Jumat, 11 November 2011

skripssiku Bab II

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Analaisis
Istilah analisis (analysis Inggris), merupakan sebuah upaya penemuan, pencarian, pengumpulan data dan sebagainya, atas kebenaran yang terkandung dalam suatu karya cipta manusia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia analisis diartikan sebagai: “penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya)”. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2002). Atau juga bisa berarti sebuah “upaya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (duduk perkaranya, sebab musabab, dan sebagainya)” (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2002). Tentang pengertian analisis ini juga dipertegas oleh Abdul Rozak dkk dalam Kamus Istilah Sastra, beliau berpendapat bahwa analisis merupakan sebuah “penguraian karya sastra secara terperinci atas unsur-unsurnya dan pertalian antara unsur-unsur itu. Analisis adalah langkah penting dalam kritik kesusastraan untuk memahami maksud dan susunan karya sastra tertentu” (Rozak dkk: 29: 1996). Tahapan kritik yang ilmiah dapat kita capai kalau kita sudah sanggup mengungkapkan secara terbuka atau terselubung metode yang dipergunakan dalam menelaah karya sastra sehingga sampai pada kesimpulan yang benar dan yang dapat dibenarkan oleh pembaca. Pada tahap kritik sastra yang bersifat ilmiah itu terlibat juga usaha untuk mencapai pengertian kesusastraan sebagai gejala kebudayaan. Di dalam hal ini kritik sastra tidak hanya hendak menyimpulkan pendapat-pendapat berdasarkan pengamatan yang terbatas pada satu-satu karya sastra melainkan berusaha sampai pada tanggapan tentang keusastraan pada umumnya.
Untuk itu dalam menganalisa sebuah karya sastra terutama puisi setepat-tepatnya perlulah diketahui apakah sesungguhnya (wujud) puisi itu. Dikemukakan oleh Wellek bahwa “puisi itu adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman” (Wellek dalam Damono: 15: 1993). Setiap pengalaman individual itu sebenarnya hanya sebagian saja dapat melaksanakan puisi. Karena itu, puisi (sajak) sesungguhnya harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Dalam hal norma Rene Wellek berpendapat tentang norma dalam sastra “jangan dikacaukan dengan norma-norma klasik, etika, ataupun politik” (Wellek dalam Damono: 15: 1993). Norma itu harus difahami sebagai norma implisit yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan.
Jadi analisis itu sendiri merupakan penelusuran atau pencarian unsur-unsur yang terkandung di dalam sebuah karya sastra. Baik berupa, nilai pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, politik dan agama. Atau salah satu cara pembaca mengapresiasikan sebuah karya sastra.
Istilah apresiasi (appreciate) sastra berasal dari bahasa Latin yaitu apretiatus dan appreciation. Kata appreciate sangatlah luas artinya (ada lima). Satu diantaranya berkaitan dengan seni, yaitu menikmati/ menghargai karya seni.
Dengan demikian kata appreciate menunjukkan bahwa seseorang dapat menghargai musik yang baik. Sementara itu kata benda apprecation yang juga mengandung bermacam-macam arti, dua diantaranya berbunyi “ (1) the act or fact of appreciating, specifically proper estimation or enjoyment as, of art” (2) a judgment or evoluation, berarti penghargaan/penilaian yang layak/tepat pada karya seni. (Fuad: 1: 2008)
Sapardi Djoko Damono (Kompas, 27 Maret 2000) mengartikan appresiasi sastra sebagai penghargaan terhadap karya sastra yang didasarkan pada penghayatan dan pemahaman. Penghayatan dan pemahaman ini dengan cara kontak langsung antara pembaca dan karya sastra. (Sapardi Djoko Damono dalam Fuad: 1: 2008). Dengan kandungan nilai-nilai yang terkandung secara tersurat maupun tersirat di dalamnya.
2.2. Pengertian Nilai
Segala sesuatu didunia pasti mempunyai nilai. Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005 : 783) diartikan sebagi 1. harga (dl arti taksiran harga) 2. harga uang, 3. angka kepandaian; biji; ponten, 4. banyak sedikit isi; kadar; mutu. 5. sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi manusia. 6. sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.
Nilai dapat dikatakan sebagai ukuran sikap dan perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan keadaan baik-buruk, benar-salah, suka-tidak suka terhadap suatu objek baik materil maupun non materil (Eny, dkk, 2006 : 20). Sementara menurut Drs. Taufik Rohani Dhoriri dkk, nilai merupakan kumpulan sikap perasaan ataupun anggapan terhadap sesuatu hal mengenai baik-buruk, benar-salah, patut tidak patut, maupun penting atau tidak penting (Dhoriri, dkk, 2005 : 99).
Kimball Young (Alam S. 2006 : 9) mengartikan nilai sosial sebagai asumsi abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang benar dan apa yang penting. Sementara A.W. Gren mengartikan nilai sosial sebagai kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek (dalam Dhoriri, dkk, 2005 : 99).
Sementara Soejono Soekanto (dalam Rahman Taufik dkk, 2005 : 13) mendefinisikan nilai sebagai konsepsi abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Dan Robert M.Z. Lawang (Eny, Pry dkk 2006 : 18) mengatakan bahwa nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, pantas, berharga, dan mempengaruhi prilaku sosial orang-orang yang memiliki nilai tersebut (dalam Eny dkk, 2006 : 21).
Menurut MC. Guire (dalam Jalaludin, 2003 : 240), diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu, sistem nilai ini merupakan sesuatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sitem nilai ini dibetuk melalui belajar dan proses sosialisasi dalam kehidupan bersosial. Perangkat sistem nilai ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, instansi pendidikan dan masyarakat luas.
Masih menurut MC. Guire (dalam Jalaludin, 2003 : 240), berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seseorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya, sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana dalam bersikap, bertutur kata , penampilan maupun untuk tujuan apa yang turut berpartisipasi dalam suatu kegiatan tertentu, pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan individu karena nilai sebagai realitas yang abstrak dirasakan daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam realitasnya nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola berfikir, cara pandang dan pola bersikap (E.M.K. Kaswardi dalam Jalaludin, 2003 : 241).
Nilai adalah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang. Karena itu nilai menjadi penting dalam kehidupan seseorang, sehingga tidak jarang pada tingkat tertentu orang siap untuk mengorbankan hidup mereka untuk mempertahankan nilai (Jalaludin, 2003 : 241).
Suatu nilai adalah suatu konsepsi dalam diri mengenai apa yang baik dan apa yang dianggap buruk, yang baik akan diamati, sedangkan yang buruk akan dihindari. Sistem nilai-nilai akan timbul atas dasar pengalaman-pengalaman didalam berinteraksi yang kemudian membentuk nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif (Soekanto dalam Romdani, 2007 : 12-13)
Notonegoro (dalam Dhoriri, dkk, 2005 : 100) membedakan nilai menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :
a. Nilai Material, yakni meliputi berbagai konsepsi mengenai segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
b. Nilai Vital, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan aktivitas.
c. Nilai kerohanian (immaterial), yakni meliputi segala konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rohani manusia, seperti :
1. Nilai Kebenaran : yakni yang bersumber pada akal manusia (cipta).
2. Nilai Keindahan : yakni yang bersumber pada unsur perasaan (estetika)
3. Nilai Moral, yakni yang bersumber pada unsur kehendak (karsa)
4. Nilai Keagamaan, yakni nilai yang bersumber pada revalasi (wahyu) dari Tuhan.
Antara ketiga nilai tersebut saling berhubungan, nilai material akan mempengaruhi nilai immaterial. Dari ketiga nilai di atas, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang lain, seperti : nilai pendidikan, nilai ekonomi, nilai politik, nilai perjuangan dan sebagainya.
Pengertian nilai di dalam sebuah karya sastra bukan merupakan ukuran, akan tetapi ada tidaknya relevansi sebuah karya sastra bagi masyarakat itu sendiri. Apakah setelah membaca sebuah karya sastra masyarakat menangkap gejala-gejala yang tersirat ingin disampaikan oleh seorang pengarang di dalam karyanya. Sehingga karya tersebut sarat dengan pendidikan. Dimana pendidikan meruapakan transfer ilmu dan pengetahuan secara sadar antara satu orang dengan orang lain, antara penulis dengan pembaca
Pendidikan sangat penting dalam kehidupan, oleh karena itu pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Bahkan maju mundurnya suatu masyarakat atau bangsa ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan.
Pendidikan diartikan sebagai 1. usaha sadar 2. memanusiakan manusia 3. mendidik atau mengajar (Edgar Faure, 1972 : 3).
Pendidikan adalah mengembangkan pengatahuan manusia untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jlek (Jujun S. suriasumantri, 1984 : 39)
Pendidikan merupakan usaha sadar untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap serta tingkahlaku. Berkaitan dengan masalah pendidikan pada dasarnya adalah membicarakan tujuan yang hendak dicapai. Perogram pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah dewasa ini meliputi segala aspek kehidupan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan pada umumnya terutama terwujudnya pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Mengingat pentingnya pendidikan bagi kehidupan, maka pendidikan harus dilaksanakan sebaik-baiknya agar hasil yang diharapkan dapat tercapai dengan semaksimal mungkin.
Dalam kaitannya dengan upaya pembangunan dimaksud, maka pendidikan merupakan suatu usaha yang relevan untuk merealisasikan program diatas karena tujuan dari pendidikan adalah untuk meningkatkan kemapuan manusia dalam memenuhi sumber kebutuhannya seperti yang tercantum dalam GBHN 1993 yakni: Tujuan Pendidikan nasional yang tertera dalam Undan-undang nomor 2/1989 tentang sistem Pendidikan Nasional, Bab I, pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut “bahwa pendidikan bertujuan mencerdaskan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyrakatan dan kebangsaan”, (dalam M. Surya dkk, 1997 : 14).
Pendidikan ialah membentuk watak, kecekatan, kacakapan, dan keutamaan moral seseorang yang di didik untuk membantu menghasilkan kondisi obyektif dari transformasi dan kemajuan, membantu masyarakat menjadi sadar akan masalah-masalah dan bila usaha-usaha dipusatkan pada melatih “manusia-manusia sempurna” yang secara sadar akanmendapatkan emansipasi perorangan dan emansipasi bersama, maka pendidikan itu dapat banyak membantu dalam usaha mengubah masyarakat dan membuat masyarakat bersifat manusiawi melalui proses simbiose (Edgar Faure, 1972 : 3,75)
F. O’neil (2001 : 11) mengatakan bahwa pendidikan itu adalah sebagai sebuah proses pembentukan pendapat-pendapat mendasar, bersifat intelektual dan emosional, tentang alam serta tentang sesama manusia.
Pendidikan pada dasarnya dapat dilihat dari segi individual dan segi sosial-kultural (M. Arifin, 1995 : 42) :
Dari segi individual pendidikan dapat diartikan sebagai proses bimbingan dan pengarahan yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik kearah pertumbuhan dan perkembangan kemampuan dasar atau pembawaan sampai pada titik optimal.
Dari segi kebudayaan di definisikan sebagai proses pembudayaan manusia melalui nilai-nilai kultural masyarakat dengan transfer (pengalihan) atau transformasi (pengubahan) nilai-nilai kebudayaan tersebut untuk diwariskan kepada generasi yang lebih muda oleh generasi yang lebih tua. Sementara pengertian pendidikan menurut pandangan sosiokultural tersebut mengandung makna pelestarian nilai-nilai kultural masyarakat dari generasi kegenerasi.
Beberapa pendapat para ahli filsof tentang pendidikan
Van Cleve (dalam M. Arifin, 1995 : 44) berpendapat bahwa pendidikan adalah studi pilosofis yang pada dasarnya bukan hanya alat untuk mengalihkan cara hidup secara menyeluruh kepada setiap generasi, melainkan juga merupakan agent (lembaga) yang bertugas melayani hati nurani masyarakat dalam perjuangannya mencapai hari depan lebih baik.
Pendapat Herman H. Horne (dalam M. Arifin, 1995 : 44). menyatakan bahwa pendidikan adalah proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, dengan sesama manusia dan dengan alam jagad raya.
Dr. Omar Muhammad Toumyal Syaebani (dalam M. Arifin, 1995 : 44) mengartikan pendidikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individual (orang per orang) dalam kehidupan pribadinya, dalam kehidupan sosial (kemasyrakatan)-nya dan dalam kehidupan lingkungan alam sekitar melalui proses. Jadi menurut pendapat ini, pendidikan adalah proses mengubah perilaku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan mampu hidup sebagai anggota masyarakatnya serta mampu hidup bahagia dalam lingkungan alam sekitarnya.
Dr. Mohammad Fadhil al-Djamaly (dalam M. Arifin, 1995 : 44) berpendapaaat bahwa pendidikan adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik yang mengangkat derajat kemanusiaan sesuai dengan kemmapuan dasar (fitrah) dan kemampuan ujarnya (pengaruh dari luar.
Dr. M.J. Langeveld (zelf-standing) (dalam M. Arifin, 1995 : 45) berpandangan bahwa pendidikan adalah pekerjaan mendidik yakni membimbing anak yang belum dewasa kearah kedewasaan yang bercirikan kemandirian.
Jadi nilai pendidikan adalah suatu sikap atau usaha mendidik dan mengajar, mengubah prilaku dan sikap seseorang dari yang bersifat negatif ke positif, dari yang destruktif ke yang konstruktif, dari berakhlak buruk ke ahklak al-karimah, untuk mewujudkan manusia seyogyanya yang menjadi khalifah dimuka bumi ini.
Nilai pendidikan bisa dimasukkan ke nilai perjuangan dan nilai kerohanian atau nilai immaterial, yang menggunakan nurani, indra, akal, perasaan, gagasan, pemikiran dan keyakinan. Menurut Dra. Pry Eny, nilai kerohanian atau immaterial akan membentuk Suatu Kepribadian, tingkah laku, martabat dan intelektual.
Dalam kehidupan, orang dapat saja mengembangkan perasaannya sendiri yang mungkin saja berbeda dengan perasaan sebagian warga masyarakat. Kenyatan ini melahirkan adanya nilai individual, yakni nilai-nilai yang dianut oleh individu sebagai orang-perorangan yang mungkin selaras dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang lain, tetapi dapat pula berbeda atau bahkan bertentangan. Jadi Nilai Pendidikan bisa berbentuk Nilai individual atau juga nilai sosial.
2.3. Puisi
2.3.1. Pengertian Puisi
Keseharian manusia sejak dulu sampai sekarang sebenarnya sudah dikelilingi oleh “puisi”. Pada Zaman dahulu, bahkan puisi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat tradisional pada waktu itu, berupa mantra, jampi-jampi dan pantun. Pada Zaman sekarang, puisi bisa ditemukan dimana-mana, di majalah dinding (dari SD-PT), di Koran, Radio, Televisi, Majalah, sampai iklan-iklan sebuah produk, terlepas dari tinggi rendahnya kualitas yang dikandung.
Secara teoritis, telah begitu banyak batasan yang dirumuskan oleh para ahli. Akan tetapi, kespakatan definitif yang mencakup seluruh ragam dan corak puisi yang ada merupakan hal yang tidak mungkin.
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Tetapi arti yang semula ini lama kelamaan seiring denga perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi “hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat yang tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan” (Situmorang, 1980:10).
Menurut Vicil C. Coulter, kata poet berasal dari kata bahasa Gerik yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Gerik, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa-dewa atau orang amat suka pada dewa-dewa. Dia adalah orang yang mempunyai penglihatan yang tajam, orang suci, yang sekaligus seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi (Situmorang, 1980 : 10).
Seperti yang dikatakan oleh A. Teeuw (1983 : 11) sastra (dalam hal ini puisi), sebagai sebuah karya seni, selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan pembaruan, antara keterikatan dan kebebasan mencipta. Sementara Riffatere (via Pradopo, 2000 : 3) mengatakan behawa puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetikanya.
Apa yang dikatakan ketiga ahli di atas menunjukkan bahwa proses untuk membuat definisi puisi yang baku dan berlaku untuk seterusnya sangatlah tidak mungkin karena kehidupan selalu berdialektika.
Dalam Kamus Istilah Sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, puisi diartikan sebagai 1. Ragam sastra yang bahasanya terikat oleh rima, rima dan tata puitika yang lain; 2. gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makna khusus; 3. sajak. (Zaidan, dkk, 200:159-160). 4. puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan baitnya (Sudjiman, 1984). Sementara dalam kamus istilah sastra yang lain puisi diartikan sebagai bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata yang indah dan kaya makna; karya sastra yang singkat, padat dan menggunakan bahasa yang indah, singkat karena diungkapkan dengan pilihan kata yag tepat dan tidak diuraikan secara panjang lebar seperti prosa, padat maksudnya kaya makna atau berisi, indah, maksudnya puisi digarap dengan pilihan kata yang mengandung kekuatan rasa dan makna dengan memilih kata yang mempunyai majas, lambang, rima, sajak, dan ungkapan yang menarik dan berbeda dengan bahasa keseharian (Lailasari dan Nurlaila, 2006 : 206).
Sementara Waluyo mengaratikan puisi sebagai karya sastra dengan bahasa yang singkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul-betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. (Waluyo, 2005 : 1).
Luxemburg dkk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teks-teks puisi ialah teks-teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur. Selain itu teks puisi bercirikan penyajian tipograpi tertentu. (via Dik Hartoko, 1986 : 175). Maman S. Mahayana menambahkan bahwa perbedaan puisi dengan bentuk sastra yang lain tidak hanya dari bentuk tipograpinya saja, melainkan juga dari cara penyampaian dan penggunaan bahasa. Dalam puisi citraan sangatlah penting untuk membangun keindahan puitik. Lewat citraan, terbuka peluang bagi pembaca untuk menghubungkan teks dengan berbagai wawasan pembaca. Itu sebabnya citraan dianggap sebagai hakikat puisi (Mahayana, 2005 : 138-137).
Di lain pihak Suminto A. Sayuti merumuskan puisi sebagai sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek-aspek bunyi-bunyi didalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya, yang diungkapkan dengan tehnik pilihan kata tertentu, sehingga puisi mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca dan pendengar-pendengarnya (Sayuti, 2002 : 2-4).
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 2006 : 6-7) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris. Samuel Taylor Coloridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu dengan unsur lain sangat erat hubungannya, dan sebagainya. Carlyle berkata, puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. William Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan, peluapan yang sepontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memeperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur baur sedangkan Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara kongkrit dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Putu Arya Tirtawirya mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, sama dengan makna yang tersirat, kata-katanya condong pada makna konotataif. Ralph Waldo Emerson mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sedikit mungkin (Situmorang, 1980 : 8). Percy Bisseche Shelly (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling senang dari pikiran-pikiran yang paling senang. Lescelles Abercrombie (Situmorang, 1980 : 9) juga mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang memepergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat.
Ada juga beberapa ahli yang mengatakan tentang perbedaan puisi dengan prosa.
HB. Jassin (1953:54) mengatakan bahwa untuk mendefinisikan puisi, puisi itu harus dikaitkan dengan definisi prosa. Prosa merupakan pengucapan dengan pikiran, sedangkan puisi merupakan pengucapan dengan perasaan.
Rahmanto dan Dick Hartoko (1992) mengatakan bahwa puisi merupakan lawan terhadap prosa. Ungkapan bahasa yang terikat (puisi), lawan ungkapan bahasa yang tidak terikat (prosa). Keterikatan oleh paralelisme, metrum, rima pola bunyi, dsb. Pada sastra modern perbedaan puisi dan prosa sangatlah kabur.
Rachmad Djoko Pradopo (1987) megatakan bahwa dewasa ini orang mengalami kesulitan dalam membedakan puisi dan prosa hanya dari bentuk visualnya sebagai sebuah karya tertulis. Sampai-sampai sekarang ini dikatakan bahwa niat pembacalah yang menjadi ciri sastra utama.
Alterbern (dalam Pradopo, 1987) mengatakan bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama. Ada tiga unsur pokok dalam puisi yaitu pemikiran/ide/emosi, bentuk, dan kesan. Jadi puisi mengekspresikan pikiran yang membangkitkan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan bahasa yang berirama.
Slamet Mulyana (1956:112) juga mengatakan bahwa ada perbedaan pokok antara puisi dengan prosa. Pertama, kesatuan prosa yang pokok adalah kesatuan sintaksis, sedangkan kesatuan puisi adalah kesatuan akustis. Kedua puisi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang disebut baris sajak, sedangkan dalam prosa kesatuannya disebut paragraf. Ketiga di dalam baris sajak ada priodisitas daru mula sampai akhir.
Dari definisi-definisi di atas kelihatan adanya perbedaan-perbedaan pikiran mengenai pengertian puisi, tergantung dari sisi mana melihat dan kurun waktunya. Namun, bila dilihat dari unsur-unsur dan pendapat-pendapat itu dipadukan, maka akan dapat ditarik garis-garis besar tentang pengertian puisi yang sebenarnya. Unsur-unsur tersebut berupa : susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, perasaan yang bercampur baur. Dari situ dapat disimpulkan ada tiga unsur yang pokok. Pertama, hal yang meliputi pikiran, ide dan emosi, kedua, bentuknya dan yang ketiga ialah kesannya. Semuanya terungkap dengan media bahasa.
Jadi, puisi itu dapat mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi merupakan rekaman dan interprestasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
2.3.2. Unsur-Unsur Pembangun Puisi
Sebuah karya sastra disusun oleh dua unsur yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik, tidak terkecuali pada puisi. Unsur intrinsik puisi adalah unsur-unsur penyusun yang terdapat di dalam karya puisi tersebut, sedangkan unsur ekstrinsik puisi adalah unsur-unsur penyusun karya puis yang berada di luar puisi (Dewi, 31 : 2008).
Banyak teori tentang unsur-unsur pembangun puisi. Namun Teori-teori tersebut diantaranya dapat diketahui melalui pemahaman atas berbagai macam pendekatan apresiasi. Secara umum orang mengatakan bahwa sebuah puisi dibangun oleh dua unsur penting, yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Istilah unsur intrinsik puisi (yakni unsur hakiki yang menjiwai puisi yang membangun terbentuknya sebuah puisi dari dalam puisi itu sendiri), sedangkan unsur ekstrinsik puisi disebut sebagai struktur pembangun sebuah karya sastra puisi dari luar. Maka dalam penelitian ini akan dipergunakan istilah Intrinsik dan Ekstrinsik.
Adapaun unsur-unsur yang termasuk kedalam unsur intrinsik puisi menurut Waluyo adalah : Tema, rasa, nada, amanat, gaya bahasa/ diksi, pengimajian, kata konkrit, rima, dan ritme. Sementara menurut Tarigan (1992 : 28) yang menggunakan istilah metode membaginya menjadi lima unsur yang penting yaitu : diksi, imaji, kata nyata, majas, ritme dan rima.
Unsur instrinsik puisi seperti yang disebutkan di atas, menurut I.A Richard, (dalam Tarigan, 1993 : 9), mengatakan bahwa suatu puisi mengandung makna keseluruhan, yang merupakan perpaduan dari tema penyair, perasaan penyair, nada dan amanat.
Untuk lebih jelasnya di atas, berikut akan dirincikan masing-masing dari struktur yang membangun suatu puisi, yakni unsur instrinsik, maupun unsur ekstrinsik puisi.
a. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik yakni suatu unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu puisi. Unsur intrinsik hanya memandang unsur-unsur yang terdapat di dalam puisi saja. Penilaian yang tepat untuk menentukan unsur intrinsik ini adalah penilaian objektif, karena penilaian tersebut hanya menilai unsur-unsur yang terdapat di dalam karya saja yang dinilai. Penilaian objektif menganggap sebuah puisi adalah karya yang berdiri sendiri tanpa mengaitkan puisi dengan sesuatu yang berada di luar karya itu, baik itu penyairnya, muapun aspek-aspek lain yang mempengaruhi.
Seperti disebutkan di atas, bahawa unsur instrinsik puisi adalah struktur yang mebangun puisi dari dalam puisi itu sendiri, yang terdiri dari tema, rasa, nada, amanat, gaya bahasa/ diksi, pengimajian, kata konkrit, rima, dan ritme. Berikut akan dibicarakan satu persatu secara singkat.
1. Tema
Seorang penyair dalam menciptakan puisinya, ingin mengungkapkan sesuatu bagi para penikmatnya (pembaca). Dalam menulis puisinya, penyair melihat atau mengalami beberapa kejadian dalam kehidupan dirinya dan masyarakat. Apa yang dilihat dan dialami oleh penyair kemudian ingin dikemukakan kembali dalam sebuah karya, dalam hal ini puisi.
Tema menurut Waluyo (2005 : 17) adalah gagasan pokok (subject matter) yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya. Tema mengacu pada penyair. Pembaca sedikit banyak harus mengetahui latar belakang penyair, agar tidak salah menafsirkan tema puisi teresbut. Karena itu, tema bersifat khusus (diacu dari penyair), objektif (semua pembaca harus menafsirkan sama), dan lugas (gunakan makna kias yang diambil dari konotasinya).
2. Nada
Nada dalam dunia puisi adalah sikap penyair terhadap pembacanya (Tarigan, 1993:17-18). Mengungkapkan sikap penyair terhadap pembacanya (Waluyo, 2005:37). Dari sikap inilah tercipta suasana puisi. Ada puisi yang bernada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius, patriotic, belas kasihan, takut, santai, masa bodoh, mencekam, mencemooh, pesimis, humor, kharismatik khusuk, filosofis dan sebagainya.
3. Amanat atau Tujuan
Setiap manusia yang hidup pasti memiliki tujuan, orang bekerja ada maksud, tujuan yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Hanya terkadang tujuan itu tidak disadari, namun dia tetap ada, secara eksplisit atau implicit. Bila kita kembali kepada tujuan atau amanat yang mungkin terdapat dalam puisi, kita bisa beranda-andai, kalau kebetulan seorang penyair adalah seorang guru, maka dalam puisi-puisinya dia ingin mendidik para penikmat karyanya itu.
Amanat puisi merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi. Amnat dirumuskansendiri oleh pemnaca. Sikap dan pengalaman pembaca sangat berpengaruh tehadap penentuan amanat yang terkandung oleh puisi. Cara menyimpulkan amanat puisi sangat berkaitan dengan cara pandang pembaca terhadap hal tertentu. Namun, meskipun ditentukan berdasarkan cara pandang pembaca, amanat tidak dapat dilepaskan dari tema dan isi puisi yang dikemukakan penyair.
4. Diksi
Dalam Kamus Istilah Sastra, diksi diartikan sebagai proses pilihan kata untuk mengungkapkan gagasan (Zaidan, dkk, 1991:59). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diksi diartikan sebagai pilihan kata tepat dan selaras (dalam pengunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu seperti yang diharapkan (Depdikbud, 2005:265).
Diksi adalah bentuk serapan dari diction yang oleh Hornby diartikan sebagai choie and use of words (dalam Jabrohim, 2001:35). Oleh Tarigan diartikan sebagai pilihan kata (1993:29). Keraf juga mengartikan diksi sebagi pilihan kata. Lebih lanjut tentang pilihan kata ini, Keraf mengatakan bahwa ada dua kesimpulan penting. Pertama, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menentukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Kedua, pilihan kata yang tepat yang sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata bahasa itu (dalam Jabrohim, 2001:35).
Berfield (dalam Pradopo, 200:35) mengemukakan bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis.
Diksi atau pilihan kata mempunya peranan penting dan utama untuk mecapai keefektipan dalam penulisan suatu karya sastra. Untuk mecapai diksi yang baik seorang penulis harus memahami secara lebih baik masalah kata dan makananya, harus tahu memperluas dan mengaktifkan kata, harus mampu memilih kata yang tepat, kata yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi, dan harus mengenali dengan baik macam corak gaya bahasa sesuai dengan tujuan penulisannya.
Dalam menulis puisi, penyair ingin mengekspresikan jiwanya secara padat dan intens. Untuk itu penyair memilih kata yang setepat-tepatnya yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaras dengan sarana komuniksi puitis yang lain, maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya. Penyair mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan cermat.
Peranan diksi dalam puisi sangat penting, karena kata-kata adalah segalanya dalam puisi (Sayuti, 2002:143). Diksi yang baik berhubungan dengan pemilihan kata bermakna tepat dan selaras, yang menggunakan cocok dengan pokok pembicaraan atau peristiwa (Sudjiman dalam Hasanudin, 2002:98-99).
Dalam ketepatan pemilihan kata, sering kali penyair mengganti kata yang dipergunakan berkali-kali. Usaha memperbaiki kata-kata itu karena kata sebelumnya dianggap tidak mengena, baik dari segi makna, kepuitisan, dan dari segi-segi yang lain
Sapardi Djoko Damono merupakan contoh penyair yang kerap kali mengganti beberapa kata di dalam sajaknya, bahkan menganti judul sajaknya. Hal ini membuktikan bahwa Sapardi Djoko Damono merasa tidak puas dengan kata-kata yang ia pilih sebelumnya.
Menurut Waluyo (2005:3-7) ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih kata yaitu : pertama, makna kias. Bahasa yang dgunakan puisi adalah bahasa yang bermakna konotasi yaitu bahasa yang mempunyai makna kias yaitu sebuah kata yang mempunyai makna tambahan, kedua, lambang. Dalam puisi banyak digunakan lambang yaitu penggantian sesuatu hal/benda dengan hal/benda lain. Ada lambang yang bersifat lokal kedairahan, nasional. Ada juga yang baesifat universal. Dan yang ketiga, persamaan bunyi, pemilihan kata dalam sebuah baris puisi, maupun dari satu baris kebaris lain, harus mempertimbangkan kata-kata yang mempunyai persamaan dan bunyi yang harmonis.
5. Pengimajian atau Pencitraan
Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, menimbulkan suasana khusus, membuat (lebih) hidup gamabaran dalam pikiran dan penginderaan, juga untuk menarik perhatian, untuk memberi kesan mental atau bayangan visual, penyair menggunakan gambaran-gambaran angan. Menurut Pradopo (200:79) gambaran angan-angan dalam sajak itu disebut citraan (imagery). Sementara menurut Sayuti (2002:170) citraan merupakan kata atau rangkaian kata yang mampu menggugah pengalaman keindraan dalam puisi.
Citraan merupakan salah satu sarana utama untuk mencapai kepuitisan. Maksud kepuitisan itu diantaranya ialah : keaslian ucapan, sifat yang menarik perhatian, menimbulkan perasaan kuat, membuat sugesti yang jelas, dan juga sifat yang menghidupkan pikiran (Jabrohim, 2001:37).
Citraan menurut Alternbernd (dalam Pradopo, 2008:89) merupakan salah satu alat kepuitisan yang penting, yang dengan itu kesusastraan mencapai sifat-sifat kongkret, khusus, mengharunkan dan manyarankan. Daya citraan menghadirkan gambaran yang kongkret, khas, menggugah dan mengesankan. Brook dan Warren (dalam Jabrohim, 2001:37) mengatakan bahwa citraan merangsang imajinasi dan menggugah pikiran dibalik sentuhan indera serta dapat pula sebagai alat interpretasi.
Karena di dalam puisi diperlukan kekongkritan gamabaran, maka ide-ide abstrak yang tidak dapat ditangkap dengan alat-alat keindraan diberi gambaran atau dihadirkan dalam gambaran inderaan. Penyair berusaha mengkongkretkan ide yang masih abstrak. Ia berusaha menghubungkan instituisinya sebagai penyair dengan imajinasi yang ada pada pembaca. Akibatnya ia harus berusaha menata kata sedemikian rupa sehingga makna-makna abstrak menjadi kongkrit dan nyata.
Citraan dapat dibedakan atas beberapa macam, masing-masing ahli menyebutkan dengan nama yang berbeda, tapi dengan maksud yang sama. Secara umum citraan dapat dikelompokkan atas tujuh macam citraan. Pertama, citraan penglihatan, yang dihasilkan dengan memberi rangsangan indera penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat seolah-olah kelihatan. Kedua, citraan pendengaran yang dihasilkan dengan menyebut atau menguraikan bunyi suara atau berupa onomatope dan persajakan yang berturut-turut. Ketiga, citraan penciuman. Keempat, citraan pencecapan. Kelima, citraan rabaan, yakni citraan yang berupa rangsangan-rangsangan kepada perasaan atau sentuhan. Keenam, citraan pikiran/intelektual, yakni citraan yang dihasilkan oleh asosiasi pikiran. Ketujuh, citraan gerak yang dihasilkan dengan cara memvisualkan sesuatu yang tidak bergerak menjadi bergerak.
Bermacam-macam citraan tersebut, dalam pemakaiannya kadang-kadang digunakan lebih dari satu cara bersama-sama untuk memperkuat efek kepuitisan. Berbagai jenis citraan saling mendukung dalam menimbulkan efek puitis yang kuat.
6. Kata Kongkret
Satuan arti, yang menentukan struktur formal lingusitik karya sastra adalah kata. (Pradopo, 2000:48). Kata kongkret adalah kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana bathin dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca. Di sini penyari berusaha mengkongkretkan kata-kata, maksudnya kata-kata itu diupayakan agar dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh. Dalam hubungannya dengan pengimajian, kata kongkret merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian (Jabrohim, 2001:41).
Oleh karena itu, kata-kata diperkongkret. Bagi penyair mungkin dirasa lebih jelas, namun bagi pembaca sering lebih sulit ditafsirkan maknanya (Waluyo, 2005:8). Salah satu cara penikmat suatu puisi adalah dengan menggunakan kata-kata yang tepat, kata-kata yang kongkret, yang dapat menyarankan suatu pengertian menyeluruh, semakin tepat seorang penyair menempatkan kata-kata yang penuh asosiasi dalam karyanya, maka semakin baik pula ia menjelmakan imaji, sehingga mereka benar-benar melihat, mendengar dan merasakan, pendeknya mengalami yang dia alami oleh sang penyair (Tarigan, 1993:32). Pradopo menambahkan, dalam puisi belum cukup bila dikemukakan maksudnya saja, yang dikehendaki penyair ialah supaya siapa yang membaca dapat merasakan dan mengalami apa yang dirasakan dan dialami oleh penyair (2000;49).
7. Ritma
Ritma kata pungut dari bahasa inggris rhythm. Secara umum ritma dikenal sebagai irama yakni penggantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur.
8. Rima
Rima kata pungut dari bahasa inggris rhyme, yakni pengulangan bunyi di dalam baris atau larik puisi, pada akhir baris puisi, atau bahkan pada keseluruhan baris atau bait puisi. Rima melipuit onomatope (tiruan terhadap bunyi-bunyi), bentuk intern pola bunyi (misalnya : aliterasi, asonasi, persamaan awal, persamaan akhir, sajak berubah sajak penuh), intonasi, repetisi bunyi atau kata dan persamaan bunyi. Adapun metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu.
9. Rasa
Rasa adalah sesuatu yang berada jauh di dasar hati dan di kelola oleh fikiran kita seperti arti emosional ( sedih, marah, kecewa, bahagia atau merasa heran dsb)
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik sebuah puisis yakni suatu unsur yang membangun sebuah puisi dari luarnya menyangkut aspek sosiologi, psikologi, dan lain-lain. Tidak ada sebuah puisi yang tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan dunia luar puisi itu sendiri, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi, kebudayaan lingkungan, pembaca, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya puisi dari luar puisi itu sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik, diperlukan bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain.
Menurut Tuhusetya (21 : 2007), sebuah karya puisi yang baik mustahil dapat menghindar dari dimensi kemanusiaan. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dijadikan sumber ilham bagi para sastrawan untuk membuat suatu karya puisi.
Seorang sastrawan memiliki penalaran yang tinggi, mata bathin yang tajam, dan memiliki daya intuitif yang peka. Kelebihan-kelebihan itu jarang sekali ditemukan pada orang awam. Dalam hal ini, karya sastra puisi yang lahir pun akan diwarnai oleh latar belakang sosiokultural yang melingkupi kehidupan sastrawannya.
Suatu keabsahan jika dalam karya sastra puisi terdapat unsur-unsur ekstrinsik yang turut mewarnai karya sastra puisi. Unsur-unsur ektrinsik yang dimaksud seperti filsafat, psikologi, religi, gagasan, pendapat, sikap, keyakinan, dan visi lain dari pengarang dalam memandang dunia. Karena unsur-unsur ekstrinsik itulah yang menyebabkan suatu karya sastra puisi tidak mungkin terhindar dari amanat, tendensi, unsur mendidik, dan fatwa tentang makna kearifan hidup yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Sastrawan berupaya untuk menyalurkan obsesinya agar mampu dimaknai oleh pembaca. Visi dan persepsinya tentang manusia di muka bumi bisa ditangkap oleh pembaca, dan pembaca terangsang untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau hedonis dan tidak memuaskan kebuasan hati. Persoalan amanat, tendensi, unsur edukatif dan nasihat bukanlah hal yang terlalu berlebihan dalam karya sastra puisi. Bahkan unsur-unsur tersebut merupakan unsur paling esensial yang perlu digarap dengan catatan tanpa meninggalkan unsur estetikanya. Sebab jika sebuah tulisan hanya mengumbar pepatah-petitih sosial, kepincangan-kepincangan sosial, tanpa diimbangi aspek estetika, namanya bukan karya sastra puisi. Melainkan tulisan tersebut hanyalah sebuah laporan jurnalistik yang mengekspos kejadian-kejadian negatif yang tengah berlangsung di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, kehadiran unsur-unsur tersebut bersamaan dengan proses penggarapan sebuah karya sastra puisi.
Terkait dengan itulah maka penelitian ini bertujuan untuk meneliti salah satu visi seorang pengarang yang menciptakan sebuah karya sastra puisi dari salah satu unsur ekstrinsik yakni mencoba untuk menggali nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kumpulan puisi "ayat-ayat api” karya sapardi djoko damono. Serta bagaimanakah relevansinya dengan realitas dunia pendidikan kita di Indonesia pada kehidupan yang sekarang ini yang disebut dengan era modernisasi.
2.4. Analisis Puisi
Proses analisis puisi termasuk pembahasan kritik sastra yang merupakan salah satu bagian ilmu sastra. Kritik sastra merupakan ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruk karya sastra, bernilai seni atau tidak (Pradopo. 1997:9).
Dalam kritik sastra, suatu karya sastra diuraikan (dianalisis) unsur-unsurnya atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu persatu, bernilai atau tidak bernilaikah, bermutu seni atau tidak bagian-bagian atau unsur-unsur karya sastra (puisi) yang diselidiki atau yang dianalisis itu.
Karya sastra (puisi) adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik bila diberi arti oleh manusia pembaca (Teww, 1984:191), sebagaimana artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog.
Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks, karena itu untuk memahami karya sastra (puisi) haruslah dianalaisis (Hill dalam Pradopo, 2007:141). Untuk diperlukan analisis struktural yang digunakan untuk menganalisis struktur unsur-unsur yang terkadnung dalam karya sastra (puisi).
Culler (dalam Ratna, 2007:97) menyebutkan strukturalisme sebagai teori yang identik, memusatkan perhatian pada karya sedangkan.
Berikut akan coba dibahas mengenai analisis struktural secara singkat.
2.4.1. Aanalisis Struktural
Secara etimologis, struktur berasal dari kata structura, bahasa latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Secara definitif struktural atau strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antar hubungan unsur yang satu dengan yang lainnya, di pihak lain hubungan antar unsur dengan totalisnya. (Ratna, 2007:91).
A. Teeuw mengatakan bahwa analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-lain, tanpa itu kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri, tidak akan tertangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan pungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra (puisi) (Dalam Pradopo, 2007:141).
Karya sastra (puisi) merupakan sebuah struktur, seperti yang disebutkan di atas. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatun unsur-unsur dalam sastra (puisi) bukanhanya merupakan kumpulan atau tumpukanhal-hal yang berdiri sendiri, melainkan hal-hal yang saling terikat, saling berkaitan dan saling bergantungan.
Piaget mengatakan (dalam Pradopo, 2000:119) bahwa dalam pengertian struktur terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri. Pertama, struktur iru merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan transformasi dalam arti bahwastriktur itu tidak statis. Ketiga, struktur itu mengatur diri sendiri, dalam arti struktur tidak memerlukan poertolongan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya.
Puisi adalah struktur yang merupakan susunan keseluruhan yang utuh. Antara bagian-bagiannya saling erat berhubungan. Tiap unsur dalam situasi tertentu tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan artinya ditentukan oleh hubungannya dengan unsur-unsur lainnya yang terlibat dalam situasi itu (Pradopo, 2007:142)
Dengan demikian, maka analisis struktural puisi adalah analisis puisi kedalam unsur-unsurnya, dan fungsinya dalam struktur sajak. Dan tiap unsur mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur.
2.5. Kumpulan Puisi Ayat-Ayat Api
Kumpulan puisi atau antologi puisi dalam Kamus Istilah Sastra (Zaidan, 2003:34) diartikan sebagai kumpulan sepilihan karya sastra (puisi) beberapa orang pengarang. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2005:58) diartikan sebagai kumpulan karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang pengarang.
Kumpulan puisi Ayat-ayat Api adalah salah satu dari beberapa kumpulan puisi yang dihasilkan oleh Sapardi Djoko Damono, yaitu duka-Mu abadi 1969, Mata pisau dan Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1999).
Ayat-ayat Api ini diterbitkan oleh anggota IKAPI yang cetakan I dicetak oleh PT Temprina, Jakarta, dan Ayat-ayat Api ini juga diterbitkan pertama kali pada tahun 2006 (Juni) oleh PT Pustaka Utama Grafiti Jakarta, yang sebelumnya juga pernah diterbitkan oleh PT Pustaka Firdaus bekerja sama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation. Ayat-ayat Api menghimpun 53 sajak dan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama yang diberi subjudul Ayat Nol berisi 15 sajak, bagian kedua Ayat Arloji berisi 33 sajak, dan bagian ketiga Ayat Api sebanyak enam sajak. Dalam bagian yang disebut terakhir inilah Ayat-ayat Api yang merangkum 15 ayat ditempatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar