Selasa, 22 November 2011

FILSAFAT MATERIALISME dan SEJARAH PERKEMBANGANNYA

BAB III
Filsafat Materialisme dan sejarah Perkembangannya





A. Materialisme Kuno

Materialisme kuno berkembang dalam periode masyarakat kepemilikan budak sekitar abad 7-6 Sebelum Masehi. Pemikiran filsafat ini merupakan pelopor bagi revolusi kebudayaan umat manusia karena mereka telah menemukan cara pandang terhadap dunia secara baru. Apakah cara pandang yang disebut baru tersebut? Mereka menanyakan suatu asas pertama (arkhe) yang menyusun kehidupan ini dengan cara yang belum pernah dikenal dalam kebudayaan manusia sebelumnya. Asas yang menyusun kehidupan pada mulanya berdasarkan pada sistem kepercayaan (mythe), sedangkan mereka meninggalkan pendekatan mythe dan menggantinya dengan pendekatan akal budi dan merefleksikan unsur-unsur alam sebagai materi yang menyusun kehidupan. Dengan demikian mereka telah memajukan cara pandang manusia dari sistem kepercayaan (mitos) menuju rasionalitas (logos). Di tangan mereka pula, kaum materialis kuno ini, filsafat lahir di Yunani dan berkembang hingga dewasa ini.
Kaum materialis kuno seringkali disebut dengan ahli filsafat alam. Hal ini menjelaskan cara pandang mereka yang materialis berdasarkan unsur-unsur material di alam semesta ini seperti air, tanah, api, udara, dsb. Menurut mereka, semua tatanan kehidupan ini bergerak secara alamiah. Pengertian materialisme mekanis itu sendiri adalah pandangan yang menyatakan bahwa materi itu selalu dalam keadaan bergerak atau berubah, gerak yang berulang-ulang tanpa perkembangan atau peningkatan. Mereka memandang alam semesta berkembang dengan sendirinya secara alamiah. Dunia bergerak dalam pergantian siang dan malam, deburan ombak di lautan, pepohonan yang ditiup angin, kehidupan dan kematian, dsb. Kita sebut dengan materialisme kuno karena sesuai dengan tingkat perkembangan ilmiah pada waktu itu yang masih sangat mekanis dan serba terbatas.
Selain di Yunani pada zaman kuno, pada abad ke 7 S.M kaum materialis juga lahir di Tiongkok kuno dengan tokoh-tokohnya seperti Fan Wanzu dan Shen Xu. Mereka menolak roh sebagai unsur pertama kehidupan. Sedangkan di India kuno, mazhab Charvakas melahirkan pemikiran materialis yang bertentangan dengan ajaran Weda yang dikuasai oleh kaum idealis India kuno. Sangat sulit untuk menemukan buku yang menerangkan pikiran langsung dari Charvakas. Namun ajarannya tentang Lokayata (manusia sebagai pusat dunia) berisi tentang kebahagiaan sebagai tingkat tertinggi dari kehidupan manusia. Tidak ada jiwa dan dunia setelah kematian (akherat). Tidak ada dunia selain dunia yang kita huni ini. Seseorang tidak akan dilahirkan kembali di dunia lain, untuk itulah seseorang harus membuat kebahagiaan bagi dirinya sepanjang ia hidup di dunia obyektif ini. Ajaran Lokayata sungguh suatu ekspresi dari humanisme klasik di India yang menolak otoritas Weda dan varna-ashrama dharma (sistem kasta) di India. Dengan demikian ia menolak secara total apa yang disebut dengan Brahmanisme dan sistem perbudakan yang dihasilkannya. Ia sesungguhnya adalah golongan demokratis dalam sistem masyarakat kepemilikan budak dalam masyarakat India kuno. Orang-orang berani dan progresif yang menjadi inspirasi bagi kemajuan masyarakat.




Beberapa filosof materialisme mekanis dalam periode paling awal Yunani kuno adalah tokoh-tokoh yang kita sebutkan di bawah ini:


 Thales (624-548 S.M)

Thales adalah ahli filsafat pertama Yunani yang lahir di Miletus sekitar tahun 624 S.M, di sebuah kota pelabuhan Miletus yang ramai dan maju. Thales memiliki minat yang luas karena banyak bepergian, melakukan penyelidikan yang meliputi sejarah, politik, geografi, astronomi, dan matematika. Ia adalah peletak pertama filsafat dengan menyatakan bahwa asas (arkhe) pertama bukanlah Tuhan atau dewa-dewa Olympian yang bersarang di langit sebagaimana kisah penuturan mitologi Yunani. Apakah asas pertama dari kehidupan ini? Inilah pertanyaan pertama yang paling fundamental dari filsafat. Thales menjawab, asas pertama yang menyusun kehidupan adalah air. Mengapa air? Thales berpandangan, air adalah sumber kehidupan yang utama. Tanpa air maka tak ada kehidupan. Dalam pandangan dia, bumi ini terapung di atas air, seperti sebuah perahu yang mengapung di lautan. Air menjadi sumber kehidupan yang utama, unsur materi yang menghidupkan segala sesuatu ibarat getah menjadi “jiwa” di dalam tumbuhan, darah menjadi “jiwa” bagi tubuh hewan dan manusia, dan lautan luas menjadi sumber kehidupan bagi bumi seisinya. Tanpa air maka kehidupan akan mengering dan mati. Demikianlah pandangan pertama filsafat telah dilontarkan dan segera mendapat sambutan para filosof berikutnya, dua murid Thales: Anaximenes dan Anaximander.
Thales adalah pendiri mazhab filsafat alam Milenia, mengembangkan metode ilmiah dan mematahkan rantai mitologi Yunani Kuno. Bisa juga dikatakan Thales melahirkan gerakan pencerahan (kebudayaan) pertama di dunia Barat. Apa yang dilakukan Thales adalah tradisi baru sama sekali, baik dalam pandangan maupun cara menjelaskan (metode) tentang dunia; sesuatu yang belum pernah ada baik dalam khasanah mitologi Yunani maupun non-Yunani. Thales memisahkan filsafat dan kepercayaan, dan bukan mencampuradukkannya dengan semena-mena. Di tangan Thales pula, ia membedakan dan meletakkan antara periode berpikir kuno yang primitif dari sumber utamanya mistik di satu sisi; dan sisi lain adalah landasan baru dalam ilmu berpikir yang rasional dan ilmiah yang obyektif dan mempesona. Itulah warisan paling berharga dari Thales sebagai bapak kebudayaan yang pertama. Batu pal pertama bagi dunia filsafat!


 Anaximenes (538-480 S.M)

Anaximenes adalah murid dari mazhab Milenia, murid pertama Thales. Ia membantah Thales yang menyatakan air sebagai prinsip yang pertama. Ia menjelaskan bahwa prinsip pertama kehidupan ialah unsur alam yang bernama udara. Anaximenes menjelaskan, bahwa udara merupakan unsur yang meniupkan kehidupan. Jiwa adalah udara, api adalah udara yang encer. Jika udara dipadatkan kembali oleh proses pengembunan maka udara akan menjadi air. Proses pemadatan berikutnya akan menjadi tanah, hingga berkembang menjadi batu. Di dalam udara terletak kesatuan dari unsur-unsur yang berlawanan. Udara yang menyatukan suatu materi menjadi dingin atau panas. Udara pula yang menjadi unsur pokok kehidupan, di mana manusia bisa bernafas dan alam semesta bergerak dan berkembang. Tanpa udara maka kehidupan akan diam, tanpa gerak dan mati karena kehilangan nafasnya.
Arti penting teori ini adalah pada perumusan tingkat perkembangan kuantitas substansi yang sangat tergantung pada tingkat kepadatannya. Anaximenes dalam menerangkan teorinya dengan menggunakan observasi unsur-unsur alam, kepadatan dan pengembunan, perubahan materi-materi yang menurutnya semua bersumber dari udara. Pencahayaan petir menurutnya sebagai akibat dari pecahnya udara di luar awan; pelangi sebagai akibat dari sinar matahari yang jatuh di awan; gempa bumi sebagai akibat retaknya bumi ketika kekeringan ditimpa air hujan. Demikianlah Anaximenes memperagakan suatu refleksi dan observasi atas unsur-unsur alam sebagai pusat dari penalaran dalam berfilsafat.


 Heraklitus (540-475 S.M)

Heraklitus lahir di Ephesus dan merupakan salah satu filsuf terpenting Yunani pra-Sokrates, seorang pemikir besar yang meletakkan dasar pertama berpikir bagi filsafat. Salah satu ungkapan yang termasyur adalah “panta-rhai”, bahwa kehidupan itu bergerak seperti air yang senantiasa mengalir seperti aliran sungai. Karena itu filsafatnya dikatakan filsafat menjadi. Ia menjelaskan bahwa asas pertama yang menyusun kehidupan bukan air, bukan pula angin, namun api. Api sebagai unsur utama bagi kehidupan, seperti matahari menyinari bumi sebagai puncak dari api dan yang menyusun kehidupan dengan penguapan dan perapiannya. Api menjadi penerang dan yang menyalakan kehidupan. Ia menganggap jiwa adalah campuran antara api dan air: api mewakili sifat kemuliaan dan air mewakili sifat kenistaan. Demikianlah ia mulai memberi sifat dari unsur-unsur materi yang ada.

“Dunia ini, yang sama bagi semuanya, bukan diciptakan oleh dewa-dewa atau manusia; tetapi dahulu, sekarang, dan seterusnya adalah api yang terus menyala, yang kadang berkobar dan kadang meredup.”

Pandangan lain yang cukup penting dari Heraklitus adalah pemaknaannya tentang perang. Karena adanya rintangan atau pertentangan, maka kesatuan terjadi dari keadaan tercerai-berai kemudian timbul suatu harmoni yang indah. Perang menurutnya adalah bapak semuanya dan raja semuanya; sebagian telah ia ciptakan sebagai dewa-dewa dan sebagian sebagai manusia; sebagaian terpenjara, dan sebagaian merdeka. Perang adalah berlaku untuk semuanya, perselisihan adalah keadilan, dan bahwa segala sesuatu lahir dan sirna lewat perselisihan. Pertentangan abadi yang dimaksudkan bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sewenang-wenang, namun tunduk pada hukum alam. Inilah pandangan dialetika dalam artian yang murni namun masih terbatas (naif) di zaman Yunani Kuno.


 Empedokles (492-432 S.M)


Empedokles adalah warga Acragas, daerah pesisir selatan Sisilia. Ia menjelaskan bahwa prinsip dasar kehidupan adalah zat yang tersusun atas 4 unsur alam. Yakni api, udara, tanah, dan air. Menurut pandangan Empedokles, tidak ada suatu hal-ihwal yang baru terjadi, atau sesuatu itu hilang. Semua merupakan hasil campuran dan perpisahan dari 4 unsur tersebut secara abadi. Ke-4 unsur tersebut dipadukan oleh Cinta dan Perselisihan. Menurut Empedokles, Cinta dan Perselisihan adalah substansi purba yang sederajat dengan air, tanah, udara, dan api.
Dalam suatu kurun waktu tertentu, ada kalanya Cinta berkuasa, dan masa-masa di mana Perselisihan yang tampil berkuasa. Pada zaman di mana Cinta berkuasa, adalah zaman keemasan dari suatu kekuasaan. Di mana masyarakat memuja-muja dewa Aprodithe dan Cyprus. Perubahan-perubahan di dunia ini tidak dikendalikan oleh tujuan apa pun, namun hanya terjadi sebagai kebetulan dan keniscayaan. Suatu siklus yang berlangsung silih berganti antara Cinta dan Perselisihan; bagaimana Cinta menyatukan seluruh unsur-unsur, kemudian bagaimana Perselisihan mencerai-beraikan unsur-unsur tersebut. Jadi setiap senyawa materi (zat) bersifat fana dan hanya empat unsur di atas, bersama dengan mekanisme Cinta dan Perselisihan, yang bersifat kekal. Masih menurut Empedokles, dunia lahirian ini seperti bola. Bila zaman Keemasan tiba, maka Cinta ada di dalam bola, dan Perselisihan berada di luar bola. Lantas berangsur-angsur, Perselisihan bergeser masuk ke dalam bola sementara Cinta terusir keluar. Secara konkret, pandangan Empedokles juga mengandung metode dialektika (hukum pertentangan) di dalam membedah gejala kehidupan obyektif ini. Ia menjadi pelanjut dan sistesis dari para filosof materialis sebelumnya.


 Demokritus (460-370 S.M)

Demokritus lahir di Abdera, Yunani Utara dari sebuah keluarga yang kaya dan terhormat karena melayani monarkhi Persia. Setelah kematian ayahnya, ia melakukan perjalanan jauh untuk mendalami berbagai ilmu pengetahuan. Ia pergi ke Mesir, Persia, India, dan terakhir mengunjungi Athena. Ia belajar filsafat di bawah pengaruh Anaxagoras, mempelajari Pytagorianisme dengan mendalam, dan menjadi murid langsung Leukippos. Wawasannya sangat luas dalam berbagai disiplin ilmu seperti matematika, logika, kosmologi, etika dan musik. Sebagian waktunya juga dihabiskan dengan membuat berbagai penyelidikan kimia.
Ia menjadi murid Leukippos yang merintis ajaran tentang atom sebagai materi yang menyusun kehidupan. Demokritus juga disebut sebagai filosof atomis yang hidup sezaman dengan Sokrates dan kaum Sofis. Filsafatnya sebagai upaya menjebatani antara Monisme Parmenides dan pluralisme Empedokles. Pandangan filsafatnya menjabarkan bahwa segala sesuatu tersusun dari kesatuan yang tak dapat dibagi lagi, yang jumlahnya tak terhingga yang disebut atom. Kata atom berasal dari bahasa Yunani, a (tidak) dan tomos (terbagi). Bahwa atom-atom itu senantiasa dan terus bergerak, dengan ukuran yang berbeda-beda dan tak terbatas. Atom-atom seperti titik-titik debu yang tertimpa cahaya matahari di saat angin tak bertiup. Tiap-tiap gerakan disebabkan oleh aksi dan reaksi dari atom-atom. Pada pasal inilah ia membedakan antara gerak awal dan efek susulan sebagai rangsangan dan reaksi. Inilah hukum dasar dari keharusan, di mana seluruh hukum alam obyektif diatur sedemikian rupa.
Gerakan mendorong atom-atom menurut garis lurus, dan persentuhan atom-atom itulah yang menyebabkan terjadinya gerak dalam bentuk pusaran-pusaran. Penjelasan ini sungguh merupakan langkah maju dari kaum materialis karena pusaran-pusaran itu lebih sebagai gerak mekanis, dan tak ada sangkut-pautnya dengan roh. Sesuatu itu bisa disimpulkan nyata apabila ditarik dari titik paling dasariah bernama atom. Selebihnya adalah cita-rasa subyektif, seperti warna, rasa, berat, ringan, cair, padat, dan sebagainya.
Demokritus adalah seorang materialis yang paripurna di zamannya, memadukan antara kemurnian dan kecerdasan. Ia tidak percaya dengan adanya ruh (nous), sebagaimana ia menolak pandangan tentang kepercayaan agama. Alam semesta adalah atom-atom yang dikendalikan oleh hukum-hukum mekanis. Ia memberi konstribusi besar bagi filsafat Yunani Kuno dari kekeliruan tertentu yang merusak sistem filsafat. Ia mengabdikan diri tanpa pamrih untuk memahami dunia obyektif, apa yang disangka orang pada awalnya sebagai pekerjaan yang mudah dan hanya membuang-buang waktu.


 Epikurus (342-270 S.M)


Epikurus lahir di daerah koloni Athena bernama Samos dan menjadi salah satu dari tokoh utama filsafat dalam periode Hellenisme. Ia lahir 7 tahun setelah kematian Plato, dan baru menginjak usia 19 tahun ketika Aristoteles meninggal. Situasi zaman di mana ia hidup adalah periode kebebasan Yunani yang semakin merosot dan di ambang keruntuhannya. Dalam pandangan filsafat, Epikurus menyangkal pikiran Plato tentang jiwa yang tidak material. Berikutnya ia meneruskan dan mengembangkan tradisi filosof atomis yang telah diletakkan oleh dua gurunya Leukippos dan Demokritus, bahwa seluruh kenyataan disusun dari materi terkecil bernama atom-atom yang tak bisa dibagi lagi. Bahwa atom-atom bergerak dengan tiada hentinya, sejajar dengan kecepatan yang sama, di ruang yang tak terbatas. Perbedaan filsafat atom Epikurus dengan Demokritus terletak pada soal bobot atom, penyimpangan atom, dan kualitas indera (rasa).
Pertama, tentang berat atom. menurut Epikurus, ia percaya seperti Demokritus bahwa atom memiliki bentuk, ukuran, dan unsur-unsur pertentangannya. Demokritus menerangkan bahwa semua gerak atom sebagai akibat susulan dari tabrakan (collition) atomis, dan kemandekan atom. Pandangan ini mendapat kritik dari Aristoteles, bahwa Demokritus tidak menerangkan kenapa atom-atom bergerak semata-mata, ketimbang diam. Epikurus tampil dalam perdebatan ini dan menerangkan bahwa atom-atom memiliki arah gerak alam ke bawah, meskipun alam semesta tidak memiliki dasar. Epikurus berpandangan yang berangkat dari bukti-bukti bahwa badan-badan memiliki kecenderungan kuat untuk bergerak ke bawah, dan yang lainnya sejajar. Dengan dasar gerak atom inilah kemudian Epikurus berpandangan bahwa atom memiliki sifat berat atau bobot. Sebuah pandangan yang mengembangkan teori gerak atom sebagai akibat dari tabrakan atomis dan kemandekan.
Kedua, tentang penyimpangan atom. Pengembangan kedua yang dilakukan Epikurus atas filsafat atom Demokritus adalah soal penyimpangan atom. Epikurus berpandangan bahwa pada saat tertentu dalam hitungan acak (random), gerak atom yang cenderung bergerak turun ke bawah juga menyimpang ke samping. Rasionalisasi atas penyimpangan atom ini terdapat dalam penjelasan tentang tabrakan atomis. Kecenderungan alamiah gerak atom selalu turun ke bawah, dengan kecepatan yang seragam. Dalam soal ini, bila atom hanya memiliki gerak alamiah atomis (turun ke bawah) semata, atom tidak akan pernah bertabrakan dengan atom yang lain atau dalam pengertian lain tak ada kontradiksi. Maka dalam gerak acak yang tak menentu pasti ada gerak ke samping hingga menimbulkan tabrakan (kontradiksi) dengan atom-atom lainnya. Pandangan kedua adalah, pandangan bahwa atom menyimpang adalah suatu gerak atomis yang acak menjadi keharusan untuk melayani kebebasan manusia dan mematahkan tulang-tulang yang menopang takdir atau nasib. Dunia selalu memberikan kesempatan kepada manusia untuk melaksanakan kehendak bebasnya. Di alam semesta juga tak ada tata tertib yang sudah dikodratkan. Segala sesuatu yang tak berguna akan lenyap dengan sendirinya. Inilah pandangan yang sangat maju dari Epikurus.
Perbedaan Demokritus dan Epikurus yang ketiga adalah soal sikap atas kenyataan indera sebagai media perasa (sensasi) manusia. Menurut demokritus, kenyataan hanyalah lautan atom, dan mengabaikan keberadaan kualitas sifat-sifat materi yang berupa manis, getir, terang, temaram, hanyalah keberadaan suatu “konvensi” atau kesepakatan umum manusia. Pandangan Demokritus ini bertolak dari kelemahan dalam meninjau kenyataan yang mengabaikan indera perasa untuk mengetahui sifat-sifat kualitas dari suatu materi. Kelemahan ini sungguh penyederhanaan masalah yang memicu lahirnya pandangan dan pernyataan subyektif. Kesimpulan Demokritus yang penuh skeptis dan pesimis muncul dari sisi ini, ketika ia gagal mencapai pengetahuan untuk menjelaskan dunia dari basis indra sensasi manusia, setelah penjelasan yang rasional atas dunia telah tercapai. Juga roh manusia bersifat materi yang terdiri dari material atom-atom yang paling kecil, atom-atom jiwa yang menyebar ke seluruh tubuh. Sesudah mati, jiwa pun musnah. Sedangkan atom-atomnya tetap hidup namun tidak lagi merasakan sensasi sebab atom-atom tak lagi berhubungan dengan tubuh. Oleh sebab itu, bagi Epikurus, kematian adalah hal yang lumrah dan bukanlah suatu masalah bagi manusia. Sebab sesuatu yang telah musnah tak lagi memiliki sensasi. Dan sesuatu yang tak memiliki sensasi tak menjadi masalah bagi kita. Demikianlah dasar epistemologis Epikurus yang sangat empiris dan anti-skeptis, telah memerangi kesimpulan-kesimpulan pesimistis Demokritus untuk memajukan filsafat materialisme selangkah maju ke depan. Empiris dan anti-skeptis menjadi dua aspek yang maju dari pandangan Epikurus. Ia dengan tegas mengatakan bahwa kita mustahil hidup dalam pandangan skeptisisme, yakni bila seseorang menganut kepercayaan bahwa manusia itu tidak tahu apa-apa tentang dunia ini. Ketidaktahuan ini menjadi alasan bagi manusia untuk tidak berbuat apa-apa. Bila kita menarik garis konsisten pandangan skeptisisme yang fatalistik ini adalah manusia tak perlu berbuat apa-apa dalam hidup ini; manusia hanya pantas untuk menderita dan mati!
Walaupun demikian, Epikurus tidak sepenuhnya menyangkal adanya dewa-dewi meskipun menempatkan mereka secara pasif. Epikurus menempatkan dewa-dewi di luar tatanan dunia ini. Mereka sudah tidak ada pekerjaan lagi yang berurusan dengan perputaran dunia ini. Mereka tak mau repot-repot campur tangan pada soal-soal politik dunia manusia. Pekerjaan mereka satu-satunya hanyalah beristirahat dengan damai di suatu ruang di antara planet-planet jauh di atas sana. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan dengan dewa-dewi, tak ada yang harus dicemaskan bahwa sesudah kematian manusia akan menanggung derita di Hades.
Setelah kematian Epikurus, pemikirannya berkembang subur sebagai gerakan filsafat (Epikureanisme) yang menyebar di seluruh dunia Hellenistik. Epikureanisme kemudian surut seiring dengan kemunculan agama Kristen yang memerangi filsafat Epikurus secara langsung karena ajaran materialismenya yang tidak sesuai dengan dogma Kristen. Filsafat Epikurus kemudian muncul kembali dalam periode Renaissance sebagai reaksi melawan para pemikir skolastik neo-Aristotelian, filsafat yang dipelajari kembali untuk menjelaskan fenomena dunia secara mekanistik. Tak kurang, Karl Marx sendiri mempelajari Epikurus dan mendapat pengaruh cukup penting dalam meletakkan dasar-dasar filsafat materialismenya.


B. Materialisme Modern

Dibutuhkan waktu sekitar 2000 tahun untuk membangkitkan kembali materialisme kuno dan mencapai materialisme modern. Bila filsafat modern sering diibaratkan seperti Adam dan Hawa sebagai manusia yang turun dari surga ke bumi, yakni periode dimulainya manusia sebagai subyek atau pusat (antroposentris) di jagat raya obyektif ini; maka materialisme modern merupakan “anak kandung Inggris Raya” yang lahir pada abad ke-17. Demikian Marx mengulasnya. Kenyataan yang rada mengagetkan perasaan orang-orang saleh lapis-tengah Inggris ini bukanlah suatu hal yang kebetulan. Materialisme memaklumkan diri sebagai filsafat yang hanya cocok untuk sarjana-sarjana dan orang-orang yang berkebudayaan di Eropa. Ia bahkan tidak cocok untuk borjuis yang kurang pendidikan. Adapun datuk sebenarnya dari materialisme Inggris adalah Francis Bacon. Materialisme modern tak bisa dilepaskan dari perkembangan kelas-kelas termaju di Eropa, yakni borjuis-borjuis perkotaan yang mulai mandiri dari sistem sosial lama feodalisme. Atau lebih tepatnya suatu periode perkembangan masyarakat yang sudah memasuki babak kapitalisme dengan latar belakang feodalisme yang sudah surut. Setelah sejarah filsafat mengalami periode paling panjang dalam Abad Kegelapan di bawah dominasi gereja dan monarkhi mutlak (filsafat teologi), filsafat kembali menemukan rasionalitasnya sebagai senjata utama yang mandiri. Gerakan rasionalisme dan empirisisme muncul dalam periode ini, atau sering juga dikatakan filsafat memasuki zaman modern. Ciri terpenting aliran rasionalisme adalah pandangan yang menempatkan “rasio” atau akal pikiran sebagai pusat dari aktifitas berpikir. Rasio atau akal pikiran menjadi instrumen terpenting bagi manusia untuk memahami dunianya dan merumuskan kebenaran ilmiah. Sedangkan aliran empirisisme menekankan aspek inderawi manusia sebagai sumber kebenaran yang memasok rasionalitas dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Pertentangan antara filsafat masyarakat borjuis pertanian di Perancis melalui wakilnya Rene Descartes (rasionalisme) melawan borjuis industri di Inggris bernama Francis Bacon (empirisisme) ini, kemudian berlanjut dengan berbagai pengembangan. Spinoza di negeri Belanda, di mana kapitalis finansial tengah menikmati masa keemasannya dari hasil perampokan terhadap negeri-negeri Timur seperti Indonesia, menawarkan penyelesaian monistik atas dualisme Descartes. Spinoza menyuarakan materialisme sebagai epistemologi berbasis monisme dalam ajaran-ajarannya tentang etika. Thomas Hobbes di Inggris melanjutkan sistematisasi empirisisme (materialisme) Bacon. Sebagaimana diulas oleh Engels dalam Sosialisme Ilmiah, pengetahuan yang berdasarkan pancaindera kehilangan bunga puitisnya, ia menjadi pengalaman yang abstrak dari seorang matematikus; geometri diproklamasikan sebagai ratu ilmu. Materialisme mulai suka pada hal-hal yang misantropis (kebencian kepada manusia). Jika ia hendak mengatasi lawannya, spiritualisme tak berdaging yang misantropis, dan itu di tanah lawannya sendiri, materialisme harus mendera badannya sendiri dan menjadi seorang pertapa. Hobbes telah berhasil dalam melakukan sistematisasi atas Bacon, akan tetapi tanpa memberikan suatu bukti kepada prinsip fundamental Bacon, bahwa sumber semua pengetahuan manusia itu adalah dunia sensasi. Melalui John Locke, dalam tulisannya berjudul ‘Esai tentang Pengertian Manusia’ memberikan bukti atas hal ini. Dari Hobbes ke Locke, empirisisme telah mendapatkan kematangan dan kedalaman berikutnya dari borjuis Inggris yang lain. Bacon-Hobbes-Locke bisa kita katakan sebagai tiga serangkai yang menghantarkan materialisme dari berbagai campuran dogma-dogma menuju ke tahap kemurniannya. Materialisme sebagai epistemologi kemudian mencapai watak politik revolusionernya di tangan kaum materialis Perancis yang paling maju itu, yang akan segera kita bahas.
Demikianlah sekilas ulasan pada pengantar tentang sejarah yang melahirkan materialisme modern. Siapa tokoh-tokoh filsafat materialisme modern? Mereka adalah orang-orang yang bisa kita jabarkan di bawah ini:


 Francis Bacon (1561-1626)



Pria kelahiran London tahun 1561 ini adalah seorang yang lahir dari kalangan aristokrat yang sangat terhormat di kerajaan Inggris, Lord Nicholas Bacon. Dalam usia 23 tahun ia sudah menjadi anggota parlemen dan menggantikan jabatan ayahnya sebagai pegawai kerajaan Inggris hingga pada tahun 1618 ia diangkat menjadi Lord Chancellor. Namun oleh pengaruh-pengaruh Renaissance dan tumbuhnya kelas borjuis Inggris, Bacon mampu keluar dari konservatisme kelas aristokratiknya. Bila tradisi filsafat di Perancis dan Jerman sangat mementingkan faktor pengalaman, dasar-dasar dari aliran empiris ini sesungguhnya berasal dari Sir Francis Bacon. Dialah bapak Empirisisme yang kemudian membawa pengaruh luas, pendiri metode induktif modern dan pelopor dalam mensistematisasi prosedur ilmiah secara logis. Bacon, dialah pendiri materialisme Inggris yang sebenarnya dan semua sains eksperimental modern. Pandangan filsafat Bacon tertuang dalam karangannya “Novum Organum” atau Logika Baru yang terbit pada tahun 1620, karya monumental yang mendapat pengaruh kuat dari Demokritus. Secara filosofis, “Novum Organum” Bacon melawan konsepsi logika Organum milik Aristoteles yang kemudian menjadi landasan filsafatnya kaum skolastik.
Menurut Bacon, untuk mengenal segala sesuatu dibutuhkan penyelidikan-penyelidikan yang empiris, yang hasil-hasilnya diolah dengan memakai metode eksperimental atau induktif. Bacon menentang seluruh dogma-dogma yang tradisional. Ia sangat mementingkan kenyataan-kenyataan material sebagai basis dari seluruh pengetahuan manusia. “Knowledge is power” (pengetahuan adalah kuasa) itulah penyataan Bacon yang terkenal. “Daratan, lautan, dan bintang-bintang bagi kami adalah wahyu,” ungkapnya. Ia beranggapan bahwa di dalam usaha untuk menguasai alam-kodrat, maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah menguasai ilmu pengetahuan alam. Adapun syarat ilmu pengetahuan hanya mungkin bila didasarkan atas pengalaman inderawi. Dengan demikian, pengalaman inderawi atas hal-hal konkret menjadi sumber bagi pengetahuan yang sebenarnya. Metode induksi juga mendapat sumbangan besar di tangan Bacon. Ia menekankan metode induksi yang mengobservasi kenyataan khusus sebagai metode ilmiah yang penting dalam merumuskan kebenaran.
Bagi Bacon, tindakan terpenting dari ilmu pengetahuan adalah sikap penyelidikannya yang menyeluruh (observasional) atas kenyataan. Tindakan observasional yang berhasil adalah ketika ia mampu menyingkirkan faktor-faktor anti-nalar yang menutupi atau membiaskan pikiran manusia dalam mencapai kebenaran obyektif. Itulah subyektifisme yang bersumber pada beberapa idola-idola yang harus disingkirkan jauh-jauh dari dunia pengetahuan. Menurut Bacon ada empat jenis pemujaan yang membungkus manusia dalam subyektifisme, apa yang sering dikenal dengan konsep idola: Pemujaan terhadap suku bangsa idola tribus), pemujaan terhadap gua-gua (idola cave), pemujaan terhadap pasar (idola fora), dan pemujaan terhadap teater (idola theatra).
Subyektifisme yang bertolak dari suku bangsa dan gua-gua, menjadi ciri dari pandangan kuno yang tidak mudah dihapus secara langsung secara kognitif. Keduanya merupakan bawaan pikiran, menyerupai cermin yang memutarbalikkan fakta; suatu pandangan yang membiaskan kenyataan. Sikap suku-suku kuno yang memuja alam yang melahirkan efek takhayul dan mendistorsi pengetahuan ilmiah melalui prasangka kolektif suatu suku bangsa. Sedangkan tentang pemujaan gua-gua merupakan bentuk subyektifitas sebagai bias individual, suatu perlawanan langsung Bacon terhadap filsafat idealisme Plato yang salah itu, perintang utama obyektifitas. Pemujaan terhadap pasar menemukan distorsinya dalam pergaulan dan asosiasi perjumpaan manusia-manusia melalui barang dagangan. Penciptaan bahasa, di mana lewat percakapan manusia-manusia mampu berasosiasi, membuat sistem tanda, simbol, dsb. Pemujaan terhadap teater, menurut Bacon teater merupakan media yang melanggengkan teori-teori tradisional. Permainan sandiwara yang banyak melakukan khayalan-khayalan terhadap dunia, secara langsung menjadi sumber pendistorsian pandangan manusia atas dunia.
Secara lugas Bacon menggugat filsafat skolastik yang telah mencampuradukkan filsafat dan teologi secara sembarangan; suatu tindakan yang mengaburkan dan mengacaukan batas-batas antara filsafat dan agama. Akibat dari pandangan-pandangan skolastik ini, jelas telah membawa kerugian besar bagi dunia ilmu pengetahuan. Bacon dalam konteks ini jelas hendak membebaskan ilmu pengetahuan dari pilar-pilar lama yang dipancangkan oleh otoritas-otoritas kuno; ladang tempat beroperasinya segala hal tentang pemujaan (idola), takhayul, prasangka, dan perbudakan pada tradisi kuno. Dalam karangan Keluarga Suci, Marx memberikan komentar atas Bacon dengan pernyataan yang penuh aforisme sebagai berikut.

“Di tangan Bacon, sang pencipta pertama, materialisme mengandung bibit segala perkembangan, embrio laten dan dengan cara yang masih naif. Materi tersenyum pada manusia dengan kejelasan inderawi yang puitis..”

Sampai di tangan Bacon, materialisme sesungguhnya telah mencapai syarat-syarat yang signifikan secara perspektif dan metodis sebagai upaya menerangkan kebenaran dunia obyektif secara ilmiah. Ia memperjelas pagar pembatas antara filsafat yang ilmiah dan teologi yang dogmatis, dan belum mencapai tingkatan yang lebih radikal dari pada itu. Kelemahan Bacon adalah memindahkan begitu saja ilmu-ilmu eksakta ke dalam filsafat; suatu metode yang melahirkan tinjauan yang berat sebelah, kaku dan sempit; dasar metodis yang membawahnya pada kepincangan metafisis yang khas terjadi pada filsafat abad itu.
Pengaruh Bacon terhadap filsafat di abad 17 dan 18 sungguh luar biasa. Ia memberi inspirasi penting, seperti menyediakan tanah dan pupuknya yang memberi kesuburan bagi perkembangan filsafat materialisme hingga puncaknya pada kaum materialis Perancis yang lebih radikal sebagai penggerak Abad Pencerahan.


 John Locke (1632-1704)




John Locke lahir di kota Wrington, Inggris, 1632. Gelar sarjana muda diraihnya pada tahun 1656 di Universitas Oxford dan sarjana penuh pada tahun 1658. Sejak usia remaja ia sangat tertarik pada ilmu pengetahuan dan pada usia 30 tahun terpilih menjadi anggota “Royal Society” sebuah lembaga ilmu pengetahuan yang terhormat di Inggris. Ia menjadi sahabat kental seorang ahli kimia terkenal Robert Boyle dan sepanjang hidupnya berteman dekat dengan Isaac Newton. Berikutnya, ia lebih banyak menekuni bidang filsafat, khususnya Rene Descartes. John Locke adalah filosof utama pada zaman Fajar Budi, penganjur utama kebebasan agama, penentang kepicikan dogmatis Calvinian dan menghormati kebebasan individu. Ia hidup pada masa Inggris dalam situasi pergolakan besar yang dipicu oleh pemberontakan Cromwell yang mewakili kepentingan kelas borjuis yang sedang tumbuh melawan kaum bangsawan feodal Inggris yang diwakili oleh raja Charles I. Pemberontakan ini juga sering disebut dengan ‘Revolusi Besar Inggris’.
Dalam pemikiran filsafat, menurut Marx dan Engels sendiri, Inggris Raya merupakan tanah kelahiran kembali materialisme, dan Locke adalah penerus dari apa yang sudah dirintis oleh para materialis Yunani Kuno. Bila Descartes mencari dasar pengetahuan untuk semua kepastian (rasionalisme), Locke mendapatkan dasar ini dalam penglihatan inderawi (empirisisme). Seperti yang Locke ungkapkan sendiri dalam buku yang ia tulis pada masa pengasingannya di negeri Belanda, An Essay Concerning Human Understanding:

“Mari kita memandang pikiran, seperti kita tahu, bagaikan kertas putih yang bebas dari semua sifat, tanpa ide apa pun; lantas, bagaimana pikiran ditorehkan? Dari mana datangnya simpanan yang banyak sekali, khayalan manusia dan tak terbatas mengecatnya dengan berbagai ragam yang hampir tak ada akhirnya? Atas pertanyaan ini saya menjawab dengan satu kata: pengalaman. Di dalam pengalaman semua pengetahuan kita bangun, dan dari pengalaman, pengetahuan pada puncaknya menurunkan dirinya.”

Sangat terang kutipan di atas bagaimana Locke menempatkan sumber utama pengetahuan yang paling pokok adalah apa yang didapat dari pengalaman (panca indera), atau dalam pengertian lain tidak ada pengetahuan yang mendahului pengalaman. Persepsi adalah tingkat pertama menuju pengetahuan kognitif, sebuah pernyataan yang hampir tak terbantahkan dalam pengetahuan modern. Pengalaman lahiriah atau sensations merupakan susunan dari sifat-sifat seperti “keluasan, bentuk, jumlah dan gerak”. Sementara pengalaman batin (reflextion), terjadi kalau kesadaran melihat keaktifannya sendiri dalam kegiatan yang bersifat praktis. Dengan cara ini terjadi apa yang kemudian disebut dengan “ingatan, perbandingan, kehendak”, sebagai akumulasi data, metode komparasi dan hal yang bersifat teleologis dalam subyek bernama manusia sadar.
Pandangan yang paling menonjol dari Locke adalah tentang filsafat politik. Ia juga dikenal sebagai pencetus “liberalisme klasik” yang menjunjung tinggi kesucian kepemilikan privat, menolak asal-usul kekuasaan dari warisan, toleransi agama, serta anti-otoritarianisme khas kekuasaan feodal dan gereja Katolik Roma. Dalam lapangan politik pandangan Locke merangkum suatu kepentingan kelas borjuis yang demokratis dengan menolak pemerintahan monarkhi mutlak sebagai syarat menuju kebebasan individu. Gagasan politik Locke yang cemerlang, sebagai ciri kuat dari liberalisme adalah pembagian kekuasaan atas tiga unsur: eksekutif (pemerintah), parlemen (kekuasaan yang menetapkan undang-undang), dan federatif (kekuasaan rakyat yang memutuskan soal-soal mendesak seperti perang dan damai). Gagasan ini kemudian disempurnakan oleh filosof Perancis Montesquieu, apa yang kemudian dikenal dengan konsepsi “Trias-politika”. Sebuah pandangan yang merintis lahirnya konsepsi negara modern sebagai fundamen politik. Gagasan politik Locke ini, selain memberi inspirasi pada Montesquie juga memberi inspirasi bagi Revolusi Besar di Inggris dan revolusi kemerdekaan di Amerika Serikat. Sebuah konstribusi yang tidak kecil secara historis, di tengah gejolak zaman yang sedang berkecamuk menata diri secara sadar. Bagaimana konsepsi-konsepsi filosofis menjadi landasan bagi berpijaknya tatanan politik suatu negeri atau penataan sistem kemasyarakatan pada umumnya.
Sebagai salah satu bapak empirisisme yang utama, gagasan Locke menyebar dan memberi pengaruh kuat pada George Berkeley, David Hume, dan Immanuel Kant; selain para filosof Perancis sendiri seperti Voltaire, Montesquieu, Helvetius, dan Condillac. Kaum materialis Perancis sungguh banyak berhutang pemikiran pada kematangan empirisisme John Locke ini.


 Benedictus de Spinoza (1632-1677)



Baruch de Spinoza yang kemudian berganti nama Benedictus de spinoza lahir pada tahun 1632 di Amsterdam, Belanda dalam sebuah keluarga Yahudi pedagang yang melarikan diri dari Portugal. Pada awalnya ia belajar teologi Yahudi, bahasa klasik, ilmu pasti, filsafat khususnya metode Descartes selain pengaruh dari Machiavelli dan Hobbes. Namun pandangannya yang menyimpang dari dogma Yahudi ortodok membuat dia dikeluarkan dari sinagoge. Filsafat Spinoza merupakan gabungan antara rasionalisme dan mistik yang mendapat pengaruh kuat dari Descartes, Plotinos, dan Bruno. Dalam perspektif rasionalisme, Spinoza sering dikenal sebagai pembawa gagasan Panteisme dan pelopor pemikir bebas (free-thinker) dalam tradisi liberalisme religius modern. Dengan keberanian ilmiah ia memaknai kitab Injil tidak dari sudut pandang kepercayaan agama, namun dari sudut kritis historis filologi semata. Malaikat hanyalah karangan fantasi semata, suatu fiksi dan bukan fakta. Ia juga menyerang pemahaman tentang mukjizat tak lebih sebagai kesalahan tafsir atas hukum alam yang obyektif. Tak heran bila semangat model Giardano Bruno ini membuat dirinya dikutuk dan dikucilkan dari masyarakat dan alirannya sendiri. Keberanian dan kecemerlangan Spinoza, sungguh memberi inspirasi awal yang sangat penting dan menghantarkan kepada kaum materialisme di Perancis menuju tahap pemikiran yang lebih matang.

Teks kutukan atas Spinoza oleh Sinagoge, 27 Juli 1656

“Sesuai dengan keputusan para malaikat dan pernyataan para kudus, kami mengucilkan, mengutuk, melaknat dan menghukum Baruch de spinoza… Terkutuklah dia di siang hari dan malam hari, terkutuklah dia saat berbaring maupun berjaga, ketika dia pergi maupun datang… Jagalah diri kalian sehingga tak seorang pun berhubungan dengannya baik secara tertulis maupun lisan, tak seorang pun menunjukkan itikad baik sedikit pun kepadanya, tak seorang pun tinggal satu atap dengannya… Tak seorang pun membaca tulisan-tulisannya.

Pandangan filsafat Spinoza menyatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan suatu ‘substansi’ yang dalam pengertian Spinoza sebagai “sesuatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri”. Dengan definisi ini Spinoza memahami substansi sebagai kenyataan yang mandiri tapi terpisah dengan sesuatu yang lain. Substansi dalam pandangan spinoza adalah sama artinya dengan Allah yang mewujud dalam kenyataan alamiah. Allah adalah alam. Segala sesuatu terangkum dalam Allah-alam yang searti dengan Panteisme atau Tuhan berada di dalam seluruh benda. Ajaran Panteisme Spinoza pada dasarnya adalah suatu materialisme teologis, suatu pandangan yang tidak memiliki garis linear dengan tradisi monoteis. Suatu materialisme yang masih mentah. Kementahannya lantaran isinya belum sepenuhnya menemukan hubungan-hubungan kombinasi material dengan kemajuan ilmu pengetahuan termaju di zamannya hingga masih membungkus diri dalam jubah tua teologi. Tidak salah bila kemudian Feuerbach berkomentar bahwa Spinoza sebagai Musa bagi pemikiran bebas dan materialisme modern. Sumbangan penting Spinoza adalah ia menyingkirkan kebimbangan dari dualisme Descartes maupun doktrin teologi tradisional, menyingkirkan dualisme Alam dan Tuhan. Tindakan Tuhan adalah tindakan alam, demikian juga sebaliknya. Secara teoritis, Spinoza memberi konstribusi tertentu terhadap materialisme. Sebab di tangan Feuerbach kemudian, jubah tua teologi Spinoza ditanggalkan dan dikembangkan dalam isi dan bentuknya dalam materialisme yang merenung atau materialisme kontemplatif.
Dalam lapangan sosial, Spinoza memberi inspirasi bagi gerakan demokratis dalam batas-batas tertentu. Menurut dia, seluruh kekuasaan itu memang ada di tangan pemerintah, namun rakyat memiliki kebebasan berpikir dan berbicara dalam bidang agama dan politik. Rakyat dengan demikian juga memiliki hak untuk memberontak, hak untuk melahirkan pemerintah yang benar dan kemerdekaan individu. Dalam buku Etika, Spinoza juga menyatakan bahwa keadaan pra-sosial yang alamiah ialah perang umum atau permusuhan universal. Aspek-aspek dialektika juga sudah tumbuh berkembang dalam tingkatan yang masih sederhana di tangan Spioza.


• Thomas Hobbes (1588-1679)




Thomas Hobbes lahir di kota Malmesbury, Inggris. Dalam usia 15 tahun ia sudah belajar logika skolastik dan fisika di Oxford. Dua karya penting Hobbes adalah Human Nature (1650) dan Element of Law, Natural and Political (1639). Dua karya ini meneguhkan pemikiran filsafat Hobbes yang materialistis dan salah satu pemikir politik yang penting. Secara kefilsafatan Hobbes mendapat pengaruh kuat dari Descartes, dan lebih khusus lagi adalah Bacon. Di tangan Hobbes, filsafat Bacon disistematisasi secara lebih maju.
Ia berpendapat bahwa segala kejadian itu ditentukan oleh gerak dan bentuk-bentuk obyek yang material. Sedangkan berbagai cita-rasa dalam diri manusia yang berdasarkan panca indra (warna, nada, rasa, dsb) adalah bersifat subyektif. Menyangkut soal agama dan Tuhan, ia berpendapat bahwa manusia tidak mungkin mengetahui apa pun tentang eksistensi Tuhan. Ketidaktahuan tentang seluruh hal-ihwal tentang alam membuat manusia mudah percaya pada khayalannya sendiri atau khayalannya orang lain. Rasa takut berakar dari kebodohan atau ketidaktahuan manusia sendiri, yang cenderung menggunakan praduga-praduga dan mendalihkan pada mereka sendiri berbagai hal yang sifatnya ghaib yang mendapatkan kewajarannya pada agama.
Rasa takut dan ketidaktahuan (kebodohan) itulah akar dari setiap kepercayaan agama. Pandangan yang radikal inilah yang menjadikan Hobbes lebih maju dibandingkan empirisisme Bacon; dasar pemikiran yang diapresiasi oleh Marx sebagai “penghancuran Hobbes atas prasangka-prasangka theistik pada materialisme Bacon”. Bila materialisme Bacon memberi sumbangan pada pemisahan antara filsafat dan teologi, empirisisme Bacon jelas memberi sumbangan besar untuk merumuskan pagar pemisah sekaligus penghancuran atas prasangka mistisisme. Namun empirisisme Bacon yang masih puitis (theistik) tersebut, telah dibersihkan oleh Hobbes. Materialisme berkembang semakin tulen di tangan Hobbes.
Walaupun demikian, pandangan politik Hobbes masih belum beranjak dari kereaksioneran kelasnya yang anti-dialektika dan demokrasi. Dalam rangka menghindari perang saudara dan hasutan, ia masih memerlukan agama untuk menjaga perdamaian dan stabilitas negara persemakmuran. Ia sepenuhnya sadar bahwa para pembuat undang-undang, kelas-kelas yang berkuasa, selalu menuntut ketaatan rakyat kepada mereka dengan cara meyakinkan rakyat bahwa apa yang mereka perintahkan merupakan perintah agama. Untuk itulah rakyat membutuhkan agama dan raja-raja otokratis untuk menghindarkan perang abadi, di mana antara rakyat bisa saling menyerang tetangganya sendiri atau dalam istilah latin yang terkenal “Bellum omnes contra omnia (Perang semua melawan semua) ; homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).”
Dalam konteks kekuasaan negara, filsafat politik Hobbes merestui kekuasaan mutlak raja yang diwakili oleh raja Charles I yang dibelanya. Pandangan ini berdasarkan pada kenyataan bahwa individu-individu rakyat membutuhkan keamanan dan perlindungan, sehingga mereka menyerahkan hak tersebut (kontrak sosial) kepada kekuasaan mutlak di tangan raja untuk menyelenggarakan kemakmuran bersama (commonwealth). Pemerintahan mutlak ini, sekalipun membolehkan warga negaranya berpikir bebas, namun perlu untuk memaksa rakyat tunduk pada agama resmi dan negara agar tata tertib bisa dijalankan dengan baik.


C. Catatan Kritis atas Peranan Materialisme Perancis yang Bersejarah.


Bila kita membahas gerakan Pencerahan di Abad ke-18, kita tidak akan memahaminya tanpa menemukan kekuatan inti-nya yang terletak di pundak kaum materialis Perancis; persis sebagaimana kita tidak akan memahami filsafat Abad Tengah tanpa memahami filsafat Aristoteles. Pasca Renaissance dunia filsafat dan ilmu pengetahuan mendapati langkah-langkah kemajuan yang luar biasa pesat. Motor penggerak Abad Pencerahan di Perancis adalah para filosof penting seperti Helvetius, Diderot, Hollbach, Voltaire, Lamettrie, Rousseau, Montesquieu. Gagasan empirisisme yang datang dari tanah Inggris, berpadu dengan Cartesianisme ala Perancis dan mendapatkan watak politik dan revolusionernya oleh tempaan pergolakan sosial di Perancis. Materialisme Perancis, bukan saja merupakan pertarungan melawan institusi-institusi politik, agama, teologi yang telah berkuasa selama ratusan tahun lamanya. Ia mampu meluaskannya hingga ke tradisi ilmiah yang luas dan universal. Mereka mengambil jalan pintas yang paling pendek dan berani menerapkannya pada semua subyek ilmu pengetahuan dalam karya raksasa bernama Ensiklopedi. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Ensiklopedi adalah kitab Pencerahan yang sebenarnya.
Sampai ke tangan Helvetius, materialisme menjadi benar-benar Perancis. Ia memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sosial. Kualitas indrawi, cinta diri, kegemaran pribadi sebagai basis-basis moralitas. Materialisme berkecambah bersama kualitas alamiah kecerdasan manusia; kemajuan tenaga produktif dari ilmu pengetahuan dan industri. Lamettrie, ia menggabungkan sistem fisika Descartes dengan materialisme Inggris dalam karya penting berjudul “Man Machine”. Hollbach, ia menggabungkan materialisme Prancis dan Inggris dan mengembangkan inti moralitas yang telah diletakkan oleh materialisme Helvetius. Dan Diderot membawa materialisme dalam watak yang paling politis dan berani dalam hal anti-teologi dan feodalisme sekaligus. Dialah bapak ideologi revolusi borjuis demokratis Perancis yang sebenarnya. Demikianlah cara orang-orang Perancis mengurus “jabang bayi” materialisme. Antara kaum materialis Inggris dan Perancis, keduanya seperti saudara kandung yang saling memperadabkan. Benih pertama materialisme memang lahir di Inggris, namun Perancis mendidik Inggris bagaimana cara mengurung “jabang bayi” materialisme dengan baik, tanpa bertele-tele, namun dengan memberi gizi paling baik yang dibutuhkan bagi pertumbuhan darah-daging materialisme itu sendiri.
Di tengah-tengah Perancis sedang merayakan materialisme-nya, pada saat yang sama Jerman sedang bermain-main dengan abstaksi besar sistem Hegelian. Sebelum mencapai posisi yang sama dengan jentera metafisika spekulatifnya.
Dan tunas materialisme yang tumbuh di tanah subur Perancis adalah puluhan bunga kemanusiaan yang kuncup dan turut mewangikan Inggris. Sosialisme utopia ala Fourier setidaknya bunga yang kuncup pertama langsung dari taman sari materialisme Perancis. Juga seorang materialis kaku namun seorang komunis yang masih mentah, Babouvist. Bentham yang orang Inggris itu, menemukan sistem kepentingan yang dipahami dengan baik dari moralitas Helvetius. Dan Bentham adalah guru pemikiran dari Robert Owen, tempat Owen mendasarkan seluruh ide-ide komunisme Inggris-nya yang masih mentah bernama sosialisme utopia. Juga Dezanny dan Gay, mengembangkan materialisme sebagai humanisme yang nyata dan komunisme logis.
Di bidang filsafat, materialisme Perancis sungguh merupakan pertarungan terbuka melawan metafisika, khususnya Descartes, Malebranche, Spinoza, dan Leibniz. Filsafat dipertentangkan dengan metafisika, sebagaimana Feuerbach melancarkan satu serangan yang mematikan terhadap idealisme Hegel, yang menentang semua filsafat sederhana hingga spekulatif yang memabukkan itu. Metafisika abad ke-17, telah ditaklukkan dan diusir keluar dari Perancis oleh kaum materialis Perancis yang menjadi motor gerakan Abad Pencerahan. Kajian mereka terhadap teologi juga lebih maju dan radikal dibanding dengan prestasi yang dicapai filsafat sebelumnya. Menurut mereka, agama merupakan pandangan yang berisi kebohongan kaum agamawan (pendeta). Dalam periode Abad Tengah yang panjang, kaum pendeta telah memelihara masyarakat dalam situasi kebodohan supaya mereka dapat mempertahankan berbagai hak istimewa dalam kekuasaan feodal dan kekayaan. Mereka membangun front dengan kelas feodal dalam periode pembodohan dan pemiskinan masyarakat ini. Dan jawaban fundamental kaum materialis Perancis dalam soal ini, khususnya Hollbach dan Helvetius, adalah gerakan pencerahan atau memajukan pendidikan manusia yang rasional. Pendidikan adalah satu-satunya obat penawar dari racun-racun kepalsuan yang menyesatkan umat manusia yang diinjeksi oleh dogma-dogma teologi. Mandat terpenting dari Abad Pencerahan adalah mengusir pendeta dari peran penyesatannya dan menjadikan posisi mereka (pendidik) sebagai sang pencerah dan penyelamat baru.
Namun kaum materialis Perancis ini alpa bahwa dengan memisahkan mayoritas rakyat yang pasif dari sedikit orang yang aktif menyesatkan atau menyelamatkan mereka, menjadi pangkal dari metafisisnya. Karl Marx dengan tepat menyerang mandat pencerahan Perancis yang masih metafisis dan melakukan koreksi atas peran pendidik ini yang juga harus dididik seperti apa yang ia sampaikan dalam tesis ke-3 (lihat Tesis-tesis tentang Feuerbach).

“Ajaran materialis bahwa manusia itu adalah hasil keadaan dan didikan, dan oleh karenanya, manusia yang berubah adalah hasil keadaan-keadaan lain dan didikan yang berubah, melupakan bahwa manusialah yang mengubah keadaan dan bahwa pendidik itu sendiri memerlukan pendidikan. Karena itu, ajaran menurut keharusan sampai pada membagi masyarakat menjadi dua, satu di antaranya adalah lebih unggul dari anggota masyarakat lainya (Robert Owen, misalnya). Terjadinya secara bersamaan perubahan keadaan dengan perubahan aktifitas manusia bisa dibayangkan dan dimengerti secara rasional hanya sebagai praktek yang merevolusionerkan.”

Peran historis filsafat Perancis yang telah dijalankan dengan baik dalam sejarah umum filsafat adalah mengusir metafisika. Bila mandat terpenting mereka adalah mengusir pendeta, maka mandat tertinggi yang ditawarkan pada dunia adalah membangun kerajaan kecerdasan nalar. Pada awalnya mereka memang tidak mewakili emansipasi kelas tertentu, namun mewakili umat manusia dalam suatu gerakan emansipasi universal yang seketika. Ya, suatu gerakan emansipasi umat manusia yang seketika, membangun kerajaan nalar dan keadilan abadi. Namun kerajaan nalar ini, menciptakan manusia-manusia jenius agar mengerti kebenaran; namun seperti yang mereka ketahui sendiri, tetap tak menjawab keadilan abadi. Ketidakadilan masih merajai dunia, dan jarak menuju keadilan abadi itu masih sejauh bumi dan langit. Demikianlah sisi kelemahan dan keunggulan filsafat materialis Perancis.
Peran dan prestasi kaum materialis Perancis menempasi posisi yang sangat sentral pada Abad Pencerahan. Corak pandangan filsafat mereka didominasi oleh materialisme mekanis yang cukup radikal. Materialisme Perancis menjadi bendera teoritik bagi seluruh pemuda yang beradab, borjuis di kalangan kaum Republiken Perancis dan menjadi perumus teks Deklarasi Hak-hak Manusia. Revolusi Perancis adalah pemberontakan borjuis yang ketiga, namun yang pertama dalam artian mencampakkan sama sekali jubah keagamaan dan telah diperjuangkan menurut garis-garis politik yang tak bertopeng; ia adalah yang pertama dan sungguh-sungguh diperjuangkan sampai pada penghancuran salah satu dari yang bertempur, yakni kematian bagi kelas bangsawan feodal dan kemenangan penuh bagi kelas borjuis. Inilah yang tak dicapai dalam revolusi besar di Inggris yang lebih memilih pada tindakan kompromis antara tuan-tuan tanah lama dan para kapitalis, yang menjadi preseden buruk karena menyisakan sistem lama dan bahkan semakin mengeraskan pegangan mereka pada keagamaan karena ketakutan dan rasa ngeri mereka pada Revolusi Perancis yang mempesona dan tak kenal belas kasihan itu. Sungguh mempesona, bagaimana bakat-bakat kemanusiaan, kecerdasan, keberanian para filosof materialis Perancis telah berpadu dengan langkah-langkah politik yang benar-benar revolusioner. Inilah nilai paling istimewa dari revolusi besar Perancis, rahim yang sesungguhnya dari negara modern.
Filsafat materialisme modern yang berkembang pada waktu itu, tak bisa dilepaskan dan berjalan seiring dengan berderapnya perkembangan peralihan kekuasaan ekonomi, atau apa yang sering dikenal dengan Revolusi Industri (1750-1840). Kemajuan tenaga produktif diwakili oleh James Watt menemukan mesin uap pada tahun 1763, Cartwright menemukan mesin tenun pada tahun 1785, dan pada tahun 1750 Abraham Derby mampu melelehkan besi dengan batubara untuk mendapatkan besi yang lebih sempurna dibandingkan kayu bakar. Seluruh penemuan tersebut sangat penting bagi kemajuan tenaga produktif. Perkembangan kapitalisme itu sendiri telah beranjak ke tingkat kapitalis manufaktur besar yang melahirkan jumlah kelas yang lebih besar bernama kaum buruh manufaktur; suatu fase matang yang menyiapkan diri menuju ke tahapan kapitalis industri. Inilah latar belakang yang menjadi basis sosial zaman yang melahirkan materialisme modern yang khas Perancis. Secara sekilas Marx juga membahas mereka dalam karya Holy Family. Lebih jelasnya mari kita kupas beberapa filosof wakil dari mereka: Helvetius, Lamettrie, Hollbach, dan Diderot.


 Claude Adrien Helvetius (1715-1771)



Claude Adrien Helvetius, lahir di Paris pada bulan Januari 1715 dan meninggal di kota yang sama pada tahun 1771. Setelah menamatkan di perguruan tinggi Louis-le Grand, ia mengabdikan diri pada filsafat dan berdiri sebagai salah seorang penganut “sensualisme”dari Perancis atau pengalaman inderawi sebagai sumber kebenaran pengetahuan. Dalam bukunya “Essai sur les element de philosophie” (1759) menerangkan bahwa penangkapan panca indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan bagi manusia untuk mengenal kebenaran ilmu. Dikatakan olehnya bahwa hakekat segala sesuatu bagi manusia tetap merupakan teka-teki. Maka dari itu hendaknya manusia berpegang pada fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang positif saja. Helvetius merupakan seorang filosof materialis yang paling berpengaruh dan salah satu tokoh yang menyusun “Ensiklopedia” (1751-1780) yang terkenal itu bersama Denis Diderot. Karangan lainnya adalah De l'Esprit: or, Essays on the Mind (1759), sebuah buku yang dibakar oleh para eksekutor pada tahun 1759 karena gagasan-gagasannya yang tajam menentang hukum-hukum dan moralitas konservatif Perancis.
Secara frontal Helvetius menyerang agama dan segala otoritasnya. Menurutnya agama tidak berlaku sebagai penjaga stabilitas masyarakat namun sebaliknya, sumber segala takhayul, kebodohan dan prasangka. Teori Helvetius yang selaras dengan pandangan Hollbach sering dikenal dengan kebohongan kaum agamawan (priestly deccit) yang bisa kita jabarkan bahwa para pendeta itu berupaya menahan orang-orang dalam kebodohan supaya mereka dapat mempertahankan kakayaan dan kekuasaan mereka. Kebajikan-kebajikan prasangka ini hanya menguntungkan ahli sihir, tukang tenung dan pendeta. Sudah saatnya bagi individu-individu untuk memutuskan kebajikannya sendiri dan tidak lagi percaya pada pendeta dan orang-orang kerajaan feodal. Satu-satunya jalan menggapai kebahagiaannya adalah menyingkirkan penindasan ekonomi dan iman. Inilah watak demokratis dari pandangan Helvetius. Dan jalan pembebasan untuk seluruh penindasan itu semua hanya dengan gerakan pencerahan, gerakan pendidikan untuk melawan kebodohan (L’education penttout).
Pandangan filsafat Helvetius sendiri selalu menyandarkan pada hal-hal yang sepenuhnya materialistis: kualitas inderawi dan cinta diri, hiburan, kegemaran pribadi yang dipahami dengan tepat merupakan basis-basis yang memiliki aspek moral tersendiri. Kualitas alamiah seperti kecerdasan manusia, kesatuan kemajuan akal dan perkembangan industri, kebaikan manusia dan kemahakuasaan pendidikan, juga merupakan pokok-pokok pikiran dalam sistem filsafatnya yang menjadi amunisi bagi materialisme Perancis yang tidak hanya dalam tataran teoritis namun juga praktek sosial. Khususnya ajaran tentang inti moralitas Helvetius, seperti pupuk yang paling menyuburkan tumbuhnya ide-ide materialisme; memberi pengaruh luas baik di Perancis sendiri seperti Hollbach dan Lamettrie, maupun materialis Inggris dari Bentham hingga Robert Owen.


 Julien de la Mettrie (1709-1751)



Ia adalah seorang filosof materialis kelahiran Saint Malo, Perancis yang tak kenal kompromi. Gagasannya dirumuskan dalam bukunya “Histoire naturelle de l’ame” atau The Natural History of the Soul (1745) dan “L’home machine” (1748) sebagai karya yang menggabungkan sistem fisika Descartes dengan materialisme Inggris. Menurut Lamettrie, berdasarkan pada pengalaman, roh atau jiwa manusia sangat bergantung pada tubuh manusia. Manusia adalah Mesin (Man Machine), ia menyatakan bahwa tubuh manusia adalah ibarat mesin yang paling sempurna. Tanpa tubuh, maka tidak ada pijakan yang nyata bagi pancaindra, perasaan dan pikiran. Tubuh menjadi tempat yang nyata bagi manusia dengan segala fenomena di dalamnya. Dalam perspektif yang lain, sebagaimana kaum materialis Prancis yang positif, ia juga menyatakan bahwa manusia tidak akan pernah dapat mengenal Tuhan. Satu-satunya kerja hipotesa yang paling praktis adalah atheisme. Selebihnya adalah jalan ilmu yang mengisi kebenaran.
Di tengah publik Perancis di bawah kekuasaan monarkhi feodal, seluruh pandangannya yang radikal tersebut tidak diberi tempat. Seperti lazimnya para pemikir materialis lainnya yang sangat membahayakan kekuasaan reaksioner; disebabkan oleh pandangan atheisme-nya, ia harus meringkuk dalam penjara dan buku-bukunya dibakar di depan publik. Pada tahun 1748 Lamettrie diusir dari Paris ke Belanda dan meninggal di kota Leiden, Belanda, dalam kondisi kekurangan makan. Sampai akhir hayatnya ia tidak mengubah pandangan filsafat materialismenya. Setidaknya, ia menjadi salah satu martir bagi materialisme Perancis.


 Paul Heinrich Baron von Hollbach (1723-1789)




Ia kelahiran Jerman dengan nama lengkapnya Paul Heinrich Dietrich Baron von Hollbach, namun besar dalam lingkungan akademis Perancis karena bantuan keuangan dari pamannya. Hollbach adalah seorang musuh utama dari monarkhi mutlak, negara agama, dan hak-hak istimewa yang didapat oleh para bangsawan feodal. Hollbach menjadi salah satu dari jajaran intelektual paling radikal di Perancis.
Pandangan materialismenya meyatakan bahw materi merupakan substansi dari segala sesuatu yang dengan cara tertentu selalu menyentuh panca indera kita. Satu-satunya yang “ada” ialah materi yang tunduk secara tertib pada hukum-hukum gerakan mekanis. Pandangan Hollbach mencakup segala segi dari kefilsafatan Perancis yang berdasarkan pada pengalaman. Dalam bukunya “The system of nature: or Laws of the Moral and Physical World” (1770), karya yang sering dikenal sebagai injilnya materialisme, bagaimana ia menghubungkan kaitan yang terang dan langsung antara materialisme dan atheisme. Pandangannya tentang agama sangat kritis, bahwa dunia ini merupakan mata rantai sebab akibat yang panjang dan sambung-menyambung satu dengan yang lainnya. Percaya pada Tuhan merupakan dusta dan ekspresi dari sikap putus asa, suatu pengingkaran terhadap pengalaman sejati manusia. Agama dan Tuhan tak lebih sebagai sesuatu yang diada-adakan karena manusia tidak menemukan penjelasan ilmiah yang nyata atas penderitaan dan tragedi hidup ini. Ketika manusia merasa dirinya celaka di dunia ini, maka selalu ada orang yang datang mengancam mereka dengan amarah Tuhan, memaksa mereka diam dan mengarahkan pandangan ke langit; dengan demikian mereka tak dapat melihat sebab sesungguhnya dari penderitaan yang dialaminya di dunia ini. Holbach menolak agama dan mendasarkan moral pada alam dengan mengemukakan bahwa moralitas yang sesuai bagi manusia harus didasarkan atas kodrat alami manusia. Dengan terang ia menyatakan, “Jika ketidaktahuan manusia tentang alam telah melahirkan dewa-dewa, maka pengetahuan manusia tentang alam yang muncul kemudian telah membinasakan mereka.”
Pandangannya yang materialistik lebih jelas tertuang dalam karya Common Sense, or Natural Ideas vs Supernatural Ideas (1772). Atheisme dan determinisme, yakni pandangan yang menyatakan bahwa perbuatan manusia itu tergantung pada hal-hal yang dapat dikuasai atau dipengaruhi oleh manusia sendiri. Manusia sejak dilahirkan sudah memiliki alat pengindera kesusilaan yang mengajarkan bahwa segala perbuatan manusia itu selalu mengacu pada kesejahteraan diri sendiri. Dalam arti yang demikian, menurut Hollbach, kepentingan perseorangan dapat dipenuhi sebaik-baiknya bila disalurkan untuk mengabdi pada kepentingan masyarakat. Beberapa karangan yang menarik lainnya adalah Tableau of Saint (1770), sebuah kritik pedas atas kesalehan agama yang buta dan ajakan untuk memahami kebenaran dan kebajikan dalam perspektif yang lebih ilmiah (sains). On Religious Cruelty (1769) sebuah karya kritik atas praktek-praktek dan pemahaman agama dalam sudut pandang yang lain.
Hollbach sepanjang hidupnya ingin membuktikan bahwa seseorang bisa mencapai kebajikan dengan menjadi seorang atheis, suatu pandangan yang tidak umum pada zamannya. Ia berpendapat bahwa ateisme adalah syarat menuju teori etika yang paling valid dan merdeka. Agama, menurutnya, berdasarkan pada dogma dan ritual tanpa makna; di mana etika harusnya berdasarkan pada manfaat sosial dan kerjasama manusia. Watak humanisme Hollbach sangat kuat sebagai ciri yang paling khas dari para pemikir Abad Pencerahan.


 Denis Diderot (1713-1784)




Ia adalah seorang filosof Abad Pencerahan dari Perancis yang utama. Seorang materialis khususnya ajaran tentang filsafat alam, psikologi, teori pengetahuan dan dialektika. Ia meninggalkan agama untuk menulis filsafat dan menjalani gaya hidup bohemian, selalu dalam kondisi kekurangan makan, menjadi incaran spionase karena dianggap sebagai tokoh sangat berbahaya bagi monarki mutlak di Perancis. Disebabkan oleh propaganda pikirannya yang menyerang moralitas konvensional serta anti agama dan monarkhi, ia sempat masuk penjara di Vincenes selama tiga bulan karena menawarkan ateisme murni kepada masyarakat umum melalui karyanya A letter to the Blind for use of Those Who see. Dalam karya ini ia menyerang pandangan keagamaan Newton dan Pascal yang masih saja mempertahankan eksistensi Tuhan di dalam penjabaran masalah sains. Adalah suatu absurditas gagasan yang mengerikan dan tindakan yang tidak layak, mengajukan Tuhan sebagai penjelasan atas sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Fakta ini sungguh suatu kegagalan yang memalukan dari seorang ahli sains itu sendiri.
Menurut Diderot, memasuki zaman baru ini sudah tidak dibutuhkan lagi adanya sang Pencipta. Materi bukanlah suatu yang pasif dan rendah sebagaimana yang dibayangkan oleh Newton dan orang-orang Protestan. Materi memiliki dunianya sendiri yang mandiri, berdinamika secara mandiri menurut hukum alam secara apa adanya. Tuhan tidak ada sama sekali. Satu-satunya kenyataan adalah dunia materi. Diderot benar-benar membawa pandangan filsafat spinoza selangkah lebih maju, dari panteisme menuju materialisme yang murni. Suatu penjelasan ilmiah yang bebas dari pencampuran mistisisme sama sekali.
Diderot adalah pemimpin kaum Ensiklopedis Perancis. Mereka, kaum Ensiklopedis, adalah sekelompok filosof ilmu alam dan penulis Gerakan Pencerahan di Perancis pada Abad ke-18 yang bergabung dalam sebuah proyek besar untuk menerbitkan Encyclopédie ou dictionnaire raisonné des sciences, des arts et des métiers (Encyclopaedia or Esplanotory Dictionary of the Sciences, Arts and Professions) (1751-1780). Pekerjaan raksasa ini dipimpin oleh Denis Diderot dengan para asistennya seperti Jean le Rond d ’Alembert, Paul Henri Holbach, Claude Adrien Helvetius dan Voltaire. Jean Jacques Rousseau memberi kontribusi tulisan pada volume pertama. Kaum Ensiklopedis merupakan para filosof brilian, barisan ideolog bagi revolusi borjuis dan memainkan peranan menentukan dalam bidang ideologi bagi Revolusi Borjuis di Perancis di tahun 1789. Secara politik, nama Diderot tak terpisahkan dari tatanan masyarakat demokratis, melalui serangannya yang mematikan terhadap sistem monarki mutlak di Perancis.
Diderot meninggal sebelum revolusi besar Perancis meletus, dan Engels menuliskan suatu kenangan yang jujur tentangnya. Dalam buku Ludwig Feuerbach ia menulis: “Bila ada seseorang yang menyerahkan seluruh hidupnya dengan penuh semangat untuk kebenaran dan keadilan, sebuah frase yang baik untuk menjelaskan soal ini adalah Diderot”.
Tidak hanya Engels, dalam kesempatan lain, Karl Marx juga menuliskan dalam Surat Pengakuan (Confession) pada 1 April 1865, bahwa Denis Diderot sebagai penulis prosa yang paling disukainya. Esai-esainya yang tajam, terbuka dan tanpa ditutup-tutupi banyak memberi inspirasi Karl Marx secara pribadi. Demikianlah Denis Diderot, kepala dari filsafat Materialisme Perancis yang menjadi obor bagi Abad Pencerahan. Di tangan mereka, materialisme yang sungguh-sungguh telah mematangkan diri. Suatu materialisme yang bebas dari segala prasangka agama (teisme). Atau dalam pengertian lain, ateisme sebagai humanisme teoritis yang menyingkirkan segala ketergatungan manusia pada faktor-faktor di luar dirinya.


D. Ludwig Feuerbach sebagai akhir dari filsafat idealisme Jerman Klasik





Ia lahir di Landshut, Jerman, 1804. Pada awalnya ia belajar teologi di Heidelberg dan belajar filsafat di Berlin dengan gurunya Hegel. Feuerbach termasuk dalam golongan Hegelian “sayap kiri” bersama Bruno Bauer, Arnold Ruge, dsb. Ia adalah pengkritik Hegel yang paling radikal dan pembahas hakekat agama yang paling mendalam dibandingkan dengan para pendahulunya. Menurutnya, filsafat Hegel itu tak lebih dari “teologi tersamar” dan idealisme Hegel harus dijungkirkan agar memperoleh pemahaman yang tepat tentang kenyataan yang terdiri dari materialisme alam dan manusia. Sedangkan sebagai pembahas tentang masalah-masalah agama, Feuerbach lebih maju dari konsepsi lama yang masih bertumpu pada kebohongan dari para pendeta-pendeta. Agama tidak lagi diartikan sebagai fenomena yang independen yang menerangkan kebodohan dan ketidakbahagiaan manusia. Masih menurut Feuerbach, Tuhan merupakan suatu mimpi dari ketidakberdayaan manusia. Untuk itu, kata Tuhan harus diganti dengan kata “hakekat manusia”. Sedangkan kata agama diganti dengan kata politik; tindakan berkhayal harus diganti dengan tindakan politik yang nyata. Mengapa demikian, karena manusia telah sekian lama diasingkan dari hakekat kemanusiaannya sendiri.
Dalam bukunya Hakekat Agama Masehi, tugas filsafat ialah mengubah sahabat-sahabat Tuhan menjadi sahabat-sahabat manusia; mengubah kaum beriman menjadi kaum pemikir; mengubah orang yang beribadah menjadi kaum pekerja; mengubah calon warga surga menjadi murid-murid dunia ini; dan mengubah orang kristiani yang menamai dirinya sendiri “separuh malaikat” menjadi manusia 100 persen. Feurbach menolak pendapat seolah teologi tidak mempunyai arti sama sekali. Teologi itu penting, namun bukan sebagai ajaran tentang Tuhan, melainkan tentang hal-hal manusiawi (antropologi). Manusia adalah pusat dan akhir dari agama. Semua hubungan antar-manusia bersifat religius. Karena itu “teologi” harus dibaca sebagai “antropologi” dengan “wahyu” utama “homo homini deus est” atau “manusia adalah Tuhan bagi sesama”.
Manusia harus mengerti bahwa Tuhan tak lain adalah ciptaan manusia sendiri, sehingga bukan zamannya lagi manusia bersikap dan berlaku lagi sebagai hamba yang lemah dan tak tak berdaya. Sekian lama nasib umat manusia telah dipermainkan oleh dogma dan fantasinya sendiri. Manusia yang telah menjadi ciptaan dari ciptaan-Nya, obyek dari obyek-Nya sehingga terkekang dan tak bebas, kini menjadi bebas dengan keluar dari kekeliruannya selama ini. Pemahaman Feuerbach tentang agama jauh lebih maju ketimbang seluruh filosof materialis sejak Bacon hingga filosof-filosof Abad Pencerahan yang masih menganggap agama sebagai kebohongan pendeta di atas kebodohan masyarakat. Prestasi Feuerbach tentu jauh lebih tinggi, namun jauh di atas segalanya itu adalah Karl Marx. Konsepsi Marx tentang agama dengan tepat dan radikal menyatakan bahwa “agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, nurani dunia yang tidak bernurani, nyawa keadaan yang tak bernyawa. Ia adalah candu bagi rakyat.” Marx mampu membedah lebih tajam asal-usul lahirnya agama, bagaimana ia tumbuh dan berkembang dan bagaimana kita harus mensikapinya secara tepat.
Feuerbach melakukan kritik atas Hegel dari cara pandang materialisme. Namun kerena penolakan yang seutuhnya atas filsafat Hegel, ia tidak menganggap dialektika sebagai metode berpikir yang tepat. Suatu pandangan yang membuat dirinya jatuh ke dalam lembah metafisika. Namun jasa besar Feuerbach adalah ia berdiri sebagai jembatan terakhir yang menyiapkan jalan pemikiran materialisme dialektika yang disusun secara tepat oleh Marx-Engels kemudian. Jasa ini sangat penting. Secara jujur Marx memberikan apresiasi yang sangat besar pada Feuerbach sebagai penakluk sejati filsafat yang pertama. Ia membangun dasar materialisme sejati dan ilmu pengetahuan yang nyata, dengan menjadikan hubungan sosial manusia dengan manusia sebagi prinsip dasar dari teorinya. Feuerbach adalah tempat segala kritisisme yang positif, humanistik, naturalistik Jerman dimulai dan penemuan-penemuanya menjadi revolusi teoritis yang mendalam, tahan lama dan berdampak luas, setelah revolusi teoritis yang sesungguhnya – apa yang telah diletakkan oleh Hegel dalam Phenomenology and Logic.
Dalam sebuah surat pribadi untuk Feuerbach, Marx memujinya sebagai penulis yang pertama kali menggagas suatu aliansi ilmiah antara Jerman-Prancis menjadi perlu untuk membendung seluruh pandangan reaksioner yang merajalela di Eropa. Feuerbach adalah pemikir yang paling sungguh-sungguh dalam memerangi para pengikut idealisme, baik Hegelian muda maupun pengikut Schelling muda yang tidak memiliki suatu kualitas berpikir kecuali bermain fantasi, tidak memiliki energi kecuali kesia-siaan, dan tidak memiliki daya kekuatan kecuali mencandu. Secara khusus Marx dalam suratnya memberi catatan atas dogmatisme Schelling, yang mewakili diplomasi dari generasi ketiga filsafat idealisme Jerman Klasik dan sekaligus pemerintah Jerman yang reaksioner. Kepada kaum romantik dan mistik Perancis, Schelling mengatakan bahwa dirinya adalah persatuan antara filsafat dan teologi. Kepada kaum materialis Perancis, ia mengatakan bahwa dirinya adalah persatuan antara daging dan ide. Dan kepada kaum skeptis Perancis, ia mengatakan bahwa dirinya sebagai penghancur dogmatisme. Dalam satu kata, aku adalah Schelling. Inilah kekacauan filsafat Schelling yang harus diakhiri, di mana Marx mengajak Feuerbach untuk memeranginya bersama. Bersama Feuerbach, salah satu filosof yang memberi pengaruh besar pada Marx itu, perjuangan melawan filsafat fantasi mutlak diperlukan sebagai bagian dari perjuangan internal filsafat itu sendiri. Demikianlah Feuerbach, filosof materialis terakhir pra-Marx, warga negara Jerman yang tampil sebagai eksekutor yang mengakhiri kejayaan filsafat idealisme Jerman klasik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar