Jumat, 11 November 2011

BAB IV

BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan dipaparkan hasil analisis terkait dengan nilai-nilai pendidikan yang telah dipaparkan pada BAB I. Secara sistematis pembahasan ini akan diklasifikasikan sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan (1). Bagaimanakah bentuk nilai-nilai pendidikan yang terkandung pada puisi “kumpulan ayat-ayat api” karya Sapardi Djoko Damono. (2). Adakah relevansi nilai-nilai pendidikan pada puisi “kumpulan ayat-ayat api” karya Sapardi Djoko Damono dengan kehidupan sekarang.
4.1. Aku Tengah Menantimu
AKU TENGAH MENANTIMU
Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas

Awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
kudengar berulang suara gelombang udara memecah
nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah

Telah rontok kemarau-kemarau yang tipis ; ada yang mendadak
sepi
Di tengah-tengah riuh bunga alas dan kembang turi aku pun
menanti
Barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
dan tak ada, kau pun, yang merasa di tunggu begitu lama
(Ayat-ayat Api, hal. 9)
a. Pembacaan Heuristik
Bait 1
(disini) aku tengah menantimu (menunggumu), walaupun di pucuk (akhir musim) kemarau yang mulai gundul (berakhir itu) (yang) membuat bunga randu alas (menjadi) mengejang (kering), (be) berapa (bulan) juni saja (harapan) menguncup ( agak hilang) dalam diriku dan (bahkan) kemudian (menjadi) layu yang telah (sudah) (lama) hati-hati kucatat (kujaga), (akan) (te)tapi diam-diam terlepas.
Atau. Aku (masih) tengah menantimu, (ketika) bunga randu alas (menjadi) mengejang (kering) di (pada) pucuk (akhir musim) kemarau yang mulai gundul (berhenti) itu, (dimana) (be) berapa (bulan) juni saja (harapan) menguncup ( agak hilang) dalam diriku dan (bahkan) kemudian (menjadi) layu yang (padahal) telah hati-hati kucatat (kujaga), (akan) (te)tapi diam-diam terlepas.
Bait 2
Awan-awan kecil (yang selalu) melintas di atas jembatan itu, (namun) aku (masih tetap) menantimu, (kini) musim telah mengembun diantara (kedua) bulu mataku, (disana) berulang (kali) kudengar gelombang suara (di) udara memecah (mengganggu penantianku), (serta membuat) nafsu dan gairah telanjang (rasa penantian menjadi pudar) disini, bintang-bintang (pun) (menjadi) gelisah.
Bait 3
(kini) telah rontok kemarau-kemarau yang tipis (kegalutan hati yang akan berlalu);, (namun) ada yang mendadak sepi (hati yang gelisah), di tengah riuh (nya) bunga randu alas dan kembang turi (namun) aku pun (masih tetap) menanti(mu) /(menunggu kedatanganmu), barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana dan tak (tidak) ada, (namun) kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama ( tidak datang-datang juga).
b. Pembacaan Rekroaktif/hermeneutik
Dilihat dari judulnya, sajak Aku Tengah Menantimu merupakan simbol dari individualitas atas kesabaran, dan keteguhan akan kekuatan rasa yang ada dalam diri seorang penyair. Kata Aku Tengah Menantimu mencerminkan kekuatan keyakinan kesabran yang diemban.
Aku Tengah Menantimu juga bisa dimaknakan bahwa keteguhan dan keyakinan dengan penantian yang dilakukan si aku suatu saat akan menuai hasil atas penantian yang dilakukan walaupun itu membutuhkan waktu yang begitu lama. Toh pun bagaimana hasilnya dibelakang hari, yang di tunggu-tungu tak kunjung datang juga, yang penting kesabaran untuk menanti dan harapan selalu ada dan tertanam kuat dalam diri penyair, itulah yang menjadi alasan dasar terhadap keyakinan kesabaran atas penantian yang dilakukan si penyair.
Bait 1
//aku tengah menantimu//, penantian akan baliknya seorang kekasih hati tengah dilakukan dengan begitu sabar telah menanam harapan yang begitu besar dan jauh di dalam hati bahwa kekasih yang di tunggu suatu ketika akan datang, si penyair tak perduli mesti beberapa lamakah ia harus menunggu, dan tak terasa dalam penantian yang dilakukan waktu terus berdialektika, musimpun demikian datang silih berganti, entah itu musim dingin atau musim kemarau yang membuat //bunga randu alas menjadi mengejang//, dan kini musim kemarau sudah di akhir penghujung //di pucuk kemarau yang mulai gundul itu//, namun penantian seorang penyair terhadap kekasihya terus dilakukan yang akhirnya menjadikan //berapa juni menguncup, dalam diriku dan kemudian layu// padahal rasa kesabaran dan keteguhan dalam diri penyair terus dijaga //yang telah hati-hati kucatat// untuk melakukan penantian akan baliknya sang kekasih, (tapi) diluar kehendak seiring dengan terpaan cobaan yang begitu banyak, baik dari dalam diri penyair maupun dari luar pribadinya/lingkungannya yang kian terus menghantam dan membuat kesabaran menjadi pudar //diam-diam terlepas//.
Bait 2
Mungkin dalam resah penantian yang dilakukan penyair, dia tidak menyadari bahwa //awan-awan kecil selalu melintas di atas jembatan itu//, karena si aku/penyair tak menghiraukan apa yang ada di sekitarnya, karena si aku/penyair terus bersabar dengan penantian baliknya sang kekasih didekatnya, si penyair tetap berkata disini (aku) masih tetap (menantimu) menunggu kadatangannmu, walau kini penantian yang kini begitu ini membuat //musim telah mengembun diantara bulu-bulu mataku//, lantas kemudian //kudengar berulang// kali //suara gelombang// jeritan hati //memecah udara//, hingga membuat //nafsu dan gairah// menunggu kepulanganmu telah //telanjang disini//, bintang-bintangpun mulai menjadi gelisah dengan penantian yang dilakukan penyair akan kembalinya seorang kekasih.
Bait 3
Dalam penantian yang begitu lama yang dilakukan oleh si penyair //telah membuat rontok kemarau-kemarau yang tipis//; dan tiba-tiba dalam penantian ada keresahan dan kegelisahan, bahwa kekasih yang dia tunggu-tunggu tidak akan pernah balik telah membuat hati penyair mendadak menjadi (sepi). Kesepian hati itu pun bergumul //di tengah-tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi//, namun si aku/penyair tidak perduli dengan segala riuh dan halangan serta penderitaan yang dialami, di tempat penantiannya si aku akan tetap menunggu baliknya seorang kekasih, //aku pun masih tetap menantimu disini//, si aku tetap sabar dan masih tetap berdiri tegak dalam keyakinan bahwa kekasih yang dia tunggu-tunggu pasti akan datang, walaupun //barang kali semakin jarang awan-awan// hitam dan putih itu //melintas di sana dan tak ada//, mungkin kau kekasih yang kun anti-nanti akan datang, akan tetapi sekian lama aku menungggu (kau pun), tak kunjung-kunjung datang juga //yang merasa ditunggu begitu lama//.
Pada puisi Aku Tengah Menantimu ini, penyair membuka sajaknya dengan bait :
Aku tengah menantimu
Mengejang bunga randu alas
Dipucuk kemarau yang mulai gundul itu
Ini menandakan bahwa si aku / penyair saking teguh pendiriannya dan begiru sabar dalam penantian, sampai-sampai si aku/ penyair tidak perduli harus berapa lamakah ia mesti menunggu akan datangnya sang kekasih.
Dia juga sadar bahwa sebuah perjuangan tidak selamanya berhasil, karena terkadang sesuatu yang kita lakukan tidak selamanya akan menuai hasil yang baik, kadan-kadang hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, namun dia tetap saja menunggu dengan begitu.
Dan karena kesabaran penantian dan keyakinan yang sudah di tanam kokoh jauh di dasar hati oleh si aku, sehingga dia tidak pernah memeprdulikan harus berapa lamakah ia mesti menunggu dan berada dimanakah dia pada saat itu, penantian yang dia lakukan dengan begitu sabar sudah berjalan begitu lama ini di tandakan dengan “walaupun musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku dan kudengar berulang suara gelombang udara memecah”, si aku menggunakan bahasa yang sangat-sangat mendalam akan kesabaran terhadap penantian yang dia lakukan.
Dari penantian yang dilakukan si aku begitu banyak terpaan cobaan, rintangan dan halangan yang dihadapi sang penanti (si aku/penyair), dan itu akan melahirkan kesabaran mulai pudar dan rasa sakit membuat hati goyah dan akan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat terhadap perasaan si penyair. Namun si penanti (si aku/penyair) tidak menghiraukannya, dia tetap saja menanti kekasihnya yang di harapkan suatu saat akan datang.
Di bait terakhir si aku menegaskan prinsip akan kesabaran tentang penantian yang dia lakukan “bahwa barang kali semakin jarang awan-awan melintas di sana dan tak ada, kau pun, yang merasa di tunggu begitu lama”.
Dari segi bentuk atau tipograpinya, puisi aku tengah menantimu di atas berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya yang di tulis oleh penyair angkatan pujangga baru. Tipograpinya lebih bebas. Hal ini juga bisa dimaknakan bahwa penyair adalah seorang yang teguh pendirian terhadap keyakinan yang dia miliki tidak akan mudah luluh dan lekang oleh waktu dan musim.
Dari segi pemilihan kata atau diksi, puisi aku tengah menantimu di atas, semangat individualitas dan kesabaran serta keyakinan akan penantian baliknya seorang kekasih yang dia lakukan banyak di tandai dengan pemilihan kata seperti : aku tengah menantimu (bait 1), aku menantimu (bait 2), ditengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun menanti (bait 3).
Bahasa-bahasa puisi adalah bahasa-bahasa yang mengandung ambiguitas, multi tafsir. Begitu juga dengan puisi aku tengah menantimu di atas.
Pada bait 1 terdapat kata /di pucuk kemarau/. Kata ini bisa diartikan dengan akhir musim kemarau atau kemarau akan berhenti dalam penantian. Begitu juga dengan kata /menguncup/, bisa di artikan sesuatu yang akan pudar, atau bahkan hampir hilang dan melemah akan suatu keyakinan rasa yang telah di tanam dalam diri. Dan /telah hati-hati kucatat/ bisa diartikan kesabaran yang dia jaga yang selalu di tanam jauh dalam hati dan menjadi penggairah akan penantian yang dia dilakukan. /diam-diam terlepas/ bisa diartikan bahwa itu diluar kehendak dan kemampuannya untuk menjaga sesuatu yang ada dalam diri, seiring dengan waktu yang selalu berubah-ubah dan musim bergonta-ganti dalam penantian yang begitu panjang telah membuat keyakinan akan baliknya sang kekasih menjadi hilang.
Pada bait 2 dikatakan /musim telah mengembum//diantara bulu-bulu mataku/ bisa dimaknakan bahwa sangat begitu lama dia berada dalam penantian, sehingga dia tak sadar musim datang silih berganti dan cuaca selalu berubah-ubah. Dan ketika /nafsu dan gairah telanjang disini/ bisa dimaknakan bahwa rasa kesabaran akan penantian yang dia lakukan begitu terbuka hingga diketahui oleh semua orang namun tidak diumbar.
Pada bait 3 kata /telah rontok kemarau-kemarau yang tipis/ ini bisa diartikan kalau penantian yang dia lakukan, tidak pernah berubah dan goyah walaupun muism terus berganti dari satu musim ke musim yang lainnya. Dan kalimat /di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi/ bisa diartikan sebagai sebuah kegalutan hati akan penantian yang dilakukan karena saking begitu lamanya dia menunggu dan terus menunggu, walaupun orang yang dia tunggu tak kunjung datang juga, karena mungkin saja orang yang dia tunggu entah berantah berada dimana atau berada di tempat yang sangat jauh atau mungkin sudah mati, sehingga dalam penutup sajak ini berbunyi /kau pun yang merasa di tunggu begitu lama/.
Pada puisi aku tengah menantimu banyak digunakan gaya bahasa, sarana retorika, juga citraan yang berfungsi untuk lebih mengkongkritkan gambaran tentang yang ingin disampaikan oleh penyair. Di antaranya :
Berapa juni saja menguncup dalam diriku
Kata berapa juni saja ini mengambarkan tentang penantian yang begitu lama dan menguncup dalam diriku merupakan bahasa perumpamaan yang mencoba menggambarkan tentang hati yang mulai resah atas penantian si aku lakukan.
Musim telah mengembun di bulu mataku
Kata ini sebagai kata perumpamaan yang dipakai oleh si aku untuk menggambarkan muism demi musim yang telah di lewati, semuanya dalam penantian si aku.


c. Bentuk Nilai pendidikan Yang Terkandung.
Pada puisi aku tengah menantimu di atas, kita bisa menemukan bentuk pendidikan yang mencoba mengajarkan kita untuk terus tetap bersabar dalam melewati segala rintangan dan cobaan akan sesuatu hal yang kita lakukan terhadap apa yang telah kita yakini, walaupun kepastian akhirnya belum kita ketahui dan prediksikan berhasil atau tidaknya, karena sesuatu yang kita kerjakan di atas dunia ini tidak ada yang pernah sia-sia, namun dibalik semua itu pasti ada manfaatnya atau hikmah yang lebih baik dibalik semua itu.
Dalam menjalani proses tentang apa yang kita yakini di dalam hati dan kita kongkritkan dalam bentuk perbuatan tentunya akan mendapatkan halangan dan cobaan yang begitu banyak, baik itu datang dari diri kita sendiri maupun lingkungan sosial kita, dimana semua ini karena kita hidup dalam bersosial yang terdiri dari banyak individu-individu yang berbeda-beda karakter dan tujuan hidup, serta kondisi geografis setempat, maka oleh Sangay pentinglah kita sebgai manusia mesti harus menanamkan sifat sabar dalam diri kita.
Sajak “aku tengah menantimu” ini berisi atau mengajarkan kita untuk tetap teguh menjalankan keyakinan dalam bentuk perbuatan dengan sabar. Walaupun dalam menjalankan keyakian itu begitu banyak halangan, rintangan dan cobaan yang akan kita hadapi.
Untuk bisa tetap bertahan dalam hidup dan melakukan sesuatu, kita harus memiliki sifat sabar dan tujuan yang jelas. Karena dalam hidup yang begitu pelik dan yang begitu numpuk dengan cobaan dan masalah, maka sangat begitu pentinglah di individu kita masing-masing untuk kita tanamkan dengan begitu kokoh didalam diri kita yang namanya sifat sabar, karena sifat sabar ini adalah sebagai penopang kita untuk tetap melakukan sesutau yang akan membuat kita untuk bisa bertahan hidup dikalangan sosial kita, sehingga hidup ini menjadi penuh dengan arti atau begitu berarti hingga kehidupan yang tentram dan damai dapat kita rasakan.
d. Relevansinya Dengan Kehidupan Sekarang
Mengingat dewasa ini, yang dikenal dengan hidup dalam dunia moderen, yang disebut-sebut dunia yang lebih maju secara teknologi, namun ternyata dibalik semakin moderennya kehidupan kita ini, kebanyakan terasa ada sesuatu yang hilang dari individu kita, yakni kesabaran yang harus mesti wajib ada dalam tiap individu, kalau kesabaran sudah tidak bisa kita tanam kokoh dalam diri kita sebagai manusia, maka sungguh hidup ini tidak akan pernah kita rasakan yang namanya hidup tentram, hilangnya sifat “SABAR” bisa kita lihat pada hidup di dunia yang lebih maju dan moderen pada tahun 2010 ini, bahwa kesabaran sudah tidak bisa kita pertahankan, tidak jarang, bahkan sangat begitu sering kita melihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa kekerasan terjadi dimana-mana, penganiayaan, kericuhan atau bentrok antara satu individu dengan individu lainnya, bahkan juga yang lebih ironisnya yakni satu kampung dengan satu kampung lainnya yang membuat banyak korban yang berjatuhan dengan sia-sia, bahkan nyawapun sampai hilang.
Bukankah semua kita tidak menginginkan kehidupan yang seperti itu?. Oleh karena itulah penting kemudian untuk mari kita sama-sama memetik dan mengambil sebuah makna pendidikan yang diajarkan kepada kita dari salah satu penyair besar kita yakni SAPARDI DJOKO DAMONO lewat puisinya yang berjudul ”aku tengah menantimu”, pendidikan yang diajarkan yakni kita sebagai manusia yang dikenal menjadi kholifah dimuka bumi ini dan yang memiliki akal dan fikiran harus menanamkan dan memiliki salah satu sifat, yakni sifat sabar dalam melakukan sesutau”.

4.5. Tentang Mahasiswa Yang Mati, 1996 hal. 35
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut
rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya,
hanya dari Koran, tidak begitu jelas memang,
Kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya demikian juga?)
tetapi rasanya cukup alasan
untuk mencintainya. Ia bukan
mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja
ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat,
atau diam saja kalau di Tanya,
atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja
setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka
membaca sehingga semua guru jadi asing baginya.
Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati;
begitu berita yang ada di Koran pagi ini---
entah kenapa kau mencintainya
karena itu. Aneh, Koran ternyata bisa juga
membuat hubungan antara yang hidup
dan yang mati, yang tak saling kenal.
siapa namanya, mungkin disebut di Koran,
tapi aku tak ingat lagi,
dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah
mati hari itu----dan ada saja yang jadi ribut.
Di negeri orang mati, mungkin ia sempat
was-was akan nasib kita
yang telah meributkan mahasiswa mati.
a. Pembacaan Heuristik
Aku (jadi) mencintainya, sebab ia(mahasiswa) mati ketika ikut rame-rame (pada) hari itu (aksi masa 1998). Aku tak (tidak) mengenalnya, (aku tahu tentangnya) hanya dari Koran, (dan) (wajahnya juga) tidak begitu jelas memang, Kenapanya atau bagaimananya (akn tetapi) (bukankah semuanya demikian juga?)
namun rasanya (aku sudah punya) cukup alas an untuk mencintainya. (walaupun) Ia bukan mahasiswaku. (di) Dalam kelas mungkin saja ia suka (me)ngantuk, atau (munkin ia) selalu tampak (sangat) sibuk mencatat, atau (bahkan) diam saja kalau di Tanya, atau (mungkin saja ia/mahasiswa itu)sudah terlanjur bodoh sebab (ia selalu) ikut (in) saja setiap (apa) ucapan (dari) gurunya. Atau (akankah ia) malah terlalu suka membaca sehingga semua guru (men)jadi (terasa) asing baginya.
Dan tiba-tiba saja, (dan) begitu saja, (pada) hari itu ia (mahasiswa) mati; begitu (aku melihat) berita yang ada di Koran (pada) pagi (hari) ini--- entah kenapa (apa yang membuat) aku mencintainya karena itu. (sungguh terasa) Aneh, Koran ternyata bisa juga membuat (sebuah) hubungan antara yang hidup dan yang mati, yang tak (tidak) saling kenal.
Siapa(kah) namanya, (entah) mungkin disebut di Koran, (akan) (te)tapi ku tak (tidak) ingat lagi (karena kejadiannya begitu cepat), dan mungkin juga (aku) tak (tidak) perlu peduli. (karena) Ia telah mati (pada) hari itu----dan (disini) ada saja yang jadi ribut.
Di negeri orang mati(alam baka), mungkin ia sempat (merasa) was-was akan nasib (yang akan menimpa) kita yang telah meributkan mahasiswa (yang telah) mati.
b. Pembacaan Rekroaktif/hermeneutik
Penyair membuka sajaknya dengan ”aku mencintainya”, si penyair coba untuk menggambarkan tentang kecintaannya/simpatik sama seorang mahasiswa yang tiba-tiba mati muda begitu saja, kematian pemuda itu disebabkan karena ikut aksi masa.
Padahal si penyair tidak tau siapa sebenarnya pemuda yang ia cintai itu, ia tidak mengenalnya dengan begitu jelas karena sipenyair tau tentangnya hanya dari Koran berita pagi yang ia baca sambil minum kopi, di Koran wajahnya tidak terlihat begitu jelas memang, dan kenapa atau bagaimanakah kronologis kejadiannya yang membuat pemuda itu menajdi mati, tapi //bukankah semuanya demikian juga?// bahwa kita semua mahluk hidup dimuka bumi ini akan mati dengan tiba-tiba dan begitu saja, tanpa ada pemberitahuan lebih dulu.
Namun ternyata si penyair bahwa ia sudah memiliki cukup alasan kenapa ia mesti mencintai/simpatik lepada mahasiswa yang mati itu //Namun rasanya cukup alasan untuk mencintainya//, walaupun ia bukan mahasiswa sipenyair di dalam kelas tempat ia menjadi dosen, barangkali di //dalam kelas mungkin// ia mahasiswa itu sering mengantuk, atau mungkin selalau nampak sangat begitu sibuk untuk mencatat, atau bahkan diam saja kalau di tanya, atau mungkin saja ia/mahasiswa itu sudah terlanjur bodoh dengan kondisinya yang selalu mengikuti setiap perkatan yang di ucapkan oleh gurunya tanpa berkata sedikitpun apa dan kenapanya dia mesti melakukan dan mengikuti perkataan gurunya itu.
Atau, akankah ia malah terlalu suka dengan kesibukan dirinya sendiri yakni membaca, sehingga semua guru dan semua yang ada di dekatnya terasa asing baginya.
Tapi tanpa ada apa-apa, dengan begitu saja //dan tiba-tiba saja//, pada hari itu ia mahasiswa itu mati, begitu aku melihat dan membaca berita yang ada di koran pada pagi hari ini, entah kenapa tiba-tiba saja aku jadi mencintainya karena itu.
Sungguh ini semua terasa sangat begitu aneh bagiku, Koran ternyata bisa juga membuat hubungan, membuat sebuah rasa antara yang hidup dan yang mati, dan Koran juga bisa membuat sebuah rasa untuk mencintai seseorang yang tidak saling kenal mengenal.
//Saya tidak tau pasti siapakah namanya/, /barang kali atau entah mungkin saja namanya disebut di Koran//. Akan tetapi aku sudah tidak ingat lagi karena kejadiannya sangat begitu cepat, dan mungkin juga aku tidak perlu perduli dengannya, karena //ia mahasiswa itu telah mati pada hari itu ketika ikut rame-rame//, dan disni masih saja ada yang meributkan mahasiswa yang mati itu.
//Barangkali saja disana, di negeri orang yang sudah mati yakni alam baka, mungkin ia mahasiswa sempat merasa was-was akan nasib yang kan menimpa kita nanti yang telah meributkan dirinya yang telah mati//.
c. Bentuk Nilai pendidikan Yang Terkandung.
Kita bisa menemukan bentuk nilai pendidikan yang terkandung dalam puisi yang berjudul ”tentang mahasiswa yang mati” tersebut yakni sebuah bentuk pendidikan yang mengajarkan kita tentang mencintai sesama itu tidak mesti harus mengenalnya, karena sesungguhnya kehidupan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita adalah sebuah kehidupan untuk saling mencintai, mengasihi dan menyayangi. Ini bisa di tandakan dengan kalimat ”aku mencintainya” pada pembukaan sajak si penyair, kalimat tersebut menjadi inti tekan pointer isi puisinya.
Pada kalimat ”tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya” memperkuat arti makna pesan pendidikan yang terkandung dalam puisi tersebut, dan di perjelas lagi tentang pesan yang ingin disampaikan penyair bahwa mencintai dan menyayangi seseorang tidak perlu melihat status sosial dan mengenal orang itu dengan begitu dalam, akan tetapi sebagai manusia sudah semestinyalah untuk saling mencintai dan menyayangi, tertera pada larik puisinya
” entah kenapa aku mencintainya
karena itu. Aneh, Koran ternyata bisa juga
membuat hubungan antara yang hidup
dan yang mati, yang tak saling kenal”.
d. Relevansinya Dengan Kehidupan Sekarang
Relevansi bentuk nilai pendidikan yang terkandung dalam puisi diatas dengan kehidupan sekarang ini yakni sangat erat dimana kehidupan dewasa ini banyak diantara kita yang tidak saling mencintai dan menyayangi antar sesama dan antara sesama, kita sering memilih serta memilah siapa yang harus kita sayangi dan cintai, apa lagi di negara kita yang di kenal dengan Negara demokrasi, Negara yang mengayomi berbagai macam suku, agama dan ras. Maka oleh karena itu sangat pentinglah bagi kita untuk tidak membeda-bedakan seseorang untuk kita sayangi dan cintai, karena ketika semua itu tidak kita miliki maka sangat besar kemungkinannya akan terjadi perang antar sesama, padahal Allah SWT menyuruh kita untuk saling sayang menyayangi antara sesama, namun masih banyak diantara kita yang tidak mengindahkan perintah Allah tersebut, dengan mesti memilih-milih orang yang kan kita sayangi dan cintai, membeda-bedakan dan memperhatikan ras, agama, suku, jenis kelamin, dan setrata kehidupan sosial seseorang untuk disayangi dan dicintai. Bukankah semua itu bukan menjadi penghalang pokok untuk mencintai dan menyayangi seseorang.


4.5. Yang Paling Menakjubkan Hal.37
Yang paling menakjubkan di dunia yang fana ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita bisa membayangkan apa saja tentangnya,
menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa.

Kita bisa membayangkannya sebagai jantung
yang letih, yang dindingnya berlemak,
yang memompa sel-sel darah agar bisa menerobos
urat-urat yang sempit, yang tak lagi lentuk.

Kita bisa membayangkannya sebagai bola mata
yang tiba-tiba tak mampu membaca aksara
di dinding kamar periksa seorang dokter
ketika ditanya, Apa yang Tuan lihat di sana?

Kita bisa membayangkan sebagai lidah
yang tiba-tiba dipaksa menjulur agar bida diperiksa
apakah kemarin, atau tahun lalu, atau entah kapan pernah
mengucapkan suatu dosa, entah apa.

Sungguh suatu dosa paling menakjubkan di dunia kita ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita boleh menyebut apa pun yang kita suka tentangnya
sementara orang berhak juga menganggap kita gila
a. Pembacaan Heuristik
Yang Paling Menakjubkan Hal.37
Yang paling menakjubkan di (atas) dunia yang fana ini adalah segala sesuatu yang tidak ada (hayalan). Soalnya, kita bisa membayangkan apa saja tentangnya, (kita bisa) menjadikannya muara bagi segala (kejadian) yang luar biasa (diluar kehendak manusia).

Kita (juga) bisa membayangkannya sebagai (sebuah) jantung yang (begitu) letih, yang dindingnya berlemak, yang (setiap hari) memompa sel-sel darah agar bisa menerobos urat-urat yang sempit (kecil), yang tak lagi lentuk.

Kita bisa (saja) membayangkannya sebagai bola mata yang tiba-tiba tak mampu membaca aksara (buta) (ketika) di dinding kamar periksa seorang dokter ketika ditanya, Apa yang Tuan lihat di sana?

Kita (juga) bisa membayangkan sebagai lidah yang tiba-tiba dipaksa (untuk) menjulur agar bidan (ketika akan) diperiksa (ia mengetahui) apakah kemarin, atau tahun lalu, atau entah kapan (kita) pernah mengucapkan suatu dosa, entah apa.

Sungguh suatu dosa paling menakjubkan di dunia kita ini adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya, kita boleh menyebut apa pun yang kita suka tentangnya sementara orang berhak juga menganggap kita gila
b. Pembacaan Rekroaktif/hermeneutik
Kalau kita lihat dari judulnya, sajak yang paling menakjubkan ini mencoba menggambarkan tentang sesuatu hal yang ada diluar jangkauan kita.
Yang paling menakjubkan ini juga bisa diartikan sebagai momok fikiran akan daya hayali seorang manusia tentang suatu kejadian yang begitu luar biasa, yang menjadi frem berfikir untuk bisa menggambarkan akan keinginan yang tertanam dalam batok kepala seseorang.
Pengulangan-pengulangan kata dalam puisi tersebut mungkin tidak terlihat puitik atau bahkan terkesan membosankan, akan tetapi sesungguhnya, pengulangan-pengulangan pada kata “membayangkan” itu membuat ledakan emosi yang dimiliki oleh si aku (pengarang) lebih terasa kental dengan perhatian pola kehidupan kebiasan masyarakat skitarnya.
Dengan gaya penulisan anafora (pengulangan kata) bukanlah sesuatu yang tidak disengaja oleh penulis, pengulangan-pengulangan itu memang sengaja di lakukan untuk menekankan isi atau penjelasan terhadap apa yang dimaksud pleh penyair.


Bait 1
Puisi ini di buka dengan kalimat // yang paling menakjubkan di dunia yang fana ini adalah sesuatu yang tidak ada), bahwa segala apa yang tidak bisa di jamah oleh panca indra kita yang tidak mampu di kongkritkan secara ilmiah adanya adalah sesutau yang tidak ada atau yang gaib, ini disebabkan karena itu sungguh diluar kemampuan berfikir kita, namun semua itu hanya ada dalam angan dan bayang kita semata, oleh karena itulah kita bisa menjadikan atau beranggapan bahwa segala kejadian yang sangat luar biasa yang tidak terkira dan tidak memungkinkan untuk bisa kita lakukan di atas fikir alam sadar kita, itu akibat perbuatan manusia biasa seperti kita ini, maka dengan itu kita bisa mengatakan apa saja tentangnya karena dia tidak ada dan tidak kita lihat, tidak pernah kita dengar dan tidak pernah bisa diraba, namun kita hanya bisa merasakan keberadaan atas ketidak adaannya hanya dengan membayangkannya semata.
Bait 2
Dibait kedua ini penyair ingin menggambarkan sebuah ledakan emosi yang di ulang-ulang pada setiap penulisan yang memperjelas tentang sesuatu bayang-bayang akan hayalan yang kita miliki itu //kita bisa membayangkannya sebagai jantung yang letih//, yang ada di dalam diri tiap manusia, yang menjadi poros hidup dan matinya kita, bahwa jantung itu di setiap (dindingnya berlemak), dimana jantung ini //yang selalu memompa sel-sel darah// tuk mengalirkankan darah keseluruh tubuh dan //agar bisa menerobos urat-urat yang sempit//, urat yang begitu kecil, //yang tak lagi lentuk//.
Bait 3
Dengan adanya hayalan itu, yang melekat dalam diri membuat //kita bisa membayangkannya sebagai bola mata//, ketika pada suatu hari bola mata itu sudah //tak mampu lagi// untuk hanya sekedar //membaca aksara// yang terpampang pada sebuah dinding kamar periksa seorang dokter) waktu //ketika ditanya//, sekiranya (apa)kah bunyi kalimat dari susunan aksara (yang) bisa (tuan lihat disana).
Bait 4
Sesuatu yang tidak ada itu juga bisa dibayangkan sebagai lidah, ketika pada suatu saat yang tiba-tiba dipaksa untuk menjulur keluar agar bisa diperiksa, apakah kemarin, atau tahun lalu, atau entah kapan dalam hidup kita ini pernah mengucapkan sesuatu yang jlek, suatu dosa, atau entah apa saja yang pernah diucapkan lidah ini.
Bait 5
Hidup di dunia yang fana ini yang penuh dengan macam-macam cobaan dalam hidup berkelompok adalah sungguh menjadi sutu dosa yang paling menakjubkan di dunia kita yang begitu ruwet yang begitu banyak maslah adalah segala sesutau yang tidak ada. Soalnya, sesutau yang tidak ada itu kita boleh menyebutnya dengan apa pun yang kita suka tentangnya, sementara di lain sisi orang juga berhak mengaanggap kita gila.

c. Bentuk Nilai pendidikan Yang Terkandung.
Dari puisi tersebut dia atas, dapat kita temukan bentuk pesan yang ingin disampaikan oleh seorang pengarang, bahwa hidup itu jangan terlalu berhayal apa lagi berhayal berlebih-lebihan yang membuat kita hampir seperti orang gila yang menganggap hayalan menjadi muara atas segala hal yang terjadi di dunia ini. Membangun sebuah harapan yang tinggi agar setiap masing-masing peribadi berplikau tidak berlebih-lebihan dalam beranggapan terhadap seuatu itu (berhayal) apa lagi sampai menyimpang dari norma kehidupan // kita bisa membayangkan apa saja tentangnya,
menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa” //.
Oleh karena itu, hidup dalam dunia yang realita ini jangan terlalu banyak berhayal, apalagi berhayal terlalu tinggi dan berlebihan, karena itu akan membuat kita menjadi orang yang berandai-andai, ketika kita seperti itu maka sungguh itu suatu kesalahan yang besar, sementara di lain sisi orang akan mengatakan kita sebagai seoarang yang sudah kehilangan akal dan fikiran/gila, ketika hayalan itu sudah menjadi hal yang berlebih-lebihan dan amat sangat untuk kita jadikan muara atas segala sesuatu yang luar biasa di dunia ini
”Sungguh suatu dosa paling menakjubkan di dunia kita ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada”
Soalnya, kita boleh menyebut apa pun yang kita suka tentangnya sementara orang berhak juga menganggap kita gial.

d. Relevansinya Dengan Kehidupan Sekarang
Sapardi Djoko Damono memotret realita keburukan masyarakat kita pada masa waktu itu, yang dimana kini semua itu menjadi cerminan yang masih melekat dalam bangsa Indonesia yakni budaya yang di hipnotis oleh hayalan tingkat tinggi, ini bisa kita lihat dari banyaknya masyarakat yang tidak mau bekerja, berandai-berandai, dan mengharapkan sesuatu yang sangat jauh dari jangkauan kemampuan yang ia miliki, karena banyak hal yang membuat masyarakat kita seperti itu. Mulai dari siaran televisi, seperti kuis, dan lain-lain. Khususnya para pemuda yang begitu banyak menghayal dan berangan-angan menjadi orang sukses tanpa melewati proses yang begitu panjang misalnya pergi kedukun, menanyakan masalah bintang, dan lain-lain.
4.5. Iklan hal. 39
Ia penggemar berat iklan. Iklan itu sebenar-benar
hiburan, kata lelaki itu. Siaran berita dan cerita itu
sekedar selingan. Ia tahan seharian di depan televisi.
Istrinya suka menyediakan kopi dan kadang-kadang
kacang atau kentang goreng untuk menemaninya
mengunyah iklan.
Anak permepuannya suka menatapnya aneh jika ia
menirukan lagu iklan supermi---kepalanya bergoyang-
goyang dan matanya berbinar-binar. Anak lelakinya
sering memandangnya curiga jika ia tertawa melihat
badut itu mengiklankan sepatu sandal---kakinya digerak-
gerakkannya ke kanan dan kekiri. Dan istrinya suka tidak
paham jika ia mendadak terbahak-bahak ketika
menyaksikan iklan tentang kepedulian sosial itu—dua
tangannya terkepal dan dihentak-hentakkannya.
Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu; konon yang
terakhir diucapkannya sebelum Allahuakbar adalah
Hidup Iklan! Sejak itu istrinya gemar duduk di depan
televisi, bersama anak-anaknya, menebak-nebak iklan
mana gerangan yang menurut dokter itu telah
menyebabkannya begitu bersemangat sehingga
jantungnnya mendadak berhenti
a. Pembacaan Heuristik
Ia penggemar berat iklan. Iklan itu (adalah) sebenar-benar(nya) hiburan, kata lelaki (tua) itu. Siaran berita dan cerita itu (dianggapnya hanyalah) sekedar (sebuah) selingan (saja). Ia (bahkan) tahan seharian di depan televisi (untuk menonton iklan).
Istrinya (yang setia) suka menyediakan (segelas) kopi dan kadang-kadang (sekantung) kacang atau (sepiring) kentang goreng untuk menemaninya Mengunyah(menikmati nonton) iklan.
(tapi terkadang) Anak perempuannya suka menatapnya aneh jika ia (pak tua) menirukan (sebuah) lagu (dari) iklan supermi---kepalanya (ikut) bergoyang-goyang dan matanya (nyala) berbinar-binar. Anak lelakinya sering memandangnya (dengan perasaan) curiga jika(lau) ia tertawa melihat (seorang) badut itu mengiklankan (sepasang) sepatu sandal---kakinya digerak-gerakkannya ke kanan dan kekiri. Dan istrinya suka(merasa) tidak paham jika ia mendadak (tiba-tiba) (tertawa) terbahak-bahak ketika menyaksikan (sebuah) iklan tentang kepedulian sosial itu—dua tangannya terkepal (keras) dan dihentak-hentakkannya (kelantai).
(Kabarnya) Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu; konon yang terakhir (kali) diucapkannya sebelum Allahuakbar (di akhir hidupnya) adalah Hidup Iklan! (maka) Sejak itu(lah) istrinya gemar(suka) duduk di depan televisi, bersama anak-anaknya, (untuk) menebak-nebak iklan mana (kirany) gerangan yang menurut dokter itu telah menyebabkannya (sangat) begitu bersemangat sehingga (membuatnya) jantungnya mendadak (menjadi) berhenti
b. Pembacaan Rekroaktif/hermeneutik
Bait 1
Ia pak tua itu adalah seorang penggemar berat iklan. ”Karena Iklan itu baginya sebenar-benarnya hiburan”, karena iklan itu hanya memiliki kepentingan supaya produk yang ia iklankan itu laku terjual, hanya itu niatan baik dari sebuah iklan tanpa ada iming-imingan lain, hingga iklan mengkemas tampilannya menjadi semenarik mungkin, ”kata lelaki tua itu”, itulah yang membuat lelaki tua menjadi penggemar berat iklan,. Siaran berita dan cerita itu (dianggapnya hanyalah) sekedar (sebuah) selingan (saja). Ia (bahkan) tahan seharian di depan televisi (untuk menonton iklan).
Bait 2
Namun terkadang kegemarannya akan iklan menjadi suatu hal yang sangat membingungkan dikeluarganya ”Anak perempuannya suka menatapnya aneh” ketika ia pak tua itu suka menirukan sebuah lagu dari iklan supermi terkadang kepalanya ikut bergoyang-goyang dan matanya juga nyala berbinar-binar. Dan ”Anak lelakinya sering memandangnya” penuh dengan perasaan curiga jikalau ia tertawa ketika melihat seorang badut yang sedang mengiklankan sepasang sepatu dan sandal---kakinya ikut digerak-gerakkannya ke kanan dan kekiri. Dan istrinya juga suka/sering memiliki perasaan ketidak paham jika melihat suaminya (ia) ”yang dengan mendadak (tiba-tiba) tertawa terbahak-bahak”, ketika pak tua itu menyaksikan sebuah iklan tentang kepedulian sosial, kedua tangannya terkepal dengan begitu keras dan dihentak-hentakkannya kelantai.
Bait 3
Akan tetapi pada suatu ktika terdengat sebuah kabar tentang Lelaki penggemar berat iklan itu sudah meninggal seminggu yang lalu; konon katanya kalimat yang terakhir kali diucapkannya sebelum Allahuakbar pada detik-detik hembusan nafas terakhirnya (di akhir hidupnya) adalah kalimat ”Hidup Iklan!”, maka semenjak kejadian itulah istri beserta anak-anaknya menjadi gemar duduk di depan televisi hanya sekedar untuk menonton iklan semata, dan mereka juga suka untuk menebak-nebak iklan manakah sekiranya gerangan yang menurut dokter itu telah menyebabkan pak tua itu sangat begitu bersemangat, hingga membuat jantungnya mendadak menjadi berhenti.
c. Bentuk Nilai pendidikan Yang Terkandung
Dari puisi di atas kita dapat memetik sebuah bentuk nilai pendidikan yang mengajarkan kita tentang ”ketika kita melakukan sesuatu hendaknya harus dengan niat yagn tulus” tanpa ada iming-imingan lain, ini bisa kita lihat pada penggalan kalimat puisi diatas yakni
Dan istrinya suka tidak
paham jika ia mendadak terbahak-bahak ketika
menyaksikan iklan tentang kepedulian sosial itu—dua
tangannya terkepal dan dihentak-hentakkannya.
Penggalan kalimat tersebut memiliki makna bahwa kebanyakan orang melakukan sesuatu karena ada keinginan dan kepentingan yang lebih.
d. Relevansinya Dengan Kehidupan Sekarang
Berangkat dari ralita buruk tentang dunia pendidikan baik masa lampau ataupun masa sekarang dikemas sedemikian rupa, meskipun tidak tertulis secara langsung, akan tetapi aromanya itu nampak pada hampir stiap puisi yang ditulis di atas. Di lihat dari segi bentuk nilai pendidikan yang dikandung yakni bentuk nilai pendidikan yang mengajarkan kita tentang ketulusan dan ihklas dalam melakukan sesutau, maka sangat berkaitan dengan kehidupan sekarang ini. Karena di zaman sekarang ini banyak seseorang melakukan sesuatu tidak berdasarkan keihlsan, hal seperti sering dan kita temukan di televisi hal seperti itu, terlebih-lebih ketika ada momen pemilihan, misalnya pemilihan presiden, gubernur, bupati sampai pemilihan kepala desa, ketika mereka mencalonkan diri banyak kegiatan yang mereka lakukan mulai dari peduli sosial, membagi-bagikan kebutuhan pokok, namun ketika mereka sudah naik apakah hal seperti itu masih dilakukan, ternyata tidak, ini jelas menandakan tidak ada keihlasan melakukan semua itu.
4.5. Klereng hal. 41
Kalah main, kelerengku tinggal lima butir. Aku anak
laki-laki, tidak boleh menangis, kata Ibu. Kupungut
kelereng itu satu demi satu, kumasukkan kesaku. Di
jalan pulang, selalu kuraba-raba sebab khawatir kalau-kalau
ada yang terjatuh dari lubang kantung celanaku.
Ketika mau belajar, selesai makan malam, kudapati
kelerengku berkurang satu. Kutaruh semua yang sisa di
atas meja, tak ada lagi yang bulat sempurna sebab
seharian berbenturan dengan sesamanya, tetapi di mana
gerangan kelerengku yang belimbing, yang warnanya
biru? Aku anak laki-laki, tidak berhak menangis, kata
Ibu.
Aku boleh saja tak peduli, tetapi kelerengku yang lain----
yang bintik-bintik, yang belimbing coklat, yang susu,
dan yang loreng merah hijau----akan selalu bertanya
padaku di mana gerangan temannya yang satu itu. Itu
sebabnya aku harus mencarinya, tetapi ke mana aku tak
tahu.
a. Pembacaan Heuristik
(aku) kalah main, (kini) kelerengku tinggal lima butir. Aku (adalah) anak laki-laki, tidak boleh menangis, kata Ibu. Kupungut kelereng itu satu demi satu, (lantas) kumasukkan kesaku. Di (tengah) (par)jalan(an) pulang, (sakuku) selalu kuraba-raba sebab (aku) khawatir kalau-kalau (nanti) ada yang terjatuh dari lubang kantung celanaku.
Ketika (aku) mau belajar, (pas) selesai makan malam, kudapati kelerengku (sudah) berkurang (lagi) satu. (kini) Kutaruh semua yang ter)sisa (kutaruh) di atas meja, (namun) tak ada lagi yang bulat (dengan) sempurna sebab seharian (kelereng itu) berbenturan dengan sesamanya, tetapi (hatiku penuh dengan tanya) di mana(kah) (sekiranya) gerangan (wahai engkau) kelerengku yang berwarna) belimbing, (dan) yang warnanya biru? (tapi) Aku (adalah) anak laki-laki, tidak berhak (untuk) menangis, kata Ibu.
(dan) Aku boleh saja tak(tidak) peduli, (akan) tetapi (bagaimanakah dengan) kelerengku yang lain---- yang (berwaran) bintik-bintik, yang (warna) belimbing coklat, yang (warna putih) susu, dan yang (berwarna) loreng merah hijau----(mereka) akan selalu bertanya padaku di mana(kah) gerangan temannya yang satu itu (kini berada). Itu(lah) sebabnya aku harus mencarinya (sampai ketemu), tetapi ke mana(kah) (harus mencarinya) aku tak tahu.
b. Pembacaan Rekroaktif/hermeneutic
Bait 1
Tadi aku kalah dalam bermain klereng, akibat dari kekalahan itu klerengku jadi berkurang, yang semula klerengku sejumlah sepuluh kini tersisa tinggal lima butir. Karena Aku adalah seorang anak laki-laki, maka dari utu tidak boleh menangis, itulah kata Ibu. Ketika selesai main, kupungut kelereng itu satu demi satu, lantas kumasukkan kesaku celanaku. Disela-sela tengah parjalanan pulang, sakuku selalu kuraba-raba, sebab aku sangat begitu khawatir kalau-kalau nanti ada yang terjatuh dari lubang kantung celanaku yang bolong.
Bait 2
Pada sast dirumah ketika aku mau belajar, pas selesai makan malam, kucoba untukmelihat sisa klerengku yang tinggal lima butir, ternyata kudapati kelerengku sudah berkurang lagi satu. Semua klerengku yang tersisa itu kutaruh diatas meja, setelah kuperhatikan, bentuknya tak ada lagi yang bulat dengan sempurna sebab seharian (kelereng itu) berbenturan dengan sesamanya, tetapi hatiku penuh dengan tanya di manakah sekiranya gerangan wahai engkau kelerengku yang berwarna belimbing, dan yang warnanya biru?, Hal seperti ini tentunya membuat hati Sapardi Djoko Damono merasa sedih akan semua hal itu, /tapi Aku adalah anak laki-laki, harus tegar, dan tidak berhak untuk menangis/, itulah kata-kata dari Ibu, yang selalu terngiang dikepalaku.
Bait 3
Aku boleh saja tidak peduli dengan hilngnya klerengku itu, akan tetapi bagaimanakah dengan nasib kelerengku yang lain---- yang berwaran bintik-bintik, yang warna belimbing coklat, yang warna putih susu, dan yang berwarna loreng merah hijau----aku takut kalau nanti mereka akan selalu bertanya padaku di manakah gerangan temannya yang satu itu kini berada. Itulah sebabnya aku harus mencarinya sampai ketemu, tetapi ke manakah aku harus mencarinya, sungguh aku tak tahu harus mencarinya kemana.
c. Bentuk Nilai pendidikan Yang Terkandung
Bila berbicara masalah pendidikan sangat begitu pelik dari kehidupan kita sehari-hari, dan sangat begitu banyak karena pendidikan itu tidak terpisah dari segala aktifitas sehari-hari kita.
Bentuk nilai pendidikan yang terkandung dalam puisi yang berjudul ”klereng” di atas adalah, bentuk nilai pendidikan yang mengajarkan kita kepada semua untuk berbesar hati dalam menerima kenyataan (kekalahan), karena dalam hidup ada kalanya kita menang dan ada kalanya kita kalah, oleh karena itu terimalah kekalahan itu dengan berbesar hati tanpa harus menyesali, dan menangisi kekalahan itu, apa lagi sampai menyimpan rasa dendam, karena dalam permainan sudah pasti ada yang kalah dan ada yang menang, kekalahan dan kemenangan itu merupakan hal yang akan mesti terjadi. Maka dari itu mari kita berbesar hati dalam menerima sebuah kekalahan, tanpa harus menyesali apalagi sampai menyimpan rasa dendam terhadap orang yang menang.
d. Relevansinya Dengan Dunia Pendidikan Sekarang
Banyak kita temui di kehidupan kita sehari-hari, bahkan kita sendiri juga sudah terlalu sering tidak berbesar hati dalam menerima sebuah kenyataan, bahkan terkadang kenyataan dalam kekalahan sering kita jadikan jadi sebuah dendam berkesumat di dalam hati, oleh karena mari kita berbesar hati dalam menerima sebuah kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar