Selasa, 22 November 2011

Catatan Kritis Atas Berbagai Fulsafat Reaksioner

BAB IV
Catatan Kritis Atas Berbagai Filsafat Reaksioner





Sejumlah aliran filsafat reaksioner telah datang dan pergi dalam sejarah pikiran umat manusia, baik sebelum maupun sesudah Marxisme. Sebagian datang sebagai mayat-mayat pasi dari masa lalu dengan bau formalin di tubuhnya yang bengkak dan membusuk. Sebagian lainnya filsafat orang-orang frustasi dari pelataran masa kini. Keduanya sama-sama bangkrut. Yang satu menjadikan semacam formalin sebagai obat penawar tubuh busuk penuh luka sistem ini agar bisa bertahan hidup lebih lama. Dan ini pasti sia-sia. Dari hari ke hari mereka telah menggali kuburnya sendiri. Semakin dalam, semakin tak punya hari depan. Rakyat sedunia akan mempercepat kematiannya. Tanpa nyanyian duka (requiem), namun dengan sorak-sorai gembira. Mereka akan menyematkan di atas batu nisan kapitalisme dengan 3 buah huruf besar: R.I.P (Rest in Peace). Satunya lagi, orang-orang yang kecewa dan menderita hidup di masa kini. Ia mengutuk sistem ini dengan menumpahkan pahit-getir empedu kebenciannya. Ia gentayangan sebagai individu yang teraniaya dan frustasi. Mereka yang hendak melawan sistem kapitalisme seorang diri, ibarat mencari lubang jarum agar bisa keluar seorang diri. Ia juga masuk dalam golongan orang-orang yang merugi dan sia-sia. Pandangan yang mewakili egoisme individual yang picik khas borjuis kecil. Orang-orang yang sibuk dengan pikirannya sendiri, mengotak-atik dunia sendirian, seperti sedang bermain di atas papan catur. Ia terasing dari pikiran dan kehendak massa rakyat yang luas.
Inilah beberapa aliran filsafat reaksioner yang perlu kita kenali, sekaligus menawarkan tugas-tugas propaganda bagi generasi Marxis masa kini untuk memperhebat kontektualitas teoritik Marxisme; tanpa maksud lain kecuali untuk memerangi berbagai filsafat reaksioner yang dekaden yang mewarnai zaman kini. Marx dan Engels, telah memberikan ketauladanan yang terbaik dalam hal mengurus soal-soal teori, termasuk melakukan polemik yang paling keras dan mematikan sekalipun. Generasi Marxis harus selalu siap sedia dengan fakta-fakta ilmiah yang paling segar dari kenyataan masa kini dan mengerahkan seluruh bala-tentara argumentasi ilmiah untuk serangan-serangan yang paling mematikan terhadap musuh-musuh teori revolusioner.
Kaum Marxis harus terus memperkuat dan memajukan teori revolusioner. Tidak cukup hanya dengan klarifikasi-klarifikasi defensif semata atas serangan-serangan teoritik dari pihak musuh. Dan kita buang ke laut seluruh sikap yang memperlakukan Marxisme secara agamis (dogmatisme). Perjuangan teoritik merupakan perjuangan pokok yang tak bisa disepelekan; perjuangan dua lini yang berarti menguatkan ke dalam dan memerangi musuh-musuh yang ada di luar. Bersih dan kuatnya pikiran di dalam tubuh organisasi kelas proletar tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan hebatnya pekerjaan memerangi ide-ide borjuis di luar sana. Semua pekerjaan ini merupakan sarana untuk memperkuat teori dan praktek revolusioner agar terbebas dari berbagai kesalahan subyektifis. Syarat-syarat paling baik harus terus menerus kita perjuangkan hingga mencapai kemenangan dan cita-cita mulia kelas proletariat. Kita tidak boleh merasa lelah dan berhenti berjuang hingga tercapainya seluruh cita-cita mulia di dunia ini. Benar sekali kata Lenin, “Tanpa teori revolusioner tak mungkin ada gerakan revolusioner”. Dengan kata lain, tanpa memperhebat kontekstualitas teori revolusioner dengan memerangi musuh-musuh teori revolusioner dewasa ini, kaum Marxis akan gagal dalam mengobarkan perjuangan revolusioner di zaman imperialisme ini.
Dalam kajian ini, kita membahas beberapa aliran filsafat reaksioner dalam kurun waktu perkembangannya hingga yang mutakhir. Wakil-wakil dari jenis filsafat ini bisa kita sebutkan sebagai berikut:


 Agnostisisme

David Hume (1711-1776)
Immanuel Kant (1724-1804)




Beberapa filosof dari kubu idealis, meskipun banyak para saintis berada dalam pengaruhnya, mereka melawan ajaran materialisme dialektika yang menyatakan bahwa dunia adalah suatu hal yang obyektif dan bisa dipikirkan, dipahami, bahkan direproduksi oleh kemajuan raksasa ilmu pengetahuan sepanjang masa. Mereka memegang teguh pendirian agnostisisme. Dalam bahasa Yunani, “a” berarti “tidak”, sedang “gnosis” berarti “pengetahuan”. Sebuah pandangan yang menyatakan bahwa, manusia hanya mampu mengetahui hal-hal yang bersifat lahiriah semata dan tidak akan mampu memecahkan “benda di dalam dirinya sendiri”. Dalam batasan tertentu manusia memang mampu memecahkan suatu problem secara prinsipil, namun selalu ada ruang kenyataan yang di luar jangkauan pengetahuan manusia secara prinsipil. Tidak pandang seberapa banyak sains dan teknologi telah maju dan akal manusia berkembang. Menurut Engels, dengan mengutip Lancashire, kaum agnotikus ini sering disebut dengan materialisme “kemalu-maluan”. Di hadapan kereaksioneran feodalisme, agnostisisme memang memiliki watak progresif yang mewakili kepentingan kelas borjuis Abad ke-19. Namun di hadapan kelas proletariat yang lebih maju yang muncul kemudian dalam sejarah, mereka menjadi wakil dari pandagan kaum reaksi. Mereka berbalik arah menjadi idealis tepat ketika kelas buruh telah menemukan senjata filsafatnya yang perkasa dan konsekuen, yakni materialisme dialektika. Filsafat yang menemukan jalan raya menuju masa depan sosialisme-komunisme. Filsafat yang tak akan membuat kaum buruh mengemis-ngemis atau melacurkan diri lagi kepada kaum borjuis, namun justru sebaliknya, membikin perhitungan yang mematikan kepada mereka sebagai musuh kelas yang harus ditiadakan.
David Hume, seorang wakil agnotikus abad 18 dari Skotlandia sebagai misal, ia menyatakan bahwa hanya indera persepsi kita yang mampu menjangkau segala hal-ihwal. Tujuan ilmu pengetahuan (sains) semata-mata hanyalah mengatur dan mensistematisasi semua hal-ihwal yang masuk dalam jangkauan indera persepsi kita. Pandangan ini hendak menyatakan bahwa manusia tidak pernah tahu kenyataan apa di belakang indera persepsi dan apa yang menyebabkannya. Ia kemudian memproklamirkan bahwasannya pertanyaan filsafat yang fundamental adalah sesuatu yang tak terpecahkan. Pernyataan ini juga menggiring pada proposisi bahwa manusia juga tidak bisa mengatakan apakah dunia ini berdasarkan pada materi, ide, roh, kesadaran, dsb. Manusia tidak tahu, dan tak akan pernah tahu seluruh hal-ihwal dunia ini karena tidak mampu mengatasi apa yang ada di luar sirkuit indera persepsi kita. Inilah ungkapan skeptis khas agnostisisme yang sangat terang dari David Hume.
Dalam bahasa yang berbeda kita juga bisa mengungkapkan pendapat Schelling, seorang filosof idealisme Jerman, yang mengatakan bahwa “Jiwa adalah suatu pulau yang tidak bisa dicapai oleh pihak-pihak dari ruang lingkup materi”. Dengan demikian jiwa adalah pulau terasing, pulau ghaib dalam jiwa manusia, tak ada kapal yang mampu menjangkaunya.
Juga Immanuel Kant, lelaki tertib dari kota kecil Konigsberg di Prusia Timur yang menjadi generasi pertama filsafat idealisme Jerman Klasik itu, menyatakan bahwa indera manusia hanya mampu melihat fenomenon atau gejala-gejala yang tampak. Dan manusia tidak akan mampu melihat apa yang numenon atau sebagai hal-hal yang tak tampak; manusia hanya mengenal fenomen-fenomen (erscheinungen) dan bukan kenyataan itu sendiri (das Ding an sich). Dalam perspektif pandangan ini, kesadaran adalah suatu hal-ihwa yang selalu tertutup dan terisolir dari kenyataan. Kant sendiri tidak menyangkal bahwa indera persepsi kita adalah apa yang disebabkan oleh sesuatu yang berada secara independen dari manusia serta pengetahuannya. Inilah aspek metafisika yang reaksioner dari Kant; suatu cogito tertutup. Ia menyatakan bahwa bagaimana pun sesuatu itu – apa yang ia sebut dengan “benda di dalam dirinya sendiri”— merupakan prinsip yang tak mampu ditembus oleh pengetahuan manusia. Kenyataan yang sejati selalu tersembunyi di balik tirai. Yakni tirai yang menutupi “das Ding an sich”, atau “the things-in-them selves”, atau “benda di dalam benda itu sendiri”. Itulah tempat persembunyian terakhir Immanuel Kant yang gelap gulita (keterangan lebih lanjut lihat bab IV).
Kedua tuan agnostik tersebut seperti berseru kepada kita, pemilik jiwa-jiwa yang cinta kemajuan: “Stop! Cukup sampai di sini perjalanan kita”, di tapal batas dunia kebenaran di mana kaki tuan Hume dan Kant berpijak. Keduanya menyatakan, kita tidak bisa melangkah lebih jauh lagi memasuki inti dari dunia materi. Bila demikian adanya, rumusan Hume dan Kant ini, bila disambut oleh pecinta klenik mereka akan segera menyebut puluhan nama-nama dedemit, jin, dan hantu gentayangan sebagai penjelasan “kenyataan di seberang sana” itu. Kaum agamis tulen juga akan segera mengimpor istilah-istilah teologis yang itu-itu juga sebagai pengisi kekosongan ilmiah ini. Kant tidak boleh marah dengan segala spekulasi ini dan harus memaklumi sebagai konsekuensi dari ruang kosong dan gelap das Ding an sich-nya.
Mereka semua, tuan-tuan agnostikus tersebut, pada hakekatnya adalah manusia-manusia pemikir perbatasan yang mentah. Profesor-profesor desertir yang kurang militan. Materialis yang “malu-malu”, setengah-sadar dan menderita kemalangan secara filsafat. Seluruh kemalangannya itulah yang memaksa mereka harus berbagi tempat dengan mistisisme, metafisika dan segala ketakhayulan yang telah lapuk itu. Kemalangan itulah yang memaksa mereka mendatangi kembali gereja-gereja atau ruang praktek dukun klenik; meminta petunjuk ini-itu kepada mereka yang dengan senang hati membuka kitab-kitab keramatnya, dengan mulut komat-kamit memanjatkan mantera-mantera. Amboy!
Agnostisisme menampakkan diri dalam suatu hubungan yang erat dengan doktrin agama yang menyatakan “jalan Tuhan yang tak pernah mampu ditapaki”. Bahwa akal manusia dapat berbuat keliru. Akal budi manusia menuntut bimbingan moralitas abadi yang bersumber pada eksistensi Tuhan. Bahwa manusia menuntut cara lain, yakni hanya dengan jalan mistis (yang tidak ilmiah) untuk mencapai suatu kebenaran tertinggi. Immanuel Kant sendiri mengakui bahwa ia telah “menyerah” secara pengetahuan sehingga harus berbagi kamar dengan keimanan (iman rasional murni yang ia bedakan dengan akal rasio murni). Iman rasional, yang menurut Kant, ditakdirkan sebagai perintah untuk mencapai kebaikan tertinggi yang paling mungkin. Meskipun ia sendiri kemudian membantahnya sebagai suatu hal yang tidak mungkin (absurditas). Inilah inkonsistensi teoritik, suatu hal yang sangat dibenci oleh pandangan filsafat Immanuel Kant sendiri. Suatu “metafisika sains” yang ia rumuskan sebagai kritik atas “metafisika kuno”, suatu pandangan yang tertata secara sistematis apapun, namun tetap terjerembab dalam pangkal idealisme. Itulah kenapa para filosof agnostik kita, yang juga ilmuwan desertir ini, selalu memiliki aliansi dengan pemilik otoritas mistik (gereja) walaupun seringkali dalam banyak kasus mereka sendiri tidak percaya Tuhan. Namun yang selalu menjadi alasan adalah, dunia yang tak terpecahkan oleh pengetahuan ini, menuntut sains untuk mengemis pertolongan pada mistisisme. Agnostikus mengajak dan menuntut manusia melakukan pendakian iman yang buta itu, di kaki langit spekulasi, faktor yang menyebabkan manusia dalam situasi mengemis secara terus-menerus pada doktrin-doktrin dari wilayah mistik. Suatu bimbingan yang hanya membawa manusia pada bentuk pengasingan (alienasi) yang lain.
Agnostisisme dalam semua bentuknya, pada kenyataanya telah ditolak oleh fakta-fakta kehidupan yang obyektif. Sejarah sains telah menunjukkan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh manusia. Pelan namun pasti, menyingkirkan pengabaian atas pengetahuan, dan bagaimana alam tersingkap dari wilayah yang semula berupa hutan belantara misteri. Manusia dan sains telah menemukan hukum tata surya dan struktur alam semesta yang semula dipalsukan oleh gereja. Dan manusia juga telah berhasil mendarat ke bulan pada Abad ke-20. Manusia telah mampu mendaki gunung paling tinggi dan menyelami samudra paling dalam sekalipun untuk menyingkap rahasia alam semesta.
Manusia tidak hanya memasuki dunia luar angkasa, namun juga memasuki kedalaman mikrokosmos sub-atomis. Mendekat dan terus menyingkap teka-teki dari asal-usul kehidupan, mengembangkan rekayasa genetika, dsb. Di mana pun, di seluruh lapangan sains dan teknologi, manusia menemukan “berkarung-karung harta karun” tak terkira batasnya yang dicapai oleh pengetahuan ilmiah. Seluruh ilmu pengetahun tersebut sangat berguna bagi perkembangan dan kemajuan umat manusia sendiri.
Dimulai dari laboratorium ilmiah, kalkulasi teoritis, fisikawan tak hanya belajar bagaimana memproduksi mata rantai reaksi pemisahan dalam atom uranium, namun juga mengkontrol reaksi ini dalam pancang atomis. Produksi energi atom dalam reaktor-reaktor industri membuktikan kebenaran dalil teoritis fisika bahwa titik berangkat para fisikawan bekerja dan mempertunjukkan kita memiliki kebenaran pengetahuan atas beberapa hukum pengembangan inti nuklir. Teknologi modern dan industri telah menawarkan sejumlah bukti konkret tanpa batas kekuatan ilmu pengetahuan. Atau dalam dalil materialisme dialektika sering diungkapkan, pengatahuan saya, pengetahuan kita sebagai umat manusia seluruhnya dewasa ini memang ada batasnya. Namun pengetahuan umat manusia – generasi masa depan umat manusia di sepanjang zaman, sungguh tak ada batasnya.
Alam semesta atau dunia obyektif ini selalu nyata dan selalu terbuka pada siapa pun. Ia selalu setia pada setiap perkembangan dan tidak pernah tertutup. Pun juga sejarah masyarakat manusia. Serangkaian sejarah yang terus bergerak dan tidak pernah mandek, tidak pernah menutup diri pada siapapun. Dalam bahasa aforisme, alam semesta dan masyarakat ini ibarat ibu kandung yang melahirkan seluruh filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan. Lihatlah, “Ibu Kebenaran” itu selalu tersenyum pada kita. Selalu membuka diri, melambaikan tangan dan memanggil anak-anaknya untuk masuk dan terus masuk menyelami isi kenyataan ini sedalam-dalamnya. Mengisi pikiran kita dengan apa yang terhampar di keluasan alam obyektif. “Ibu Kebenaran” mengajari jari jemari tangan kita untuk menyempal bingkai-bingkai sempit kenaifan dan kebodohan agar kita bisa menembus keluasan cakrawala tak bertepi. “Ibu Kebenaran” mengajak kita mengarungi lembah dan ngarai, bumi dan langit obyektif ini dengan riang gembira, bebas-merdeka tanpa ketakutan dan prasangka. Ia membimbing kita untuk tidak percaya pada takhayul. Ia juga mengajari kita mengunyah seluruh makanan bumi kenyataan ini agar “gigi-gigi teori” kita yang baru tumbuh menguat bersamanya. “Ibu kebenaran” juga mengajak kita memeriksa sejarah di masa lampau dan masa kini, agar kita bisa membedakan antara arus maju sejarah dan arus balik sejarah. Arus maju sejarah mengajak kita pada hari depan dan kemajuan. Sedangkan arus balik sejarah mengajak kita pada kemunduran dan keterbelakangan.
Demikianlah. Alam semesta dan masyarakat terus bergerak dan berkembang, mengajarkan kita seluruh hal-ihwal kenyataan yang hidup; itulah “Ibu Kebenaran” kita. Itulah kitab kehidupan yang sebenarnya, tempat kita menuangkan pandangan hidup kita. Bukan dogma! Dogmatisme adalah sumber dari segala sumber subyektifisme yang telah menyesatkan umat manusia.


 Mazhab Frankfurt

Max Horkheimer (1895-1973)
Theodor Adorno (1903-1969)
Herbert Marcuse (1898-1979)
Erich Fromm (1900-1980)
Jurgen Habermas (1928- )




Sekitar tahun 1930-an, berkibar sebuah nama Madzab Frankfurt (Frankfurter Schule) tempat sejumlah pemikir sosiologi dan filsafat berhimpun di dalam “Institut Penyelidikan Sosial” (Institut fur Sozialforschung). Institut ini didirikan pada tahun 1923 oleh Felix Weil, anak seorang pedagang gandum yang kaya raya dan sarjana ilmu politik, sekaligus sebagai sponsor utama keuangan Madzab Frankfurt. Felix Weil, konon adalah seorang pemuda Marxis yang menulis untuk gelar Ph.D persoalan tentang “Problem Praktis Implementasi Sosialisme” yang kemudian diterbitkan oleh Karl Korch. Motif utama berdirinya madzab ini adalah membuat lembaga penelitian sosial yang “independen” untuk meneliti masalah-masalah sosial secara kritis yang berkembang pada zaman itu. Orang-orang yang bergabung dalam madzab ini kebanyakan adalah dosen-dosen pada Universitas Frankfurt, keturunan Yahudi, dan juga terdapat anggota Partai Komunis Jerman. Sering oleh para mahasiswa perkumpulan ini dijuluki dengan CafĂ© Marx, sebagai tempat kongkow-kongkow intelektual borjuis kecil sembari berdiskusi tentang Marxime.
Madzab Fankfurt ini mencapai puncaknya di tangan Max Horkheimer, seorang ahli filsafat sosial dengan mengumpulkan hampir semua intelektual Jerman dan dari luar Jerman: Friedrich Pollock (ahli ekonomi), Walter Benjamin (ilmu kesusastraan), Theodor W. Adorno (musikologi, filsafat, sosiologi), Erich Fromm (psikoanalisa), Herbert Marcuse (filsafat), dsb. Pada perkembangannya kemudian, Jerman berada dalam kekuasaan Fasisme Hitler yang anti-Yahudi dan anti pemikiran-pemikiran Marxis. Maka tak heran madzab Frankfurt ditutup oleh Nazi pada tahun 1933, situasi yang memaksa mereka pergi dari Jerman ke berbagai kota di Eropa seperti Paris, London dan Jenewa. Seiring dengan meluasnya rezim fasis seperti di Prancis, mereka terus terancam secara politik. Situasi yang memaksa mereka hijrah ke Amerika Serikat. Di jantung kota Amerika, New York, mereka mendapat tempat di Universitas Columbia dan menjadi pusatnya selama mereka di sana. Max Horkheimer menjadi kepala dari Institut ini dan mencapai masa kejayaannya sebagai pusat dari pengembangan Teori Kritik Masyarakat. Mereka getol dalam menyelidiki secara kritis teori-teori sosial di zamannya, melakukan kajian multi-disiplin ilmu bersama para pemikir di bidang filsafat, sosiologi, psikologi, kritik sastra, musikologi, ekonomi, politik dan hukum. Mereka mendapat pengaruh kuat dari Hegel, Kant, Marx dan Freud, namun Karl Marx-lah yang menjadi sumber inspirasi terbesar mereka sembari melakukan eklektisisme dengan pandangan para pemikir lainnya.
Sebagian dari mereka bertolak dari pandangan Marxisme namun hampir meninggalkan seluruh fundasi Marxisme sembari tetap mengangankan faktor-faktor pembebasan manusia yang dirumuskan oleh Marxisme. Kritik masyarakat yang mereka maksudkan adalah kritik terhadap dehumanisasi yang terjadi dalam masyarakat kapitalis industri; kontradiksi-kontradiksi, ketidakadilan, frustasi yang berlarut-larut, dan penindasan sistem kapitalisme secara menyeluruh. Mereka bermaksud untuk menyingkap seluruh kepalsuan kapitalisme yang seakan-akan menyinarkan kesan produktif, efisien, sistem paling rasional, dan mampu memuaskan masyarakat di zamannya. Secara teoritik, Mazhab Frankfrurt merevisi hampir seluruhnya doktrin Marxisme, menyangkut filsafat, ekonomi-politik dan sosialisme ilmu. Mereka menolak teori nilai kerja sebagai faktor penggerak tenaga produktif, mereka menganggap pertentangan kelas sudah tidak relevan dalam masyarakat modern; dengan demikian revolusi kelas tidak memiliki dasar obyektif sebagai faktor perubahan masyarakat. Mereka menolak kritik Marx atas ekonomi-politik kapitalis dengan mengganti dengan kritik terhadap kebudayaan teknokratis, yang mana mereka menyingkirkan semua tesis tentang bangunan atas. Dengan berbagai kecenderungan ini maka mereka meninggalkan disiplin ekonomi-politik yang menjadi ciri khas ketajaman dan ketepatan Marxisme dalam menjelaskan sejarah umum perkembangan masyarakat, dan menggantikannya dengan disiplin teori yang cupet dan dangkal bernama sosiologi-politik dan teori kebudayaan.
Namun semua kritik tajam yang hendak menjadi katalisator suatu aktifitas emansipatoris umat manusia ini, bukannya menemukan vitalitas baru secara teori dan praktek; namun jalan buntu dalam pesimisme total. Suatu kepicikan yang tragis, ketika mereka menolak aktifitas revolusioner dan mengajak mundur (resignasi) massa rakyat dengan pekerjaan refleksi-refleksi utopian dan anti-praktek. Itulah yang menimpa Max Hokheimer. Kritikus tanpa garis massa dan konteks revolusioner, politisi tanpa partai, dan teoritisi tanpa praktek, tanpa mau bersusah payah membangun sarana pengubah keadaan. Suatu kecenderungan yang membawa mereka kembali mencari pengobatan pada agama sebagai bentuk kerinduan atas kebenaran-kebenaran abadi dan sempurna yang tak ada di dunia ini. Sungguh nyata, bila pada awalnya mereka hendak menghubungkan teori dan praktek, namun pada kenyataannya segerombolan intelektual borjuis kecil ini – oleh karena faktor-faktor keterbatasan kelas mereka sendiri – kembali memisahkan peranan teori dan praktek dalam perubahan sosial. Secara naif mereka ingin menjadi seorang intelektual yang murni dan terpisah dengan partai dan aktifitas nyata perjuangan rakyat. Intelektual yang berdiri di menara gading, sembari meneropong masalah-masalah rakyat dengan teleskop pembesar di ketinggian jarak atas nama kepicikan ‘netralitas’ mereka yang filistin itu. Sungguh sikap terbelakang yang kembali ditunjukkan oleh kaum intelektual borjuis kecil yang sudah dibabat dan dilikwidasi oleh Karl Marx sejak tahun 1884.
Seringkali kali, dalam berbagai kesempatan, mereka juga diberi label neo-Marxisme atau kiri-baru (new-left); sebuah identifikasi bagi mereka yang hendak membangun tradisi Marxisme secara baru. Namun apa yang baru dari neo-Marxisme? Sama sekali tidak ada. Mereka bahkan merestorasi cara-cara usang yang sudah dicampakkan oleh Marxisme dan para penyokong tradisinya yang ilmiah dan konsekuen. Neo-Marxisme sebagai label sesungguhnya tidak mencerminkan teori dan praktek Marxisme secara konsisten. Dalam konteks ini, lebih tepat memberi mereka label Marxis-palsu (pseudo-marxist) ketimbang Marxis-baru (neo-Marxist), walaupun kedua-duanya sama-sama sebagai barang palsu. Tak jauh beda dengan Duhring sebagai produk industri intelektual Jerman yang khas dalam hal buruk tapi murah. Hanya saja, bila Duhring di abad-19 memiliki kecenderungan merumuskan teori komprehensif sebagai omong-kosong yang berlebihan, sementara orang-orang yang berkumpul di Frankfurt pada abad-20 kali ini, dengan bakat sinkretis-nya yang kuat namun tanpa kedalaman, juga telah mendapat hukuman yang setimpal dari sejarah. Segala macam teori yang disusun tanpa kedalaman dan kekokohan yang menyeluruh, hanya akan melahirkan teori-teori yang compang-camping seperti gaya berpikir Madzab Frankfurt yang tampak kenes namun dangkal itu.
Secara total mereka melakukan kritik terhadap Stalin dan Partai Komunis di zamannya. Memang benar Stalin dan Partai mengalami beberapa kesalahan dalam pandangan dan praktek, namun tidaklah benar bila semua hal harus dicampakkan begitu saja tanpa pembedahan secara teliti dan otokritik. Suatu tindakan yang membuat mereka, penyokong mazhab Frankfrut ini, meninggalkan Marxisme dan kembali ke filsafat Hegel dan Kant yang telah usang itu. Sikap netral yang utopis dan pesimisme dari para tokoh Sekolah Frankfurt ini membuat mereka kehilangan simpati dari rakyat dan bangkrutlah “warung klontong” teori mereka. Pemasaran teori mereka gagal mencapai panduan teori yang sintesis itu hanya dikonsumsi oleh segelintir intelektual kampus yang gagal membangun tradisi kuat dalam gerakan perlawanan rakyat. Sikap kritis mereka terhadap Marxisme hanya sebatas kritisisme teoritik, suatu intelektualisme yang gagal mereka wujudkan dalam praktek. Pada akhirnya, mereka yang hendak mengawinkan ide Marxisme dengan ide borjuis; dengan mengatasnamakan apa yang mereka sebut sebagai serangan terhadap Marxisme ortodok, namun mereka hanya menemukan kegagalan yang fatal. Mereka lebih memperkaya gagasan borjuis ketimbang Marxisme. Terlepas mereka juga menyerang positifisme, namun sangat tipis membedakan pandangan mereka dengan positifisme itu sendiri. Mereka yang gagal itu, pada akhirnya ditinggalkan oleh kalangan borjuis kecil sendiri seperti para mahasiswa dan dosen-dosen progresif. Madzab Frankfurt tentu sangat memuakkan bagi kelas buruh yang berpikir sehat dan revolusioner; gerakan buruh revolusioner yang telah menemukan pengembangan teori Marxisme-Leninisme dalam gelora perjuangan massa yang hebat. Mari kita periksa pokok-pokok pikiran dari tiga orang para pemikir utama Mazhab Franfurt.

Max Hokheimer. Ia adalah anak dari seorang pengusaha tekstil yang kaya raya di kota Zuffenhausen, dekat kota Stuttgart. Pokok pikirannya tertuang dalam sebuah merek “teori kritis” yang kemudian menjadi merek dari Madzab Frankfurt. “Teori kritis” yang mereka maksud adalah kritik terhadap keadaan masyarakat sekaligus teori-teori sosial yang ada termasuk Marxisme. Ia membedakan “teori kritis” dengan teori tradisional, seperti yang tertuang dalam sebuah artikel berjudul Tradisionalle und kritische Theorie (Teori Tradisional dan Teori Kritis). Artikel ini terbit pada tahun 1937 yang sering dianggap sebagai program kerja bagi Lembaga Penelitian Sosial (Mazhab Frankfurt). Teori kritis ini bukanlah barang baru dan tidak ada satu pun yang baru, namun dengan kecongkakan intelektual yang filistin ia memaksudkan sebagai suatu teori yang mengatasi seluruh teori yang ada sejak Renaissance dan Abad Pencerahan. Ia beranggapan bahwa teori-teori tradisional hanya mampu merumuskan suatu sistem secara prinsip-prinsip yang menggambarkan dunia. Mereka terlalu menekankan teori murni dan melupakan aspek aksi untuk mengubah keadaan dunia. Ia menginsafi bahwa suatu kegiatan ilmiah tidak bisa netral, namun harus berpihak pada suatu bentuk tatanan masyarakat rasional tertentu. Berbagai teori yang ada telah kehilangan nalar kritisnya dan terjebak dalam status quo. Dalam konteks inilah ia melancarkan kritik terhadap kaum positifisme yang hanya mendasarkan pikirannya pada fakta-fakta obyektif yang merupakan hasil dari keadaan masyarakat tertentu. Orang yang mengikuti prinsip-prinsip berpikir positifisme dengan sendirinya akan berpihak pada status quo, dan keberpihakan ini telah membuktikan bahwa positifisme kehilangan nalar kritisnya.
Selain menyerang positifisme, orang ini juga menyerang pokok pikiran Karl Marx tentang kedudukan dan peranan kelas proletar sebagai agen perubahan revolusioner. Menurutnya, dalam masyarakat industri sekarang ini tidak otomatis kelas buruh memiliki kesadaran kritis yang menjadikan mereka sebagai aktor utama dalam praktek revolusioner. Ia lebih percaya pada kaum intelektual sebagai subyek yang sadar dan kritis, orang-orang yang mengerti dan memahami “teori kritis” dan bukan mewakili kelas namun mewakili bangsa manusia yang tertindas. Orang ini menolak perspektif Marxisme bahwa kaum intelektual selalu berakar dalam suatu kebudayaan kelas tertentu. Ia hanya mengakui bahwa intelektual memang termasuk dalam masyarakat, namun ia orang yang paling tahu dan memahami bagaimana cara mengatasinya. Dan tugas seorang intelektual adalah mengamalkan “teori kritis” dengan menyuarakan berbagai kecenderungan negatif yang tersembunyi dalam sistem masyarakat dan mengarahkan ke suatu perkembangan baru tertentu.
Di mana letak kepicikan dan kedangkalan bapak teori Madzab Frankfurt ini? Letaknya pada dua aspek pokok. Mari kita tunjukkan. Pertama, dalam artian kefilsafatan ia adalah anak cucu yang mendekap erat warisan filsafat idealisme Jerman yang mandul dan lapuk itu, khususnya dirasuki Immanuel Kant dalam kadar yang parah. Bagaimana Marx dan Engels menganiaya filsafat Kant, lihat pembahasan dalam soal agnostisisme. Kedua, ia tidak memahami hukum-hukum ekonomi-politik masyarakat kapitalisme secara obyektif karena ia membedah seluruh fenomena masyarakat kapitalis dari sudut pandang disiplin sosiologi yang sempit dan dangkal. Kedua cacat perspektif dan metodis ini telah melahirkan “teori kritis” Max Hokheimer yang malang itu.

Theodore W. Adorno. Ia lahir di kota Frankfurt, anak dari ayah seorang pedagang anggur yang kaya dan ibu seorang penyanyi yang terkenal. Semasa kecil hidupnya dilingkupi oleh suasana musik yang cukup memberi pengaruh hidupnya. Pokok pikiran filsafatnya tertuang dalam Dialektik der Aufklarung (Dialektika Pencerahan) terbit tahun 1947 dan Negative Dialektik (Dialektika negatif) terbit pada tahun 1966. Gagasan yang ditawarkannya adalah suatu upaya untuk mempertahankan ide dasar dari Abad Pencerahan, yaitu jalan emansipasi dengan menambah porsi rasionalitasnya. Menurutnya, hanya dengan melakukan kritik radikal atas Abad Pencerahan, maka dapat dimengerti arti rasionalitas pada zamannya. Kritik radikal yang dimaksud di sini adalah dengan mencari sebab-sebab kegagalan emansipatif yang semula dicita-citakan oleh teori-teori kemajuan dalam masa Abad Pencerahan dan sesudahnya, maka dapat kita buka suatu perspektif baru atas zaman ini.
Khusunya dalam karangan Dialektika Negatif, Adorno menyampaikan dua kata kunci, yaitu “negatifitas total” dan “malapetaka permanen”. Orang ini beranggapan bahwa apa yang terjadi di Auschwitz pada abad ke-20, yakni pembantaian massal di kamp-kamp konsentrasi Nazi, sebagai suatu fakta yang irrasional dan bertolak belakang dengan teori-teori Abad Pencerahan itu sendiri. Keadaan ini, di mana kebebasan manusia telah lenyap sama sekali, dikatakannya sebagai bentuk “negatifitas total” dan seluruh sejarah hingga tragedi Auschwitz menjadi penanda dari “malapetaka permanen”. Dalam situasi yang negatifitas total mengerikan ini, menurut Adorno, yang dibutuhkan bukanlah suatu tindakan praksis, namun menambah bobot teori yang lebih rasional atau mematangkan pikiran teoritik di dalam masyarakat. Adorno melukiskan dengan “penderitaan sebagai obyektifitas yang menekan subyektifitas”. Maksudnya adalah penderitaan merupakan suatu hal yang bersifat paling subyektif (menyangkut subyek sebagai subyek), tetapi mampu melebihi subyek karena ternyata disebabkan oleh hal-hal yang obyektif. Inilah yang melahirkan suatu filsafat yang tidak otonom, suatu filsafat yang sungguh-sungguh pesimistis dan anti-praktek.
Sudah menjadi keumuman dalam Mazhab Frankfurt, orang ini juga menyerang Marxisme. Menurutnya, revolusi proletar yang digagas oleh Karl Marx tidak bisa diwujudkan karena gagal mengatasi keterasingan manusia, bahkan masyarakat dewasa ini telah telanjur menjadi barbarisme. Kejadian Auschwitz dan kediktatoran birokrasi rezim komunis, menurutnya, telah menjadi fakta sejarah ini. Dalam hal sejarah, Adorno menuduh Karl Marx belum mampu bebas dari idealisme Hegel. Kalau sejarah memang suatu malapetaka permanen, sia-sia saja orang mencari rasionalitas di dalamnya. Lantas apa yang ditawarkan Adorno dengan dialektika negatifnya? Argumentasi orang ini sangat miskin dan kurus sehingga kita gagal melihat wajah masyarakat yang dicita-citakannya. Bila dialektika Marxisme yang kokoh itu menyatakan bahwa kontradiksi antara perkembangan tenaga produktif dan hubungan produksi dalam sistem kapitalisme yang akan dihancurkan oleh revolusi proletar dan kemudian akan menentukan lahirnya wajah masyarakat tanpa kelas. Lantas dialektika macam apa yang dibedah dan ditawarkan oleh Adorno? Ia hanya bicara tentang pentingnya perubahan, menekankan aspek rasionalitasnya, selebihnya omong kosong yang sangat abstrak dan filistin. Dialektikanya gagal menemukan pijakan konkrit sehingga hanya melahirkan teori lolongan srigala yang malang, lolongan yang terasing dari obyektifitas sejarah dan zaman. Inilah buah dari sinkretisme yang sembarangan, mencampuradukkan sedikit ajaran Marxisme dengan psikoanalisa Freud. Hasilnya adalah teori kefilsafatan yang sangat mengacaukan dan tidak bisa dipercaya.

Herbert Marcuse. Pria kelahiran Berlin dan keturunan Yahudi ini, seperti halnya anggota Mazhab Frankfurt lainnya, mencoba memperkeras lolongan teori kritisnya. Pokok pikirannya tertuang dalam sebuah buku yang sempat fenomenal dan menjadi rujukan di kalangan intelektual borjuis berjudul One Dimentional Man. Study in the Ideology of Advanced Industrial Society (1964). Sebagai catatan penting, riset dan penerbitan buku ini didanai oleh sebuah yayasan milik imperialis Amerika Serikat bernama The Rockefeller Foundation. Inti dari buku ini bertolak dari gagasan bahwa manusia sebagai makluk yang pada kodratnya mendambakan bahagia dan berhak atas kebahagiaan. Perwujudan kebahagiaan bergantung pada pemuasaan kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya. Dan untuk pertama kalinya dalam zaman modern ini memiliki kemungkinan obyektif untuk merealisasikan pemuasan tersebut; antara lain karena pekerjaan produksi yang telah mencapai taraf otomatisasi teknologi dalam masyarakat industri. Namun alih-alih mendapatkan kebahagiaan, kenyataan malah berlaku sebaliknya yakni kandasnya seluruh cita-cita kebahagiaan tersebut. Manusia modern, digambarkan oleh Marcuse, sebagai manusia satu dimensi. Dan pemikiran yang dipraktekkan dalam masyarakat ini adalah pemikiran satu dimensi; pemikiran manusia modern dalam masyarakat yang tidak mengenal oposisi maupun alternatif.
Rasionalitas masyarakat modern adalah rasionalitas teknologis, yakni segala sesuatu yang dipandang dan dihargai sejauh dapat dikuasai, diperalat, dan dimanipulasi. Dalam pandangan teknologis, instrumentalisasi menjadi istilah kunci di mana seluruh dimensi kehidupan telah dikuasai dengan merajalelanya rasionalitas teknologis baik di bidang politik, sosial dan kebudayaan. Rasionalitas teknologis ini, telah berkembang menjadi rasionalitas politik dan suatu sistem totaliter. Ia menjelaska bahwa dewasa ini bukan manusia yang menindas manusia; bukan kelas atau golongan tertentu yang menindas kelas dan golongan lainnya. Namun terdapat sistem totaliter yang menguasai seluruh manusia. Suatu penindasan yang harus dibedakan dari periode pra-teknik atau pra-industri – di mana budak ditindas tuan-budak, petani hamba diperbudak oleh tuan tanah, buruh dihisap tenaganya oleh kapitalis. Sistem totaliter ini berlangsung di semua negara, sistem yang menguasai semua bentuk ekonomi-politik: kapitalisme dan komunisme, baik di Amerika Serikat maupun Uni Soviet. Sudah bukan rahasia lagi bahwa partai-partai politik tidak ada bedanya, baik itu Partai Demokrat, Republik, maupun partai-partai kiri seperti Partai Sosialis. Kelas buruh juga sudah kehilangan sifat revolusionernya karena menjadi konsumen dari seluruh produk industri yang melimpah-ruah, di mana mereka bisa memiliki rumah, tv, kulkas, mobil, dsb. Sejauh teknologi memungkinkan segala kemajuan di bidang sosial-ekonomi, dengan mengenyangkan perut, menggiurkan mata, meringankan beban pekerjaan, dan sejauh itu pula sikap kritis manusia menciut. Bagaimana kritis terhadap sistem ditolerir sedemikian rupa dan segera dilumpuhkan karena dijadikan barang konsumsi yang menarik dalam bentuk hiburan kultural dan aneka sensasi.
Dan tak lupa pula Marcuse melancarkan kritik atas filsafat positifisme dan filsafat analitis, sama-sama ditumpulkan, kehilangan sifat kritis dan dipaksa menyesuaikan keadaan yang ada. Filsafat analitis hanya memerankan fungsi terapisnya atas manusia namun tidak atas seluruh keadaan dunia ini. Lantas apa yang ditawarkan oleh Marcuse untuk melahirkan masyarakat baru? Setelah panjang lebar ngoceh tentang kekacauan masyarakat modern, orang ini memiliki beberapa resep penyembuhan yang demikian fantastis daya ilusinya. Pertama, perlu sedapat mungkin manusia mengurangi segala bentuk kekuasaannya (the reduction of power); kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi, pendek kata, mengurangi seluruh konsentrasi kekuasaan dalam sistem di mana semua orang terkurung di dalamnya termasuk dirinya. Kedua, perlu semua orang mengurangi perkembangan yang berlebihan (the reduction of overdevelopment). Maksud dari penyataan ini adalah manusia harus menolak seluruh kebutuhan artifisial seperti yang ditawarkan oleh iklan produk modern dan meninggalkan semua usaha untuk semakin meningkatkan kualitas hidup. Dengan asumsi, untuk melahirkan masyarakat yang kualitatif lain, masyarakat harus mulai mengurangi yang kuantitatif.
Apa yang dimaksud orang ini ketika bicara tentang teknologi modern, ia sesungguhnya tidak memahami sistem produksi kapitalis secara menyeluruh, tidak mengerti hubungan antara kemajuan tenaga produktif yang berjalan secara historis dan hubungan produksi. Orang ini juga telah mengacaukan pengertian kelas pemilik alat produksi sebagai kelas penghisap dan kelas tanpa alat produksi yang terhisap, sekaligus mengacaukan kontradiksi kelas dan perjuangan kelas di dalamnya. Seluruh kekacauan dan pendangkalan yang berangkat dari ketidakpahaman umum atas cara kerja sistem kapitalisme inilah, lantas memunculkan ide-ide naif dan utopia sekaligus atas suatu usulan untuk melakukan tindakan melambatkan (slow-down) atau mengurangi seluruh gerakan mesin produksi sistem kapitalisme. Di mana letak kelancungan filsafat Marcuse ini? Bila kita periksa dengan cermat, apa yang dikatakan Marcuse dengan sistem totaliter yang melingkupi seluruh bidang kehidupan ini, termasuk ia sendiri di dalamnya, semestinya menuntut penghancuran total atas seluruh kemajuan teknologis, atas seluruh sistem masyarakat modern itu sendiri. Namun kenyataannya, ia sendiri mengingkari penghancuran total dan menggantikan dengan usulan slow-down-nya atau dalam bahasanya sendiri pengurangan atas seluruh kekuasaan ekonomi dan politik yang ada. Pun bila kita runut jalan berpikirnya Marcuse, akumulasi seluruh pengurangan atas kekuasaan ini semestinya sampai ke titik nol (zero-point), agar bisa dimulai lagi dari angka satu suatu pembangunan sistem yang baru sama sekali. Dan titik nol ini, bila kita meraba-raba maksud pikiran Marcuse lagi, berarti menyingkirkan seluruh teknologi modern dan ilmu pengetahuan alias kembali ke zaman batu. Gagasan ini pun ternyata telah ditolaknya; bukan demikian maksudnya. Inilah suatu contradictio in terminis dalam cara berpikir Marcuse. Inilah suatu gagasan yang memungkinkan apa yang tidak mungkin, yang menunjukkan kekacauan dan kemalangan filsafat Marcuse itu sendiri.


 Posmodernisme

J.F. Lyotard (1924-1998)
Jacques Derrida (1930- 2004)





Posmodernisme muncul sekitar tahun 1960-1970 sebagai sebuah aliran filsafat yang membingungkan. Posmodernisme seringkali diidentikkan dengan post-strukturalisme, sebagai kritik atas pandangan strukturalisme yang berkembang besar di Perancis. Namun pengertian post-modernisme yang identik dengan post-strukturalisme pun seringkali dikatakan tidak valid, karena aliran ini berkembang di luar batas-batas post-strukturalisme itu sendiri. Pada mulanya istilah posmodernisme lahir di dunia kesusastraan dan arsitektur, terutama di Amerika Serikat. Adalah seorang bernama Lyotard yang pertama kali membawa istilah ini ke dalam dunia filsafat lewat bukunya berjudul The Postmodern Condition yang terbit pada tahun 1979. Kemudian disusul oleh Jacques Derrida.
Posmodernisme itu sendiri muncul sebagai reaksi atas seluruh prinsip-prinsip dan pencapaian modernisme yang mereka nilai sebagai sebuah proyek pemikiran yang gagal. Apa yang menjadi proyek intelektual modern dalam sejarah dan kebudayaan Barat, sejak zaman Pencerahan hingga dewasa ini, telah gagal mewujudkan cita-cita humanismenya. Menurut perspektif posmodernis, terjadinya tragedi Auschwitz – di mana sekitar 6 juta warga Yahudi dibantai oleh tentara Nazi Jerman, sungguh peristiwa yang tidak bisa diterima oleh rasionalitas modern; juga rubuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet yang semula mengusung cita-cita besar humanisme; merupakan sebagian pertanda dari kegagalan tersebut. Modernisme menganggap bahwa teknologi dan sains akan menjadi sumber kebahagiaan manusia dan menjanjikan dunia yang lebih baik, namun kenyataan justru sebaliknya. Kaum posmodernis kecewa. Modernisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dan mengusung keunggulan rasionalitas, akan tetapi perang, pembunuhan, dan penghisapan manusia atas manusia seperti memberi pesan kuat tentang kehancuran manusia dan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme). Kaum posmodernis semakin sedih dan kecewa. Bertolak dari kekacauan dan krisis humanisme inilah mereka menyangkal seluruh dalil-dalil filosofis dan metodis yang menopang zaman modern ini. Dalam batas-batas tertentu, mereka bahkan menolak ilmu sains modern dan merelatifkan segala hal hanya sebatas “mitos” dunia modern. Mereka menggunakan metode “dekonstruksi” sebagai usaha untuk meragukan dan menyangkal seluruh keterbatasan materialisme, idealisme, positifisme, empirisisme, dan strukturalisme. Lantas apa gerangan yang mereka rumuskan atas dunia? Apa pula yang mereka tawarkan pada rakyat dunia yang menderita? Mari kita periksa apa gerangan posmodernisme melalui salah satu juru bicaranya.
Lyotard sendiri mendefinisikan posmodernisme sebagai suatu ketidakpercayaan terhadap meta-narasi seperti spirit dialektika, pemaknaan hermeunetik, emansipasi rasional atau subyek yang bekerja, penciptaan kesejahteraan. Semua hal-hal yang tampak ideologis ini, menurutnya, tak ubahnya sebagai dongeng yang berlebihan untuk membuat pendengarnya puas dan bahagia, sehingga tak ubahnya sebagai dongeng untuk anak kecil sebelum tidur. Sasaran tembak posmodernisme adalah sosialisme dan kapitalisme, untuk membuat jalan bagi epistemologi yang bersifat relatif (relativism epistemic). Bahwa peradaban modern tak ubahnya sebagai suatu “mitos”, “narasi” atau “kontruksi sosial”. Ia menolak seluruh otoritas tradisional dari sains dan moral, dan seluruh sumber dari subyek yang membahayakan obyektifitas.
Jacques Derrida, seorang filosof Perancis. Dia banyak dipengaruhi oleh Liebniz, Nietsche, Sartre, dan Martin Heidegger. Derrida memulai dengan perlawanan terhadap strukturalisme, sebuah gerakan yang berusaha menjauh dari esensi manusia yang berada dalam payung teori eksistensialisme. Para penyokong strukturalis menganggap strukturalisme sebagai penggerak awal yang melampaui akal manusia. Sehingga kita mendapati struktur bahasa dan kekuasaan berbicara tentang manusia, dan bukan manusia yang seharusnya berbicara tentang struktur bahasa dan kekuasaan. Derrida berkesimpulan bahwa strukturalisme dikemas dalam metafisika, di mana eksistensi akal ibarat ungkapan-ungkapan suci yang melampaui alam intuisi dan perubahan. Struktur dalam pandangan orang strukturalis adalah metode-metode yang menyerupai bangunan akal manusia. Sedangkan strukturalisme adalah proyek mempelajari bangunan akal tersebut. Konsekuensinya, manusia kembali pada otoritasnya dan memberikan alam rasionalitas dan makna yang memungkinkan manusia untuk sampai pada satu kebenaran.
Proyek teoritik Derrida adalah usaha untuk meruntuhkan ontologi filsafat Barat secara menyeluruh yang dibangun dengan pola pemilahan (oposisi) biner, seperti manusia dan alam, mutlak dan nisbi, tetap dan berubah. Oposisi biner ini bersandar pada pertanda transendensi. Derrida berusaha meruntuhkan sistem pertanda transendensi tersebut dari sisi agama dan materi dengan menetapkan oposisi binernya. Dengan begitu, dia merasa mampu menghancurkan batasan-batasan oposisi yang tersusun dalam pertanda transenden menuju suatu alam baru tanpa batas, bahkan dunia tanpa landasan sama sekali. Inilah operasional dari metode “dekonstruksi” yang mereka lancarkan, termasuk sebagai sarana untuk menolak apa yang mereka sebut dengan “narasi besar” (grand narrative) atau teori-teori universal. Pasca dekonstruksi kita mendapati hidangan utama teoritik posmodernisme berupa: multikulturalisme dan relatifisme. Alam dan pertanda terpisah secara mutlak. Materi dan ide menjadi kacau-balau, being dan meaning menjadi tumpang tindih, dan dibiarkan berserakan dalam keping-keping relatifisme.
Posmodernisme secara umum menolak seluruh klaim kebenaran universal, menyerang subyek dan meletakkan semua hal-ihwal dalam keranjang besar dan abstrak bernama multikulturalisme. Dalam merayakan multikulturalisme, kebenaran universal menyusut menjadi relatif dalam kebenaran-kebenaran yang bersifat lokal, partikular, komunal, primordial, parokial, individual. Semen perekat multikulturalisme adalah toleransi, di mana suatu eksistensi harus menghargai eksistensi yang lain. Bila demikian jalan berpikir mereka, kita bisa mengambil contoh: seorang bajingan besar penindas rakyat seperti George W. Bush, Suharto, Pinoche, dalam perspektif posmodernisme, bisa hidup rukun di suatu desa di mana ia pernah membantai rakyat di desa tersebut. Dalam jalan berpikir mereka, sebuah usaha tenun manual pembuat kain dengan 5 orang pekerja, bisa bersanding dengan industri tekstil dengan mesin paling modern dengan 25 ribu buruh, tanpa harus melibatkan hukum-hukum ekonomi pasar kapitalis; mereka bisa hidup rukun berdampingan, penuh toleransi. Kesewenang-wenangan teoritik macam ini menjadi mungkin bagi jalan pikiran posmodernisme sambil mengatasnamakan omong kosong bernama keunikan, kearifan lokal, toleransi, dan pesta perayaan multikulturalisme yang absurd itu.
Seluruh kompromisme naif tanpa prinsip ini bisa ditampung dalam keranjang besar posmodernisme. Cara pandang dan metode berpikir posmodernisme yang tak memiliki suatu sistesis dari definisi atas kesatuan dari berbagai aspek yang penuh ragam (multikulturalisme) ini, segera terlempar-lempar di antara semak-belukar relatifisme ke relatifisme yang lain. Mereka tidak mengerti bahwa semak belukar di mana mereka hidup adalah bagian dari jalinan-jalinan hutan belantara seutuhnya. Itulah relativisme mereka yang hanya seluas semak-belukar yang rumit dan liar. Pandangan ini dengan demikian menyangkal dialektika sebagai metode berpikir, tidak bisa memahami hukum perkembangan materi, gagal memahami keumuman universal (mutlak) dan kekhususan kontradiksi (relatif), dan seluruh hal-ihwal gejala dunia obyektif lainnya.
Segala hamparan realitas seperti lautan kenisbian yang bisa ditafsir dari segala sudut pandang. Mereka tak segan-segan menghubungkan antara kumis Hitler, Stalin dan Saddam Hussain dengan fasisme sebagai contoh. Mereka juga menyerang gagasan humanisme dengan suatu kesimpulan bahwa fasisme adalah humanisme. Dengan dasar pemikiran manusia bahwa humanisme telah menempatkan manusia sebagai pusat, manusia sebagai aktifitas substansi dari sejarah, dan inilah yang melahirkan fasisme. Ini sungguh suatu permainan nihilisme gaya posmodernisme yang merusak otak. Tanpa disiplin, kacau secara metodis, gegap gempita namun sepi sunyi, tak berpangkal dan tak berujung, dan sampah tak berguna dalam perspektif filsafat perjuangan kelas proletar. Posmodernisme adalah produk lain dari individualisme borjuis kecil yang filistin. Perkembangan dari pandangan pesimisme ke arah nihilisme, karena gagal memahami akar persoalan umat manusia dan gejala yang berkembang di zaman krisis imperialisme dewasa ini. Suatu filsafat yang berwatak skeptis, spekulatif dan liberal.
Serangan yang dilancarkan Posmodernisme terhadap Abad Pencerahan dan Marxisme, adalah suatu tindakan yang tak bisa kita biarkan tanpa balasan yang setimpal. Menurut pendapat saya, para penyerang Abad Pencerahan dan Marxisme hanya punya dua pintu keluar untuk kabur dari dunia filsafat. Pertama, ada pintu belakang di mana kita bisa mempersilahkan mereka untuk kembali ke Abad Tengah yang gelap, gersang-meranggas, dan a-human itu. Bila Renaissance menjadi pintu masuk kita dari abad gelap menuju abad cerah, khusus untuk para penyokong posmodernisme kita persilahkan menjadi pintu keluar menuju abad gelap kembali. Namun bila pintu belakang teramat memalukan untuk mereka tempuh, kita persilahkan mereka menuju ke pintu depan. Yakni wilayah jungkir-balik kerumitan teoritik sebagai sarana untuk terkatung-katung dalam lautan relatifisme masa kini. Teori mereka yang mentah dan absurd itu, menyerupai cawat daun yang hanya cukup untuk menutup organ paling vital dari kebugilan mereka sendiri. Semakin jelas kiranya tinjauan kita. Bahwa satu-satunya kepentingan kita dengan membuang-buang waktu mempelajari filsafat posmodernisme hanyalah untuk mengetahui apa hakekatnya. Berikutnya, segera lancarkan serangan dengan segenap argumentasi ilmiah yang paling mematikan dan paling bertanggung-jawab terhadap humanisme masa kini. Inilah arti penting perjuangan teori yang harus bersendikan pada kebenaran ilmiah dan humanisme.
Di lingkaran teramat kecil dari intelektual borjuis kecil, posmodernisme itu sendiri dianggap seperti sosok hantu. Keranjang bolong tanpa isi karena kabur dan kacaunya sehingga menjadi parodi yang menggenaskan. Ketika gagal dipahami dan diterima oleh kalangan intelektual borjuis kecil sendiri, posmodernisme sesungguhnya telah bangkrut dan tewas di kandangnya sendiri. Demikianlah kenyataannya. Filsafat yang gagal lahir secara utuh (abortif) karena tidak obyektif membaca dunia sehingga tidak mampu memberi pemecahan mendasar atas problem yang dihadapi mayoritas warga dunia yang menderita; kelas buruh, kaum tani, dan kaum miskin modern lainnya yang semakin besar jumlahnya sebagai problem humanisme masa kini. Suatu skeptisisme dan absurditas yang gagal memandang obyektifitas sejarah dan solusinya. Teori mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan di hadapan massa rakyat luas.
Lantas apa maknanya posmodernisme bagi agenda pembebasan humanisme masa kini? Humanisme macam apa yang mereka tawarkan kepada dunia? Bagaimana taktik dan strategi kerjanya? Seluruh rakyat di dunia tidak ada yang tahu. Hanya mereka sendiri yang tahu dengan segala sofistikasi yang kedodoran dan bertele-tele itu.


• “Filantropisme”

Ia berasal dari dua kata, “philo” yang berarti cinta dan “antropos” yang berarti manusia. Secara pengertian filantropisme adalah paham tentang cinta manusia atau konsepsi “humanisme” dalam pendirian dan pandangan kelas borjuis. “Filantropisme” (perhatikan tanda kutip di atasnya) itu sendiri pada dasarnya belum menjadi suatu filsafat tersendiri, namun perlu kita singgung di sini karena telah menjadi model dari sebuah pandangan dan gaya hidup kelas borjuis di zaman kapitalis awal hingga krisis imperialisme masa kini. Suatu sikap ‘humanitarian’ yang bersimpati pada sisi buruk hubungan produksi kapitalis masa kini, namun tidak menolak sistem penghisapan manusia atas manusia atau perbudakan manusia upahan modern. Ia turut bersedih dengan keterpurukan nasib proletariat dan rakyat karena persaingan kejam dari borjuis sendiri. Ia menganjurkan agar kaum buruh bekerja lebih keras, tidak membuat anak banyak-banyak, jangan suka berjudi dan menenggak minuman keras. Sebagai borjuis ia juga menasehati sesama kaum borjuis agar bernalar sehat dalam produksi dan tidak bertindak curang. Ia sungguh hendak mempraktekkan pepatah yang mengatakan “serigala berbulu domba”. Seekor serigala tetaplah serigala, yang rakus dan buas dengan taring-taringnya yang tajam. Sampai kapan pun serigala tak mungkin menjadi domba. Dan kita tak akan tertipu oleh omongan dan tindakannya yang munafik.
Seluruh ekspresi teoritik aliran ini terletak pada sikap inkonsistensi yang tak berkesudahan antara teori dan praktek. Antara prinsip-prinsip sistemik dan apa yang dihasilkannya. Esensi dan penampakan. Keuntungan dan keadilan. Sisi baik dan sisi buruk. Mereka menolak keharusan antagonisme kelas. Sebuah aliran “humanitarian” borjuis yang hendak mencapai kesempurnaan manusia di bawah sistem kapitalisme. Mereka adalah borjuis yang berlagak menentang borjuis yang lain, seolah-olah borjuis yang paling humanis, paling beradab, dan paling sopan dari borjuis yang lain. Pada sisi tertentu mereka bahkan hendak memborjuiskan kelas proletar dalam artian sikap dan perilaku. Sungguh pandangan dan sikap yang sangat memalukan dibanding moyang-moyang mereka terdahulu – yang diwakili oleh tiga borjuis penting yang menggagas sosialisme utopia seperti Saint Simon, Fourier dan Owen. Betapa pun suatu utopia, bagi putra Revolusi Perancis bernama Saint Simon itu, ia pernah menggagas gerakan kelas tengah yang berdampingan dengan kelas proletar, sungguh masih punya arti penting tertentu dalam kementahannya; Fourier dan Owen, yang tumbuh di negeri di mana produksi kapitalisme lebih maju, mengembangkan usul-usul untuk menghilangkan perbedaan kelas secara sistematis. Dan setidaknya dari mulut mereka sendiri keluar istilah sosialisme sebagai alternatif dari sistem kapitalisme dunia. Dan mereka berani mengongkosi dari kocek sendiri proyek yang memang benar-benar utopis itu. Sedikit permakluman bisa kita nyatakan terhadap kaum sosialis utopis ini; suatu teori yang masih mentah, bersesuaian dengan syarat-syarat produksi kapitalis yang belum matang dan kesadaran kelas proletar yang juga belum maju. Sosialisme utopia memang menjadi teori yang paling maju dari tingkat perkembangan yang masih serba mentah.
Sementara kaum ‘filantropis’ kontemporer kita ini, yang hidup di zaman kapitalisme tua dan lapuk kini, sungguh mewakili borjuis demokratis yang paling minimalis dan terbelakang. Mulut mereka tak pernah bicara sepatah kata pun tentang perombakan sistem secara mendasar. Mereka gagal melihat kekayaan yang mereka akumulasi secara langsung telah menciptakan kemiskinan di pihak proletariat. Dan lebih jauh mereka tidak bisa melihat aspek revolusioner yang subversib itu di pihak kelas proletar sebagai perombak tatanan masyarakat lama. Mereka acuh tak acuh, tak mau memahami arah perjalanan sejarah paling modern ini. Sebagian kesibukan mereka adalah menjadi organisator badan-badan amal bagi proyek pengurangan kemiskinan. Usaha kedermawanan model sinterklas mereka ini sungguh menjadi karikatur yang pahit dan sangat mengecewakan. Ada suatu satire yang masih relevan untuk menjelaskan situasi ini. “Ketika mereka memberi roti kepada orang miskin, mereka dengan senang hati disebut sebagai Santo yang dermawan. Namun ketika orang-orang miskin bertanya, kenapa kami miskin? Mereka segera menjawab sepenuh prasangka, kamu pasti seorang komunis.” Itulah mereka. Rakyat dunia tidak perlu berharap banyak pada mereka.
Dalam berbagai forum dan kegiatan, mereka gemar sekali berceramah frase-frase abstrak tentang humanisme universal, demokrasi liberal, masyarakat sipil, menebar program-program humanitarian bersama kaum intelektual liberal, borjuis-borjuis kecil piaraan mereka; serta LSM-LSM kaki tangan mereka di negeri-negeri Dunia Ketiga. Pandangan ‘filantropisme’ ini pada hakekatnya adalah suatu misantropis dengan bedak dan gincu yang merias wajah reaksioner kelas penghisap mereka. Selebihnya, definisi yang jujur dan tepat, mereka hanyalah pesolek sistem. Tak lebih dan tak kurang. Orang-orang yang banyak bicara dan menebarkan program kemanusiaan palsu dari laba super profit yang mereka akumulasi dari penghisapan kelas buruh. Mereka menyisihkan keuntungannya dalam berbagai bentuk, salah satunya corporate social responsibility (CSR) atau tanggung-jawab sosial perusahaan yang mulai dipopulerkan di tanah air dewasa ini. Di zaman sekarang, basis ekonomi mereka adalah kelas kapitalis monopoli di negeri-negeri imperialis. Di negeri kita, mereka berasal dari kalangan borjuis menengah maupun komprador yang kaya-raya dari penghisapan kelas buruh. Jauh-jauh hari, orang-orang semacam ini telah dibidik oleh Karl Marx sebagai wakil dari kaum utopis. Salah satu perwakilan mutakhir dari kaum filantropis ini adalah George Soros, pengusaha kaya raya dari negeri imperialis nomor 1; Amerika Serikat. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar