebagai piranti dari aktivitas praktis, sehingga menghasilkan renungan satu-satu individu dalam konsepsi "masyarakat sipil".
Sementara Marx lebih jauh dan konkret menganalisis manusia sebagai hasil dari hubungan sosial kemasyarakatan yang historis. Bila materialisme lama menyatakan manusia dalam ‘masyarakat sipil’, pendirian materialisme baru ialah ‘masyarakat manusia’, atau umat manusia yang bermasyarakat. Dalam artian lain, sejarah sistem sosial masyarakat manusia yang senantiasa bergerak dan berkembang. Pintu metafisis yang semula tertutup oleh kebuntuan metodis, kini telah menemukan kunci pembukanya dalam senjata berpikir bernama materialisme dialektika.
Dan tesis paling penting dari semua tesis ini adalah tesis yang ke-11. “Para filosof hanya menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah bagaimana mengubahnya.” Ya, mengubah dunia! Lebih tepatnya: teori dan praktek yang sanggup mengubah tatanan dunia! Inilah lonceng kematian bagi seluruh filsafat metafisika yang kontemplatif maupun spekulatif. Inilah jawaban Marxisme yang paling obyektif, menyinarkan optimisme dan penuh daya cipta menuju masa depan yang lebih baik.
Pada siapa tesis ini dialamatkan? Tesis ini jelas tidak dialamatkan bagi rakyat kebanyakan di jalanan. Secara khusus, Marx mengarahkan jari telunjuknya kepada para filosof dan sejarah umum filsafat itu sendiri. Bila kita mengkaji tesis ini, sungguh suatu kebenaran bahwa banyak perilaku filosof yang disibukkan dengan jalan pikiran mereka sendiri dalam menafsirkan dunia. Mereka menyusun teori dari tradisi lama kaum pertapa yang memisahkan diri dari keramaian dunia untuk mencapai kebenaran. Mereka yang gemar berkontemplasi di ruang hampa. Mereka bahkan tertinggal oleh penemuan-penemuan terbaru berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan pokoknya adalah mereka beranggapan keharusan menjalani pekerjaan khusus (berpikir merumuskan teori) yang membedakan dengan pekerjaan rakyat kebanyakan yang terlibat langsung dalam praktek. Mereka yang menyibukkan diri dengan urusan-urusan remeh-temeh duniawi ini, tentu tidak memiliki perhatian khusus dengan suatu teori tentang kebenaran.
Untuk memahami masalah ini perlu kita mengupas sejenak pengertian tentang ‘teori’ dalam khasanah umum filsafat, khususnya filsafat Yunani Kuno. Selanjutnya akan kita perbandingkan dengan pengertian ‘teori’ dalam tradisi Marxisme.
Dalam konsepsi filsafat Yunani Klasik, kata ‘theoria’ memiliki pengertian yang selalu tertalian dengan gerak pengetahuan rasional (logos), perkembangan ide-ide dalam pengertian suatu kebenaran. Kegemaran filosof Yunani memiliki kekhususan cara kontemplasi, yang hanya memiliki motivasi dan tujuan tertentu, yakni menciptakan kontemplasi yang semata-mata filosofis. Yakni menggapai suatu esensi (eidos), memecahkan rahasia kebenaran baru yang semula tersembunyi. Berangkat dari suatu dunia fenomena mereka memecahkan rahasia dengan kekuatan nalar; dari kebenaran yang belum mapan menuju ke level yang lebih tinggi dan esensial. Para filosof Yunani selalu mencari kebenaran sampai ke tingkat apa yang disebut dengan konsepsi kebenaran abadi (sub specie oeternitatis). Kontemplasi jenis ini dengan demikian akan menganugerahkan sebuah kemuliaan atas suatu dalil kebenaran yang superior, atau kebenaran yang memiliki konsistensi ontologis yang kuat. Bertolak dari dasar inilah tradisi dan sikap penafsiran para filosof Yunani Kuno berkembang. Pencapaian suatu teori berkembang menuju teori baru yang lebih tinggi dan superior. Demikian juga dengan filosof-filosof Renaissance dan generasi Abad Pencerahan yang memiliki bakat-bakat demikian dari “harta karun” ilmu yang diwariskan oleh filsafat Yunani Kuno. Dalam tudingan Marx, sebenarnya mereka hanya mengubah-ubah penafsiran atas dunia, teoritisasi abstrak atas dunia. Teori yang tumpul karena watak metafisika yang abstrak, atau teori yang gagal merumuskan kenyataan secara tepat sehingga gagal pula menjadi perkakas kerja untuk memandu praktek dalam merombak tatanan dunia itu sendiri. Inilah kritik mendasar Marx terhadap sejarah filsafat pada umumnya.
Marxisme bukan teoritisasi tentang suatu obyek menuju teoritisasi yang baru. Marxisme adalah teori sebagai pedoman untuk praktek. Inilah pengertian yang membedakan ‘teori’ dalam khasanah umum filsafat dan pengertian teori di dalam genggaman tangan Marxisme. Marx-Engels juga tak hendak membangun kerajaan nalar yang berdiri sebagai menara gading yang tinggi, seperti para pengeran nalar yang khas Abad Pencerahan yang sok suci dan jauh di luar jangkauan masyarakat luas. Dengan pengertian lain, teori merupakan refleksi atas kondisi obyektif tatanan masyarakat dan menjadi senjata teorinya masyarakat dalam mengubah tatanan masyarakat itu sendiri. Analisis konkret atas situasi konkret dengan demikian menjadi nyawa kebenaran obyektif dari Marxisme. Di atas meja pembahasan materialisme dialektika, Marxisme tidak berbagi tempat dengan segala jenis pandangan mistisisme dan tinjauan metodis metafisis: Tuhan, malaikat, setan, ide absolut, roh-roh gentayangan, norma-norma hukum dan moral yang kekal dan abadi.
Jalan mistik adalah jalan buntu. Pangkal kesalahan berpikir yang menjadi sumber utama dari kesesatan berpikir (subyektifisme). Jalan ilmu adalah pelita yang menerangi kegelapan lorong-lorong mistik dan mengusir mistisisme untuk selama-lamanya dari pikiran umat manusia. Dan ilmu pengetahuan tidak berhenti sebagai teori, karena teori adalah apa yang dilahirkan oleh praktek dan hal terpenting adalah bagaimana teori juga mampu memandu praktek mengubah tatanan dunia ini. Tanpa praktek yang nyata semua akan berhenti sebagai omong kosong. Inilah sari pati dari tesis ke-11. Pandangan yang menempatkan Marxisme sebagai teori revolusi untuk memandu praktek revolusioner perjuangan kelas proletariat.
Dengan demikian, kedudukan teori dan praktek mendapatkan tempat yang kunci dalam tradisi Marxisme. Yakni sebagai simbiosis mutualis yang mengabdi pada perubahan masyarakat yang lebih baik, yakni komunisme sebagai humanisme praktis. Materialisme dialektika adalah filsafat kenyataan yang sadar; kesadaran yang aktif pada seluruh kenyataan obyektif dan kesadaran revolusioner yang mampu melihat ke mana arah perkembangan masyarakat yang lebih baik di masa depan.


• Ideologi Jerman

Karya penting berikutnya adalah Ideologi Jerman (The German Ideology). Buku ini ditulis dalam musim semi 1845 hingga 1847, ketika Marx menetap di kota Brussel, Belgia, setelah dideportasi pada bulan Februari oleh pemerintah reaksioner Guizot, Perancis. Engels kemudian menyusul Marx pada bulan April 1845, mengerjakan bersama-sama buku ini. Sebagai proyek ilmiah terpenting, The German Ideology merupakan kelanjutan dan sistesis dari Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 dan The Holy Family. Dan sayangnya, karya terpenting Marx-Engels yang mutlak harus dibaca oleh seluruh generasi Marxis ini, dalam edisi yang lengkap belum terbit selama mereka hidup. The German Ideology merupakan kritik atas Hegelian muda seperti Bruno Bauer, Max Stimer, dan sekaligus materialisme metafisis Fueuerbach sebagai bentuk pemutusan epistemologis dari filsafat Jerman yang mereka anut sebelumnya. Dengan menyusun kritik ideologis atas pandangan idealisme, sekaligus materialisme pra-Marx, karya ini meletakkan dasar ideologi dari sudut pandangan materialisme dialektika secara utuh dan paling mendalam.
Selain kritik atas idealisme, buku ini juga sebagai kritik atas klaim gagasan yang beredar pada waktu itu dan mengatas-namakan “sosialisme sejati” dari para pemikir empirisis Inggris dan Perancis (Saint Simon, Fourier maupun Owen). Buku ini menjadi karya ilmiah yang paling penting sebagai cara pandang atas dunia bagi revolusi proletar. Ideologi Jerman adalah karya untuk yang pertama kali Marx-Engels menerapkan pandangan filsafat materialisme dialektika dengan materialisme historis, yakni analisis ekonomi-politik struktur sosial masyarakat dan periodisasi sistem produksi masyarakat dalam sejarah. Marx dan Engels memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dengan sebuah senjata yang paling ampuh, khususnya tentang hukum umum perkembangan sistem masyarakat. Dalam karya ini Marx sendiri menyatakan sebagai syarat metodologis bagi analisis ekonomi-politik baru di zamannya.
Dalam sebuah surat Marx untuk penerbit Leske, 1 Agustus 1846, dia menunjukkan bahwa penerbitan ini sebagai polemik melawan para filosof Jerman dan menyiapkan pada pembacanya untuk memahami karya dan pandangannya dalam ilmu ekonomi-politik. The German Ideology, sekali lagi merupakan karya polemik. Sebagai kritik Marx-Engels kepada mereka yang memusuhi cara pandang materialisme dialektika sebagai senjata berpikir yang mandiri dari proletariat dan kemudian meletakkan konsepsi materialis tentang sejarah yang tak terbantahkan kebenarannya. Marx dan Engels dengan demikian telah sampai pada tahap yang menentukan dengan mengerjakan prinsip-prinsip filosofis bagi komunisme yang ilmiah. Yakni analisis atas anatomi kelas-kelas dalam masyarakat, problem-problem mendasar dalam masyarakat kapitalis dan pemecahannya.
Dalam karya Ideologi Jerman pula Marx-Engels untuk pertama kali menerangkan soal perkembangan tenaga produktif serta dua basis material dari premis lahirnya revolusi proletariat. Yakni, tingginya tingkat produksi oleh kerja kolektif buruh yang bertentangan dengan hak milik pribadi (borjuis) di satu sisi, dan proletarisasi yang bersifat massal dan barisan proletariat sebagai kelas paling revolusioner dalam masyarakat kapitalis. Inilah dua syarat obyektif yang telah diuraikan Marx-Engels sebagai syarat terjadinya revolusi proletariat. Dan untuk pertama kali pula Marx-Engels bicara tentang perebutan kekuasaan
oleh kelas proletariat sebagai satu-satunya jalan menuju masyarakat komunis. Dalam perspektif ini, buku Ideologi Jerman memberikan pandangan tentang dasar-dasar masyarakat komunis sebagai hari depan dari sistem sosial dengan sangat terang dan ilmiah. Sebuah uraian yang obyektif dan ilmiah, dibandingkan dengan para penggagas sosialisme utopia yang dangkal dan metafisis.
The German Ideology, karya yang kemudian menjadi basis metodologis karya-karya berikutnya seperti Kemiskinan Filsafat (the Poverty of Philosophie) dan Manifesto Partai Komunis, dan karya-karya lainnya hingga terbitnya karya Marx yang paling cemerlang Kapital. Karya Marx-Engels hingga tersusunnya Ideologi Jerman, pada dasarnya telah sampai pada apa yang kita sebut dengan Filsafat Marxisme secara khusus, atau teori Marxisme secara umum; atau apa yang seringkali dikenal dengan 3 komponen Marxisme yakni filsafat materialisme dialektika dan historis, ekonomi-politik Marxis dan sosialisme ilmiah.


• Kemiskinan Filsafat

Buku Kemiskinan Filsafat merupakan karya Marx yang ditulis pada musim dingin 1846-1847, sebagai badai kritik atas karangan M. Proudhon berjudul Sistem Kontradiksi-kontradiksi Ekonomi atau Filsafat Kemiskinan (Systeme des Contradictions Economiques ou Philosophie de la Misere). Karya ini sebenarnya lebih tepat sebagai karya ekonomi-politik ketimbang filsafat. Namun relevan kita kupas di sini karena berisi penerapan filsafat materialisme dialektika yang konsekuen dan kritik terhadap metafisika ekonomi-politik Proudhon yang penuh dengan sentimentalisme borjuis kecil dan rongsokan lama Hegelian. Sebuah karya yang diklaim oleh Proudhon sendiri sebagai karya besar, namun dalam pandangan Marx sendiri sebenarnya sebuah karya yang sudah ketinggalan zaman. Sebuah karya yang lebih cocok untuk memenuhi tuntutan gilde-gilde dagang Abad Pertengahan ketimbang zaman kapitalisme yang sudah berkembang memasuki kapitalisme mesin industri.
Judul karangan Marx ini sebenarnya menjelaskan tentang betapa lemah dan miskin teori filsafatnya M. Proudhon. Kemiskinan filsafat Proudhon yang mengidap metode metafisika – yang tanpa sadar ia kembangbiakkan dalam membedah masalah ekonomi masyarakat kapitalis. Tanpa Marx sadari, dengan menghantam Proudhon, ia sebenarnya juga telah memukul Rodbertus, seorang pemikir sosialis utopia Jerman pada waktu itu. Proudhon sendiri adalah seorang ideolog borjuis kecil. Dan pandangannya dalam buku Filsafat Kemiskinan-nya layak dihantam karena menganggu penyebarluasan komunisme yang ilmiah di kalangan kelas buruh, mengacaukan materialisme dialektika, dan dalam tataran praktis tentu menumpulkan langkah-langkah taktik gerakan proletariat yang revolusioner.
Inti sari kritik Marx kepada Proudhon sebagai berikut:

“Setiap hubungan ekonomi memiliki sisi baik dan sisi buruk; ini suatu hal yang cukup jelas bagi M. Proudhon. Ia melihat sisi baiknya dari uraian para ahli ekonomi; sisi buruknya ia ketahui dari apa yang ditolak oleh kaum sosialis. Dari para ahli ekonomi ia meminjam keharusan akan hubungan-hubungan abadi; dari kaum sosialis ia meminjam ilusi untuk melihat kemiskinan sebagai kemiskinan semata-mata (tidak melihat adanya aspek subversib revolusioner yang akan menumbangkan masyarakat lama). Ia sepaham dengan kedua-duanya dalam hal bersandar kembali pada otoritas ilmu. Ilmu baginya menyusutkan diri pada formula-formula rapuh dari sebuah formula ilmiah... Demikianlah M. Proudhon telah mengelu-elukan dirinya sendiri dengan memberikan kritik atas ekonomi-politik maupun komunisme. Ia berada di bawah kedua-duanya. Di bawah kaum ekonomis, karena sebagai seorang filosof yang merasa di sakunya ada formula-formula ajaib, ia mengira dirinya dapat melepaskan diri dari keharusan memberikan rincian yang sepenuhnya ekonomis. Ia di bawah kaum sosialis karena ia tidak memiliki cukup keberanian maupun wawasan untuk naik, biarpun hanya sekedar spekulatif di atas kaki langit borjuis... Ia ingin meluncur sebagai orang ilmu di atas kaum borjuis dan kaum proletar. Sesungguhnya ia cuma sekedar borjuis kecil yang terlempar-lempar antara modal dan kerja, antara ekonomi-politik dan komunisme”.

Kritik tajam dan tak kenal ampun yang dilakukan oleh Mark terhadap Proudhon ini, sebenarnya apa yang juga diminta oleh Proudhon dalam suratnya kepada Marx tak lama setelah buku Filsafat Kemiskinan karya Proudhon terbit. “Saya menantikan lecutan kritik Anda,” ungkapnya dalam sepucuk surat untuk Marx. Marx segera menyambutnya dengan karya Kemiskinan Filsafat. Sebuah karya ilmiah yang secara langsung juga telah menamatkan karir Proudhon sebagai ilmuwan. Sebuah kritik yang tampaknya sekaligus mengakhiri persahabatan yang pernah dijalin keduanya. Proudhon seperti tertimpa kemalangan ilmiah oleh kritik Marx yang tidak hanya kokoh dan tak terbantahkan, namun juga pedas dan tajam menguliti seluruh kelemahan teoritis Proudhon. Karya Marx ini telah memberi sumbangan pada Marxisme dalam penerapan secara konsisten filsafat materialisme dialektika sebagai kritik ekonomi-politik kapitalis. Suatu langkah yang semakin menyempurnakan konsepsi sosialisme yang ilmiah.


• Anti-Duhring

Karya Frederick Engels berjudul Anti-Duhring: Revolusi Herr Eugen Duhring dalam Ilmu Pengetahuan, merupakan karya polemik yang cemerlang dan ensiklopedis yang memperkaya konsepsi materialisme dialektika dari sudut pandang filsafat, ilmu pengetahuan alam dan masalah-masalah sejarah. Buku ini mengajarkan kepada kita tentang arti penting perjuangan teori secara cermat dan konsisten. Pada awalnya Engels kurang antusias untuk menyambut tantangan teoritik dari Eugen Duhring yang warga Jerman tersebut, sementara dia berdiri sebagai warga Inggris. Namun jiwa internasionalis proletariat yang tak mengenal sekat sempit bernama bangsa, terlebih menyangkut perjuangan teoritis, pada akhirnya menggerakkan pena Engels untuk melancarkan serangan balasan terhadap Duhring yang berdiri sebagai seorang penyadur sekaligus seorang sosialis reformis Jerman. Itulah dorongan ideologis kawan kita Engels, bukan dorongan hati nurani yang abstrak, seperti yang ia tandaskan dalam kata pengantar edisi ketiga.
Sejak terbitnya beberapa karangan Duhring seperti Course of Philosophy (1875), Course of Political-Economy (1876), Critical History of Political economy and Sosialism (1875), pada awalnya mendapat sambutan yang hangat dari kalangan pers sosialis Jerman. Mereka tampaknya kurang teliti dan cermat dalam memeriksa kursus-kursus teoritik tuan Duhring tersebut. Bahkan beberapa kalangan dari mereka sudah menyebarkan ajaran ini sebagai doktrin sosialis baru di kalangan kelas buruh. Situasi yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Atas dorongan Liebknecht, dengan skema pembahasan yang telah dikonsultasikan ke Marx, Engels kemudian tampil sebagai batu uji teori Duhring, memeriksa secara cermat semua ajaran yang dikatakan sebagai sistem baru tersebut, melalui Volkstraat. Tindakan Engels ini tepat, walau agak terlambat karena menunggu hampir setahun untuk memutuskan apa yang ia sendiri katakan “mengambil apel pahit” tersebut, untuk mencegah perpecahan baru dan kebingungan sektarian dalam tubuh Partai yang masih begitu muda dan baru saja mencapai persatuan yang menentukan. Sebab pada sisi lain, Duhring dengan sekte kecilnya di dalam Partai, telah menggunakan segala keahlian periklanan dan intrik untuk memaksa Volkstraat mengambil sikap atas teori barunya itu. Eduard Berstein menjadi salah satu penyokong teori Duhring, bahkan August Bebel dalam periode awalnya.
Wawasan pengetahuan Engels yang sangat luas dalam soal-soal ilmu pengetahuan seperti biologi, fisika, kimia, astronomi, hingga ilmu perang; sungguh berparade dalam karya ini. Ia mengupas secara jelas dan terperinci tentang hukum-hukum dialektika – dunia sebagai satu kesatuan organik, teori gerak, ruang dan waktu, kuantitas dan kualitas, negasi dari negasi, dsb. Selain soal filsafat dan ilmu, karya ini juga membela keilmiahan ekonomi-politik Marxis dan sosialisme ilmiah. Dan lebih dari itu, Engels sekaligus membelejeti kesalahan-kesalahan mistis dan metafisis Eugen Duhring, seorang ilmuwan yang penuh sok dan congkak dengan klaim-klaim ilmiah yang rapuh karena tidak memiliki dasar ilmiah. Endapan yang paling lemah dari sikap sok-pencerahan gaya Jerman. Namun semua itu tak lebih dari serpihan-serpihan buram dari retorika para dewata. Kalimat terakhir dari buku Anti-Duhring ini, Engels menyimpulkan Herr Duhring dalam kata-kata yang pedas: “Inkompetensi mental yang disebabkan oleh megalomania”.
Secara umum, sikap dan penilaian Engels terhadap Duhring setidaknya diwakili dalam kata pengantar untuk edisi ketiga Anti-Duhring di bawah ini:

“Herr Duhring adalah salah satu jenis paling khas dari sains palsu yang sok, di wilayah Jerman dewasa ini ia mendesakkan diri ke depan dan menenggelamkan segala sesuatu dengan omong-kosong yang berlebihan. Omong-kosong yang luhur dalam puisi, filsafat, politik, ekonomi, dan historiografi; omong kosong baik di ruang kuliah maupun di panggung; omong kosong yang luhur dengan mengklaim suatu keunggulan dan kedalaman pemikiran yang membedakannya dari omong kosong pasaran yang sederhana dari bangsa lain; omong-kosong yang berlebihan sebagai produk massa paling khas dari industri intelektual Jerman – yang murah tapi buruk – persis seperti barang-barang buatan Jerman lainnya. Hanya malangnya, ia tidak dipamerkan bersama-sama di Philadelpia. Bahkan sosialisme Jerman sendiri, sejak Herr Duhring sebagai contoh istimewa, mulai gemar dengan sejumlah omong-kosong yang berlebihan. Pada kenyataannya, praktek gerakan Sosial-Demokratis demikian selektif dan tidak mudah membiarkan diri disesatkan oleh omong-kosong yang berlebihan tentang ilmu pengetahuan… Ini merupakan penyakit kekanak-kanakan yang menandai dan tak terpisahkan dari perubahan yang baru saja dimulai mahasiswa Jerman pada Sosial-Demokratis; namun dengan sikap yang luar biasa sehat dari kelas buruh, kita tak ragu lagi mereka akan berhasil menanggulanginya.”

Edisi kedua Anti-Duhring yang terbit sekitar tahun 1878, dilarang beredar di wilayah kerajaan Jerman oleh Undang-undang Anti-Sosialis yang diberlakukan sejak tahun 1878 hingga 1890. Namun pelarangan tersebut justru menjadi agen iklan penjualan tersendiri, buku Anti-Duhring justru berkali lipat larisnya dan tersebar luas di kalangan rakyat. Demikian juga dengan karya-karya Herr Duhring, turut terkena pasal larangan ini, bahkan buku karya Duhring dibreidel di Universitas Berlin – situasi yang menunjukkan pembreidelan demokrasi dan kebebasan akademis itu sendiri.


• Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman

“Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman” tak lebih sebagai peluru terakhir yang menghancurkan seluruh pandangan neo-idealisme dalam lingkaran kelas yang berkuasa di Jerman dan materialisme metafisis yang menjadi gantungan teoritik masyarakat borjuis Eropa pada umumnya. Engels lebih dahulu membelejeti Hegel sebagai puncak dari idealisme Jerman, bagaimana segi revolusioner dari metode dialektikanya tercekik oleh segi-segi konservatif yang berlebihan karena pandangan idealisme-nya. Bagaimana para profesor reaksioner termasuk Hegel dilantik oleh negara kerajaan Prussia (Jerman), bahkan filsafatnya menjadi filsafat resmi negara kerajaan Prussia pada waktu itu. Dalam keresmian reaksioner tersebut, di balik kata-kata yang samar, usang dan menjemukan apakah masih tersembunyi suatu hasrat revolusioner pada diri Hegel? Itulah watak filsafat reaksioner, filsafat yang secara langsung mengirimkan limpahan do’a restu-nya kepada despotisme Prussia. Filsafat yang memakan tuannya, filsafat yang selalu mandek karena tertambat pada apa yang dikatakannya sendiri, “apa yang riil adalah rasional, apa yang rasional adalah riil” sebagai rasionalisasi atas watak despotik negara kerajaan Prussia di bawah Raja Friedrick Wilhem II. Seluruh praktek despotisme feodal Prussia tersebut menjadi sah dan wajar bagi filsafatnya Hegel.
Dan perayaan teoritik masih terus berlanjut. Filsafat Hegel pada zamannya adalah pawai kemenangan yang berlangsung selama puluhan tahun, dan juga tidak berhenti ketika Hegel meninggal dunia. Justru sebaliknya. Dari tahun 1830 hingga 1840-an, “Hegelianisme” berkuasa secara eksklusif, sampai menyusup ke dalam ilmu-ilmu yang beraneka-ragam dan menyuburkan perkembangan literatur dan penerbitan. Hegelianisme telah menjadi makanan mental seluruh kaum terpelajar Jerman. Namun pesta kemenangan seluruh front itu hanyalah permulaan dari suatu perjuangan intern yang pecah pada tahap berikutnya. Tepat ketika seluruh sandaran teori itu tak mampu menjawab segenap damba kemajuan rakyat Jerman, pasti ada yang salah dalam konsepsi teori tersebut. Terbelahnya Hegelianisme dalam sayap kanan yang konservatif dan sayap kiri yang progresif.
Inilah penjelasan Engels secara terang terhadap kedudukan dan watak filsafat Hegel sebagai puncak dari filsafat idealisme. Sebagai bagian dari filsafat reaksioner yang sangat berpengaruh pada waktu itu. Selesai “membereskan” keperkasaan teoritik filsafat Hegel, sasaran pokok kritik berikutnya adalah Ludwig Feuerbach, Strauss, Bauer, dan Stirner sebagai jajaran ahli filosof yang sebenarnya memiliki andil tersendiri dalam mengembangkan materialisme. Teristimewanya adalah Feuerbach.
Adalah Feuerbach sebagai bagian dari kelompok Hegelian sayap kiri yang tampil sebagai seorang materialis, oposisi paling tajam atas puncak filsafat idealisme Hegel. Adalah Feuerbach yang berhasil keluar dari dominasi sistemik Hegelian yang sungguh perkasa pada zaman itu, dengan menjadi seorang materialis. Adalah Feuerbach yang melancarkan kritik atas filsafat spekulatif Hegel, menyingkirkan “ide-absolut” pra-dunia milik Hegel sebagai khayalan dari suatu sistem kepercayaan. Tanpa jasa Feuerbach, agak sulit bagi Marx untuk menuliskan penjelasannya tentang sejarah dengan mengkritik Filsafat Hukum Hegel (The Philosophy of Right). Dan Feuerbach pula yang telah membawakan kaki kirinya pada tanah materialisme dengan berkata: “Bagi saya materialisme adalah dasar dari bangunan hakekat dan pengetahuan manusia..” Namun ujung dari pernyataan ini berakhir dengan kalimat: “Ke belakang saya setuju dengan materialis, namun ke depan saya tidak setuju.”
Sampai pada pandangan ini, Feuerbach menjadi kolot dengan tidak mau melangkah kaki kanannya ke depan menuju kehidupan sosial. Feuerbach tidak menguasai metode berpikir dialektika karena menyangkal seluruh warisan filsafat Hegel termasuk tentang metode dialektika sehingga ia jatuh ke dalam cengkraman metafisika secara metodis. Dan sebab lain adalah kelemahan pemahaman ilmiah Feuerbach sendiri atas perkembangan ilmu pengetahuan. Walaupun Feuerbach sempat menyaksikan penemuan penting dalam hal penemuan sel, perubahan energi dan teori evolusi Darwin, menurut ulasan Engels dalam karya ini, adalah karena Feuerbach mengasingkan diri dengan hidup di pedesaan yang sepi, yang membuat isi kepalanya kesepian dari gemuruh perkembangan ilmu dan membiarkan dirinya membusuk bersama filsafatnya di desa yang sepi. Inilah hukuman obyektif yang menimpa filsafat renungan Feuerbach yang terpisah dari keaktifan ilmiah yang revolusioner.
Dengan demikian Feuerbach menjadi filosof yang membangun jembatan materialis terakhir, namun tidak menemukan metode berpikir dialektika untuk memecahkan fenomena alam dan masyarakat. Karya filsafat Engels yang sangat matang ini mengkritik pandangan materialisme Feuerbach yang penuh inkonsistensi dan metafisis secara metodis. Sampai pada tahap ini, Marx-Engels telah meletakkan dasar filsafat materialisme yang paling kokoh. Berikutnya dengan menggunakan metode dialektika Hegel dan mencampakkan idealisme dari tempat perlindungannya yang terakhir (dalam filsafat sejarah Hegel), Marx-Engels meletakkan fundasi dasar pertama Marxisme: materialisme dialektika sebagai cara pandang dan metode berpikir yang paling ilmiah dalam perubahan revolusioner dunia. Sebuah pandangan hidup atas alam semesta dan masyarakat yang ilmiah.
Marxisme, dalam paparan di atas, terang menjelaskan sejarah teorinya bahwa ia tidak lahir dari kontemplasi di ruang hampa. Marxisme lahir melalui pemeriksaan teoritik yang obyektif dan ilmiah, melalui batu uji teori dengan polemik dan penelitian. Ia juga tidak berdiri sendiri sebagai kebenaran dogmatik dengan simpul mati yang tertutup dan final, namun melakukan pertarungan atau perdebatan sebagai batu uji untuk membuktikan kebenaran ilmiah sebagai kebenaran yang selalu terbuka pada perkembangan yang lebih maju. Sebuah pencapaian terbesar dan terpenting dalam sejarah filsafat itu sendiri. Demikianlah kedudukan penting Filsafat Marxisme, memasuki sejarah bersama manusia, menggapai kemajuan-kemajuan yang selaras dengan humanisme dan ilmu.
Dunia akan lebih indah dan rakyat akan lebih kaya dengan datangnya Marxisme di muka bumi. Ia telah memikul tanggung jawab besar bagi emansipasi kelas dan umat manusia secara universal. Ia secara obyektif telah bertarung dengan mematahkan satu demi satu dalil-dalil rapuh dari tradisi panjang dogmatisme dan berbagai penyakit subyektifisme yang lusuh: idealisme dan metafisika dengan segala perwujudan teoritiknya.


EPILOG





Dari pemaparan singkat ini, patut untuk dicatat bahwa ada 3 sumber yang menjadi dasar bagi kelahiran Filsafat Materialisme Dialektika sebagai suatu bentuk revolusi dalam pemikiran filsafat.
Pertama, keadaan ekonomi dan sosial-politik. Yakni dengan perkembangan kontradiksi-kontradiksi dalam sistem masyarakat modern (kapitalisme), munculnya kelas borjuis dan lahirnya kelas proletar yang kemudian menentukan adanya perjuangan kelas proletariat. Tanpa lahirnya kelas buruh modern dalam sistem kapitalisme, Marxisme tidak mungkin bisa dirumuskan sedemikian rupa sebagai panduan teori perjuangan kelas buruh secara universal.
Kedua, sumber teori yang berakar dalam filsafat Jerman klasik khususnya dialektika Hegel dan materialisme Feuerbach. Tradisi maju filsafat yang berkembang pesat sejak Abad Pencerahan ini trlah berpuncak pada Marxisme dan generasi penerusnya yang konsekuen seperti Lenin dan Mao Tsetung.
Ketiga, perkembangan dari penemuan-penemuan besar di bidang ilmu alam sejak zaman Renaissance hingga pada Abad 19, seperti penemuan sistem tata surya, penemuan sel, hukum perubahan energi, teori evolusi, dsb. Suatu penemuan ilmiah yang menyingkap berbagai fenomena alam, yang semakin menunjukkan hubungan yang nyata bahwa materialisme dialektika sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Ketiga sumber tersebut menjadi inspirasi Marx-Engels dalam merumuskan materialisme dialektika dan materialisme historis sebagai hukum umum perkembangan alam dan sejarah masyarakat dunia. Dengan demikian, menjadi seterang sinar matahari bagi kita semua bahwa filsafat Marxisme bukanlah teori yang jatuh dari langit atau semata-mata renungan Marx-Engels di ruang hampa. Ia tidak lahir di British Museum, atau semacam persemadian sunyi bernama puncak Sinai, di bawah pohon Bodh Gaya, atau gua Hira sebagaimana “orang-orang mulia” di zaman dahulu. Ia lahir dari kancah teori-praktek, menemukan fundasinya secara teori yang dibenarkan secara ilmiah oleh perkembangan ilmu pengetahuan (sains) dan memiliki basis sosial dari perkembangan masyarakat yang faktual. Semuanya memiliki kesalinghubungan konkret yang tak terpisahkan, sebagai suatu keperkasaan ilmiah yang lahir dari kenyataan obyektif.
Filsafat Marxis, yaitu materialisme dialektis, mempunyai dua ciri yang sangat menonjol. Pertama, ia lahir sebagai hasil dari muncul dan berkembanganya kelas buruh modern dalam perjuangan kelas melawan sistem kapitalisme. Dengan kedudukan historis ini maka filsafat Marxisme menyatakan secara terang-terangan mengabdi kepada kelas proletariat dan untuk revolusi kelas proletariat internasional. Filsafat Marxisme adalah senjata berpikirnya proletariat secara mandiri, bukan senjata berpikirnya kelas borjuis kecil dan juga tak akan berguna di tangan kaum pesolek “kiri” yang berhasrat pada kemegahan intelektualisme tanpa praktek. Satu-satunya garis pemisah terakhir antara Marxis dan bukan Marxis, tidak terletak pada apa yang mereka ceramahkan tentang Marxisme atau revolusi; namun pada kesediaan dan kesanggupan mereka untuk menggabungkan diri dengan perjuangan massa kelas buruh dan kaum tani, melibatkan diri dalam kancah pertentangan kelas yang keras dan menentukan. Tidak ada penanda yang lain.
Kedua, Marxisme adalah pandangan hidup sebagai pedoman untuk praktek. Sebuah pertalian erat antara teori dan praktek, dengan memberi penekanan pada praktek sebagai pekerjaan pokok untuk mengubah tatanan dunia. Kebenaran sebuah pengetahuan atau teori tidaklah bergantung pada pikiran dan perasaan subyektif, melainkan pada kebenaran rumusan atas suatu keadaan obyektif dan usaha-usaha konkret untuk mengubah keadaan sosial. Hanya praktek sosial yang dapat menguji dan menjadi ukuran kebenaran suatu teori. Pendirian praktek adalah pendirian yang pertama dan pokok di dalam teori materialisme dialektis tentang pengetahuan. Dengan demikian Marxisme mengikat para penganutnya untuk praktek langsung dalam kancah perjuangan massa; menerjunkan diri dalam menciptakan percikan dan kobaran perjuangan kelas revolusioner. Tanpa peranan praktek nyata perjuangan kelas, Marxisme tak punya arti, tak punya daya. Marxisme juga tak punya arti apa-apa di tangan seorang intelektual yang terpisah dari praktek perjuangan kelas buruh dan kaum tani.
Filsafat Marxisme telah mempersenjatai diri kita dengan cara pandang dan metode berpikir yang maju dengan dua maksud. Pertama, memerangi berbagai aliran filsafat yang dekaden dari pikiran umat manusia. Kedua, sebagai sarana untuk mencapai tatanan masyarakat komunis di masa depan. Sudah semestinya kita tidak memperlakukan Marxisme secara religius, sebagaimana tradisi kuno dari kaum dogmatik yang malas. Tradisi maju kaum Marxis yang revolusioner harus kita rawat dengan praktek-praktek revolusioner yang sejati hingga tercapainya tatanan masyarakat komunis. Di riwayat senja imperialisme kini, sosialisme dan komunisme menjadi satu-satunya sinar harapan di kaki langit sejarah umat manusia. Tidak ada harapan lain yang lebih baik darinya. Tepat seperti yang dikatakan oleh kawan Lenin berikut ini:

Sejak kemunculan Marxisme, tiap periode dari tiga periode besar sejarah dunia telah membawa konfirmasi baru serta kemenangan-kemenangan baru kepada Marxisme. Tetapi masih ada sebuah kemenangan lebih besar menantikan Marxisme, sebagai doktrin kaum proletar, dalam periode sejarah yang akan tiba.


Demikianlah ulasan pengantar teoritis ini, yang mengulas secara sepintas beberapa karya Marx dan Engels yang sekaligus menjelaskan perjuangan teoritis dalam upaya menyusun dasar-dasar teori yang memiliki kebenaran yang kokoh dan ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar