Selasa, 22 November 2011

CARA PANDANG DALAM DUNIA PILSAFAT : MATERIALISME dan IDEALISME

K A J I A N P E R T A M A
Dua Cara Pandang Dalam Dunia Filsafat:
Materialisme dan Idealisme

Filsafat merupakan suatu cara berpikir terhadap seluruh gejala dunia seisinya, yakni tentang alam semesta dan masyarakat. Berangkat dari masalah ini maka persoalan paling pokok dalam filsafat adalah hubungan antara materi dan idea, atau keadaan dan pikiran. Dalam rentang sejarah yang panjang, terus berlangsung persengketaan sengit antara dua aliran hingga dewasa ini. Yakni materialisme versus idealisme. Keduanya memperdebatkan dalil mana yang paling benar. Apakah ide atau materi sebagai hal yang primer. Tulisan ini akan mengulas secara umum kedua belah pihak kubu berikut tokoh-tokoh dan perkembangan bentuk-bentuk pandangannya.
Sepanjang waktu, dalam praktek sosial sehari-hari, kita menemukan usaha-usaha penjungkirbalikan makna yang lebih tepat dikatakan sebagai fitnah keji terhadap materialisme dan pengagungan diri di pihak idealisme. Mengapa saya menggunakan kata penjungkirbalikan makna dan fitnah keji? Karena persoalan ini bukan semata-mata bertolak dari kesalahan filologi (ilmu bahasa) atau konsepsi teoritis, namun lebih bersumber dari sentimen kebencian yang berporos pada kepentingan kelas. Ketika kita merujuk pada seseorang sebagai ‘idealis’, pandangan kita digiring untuk memberi makna pada – apa yang juga diulas oleh Engels – sebagai suatu kepercayaan kepada kebajikan, pecinta manusia sejati (filantropis universal); atau secara umum memimpikan suatu tatanan dunia yang lebih baik. Namun apa yang mereka sendiri banggakan di muka umum itu, apa sesungguhnya yang mereka sendiri percaya itu, ketika berada dalam kesusahan atau kebangkrutan akibat ekses-ekses ‘materialis’ yang biasa, segera ia menyanyikan lagu kesiangannya; manusia sebagai setengah binatang dan setengah malaikat. Pada soal yang remeh-temeh seperti ini, kita sudah menemukan inkonsistensi pandangan sebagai cermin kekacauan berpikir idealisme.
Mereka juga mengatakan, sebagaimana kaum Filistin Jerman di Abad ke-19, menyebutkan materialisme sebagai bahan olok-olok sepenuh prasangka seperti keranjang sampah yang menampung seluruh kebusukan dunia ini. Bila menyebut kata materialisme mereka segera merujuk sebagai sifat yang mengandung kerakusan, kemabukan, mata-keranjang, nafsu berahi, kesombongan, kelobaan, kekikiran, ketamakan, pengejaran laba dan penipuan bursa – pendeknya, segala kejahatan busuk yang mereka sendiri (kaum idealis) lakukan secara sembunyi-sembunyi. Di dunia Timur, materialisme juga menjadi sasaran serangan dari sebagian besar kaum idealis feodal dan borjuis reaksioner, yang mengatakan sepenuh prasangka sebagai paham cinta harta, cinta kenikmatan duniawi dan tidak mengenal hal-hal yang bersifat kerokhanian. Inilah yang kita maksud sebagai pemutarbalikan makna. Suatu semburan penghinaan. Pemalsuan makna yang bersembunyi di bawah perlindungan sebatang rumput kecil bernama ‘kata’. Mari kita cabut sebatang ‘rumput perlindungan’ tersebut dan membawa kata dan makna ke meja pembahasan yang ilmiah.
Dalam pengertian filosofis, kedua penjungkirbalikan makna ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan materialisme dan idealisme karena kedua aliran ini adalah suatu cara pandang terhadap dunia. Secara pokok ada dua cara pandang terhadap dunia, yakni monisme dan dualisme. Monisme adalah pandangan yang bertitik tolak dari suatu pandangan yang tunggal terhadap dunia: materialisme atau idealisme. Sedangkan dualisme bertolak dari kedua-duanya, baik materi maupun idea.
Lantas apakah pengertian materialisme dan idealisme dalam dunia filsafat? Dalam pengertian filosofis, materialisme adalah pandangan bahwa dunia material merupakan kenyataan yang menentukan adanya idea atau pikiran. Apa yang ada di dalam pikiran (idea) manusia merupakan salinan atau proses pemikiran yang ditentukan oleh dunia materi. Dengan demikian, materi sebagai yang faktor yang menentukan adanya idea, sensasi, dan kesadaran. Sedangkan idealisme memiliki dasar pandangan sebaliknya. Bahwa dunia material ini adalah kenyataan yang ditentukan oleh ide, pikiran, roh. Dengan demikian idea sebagai faktor yang menentukan adanya materi. Dengan pernyataan lain, idea sebagai kenyataan yang menentukan adanya materi atau hamparan dunia obyektif ini. Segala penampakan material yang kita kenal melalui pikiran dan indera, menurut aliran ini, adalah kenyataan yang ditentukan oleh sang idea. Dengan ungakapan lain sering kita jumpai pandangan bahwa kenyataan adalah salinan yang kurang sempurna dari dunia ide yang ada di luar dunia ini yang abadi dan sempurna. Dunia obyektif ini semata-mata hanyalah perwujudan dari idea.
Sementara dualisme adalah filsafat yang berangkat dari pandangan bahwa materi dan ide hadir secara bersamaan. Tidak ada yang saling menentukan. Tidak ada yang saling mendahului. Dualisme memandang bahwa materi dan ide sama-sama menentukan, sama-sama primer dan tidak ada yang sekunder. Pandangan ini adalah sikap dari orang-orang bimbang dan bingung yang hendak melerai perdebatan filosofis antara materialisme dan idealisme dengan cara kompromi tanpa prinsip. Dalam bahasa Inggris pernah ada anekdot yang mengatakan, “No ‘matter’, never ‘mind’, yang menunjukkan betapa perdebatan soal matter (materi) dan mind (pikiran) itu demikian panjang dan melelahkan. Pandangan dualisme dan perkembangannya (eklektisisme hingga pluralisme), pada hakekatnya adalah idealisme yang berakar dalam pandangan subyektif manusia (subyektisisme). Sebab tidaklah mungkin materi dan ide hadir secara bersamaan dalam suatu waktu. Pandangan filsafat dualisme ini muncul dari lingkaran kelas borjuis kecil yang bimbang dan ragu, yang terjepit di antara dua kelas pokok yang saling berkontradiksi merebutkan kepentingan dan tujuan kelasnya: yakni kelas buruh modern melawan kelas borjuis besar.


BAB II
Filsafat Idealisme dan Sejarah Perkembangannya





Filsafat idealisme ialah cara pandang yang bertitik tolak dari idea (pikiran), jiwa, roh. Filsafat idealisme memandang bahwa idea adalah primer, sedangkan materi adalah sekunder. Ide ada terlebih dahulu, baru kemudian melahirkan materi. Segala kenyataan yang ada di dunia ini – alam semesta dan masyarakat – adalah sesuatu yang tidak real karena tidak memiliki kedudukan ontologis dan semata-mata hasil ciptaan idea.
Menurut Engels, sejak zaman purbakala ketika manusia sama sekali belum tahu tentang susunan tubuh mereka sendiri, di bawah rangsangan khayalan dan impian mulai percaya bahwa pikiran dan perasaan mereka bukanlah aktivitas tubuh mereka sendiri, namun aktivitas suatu nyawa yang tersendiri yang mendiami tubuhnya dan meninggalkan tubuh itu ketika mati. Sejak itu manusia didorong untuk memikirkan tentang hubungan antara nyawa dengan dunia luar. Jika pada waktu seseorang meninggal dunia nyawa itu meninggalkan tubuh dan hidup terus, maka tidak ada alasan untuk mereka-reka kematian lain yang tersendiri baginya. Sejak itulah timbul ide tentang keabadian, yang pada tingkat perkembangan waktu itu sama sekali tidak nampak sebagai penghibur tetapi sebagai takdir yang tiada guna kita melawan. Seringkali, seperti di kalangan orang-orang Yunani sendiri, bahkan sebagai malapetaka yang sesungguhnya. Bukannya hasrat keagamaan akan suatu penghibur, tetapi kebingungan yang timbul dari ketidaktahuan umum tentang apa yang harus diperbuat dengan nyawa itu, sekali adanya nyawa itu diakui, sesudah tubuh mati, menuju pada paham kuno tentang keabadian. Dengan cara yang sama persis, lahirlah animisme yang menganggap benda-benda alam memiliki kekuatan, kemudian politeisme dengan tuhan dan dewa-dewa yang banyak melalui personifikasi kekuatan-kekuatan alam. Dan dalam perkembangan agama-agama selanjutya dewa-dewa itu semakin lama semakin mengambil bentuk-bentuk di luar kebendaan dan keduniawian, sehingga akhirnya lewat proses abstraksi, hampir bisa dipastikan proses penciptaan yang terjadi secara wajar dalam proses perkembangan pemikiran manusia, dari dewa-dewi yang banyak jumlahnya itu, dengan sifat-sifat khususnya masing-masing, yang serba terbatas itu, maka muncul di dalam pikiran-pikiran manusia ide tentang satu Tuhan yang eksklusif dari agama-agama monoteis. Tuhan Maha Segala yang mengatasi seluruh keterbatasan sifat-sifat dewa-dewi sebelumnya, seperti kisah perjalanan Ibrahim mencari Tuhan. Persis seperti yang terjadi dalam sejarah kepercayaan yang membentang sejak zaman Homerus, Zoroaster, Hindu, Budha, Paganisme, hingga datangnya tuhan-tuhan yang tunggal dari tradisi monoteisme pada abad Masehi.
Demikianlah Frederick Engels menjelaskan tentang salah satu akar kemunculan filsafat idealisme. Berawal dari keterbatasan syarat-syarat ilmiah yang ada pada umat manusia di zaman kuno, mereka menciptakan berbagai sistem kepercayaan dan agama sebagai wujud nyata dari idealisme. Kesadaran umat manusia itu sendiri, pada umumnya bergerak sangat lamban meniti jalan sepetak yang dirintis menurut tradisi dan kebiasaan kuno selama puluhan bahkan ratusan tahun. Dogma-dogma dan kaum penjaga dogma menggunakan seluruh kekuatan dogmatik mereka untuk membedah seluruh gejala dunia serta memberi cap pada apa yang mereka lantik sebagai “kebenaran” menurut ukuran-ukuran kepercayaan (subyektif) mereka sendiri. Bahkan tak segan-segan mereka membunuh atau menghukum ilmuwan-ilmuwan yang berseberangan dengan ajaran dogma. Mereka memberi cap ‘kafir’, ‘murtad’, ‘bid’ah’ sebagai bentuk penyelewengan atas dogma. Mereka tidak akan membiarkan tradisi-tradisi lama yang sepenuhnya konservatif itu dirusak oleh perkembangan cara pandang dan metode berpikir baru yang lebih maju. Berdebat sebagai metode ilmiah untuk menguji dan mencari kebenaran, pada Abad Tengah, mereka katakan sebagai pekerjaan setan yang merusak keimanan manusia. Mereka paling benci dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang mempersoalkan kepercayaan. Mereka berputar-putar dengan fantasi dan pikirannya sendiri, sementara dunia terus berputar menurut hukum-hukum obyektif dan tidak tunduk pada apa kata mereka maupun kitab-kitab suci. Bila sistem kepercayaan serupa mitologi kuno telah punah mengikuti Ichthyosaurus dan archaeopteris, maka kita akan menanti proses berikutnya – takdir historis yang akan menimpa sistem kepercayaan di dunia pada umumnya.
Di dalam kubu filsafat idealisme terdapat berbagai macam aliran yang mengambil berbagai pemikiran filsafat sesuai tingkat perkembangan sosial zamannya. Pada pokoknya mereka kita bagi dalam dua golongan besar: Idealisme obyektif dan idealisme subyektif. Pembahasan kali ini tidak mengulas secara umum seluruh aspek ajaran filsafat para filosof yang biasanya memiliki banyak aspek pemikiran. Pembahasan ini hanya sebatas menunjukkan aspek idealisme atau metafisika yang terkandung di dalam pemikiran filsafatnya. Mari kita mengupasnya satu demi satu dalam urutan tahun.


A. IDEALISME OBYEKTIF

Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, pengertian idealisme adalah idea sebagai yang utama dan menentukan adanya materi. Idea dalam hal ini memiliki dua pengertian. Pertama, idea bermakna pikiran manusia, baik sebagai umat manusia seluruhnya maupun sebagai manusia perorangan. Kedua, idea yang berada di luar pikiran manusia yang lazim mengambil bentuk dewa-dewi, roh kudus, Tuhan, ide-absolut, dan sejenisnya.
Idealisme obyektif adalah pandangan dunia yang berpangkal pada idea yang berada di luar pikiran manusia sebagai yang “obyektif” dan memisahkannya dengan kesadaran manusia. Pandangan dunia semacam ini hakekatnya mengakui adanya sesuatu yang bukan material yang berada secara abadi di luar alam semesta dan manusia. Pandangan idealisme obyektif menyatakan bahwa sesuatu yang bukan material itu ada sebelum alam semesta ini ada, dan sesuatu yang bukan material itulah yang menciptakan seluruh hal-ihwal tentang kehidupan. Semua yang material, menurut pandangan idealisme obyektif, adalah perwujudan konkret dari ide atau sang pencipta. Dalam bentuk yang amat primitif, idea ini menyatakan diri dalam sistem kepercayaan animisme yang memandang segala benda baik yang hidup maupun tak-hidup memiliki roh. Mereka menyembah pohon besar, batu besar, gunung, samudera, dan unsur-unsur alam lainnya. Mereka menaruh kembang di perempatan jalan, membakar dupa di bawah pohon besar. Mereka menafsirkan tiap kejadian dari mimpi dan kenyataan sebagai petunjuk roh atas keberhasilan dan kemalangan hidupnya. Ketiadaan penjelasan ilmiah atas seluruh fenomena alam dan masyarakat tersebut, sepenuh-penuhnya telah menempatkan takhayul atas roh sebagai faktor yang menguasai hidup mereka. Pada perkembangannya politeisme dan berpuncak pada monoteisme menggantikan kedudukan sistem kepercayaan kuno ini seiring dengan lahirnya agama-agama wahyu atau agama-agama masehi hingga dewasa ini. Pandangan idealisme obyektif tidak pernah berdiri secara kritis-obyektif terhadap seluruh fenomena dunia karena selalu gagal dalam memahami hukum-hukum obyektif yang menggerakkan dunia obyektif ini.
Sejak kemunculannya ribuan tahun sebelum masehi dalam bentuk animisme hingga perkembangannya dalam bentuk agama-agama monoteisme dewasa ini, subyektifisme yang mengambil bentuk idealisme obyektif berada dalam rentang waktu yang paling panjang. Sebuah cara pandang yang paling kuno namun masih berkembang luas hingga dewasa ini. Sungguh, kita akan menemukan kesulitan permanen bila berdiskusi dengan orang-orang ini. Bahkan para pewarisnya yang paling kontemporer sekalipun. Argumentasi mereka tak pernah mandiri dan obyektif. Guru-guru mereka adalah dogma-dogma dan “orang-orang mulia” dari masa lampau. Dogmatisme yang membatu semacam ini tak akan pernah mampu membedah soal-soal konkrit dunia ini dan solusinya secara mendasar. Untuk mengetahui lebih jauh, beberapa tokoh filsafat yang membawakan idealisme obyektif kita rangkum dalam tokoh-tokoh filsafat di bawah ini:


 Plato (427-347 S.M)



Plato lahir di Athena pada tahun 427 S.M, tahun-tahun awal Perang Peloponnesus. Ia seorang bangsawan kaya di kotanya dan menjadi bagian dari kelas yang berkuasa. Ia menjadi murid Sokrates hingga hukuman mati menimpa gurunya tersebut. Dalam karangannya berjudul Apologia, Plato melakukan pembelaan atas gurunya yang dijatuhi hukuman mati dengan cara minum racun oleh penguasa Athena. Secara umum, Plato adalah salah satu moyang pemikiran Barat dalam hal etika dan metafisika. Pokok pandangan idealisme Plato tertuang dalam inti filsafatnya yang menyatakan bahwa manusia yang menghuni dunia ini sama dengan penghuni gua-gua yang ditakdirkan untuk menganggap bayangan-bayangan sebagai kenyataan.
Menurut Plato, pada awalnya jiwa manusia hidup di "dunia idea-idea" atau alam surga yang berisi keadilan dan kesempurnaan, jauh dari dunia fana ini. Oleh karena suatu peristiwa, jiwa manusia "jatuh" dari “dunia idea-idea” itu ke dalam dunia fana ini sampai ke dalam "penjara" yaitu tubuh manusia. Melalui panca inderanya, ia melihat dan menatap dunia fana yang terdiri atas bayang-bayang atau "bayangan" dari idea-idea yang "semula" pernah ditatapnya secara murni di surga. Untuk memahami pikiran Plato tentang idea, ia sering membawa perumpamaan tentang gua. Sebuah gua, yang di dalamnya ada sekelompok tawanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk menghadap ke arah tembok gua. Di belakang para tawanan itu, di antara mereka dan pintu masuk, ada sinar api besar. Di antara api dan para tawanan yang membelakangi mereka, ada budak-budak yang membawa berbagai benda, patung, dan lainnya. Yang dapat dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda yang bergerak tersebut. Karena itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun, ada satu dari para tawanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia dengan susah payah keluar dari gua dan matanya membiasakan diri pada cahaya, ia melihat dunia, pepohonan, jalanan, rumah, serta seluruh kenyataan di luar gua. Paling akhir ia memandang ke atas dan melihat matahari yang menyinari semuanya. Akhirnya ia mengerti, bahwa apa yang dulunya dianggap realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari benda-benda yang hanya tiruan dari realitas yang sebenarnya di luar gua. Jiwa, kebenaran, adalah sebanding dengan matahari yang menyinari dunia.
Plato sering memakai perumpamaan gua ini untuk menjelaskan apa yang terjadi pada saat manusia mengetahui suatu hal-ihwal. Sesuatu tangkapan realitas inderawi, yang hanya cerminan realitas yang sebenarnya. Sebuah dunia bayangan dari yang bersifat rohani. Bila kita bicara soal kucing, ada “kucing ideal” yang berbeda dengan “kucing-kucing partikular” yang tidak sempurna yang hidup di dunia ini. Demikian juga seluruh penampakan duniawi ini, pohon, ranjang, negara, adalah cermin tak sempurna dari hal serupa yang sifatnya sempurna dan abadi “di dunia lain” sana; pohon ideal, ranjang ideal, negara ideal, dsb. Pengetahuan sebagai hasil mengingat kembali (anamnesis) dari suatu lapisan kesadaran bawaan dalam rohani manusia, menjadi ciri dari idealisme Plato. Melalui pengamatan inderawi, manusia melatih hal-hal intuisi ini dan akan sanggup menatap idea-idea, memahami tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, tetapi juga tentang pemerintahan, negara, dan pendidikan.
Filsafat Plato yang tumbuh di zaman masyarakat kepemilikan budak pada waktu itu, mewakili kepentingan kelas yang berkuasa yakni tuan-tuan bangsawan pemilik budak. Pandangan-pandangannya tentang negara pun mewakili kelas aristokratnya. Ia menunjukkan ketidaksepakatannya dengan demokrasi. Ia masih muda ketika Athena kalah perang, dan ia menunjuk bahwa sistem demokrasi sebagai sebab dari kekalahannya itu. Ia juga menyalahkan sistem demokrasi ketika guru yang dihormati dan dicintainya, Sokrates, dihukum mati. Banyak pandangan Plato yang bersumber dari mistisisme, termasuk kebaikan dan realitas yang bersifat abadi, negara yang terbaik adalah salinan yang paling mirip dengan modelnya yang adi-duniawi, yang paling sempurna dalam bertahan (statis) atau tidak sering berubah-ubah. Adapun cita-cita ideal seorang pemimpin adalah The Philosopher-King, yakni gabungan sempurna dari seorang ahli pikir atau filosof dengan tuan budak. Seorang raja budak yang harus memiliki sifat-sifat utama seperti kebajikan, keadilan dan keberanian.
Jadilah Plato seorang ahli filsafat yang tak bisa lepas dari kepentingan kelas tuan budak. Pikiran dan pandangan yang menjadi cermin kepentingan kelas aristokrat zaman masyarakat kepemilikan budak pada waktu itu. Terlepas ia menawarkan suatu konsepsi kekuasaan dari perspektif seorang filosof, namun isi dari seluruh pandangannya mencerminkan kedudukan kelasnya yang mengandung pandangan-pandangan reaksioner.


 Thomas Aquinas (1225-1274)









Thomas Aquinas dilahirkan di Rocca Sicca di Italia pada 1225. Ia adalah seorang teolog besar Abad Pertengahan Eropa dan sekaligus sebagai juru bicaranya. Abad Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi doktrin Nasrani. Pada usia 20-an tahun, Thomas bergabung dengan Santo Dominikus dan belajar pada Albertus Magnus di Paris dan Koln. Selesai study ia mengajar teologi di Universitas Paris dan Koln, dan tentu saja di Vatikan, Roma sebagai markas besar ajaran Katholik. Oleh karena minatnya yang luas dan pengetahuan yang baik, ia dijuluki doktor malaikat (angelic doctor) oleh pihak gereja. Ia meninggal dunia pada usia 49 tahun di biara Fossauova.
Dalam pemikiran utama filsafat, ia menggabungkan filsafat Aristoteles dan Augustinus – seorang penafsir filsafat Aristoteles pada zaman awal Skolastik. Lebih tepatnya Thomas Aquinas menasranikan filsafat Aristoteles karena menjadikannya sebagai pilar pemikiran yang menopang seluruh dogma gereja (iman Kristen). Karya-karya Thomas Aquinas ditetapkan oleh Leo XIII pada tahun 1879 sebagai buku pelajaran wajib bagi para missionaris gereja Katholik. Dua karya utama Thomas adalah berupa Summae, artinya ikhtisar teologi dan filsafat yang sangat luas. Summae contra Gentiles disusun dan dimaksudkan sebagai sebuah buku pelajaran wajib bagi para misionaris gereja. Summae Theologiae, yang edisi kritis terakhirnya sampai terdiri dari 60 jilid, telah digambarkan sebagai prestasi tertinggi dari sistem teologi Abad Pertengahan dan dasar yang diterima untuk teologi Katholik Roma modern. Ya, dialah putra terbaik yang pernah dihasilkan oleh gereja.
Pokok filsafat idealisme obyektif Thomas Aquinas adalah Tuhan sebagai Sang Pencipta kehidupan, sedangkan alam menjadi realisasi ide-ide suci dari Tuhan. Inti ajaran filsafat Thomas membimbing manusia untuk mengenali bukti-bukti bahwa Tuhan itu ada, dan mengenali sifat-sifat Tuhan untuk memperkuat bukti keberadaan Tuhan. Ini mengambil semacam proses dua langkah dalam apologetika. Pertama adalah memakai filsafat untuk meletakkan dasar-dasar berpikir. Kedua adalah memperkenalkan iman Kristen di atas kekuatan argumentasi-argumentasi filsafat tersebut. Suatu kesulitan permanen dan penuh resiko karena adanya penyangkalan total, yakni jika langkah pertama gagal, maka langkah kedua tentang iman dan Tuhan akan tinggal terkatung-katung di udara. Kita dibiarkan berpikir-pikir sendiri apakah ada alasan-alasan yang tepat untuk menerimanya. Kebenaran yang dipinjam dari cara berpikir filsafat tersebut bisa secara total membantah seluruh kebenaran iman. Dan itulah suatu kemalangan yang kemudian benar-benar terjadi.
Menurut Thomas, rasio berguna bagi manusia untuk mengetahui kebenaran yang sifatnya lahiriah atau alamiah. Sedangkan teologi, untuk mengetahui hal-hal yang adikodrati yang hanya didapat dari wahyu. Dengan sarana wahyu, maka teologi dapat mencapai kebenaran adikodrati seperti trinitas, inkarnasi, dsb. Kekuatan teologi terletak pada iman sebagai pengakuan atas kebesaran Allah. Dengan beriman maka manusia dapat mencapai pengetahuan adikodrati yang di luar kemampuan akal untuk mencapainya. Dalam hal hubungan antara rasio dan iman, menurut Thomas, keduanya tidak bertentangan namun saling melengkapi; bagaimana rasio berguna untuk mengenali pengetahuan alamiah dan iman untuk mengetahui pengetahuan adikodrati seperti yang tertuang dalam wahyu-wahyu Allah.
Filsafat idealisme obyektif Thomas Aquinas hampir secara total mengabdi bagi kepentingan gereja Katholik dan kelas bangsawan feodal yang pada waktu itu merupakan tuan-tuan tanah besar di Eropa. Sangat sedikit semangat filosofis yang mandiri pada dirinya. Ia tidak pernah terlibat dalam usaha-usaha keras penyelidikan filosofis secara independen untuk mencapai pemikiran yang benar-benar orisinal. Sebelum berfilsafat, dirinya sudah memegang dalil kebenaran yang dipasok dari dogma agama Katholik. Ini sudah suatu kesia-siaan. Ia tak berani keluar dari belenggu dogma, fakta yang semakin memperjelas kedudukan diri dan pandangannya – yang tak lebih sebagai filsafat milik seorang karyawan gereja di akhir Abad Tengah. Jerih payah yang ia kerjakan pada hakekatnya bukanlah suatu karya filsafat, namun hanya semata-mata menyelaraskan perkembangan filsafat dengan dogma agama mereka. Ia memang mendapat ganjaran setimpal dari para petinggi gereja, namun ia tak mendapatkan ganjaran satu bintang pun dari dunia filsafat secara umum, sejak Yunani Kuno hingga zaman modern. Jadi bisa disimpulkan bahwa seluruh pandangan Thomas Aquinas menjadikan sistem filsafatnya bercorak konservatif sebagai pilar yang menopang kekuasaan lama; dogma gereja yang memiliki pertalian erat dengan monarki mutlak kelas feodal. Dua pilar kekuatan yang membangun aliansi sepanjang Abad Tengah yang gelap; yang anti-nalar dan anti-humanisme. Sumber dari segala sumber yang telah mengasingkan pengetahuan umat manusia dari kebenaran obyektif.


 G.W Leibniz (1646-1716)



Gottfried Wilhelm Leibniz adalah seorang filosof kelahiran 1 Juli 1646, di Leipzig, Jerman. Ia mendapat pengaruh yang sangat kuat dari filsafat Skolastik dan Descartes. Ia memegang teguh kepercayaan pada filsafat skolastik hingga akhir hidupnya, sebagaimana ia telah mempersembahkan seluruh karya-karyanya kepada Ratu Charlotte di Prussia (Jerman) serta koleganya, para pangeran aristokrat di Jerman. Suatu kenyataan yang menunjukkan dirinya memiliki kaitan erat dengan istana feodal. Ia sesungguhnya tidak memiliki filsafat kanon sebagai senjata karyanya, dan lebih sering tampil dengan ulasan yang umum tentang logika, matematika, etika, fisika, dan teologi. Minat Leibniz akan ilmu pengetahuan sangat besar dan turut mendirikan Academy of science di negerinya, semacam lembaga ilmu Royal society-nya Inggris yang terkenal itu.
Dalam pandangan filsafat idealisme, ia seorang monisme tulen. Ia merumuskan suatu teori apa yang kemudian dikenal sebagai monadologi sebagai suatu model dari metafisika, bahwa kenyataan terdiri dari monade-monade: unsur-unsur terkecil yang merupakan substansi-substansi yang spiritual. Ia bukanlah materi atau sesuatu yang jasmaniah. Monade-monade ini seperti “jiwa-jiwa” karena semua monade memiliki “kesadaran” yang mandiri. Kesadaran ini bertingkat-tingkat. Bagi benda-benda mati memiliki kesadaran yang hanya dalam keadaan “mimpi”. Sementara kesadaran pada tumbuhan dan hewan lebih tinggi dibandingkan benda mati. Sedangkan manusia memiliki kesadaran sangat tinggi. Adapun kesadaran paling tinggi, paling sempurna, paling tak terhingga — seperti lazimnya pernyataan kaum idealisme obyektif lainnya — adalah Tuhan, Allah. Ia memiliki empat argumen yang berusaha membuktika adanya Allah. Pertama, bahwa manusia memiliki ide kesempurnaan, maka adanya Allah terbukti secara ontologis. Kedua, bahwa adanya alam semesta dan ketidaksempurnaannya membuktikan adanya sesuatu yang melebihi alam semesta ini, dan yang transenden itulah Allah. Ketiga, manusia selalu ingin mencapai kebenaran abadi namun tidak bisa dicapai manusia yang semakin menunjukkan adanya yang abadi bernama Allah. Keempat, adanya keselarasan di antara monad-monad menunjukkan bahwa pada awal mula ada yang mencocokkan mereka satu dengan yang lainnya. Allah-lah yang memiliki pekerjaan tersebut.
Semua monade ditentukan dan diatur oleh Tuhan yang menjadi pusat harmoni (harmonia praestabilia). Tuhan telah menciptakan dunia sedemikian rupa yang dilengkapi dengan “tujuan” (appetitus) masing-masing. Disebabkan ia tidak mengenal metode dialektika khususnya hukum tentang kontradiksi, namun idealisme yang metafisis, maka tidak heran bila ia menjelaskan adanya proses pemanasan air bukan disebabkan oleh api yang memiliki sifat panas, namun karena selarasnya air dan api. Pandangan idealis metafisis tentang harmonia praestabilia ini tentu salah karena telah terbukti tidak ilmiah.
Leibniz juga memperkenalkan teori tentang teodise (Theodicee) atau ajaran tentang “pembenaran Allah” terhadap kejahatan. Ia menerangkan bahwa kebaikan Allah tidak bertentangan dengan adanya kejahatan, dan bahwa kebebasan manusia tidak bertentangan dengan kemahakekuasaan Allah. Seluruh hal-ihwal kehidupan ini telah diciptakannya sebagai harmoni. Dari semua kemungkinan yang buruk, Allah telah menciptakan dunia ini sebagai yang terbaik atau hasil paling maksimal dari penciptaan-Nya. Sementara kemungkinan yang lain adalah dunia kenyataan yang lebih buruk lagi. Bila dunia ini dan hanya dunia inilah pilihan terbaik yang telah disediakan oleh Tuhan, tidak ada ladi dunia lain yang lebih baik, maka terimalah kenyataan dunia ini apa adanya. Jalanilah hidup ini apa adanya. Jangan banyak protes. Jangan berontak. Demikianlah “filsafat apa adanya”, suatu jenis filsafat yang terang berwatak reaksioner dari Leibniz.
Tatanan dunia yang penuh malapetaka dan ketidakadilan ini dikatakan sebagai dunia terbaik yang bisa diciptakan-Nya, yang justru menunjukkan kelemahan fatal dari semua fundasi filsafat yang menopangnya. Filsafat yang lahir dari kemapanan hidup sebagai seorang pemikir aristokrat yang serba kecukupan. Karena ia tidak mengalami penderitaan hidup secara langsung, ia berlaku semena-mena dengan tidak memberi harapan akan dunia lain yang lebih baik bagi ratusan juta orang-orang miskin; atau perjuangan-perjuangan nyata untuk merombak tatanan dunia ini. Semua sudah diatur oleh Tuhan sebagai pencipta dari seluruh harmoni dunia ini. Terimalah dunia dan isi kehidupan ini sebagai barang jadi yang terbaik.


• G. W. Friedrich Hegel (1770-1831)



George Wilhelm Friedrich Hegel yang lahir pada 27 Agustus 1770 di Stuttgart, Jerman. Ia sering dikatakan sebagai puncak dari seluruh filsafat idealisme hingga di zamannya. Filsafat yang sejati dalam pengertian teoritik, sesungguhnya telah berakhir di tangan Hegel. Jerman di masa Hegel adalah sebuah negeri yang terbelakang dibanding negeri-negeri Eropa lainnya. Pada masa mudanya ia belajar teologi dan filsafat sehingga corak mistisisme cukup mendasari pandangannya. Ia tertarik dengan pemikiran filsafat Yunani Kuno dari dua sahabatnya, Friedrich Hölderlin dan Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling, ketika menjadi mahasiswa di Universitas Tubingen (1788). Ia membaca Goethe, Schiller dan Rousseau, sebelum menapaki tangga filsafat dari apa yang sudah diletakkan anak tangganya oleh Immanuel Kant, sebagai sesama orang Jerman. Selanjutnya ia meneruskan studi di Jena dan menjadi dosen filsafat di sana. Latar belakang sosial-politik Eropa pada waktu itu diliputi pergolakan politik yang sengit, yakni pecahnya revolusi Perancis pada tahun 1789 dan pergolakan susulan di berbagai negeri di Eropa. Ia berusia 18 tahun ketika badai topan revolusi mengamuk di penjara Bastille dan menjadi salah seorang penyokong Revolusi Perancis yang bersemangat.
Ketika menjadi dosen filsafat di Universitas Jena, Hegel sudah produktif dengan karya-karya filsafat. Dan pergolakan politik di Eropa kian berkobar dan meluas hingga memasuki kotanya. Pada suatu malam di tahun 1806, ketika Hegel baru menyelesaikan halaman terakhir buku The Fenomenology of Mind, tentara Prussia takluk dan Jena diduduki oleh Napoleon Bonaperte. Tentara Perancis menggeledah rumahnya malam itu beberapa saat setelah ia keluar dari rumahnya dengan The Fenomenology of Mind di kantongnya. Selanjutnya Hegel melarikan diri ke Nuremberg, di mana ia diangkat menjadi rektor Gymnasium. Tahun 1817 Hegel diundang menjadi guru besar di Heidelberg dan setahun kemudian pindah ke Berlin. Di pusat Berlin inilah karir puncak Hegel sebagai ahli filsafat, yang oleh mahasiswa dijuluki sebagai profesornya profesor (professor professorum) hingga kematiannya. Ia mengajar mata kuliah sejarah filsafat, kesenian, dan agama. Pandanganya berpengaruh luas di Eropa hingga Amerika Serikat. Hegel menikmati kemashurannya dengan berbagai fasilitas dari negara Prusia dan berdiri sebagai hamba kerajaan Prusia yang setia.
Filsafat Hegel dimaksudkan sebagai sintesis sejarah filsafat yang bertolak dari idealisme obyektif Schelling (tesis) dan idealisme subyektif Fichte (anti-tesis), dan mensintesiskan dalam “idealisme mutlak” milik Hegel. Menurut Hegel hakekat dunia berasal dari “ide mutlak” (absolute) yang berada secara mutlak dan obyektif yang berada di dalam sesuatu dan di atas ruang dan waktu. “Ide mutlak” pada perkembangannya menampakkan diri dalam fenomena alam, fenomena sejarah masyarakat dan pikiran. Dengan kata lain, “Ide mutlak” merupakan pencipta dari segala sesuatu dunia obyektif ini. Dan ia menyerahkan peran tertinggi kepada bangsa Jerman dalam perkembangan terestrial ruh. “Ruh Jerman adalah ruh dunia baru. Tujuannya adalah untuk merealisasikan kebenaran mutlak sebagai determinasi-diri tak terbatas dari kebebasan – yakni kebebasan yang mempunyai bentuk absolutnya sendiri, kebebasan itu sendiri sebagai tujuannya.” Demikianlah ungkapan Hegel dalam hubungan antara ruh mutlak ciptaannya dengan masyarakat dunia yang diwakili negerinya, Jerman.
Penggambaran yang lebih praktis untuk membantu menjelaskan idealisme Hegel adalah ilustrasi sebagai berikut: Jika seorang pemahat batu telah menyelesaikan pemciptaan patung batunya, kita sering mengatakan idenya sudah mewujud menjadi kenyaaan. Nah, idelisme Hegel melihat ide dari pembuat patung batu itulah yang real, sedangkan patung batu itu adalah bentuk ide yang lain, yaitu ide yang menyatakan diri dalam bentuk patung. Jadi patung batu tersebut bukan batu berbentuk patung, namun ide yang berbentuk patung batu atau idea pemahat yang mem-batu. Dari ilustrasi ini bisa dibayangkan bagaimana Allah berlaku sebagai pemahat, maka alam semesta dan masyarakat adalah ‘patung batu’ itu, atau isi pikiran Allah yang diungkapkan keluar.
Kebesaran Hegel ditunjukkan oleh fakta bahwa hanya dia sendiri yang siap menantang seluruh sejarah pemikiran filsafat sebelumnya. Filsafat dialektika Hegel mempersoalkan gejala kesalinghubungan segala sesuatu, dan segala sesuatu itu bukanlah gejala yang saling terisolasi antara satu dengan yang lainnya. Filsafat itu mengurusi segala hal dalam masa kehidupannya, dalam gejala kesaling-hubungannya, bukan dalam kesaling-terpisahannya. Ini adalah metode dialektika sebagai metode berpikir dunia yang benar-benar modern dan ilmiah. Sesungguhnya, dalam banyak aspek, Hegel adalah filosof yang paling cemerlang di zamannya. Walau demikian, sekalipun ia memiliki pandangan yang paling gemilang, filsafat Hegel pada akhirnya tidaklah cukup memuaskan. Kekurangannya yang utama adalah sudut pandangnya yang idealis, yang menghalanginya dalam menerapkan metode dialektika pada dunia nyata dengan cara yang ilmiah dan konsisten. Metode dialektika yang revolusioner itu tercekik dalam segi idealisme yang reaksioner. Bukannya mendapat dunia material, kita malah mendapat dunia Ide mutlak, di mana benda-benda nyata, segala proses alam dan manusia digantikan oleh bayangan-bayangan tak berbentuk. Mengutip Frederick Engels, dialektika Hegelian adalah filsafat yang paling abortif yang gugur sebelum waktunya. Ide-ide yang tepat di sini terlihat berdiri di atas kepala mereka sendiri. Untuk menempatkan dialektika di atas pondasi yang kukuh, sangatlah penting untuk membalikkan filsafat Hegel, yakni mengubah dialektika yang idealis menjadi materialisme yang dialektik. Yang mana ini adalah pencapaian besar dari Karl Marx dan Frederick Engels. Studi kita dimulai dengan satu ulasan ringkas tentang hukum-hukum dasar materialisme dialektik yang mereka kemukakan.
Prestasi positif Hegel adalah logika spekulatifnya yang mampu disajikan dengan konsep-konsep pasti, bentuk-bentuk pikiran tegas, universal dan independen dari alam dan pikiran. Namun kesalahan fatalnya adalah ketika ia berangkat dengan pikiran murni spekulatif dan berakhir dengan pengetahuan mutlak. Filsafat Hegel mewakili kelas borjuis Jerman yang sedang tumbuh. Kepentingan kelasnya menghendaki perubahan sosial, yakni dengan dihapuskannya pajak dan hak-hak istimewa kaum bangsawan feodal. Hal ini tercermin dalam pandangan dialektikanya yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu senantiasa berkembang dan berubah. Segala sesuatu itu tidak ada yang abadi dan mutlak termasuk kekuasaan feodal. Namun lantaran kedudukan kelas dan filsafatnya yang masih berkubang dalam lumpur idealisme, Hegel tidak berani terang-terangan melawan filsafat skolastik dan ajaran agama resmi yang berkuasa pada waktu itu. Kerajaan Prussia sendiri menjadi salah satu pilar kuat dari front persekutuan suci yang dipimpin rezim Vatikan. Filsafatnya bukanlah filsafat yang mengandung unsur-unsur subversif yang berbahaya (revolusioner) baik terhadap ketertiban sosial, agama maupun kekuasaan negara reaksioner. Perlawanannya masih sebatas menggantikan jubah agama (Tuhan) dengan dengan jubah filsafat (Ide absolut) dan secara kelas hakekatnya ia membela kekuasaan reaksioner Jerman waktu itu, di mana ia juga diteguhkan sebagai profesor resmi dari negara Prusia.
Pengaruh Hegel sangat luas di dataran Eropa. Setelah Hegel meninggal pada tanggal 14 November 1831 di Berlin karena penyakit kolera, ada dua sayap yang menafsirkan Hegel secara berbeda. Hegelian sayap kanan, adalah mereka yang menafsirkan Hegel secara konservatif yang menekankan keselarasan Filsafat Hegel dengan ajaran dogma Kristen. Secara politik pandangan mereka sangat reaksioner. Sedangkan Hegelian sayap kiri, mereka adalah ahli-ahli filsafat sejati yang bergerak menuju filsafat materialisme yang lebih matang. Secara politik mereka adalah kaum revolusioner yang paling berpengaruh tidak hanya di Jerman, namun di Eropa dan di zamannya: Bruno Bauer, Ludwig Feuerbach, Karl Marx dan Frederick Engels.


 Neo-Thomisme

Desire Mercier (1851-1926)
Jacques Maritain (1882-1973)
Etienne Gilson (1884-1978)
Martin Grabmann (1875-1949)
Josep Koch (1885-1967)


Sebagai sebuah aliran, neo-Thomisme berkembang pada pertengahan Abad ke-19 hingga pertengahan Abad ke-20. Di wilayah Eropa, ia dikumandangkan kembali dari beberapa kampus reaksioner yang menjadi pusatnya, yakni universitas Gregorian di Roma, Fakultas Filsafat Theologi Le Saulchoir (Prancis) yang dipimpin oleh pater-pater Dominikan dan Universitas Leuven (Belgia) yang diminta secara khusus oleh Paus Leo XIII untuk membuka kembali kajian tentang pikiran-pikiran Thomas Aquinas. Pada tahun 1879 Paus Leo XIII mengeluarkan surat edaran Aeterni Patris, di mana ia menganjurkan kepada seluruh umat Katolik untuk mendasari filsafat dan teologi dengan ajaran Thomas Aquinas. Himbauan Paus Leo ini menjadi gerakan intelektualisme yang massif di kalangan gereja-gereja Katolik, apa yang kemudian dikenal dengan aliran neo-Thomisme atau neo-Skolastik. Secara eksternal gerakan neo-Thomisme ini disiapkan untuk menentang perkembangan materialisme dialektika yang semakin besar dan kuat. Secara internal, dalam suasana rawan itu Konsili Vatikan I (1869-1870) juga menekankan rasio insani dengan menolak berkembangnya beberapa aliran teologi seperti fideisme, tradisionalisme dan ontologisme. Untuk mencapai tujuan ini Paus Leo membuat beberapa langkah penting. Pertama, mendirikan Akademi Kepausan San Tommaso dan mengundang para ilmuwan positifis. Kedua, kepada Ordo Dominikan ia mempercayakan tugas menertibkan kembali karya-karya Thomas Aquinas dalam suatu edisi kritis yang modern (editio Leonina). Dan terakhir, memerintahkan kepada universitas Katolik di Leuven agar diberikan filsafat Thomisme sebagai mata kuliah tersendiri; tugas yang dilaksanakan oleh seorang ahli filsafat bernama Desire Mercier dengan setia.
Telah sama kita ketahui, Thomas Aquinas adalah puncak filsafat Skolastik dan menjadi ajaran resmi filsafat Gereja Katholik Vatikan yang reaksioner. Kemunculan Neo-Thomisme adalah usaha-usaha nyata untuk membangkitkan kembali ajaran-ajaran Thomas Aquinas sebagai “jimat mistik kuno” Skolastik yang disponsori oleh pihak yang paling berkepentingan: Markas Besar Gereja Katolik di Vatikan. Mereka mengais-ngais kejayaan kuno yang telah terbukti bangkrut, menghidupkan kembali mayat Thomas Aquinas dari Abad Tengah yang gelap dan gersang untuk bisa dikembangbiakkan di Abad ke-20. Di tengah usaha untuk menegakkan kembali doktrin “filsafat ketuhanan-nya”, mereka hanya punya satu-satunya cara sebagaimana mereka telah memperlakukan Aristoteles: yakni menjadi “penumpang gelap” di atas kereta api cepat perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Mereka tidak pernah obyektif merintis “jalan setapak ilmu” karena mereka adalah semak belukar yang dibabat dan dibersihkan oleh pedang ilmu itu sendiri. Mereka tak pernah memiliki orisinalitas, daya cipta manusia yang mandiri dan bermartabat itu. Mereka tak memiliki argumen yang merdeka sebagai manusia, kecuali ayat-ayat dari dogma yang beku itu. Pun ketika jalan ilmu telah terbuka, mereka pun tak pernah mampu memperkaya dan mengembangkan ilmu kecuali berdiri di tepian jalan, menyodorkan ibu jari untuk mencari tumpangan gratis di atas kereta api cepat ilmu dan filsafat.
Bila di Abad Tengah mereka menyewa para priyayi aristokrat, sekarang mereka menyewa para intelektual borjuis untuk menjajakan doktrin mistiknya kembali. Borjuis pun tanpa malu-malu, demi menyelamatkan kepentingan kelasnya, mendukung segala yang terbelakang dan sekarat dari reruntuhan Abad Tengah ini. Institusi dan ajaran yang mereka serang dengan sengit pada periode revolusi borjuis demokratis dahulu, kini bertemu kepentingan dan bekerja sama. Kedua unsur reaksioner yang tengah ketakutan ini memang sangat berkepentingan untuk membangun front ideologis, seiring dengan majunya kelas proletariat yang telah memiliki senjata filsafatnya sendiri (materialisme dialektika) dan semakin kuatnya kesadaran kelas proletariat yang revolusioner.
Pandangan usang mereka masih seperti sediakala walau dikemas dalam bungkus baru. Sebagaian mereka, oleh para pengulas filsafat, dibagi menjadi dua: tendensi konservatif dan tendensi progresif. Namun dalam perspektif kita, secara esensial berdasarkan pendirian (stand-point), keduanya sama saja. Tidak ada yang baru. Yang bertendensi progresif sekali pun, bukan pada tataran pendirian, namun sikap yang lebih terbuka. Mereka menghargai filsafat Thomas sebagai hal yang berharga justru karena dapat dikembangkan secara terus-menerus. Dalam konsepsi ini, neo-thomisme ingin menjadi filsafat yang cocok untuk zamannya dan untuk keperluan itu maka ia harus menggunakan unsur-unsur filosofis modern. Sebagai contoh salah satu pengusung neo-thomisme adalah Joseph Marechal (1878-1944) yang berusaha menyoroti problematik filsafat Kant dari perspektif neo-thomisme. Beberapa dari mereka berkembang di Jerman, seperti Josep Koch yang mendirikan Thomas Institut di kota Koln.
Pandangan neo-Thomisme kembali berkembang luas di kalangan intelektual yang tidak puas dengan cara berpikir borjuis individual yang bangkrut dari aliran positifisme dan eksistensialisme, yang menolak filsafat materialisme dialektika. Neo-Thomisme tanpa jerih payah ilmiah, tanpa memeras otak dengan eksperimen-eksperimen ilmiah, hanya dengan tanda silang di dada, mereka memerciki ilmu dengan pemberkatan iman pada Tuhan. Mereka meramu kebenaran dalam tiga tingkat: sains sebagai tingkat paling rendah karena hanya mampu meraba dan membedah kulit luar yang menyembunyikan inti kebenaran spiritual dunia ini. Sedangkan filsafat berhubungan dengan sebab utama dunia ini untuk mencapai kesimpulan bahwa sebab pertama adalah prinsip spiritualitas tertinggi atau Tuhan sang pencipta. Dan satu-satunya jalan menuju puncak kebenaran adalah jalan wahyu Tuhan, pusat legitimasi kebenaran iman agama. Membikin “ramuan mistik kuno”, itulah satu-satunya keahlian mereka. Tak ada pekerjaan lain. Dengan demikian lantas berlaku seolah-olah mereka sudah bekerja keras dengan memadukan perkembangan penemuan dan pemikiran ilmiah dengan iman pada Tuhan. Demikianlah, mereka menjadikan iman sebagai “tiket gratis” untuk mengendarai kereta api ilmu, menjadi “penumpang gelap” dari kemajuan revolusi kebudayaan umat manusia.
Dengan demikian jelas sudah kesimpulannya. Mereka hendak menyatakan bahwa seluruh kesimpulan-kesimpulan ilmu dan filsafat harus menyesuaikan dengan kebenaran dogma agama. Suatu tindakan yang pernah mereka lakukan secara kasar terhadap ilmu, atas apa yang telah mereka timpakan secara sewenang-wenang terhadap para syuhada kebudayaan seperti Galileo, Giordano Bruno, Lucille Fanini, dsb. Secara hakiki, neo-Thomisme terang-terangan sebagai usaha nyata melawan perkembangan ilmu, rasionalitas dan kemajuan filsafat seluruhnya. Di balik kulit dari sikapnya yang dinyatakan berlaku terbuka terhadap rasio dan ilmu, namun tersembunyi di dalamnya isi reaksioner yang keras dan tertutup. Mereka tidak mungkin mengubah isi sebagai hal yang inti dari dogmanya, suatu tindakan yang sama dengan bunuh diri bagi ajaran mereka. Tidak berhenti sampai di sini, mereka hendak memerosotkan kemajuan ilmu dan perkembangan filsafat dewasa ini dan mengembalikan pada Abad Tengah yang gelap dan terbelakang itu. Mereka memperlakukan ilmu tak ubahnya sebagai pelayan hina dari gereja, memperkosanya, melarangnya agar tidak melangkah lebih jauh dari pagar-pagar kepercayaan dogma. Mereka hendak memutar jarum waktu ke belakang. Mereka hendak melakukan “revolusi cara berpikir” anti-nalar yang betah dalam ketidaknalarannya. Ia hendak melawan kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat, dengan seluruh sifat kereaksioneran kelasnya yang sudah lapuk, bangkrut dan dikubur zaman selama ratusan tahun silam. Neo-thomisme tak ubahnya sebagai air mata terakhir yang diteteskan oleh kepedihan dan kemalangan dari wakil filsafat reaksioner Abad Tengah itu sendiri.


 Neo-Hegelianisme

Francis Herbert Bradley (1846-1924)
Bernard Bosanquet (1848-1923)
J.E. Mctaggart (1866-1925)


Sungguh fenomena filsafat yang tampak aneh dan dangkal. Hegel yang sudah lama meninggal dan dikubur di Jerman, pada awal abad ke-20 tiba-tiba digali dari kuburnya dan dihidupkan kembali di Inggris. Demikian juga mereka telah memperlakukan Immanuel Kant. Begitulah pekerjaan orang-orang idealis Inggris di dua universitas reaksioner, Oxford dan Cambridge. Dan lagi-lagi, seluruh kegerahan pikiran-pikiran reaksioner ini karena kebangkitan dan kejayaan materialisme dialektika yang menjadi arus utama pemikiran filsafat; suatu filsafat yang mandiri dan memiliki argumentasi yang mematikan bagi idealisme dan teologi. Tak hanya materialisme dialektika, aliran positifisme pada tataran teoritiknya, juga menyerang seluruh pendirian teologi dan metafisika. Nah, di tengah-tengah benteng pertahanan teologi yang sudah bangkrut tersebut, mereka harus mengadu dan memulangkan seluruh bala tentara argumentasi filosofisnya kepada dua jenderal idealisme yang sudah almarhum: Hegel dan Kant. Neo-hegelianisme jelas suatu filsafat reaksioner yang dirapatkan kembali dengan ajaran Kristen liberal di zaman kapitalisme; satu-satunya tulang punggung bagi metafisika yang sudah bongkok karena tua itu, dan memang tidak ada pilihan filsafat lain yang sangat dibutuhkan untuk menopang teologi dari kerubuhannya yang malang.
Buku yang dianggap sebagai perintis jalan bagi gerakan neo-hegelianisme di Inggris adalah The Secret of Hegel (1865), karangan J.H. Stirling. Dalam buku ini, dengan memerkosa kebenaran historis, Stirling mengatakan dengan kereaksioner pandangan yang sepenuh-penuhnya, “Kant dan Hegel tidak mengenal tujuan lain daripada memulihkan kepercayaan akan Allah. Kepercayaan akan kebakaan jiwa dan kebebasan kehendak; atau lebih tepat lagi, suatu kepercayaan akan agama Kristen sebagai agama yang diwahyukan.”
Terdapat dua orang neo-hegelianisme yang penting di Inggris, yaitu Francis Herbert Bradley dan Bernard Bosanquet. Francis Bradley menciptakan sistem idealisme yang sangat terang dalam bukunya Appearance and reality (1893) yang mengungkapkan hubungan antara pikiran dan kenyataan. Selain itu ia banyak menulis soal-soal etika dan metafisika. Sedangkan Bosanquet, melalui karangannya The Principle of individuality and value (1912) menjadi karya yang paling terang merumuskan pikiran idealismenya. Ia sangat menekankan kesatuan realitas seutuhnya dengan meminjam istilah Hegel bahwa the truth is the whole (kebenaran adalah keseluruhan). Seluruh benda-benda dan fakta-fakta hanya dapat dimengerti maknanya karena tercantum dalam suatu keseluruhan. Dengan perkataan lain, yang individual harus dimengerti dalam hubungannya dengan yang mutlak (absolute). Dalam karakter yang umum, seluruh pikiran neo-hegelianisme ini memiliki pertalian yang kuat dengan filsafat idealisme obyektif Berkeley. Ya, Hegel dan Berkeley mereka gabungkan sekaligus. Mereka memang memiliki kecenderungan sinkretis untuk mengumpulkan dan mencampuradukkan seluruh segi-segi dari jajaran filsafat idealis yang reaksioner. Suatu aliansi teoritik yang dangkal dan tidak jujur (obyektif). Betapa kacaunya seluruh peragaan sinkretisme ini.
Para pengusung neo-hegelianisme, dengan memperkokoh aspek idealisme Hegel dan membuang aspek positif ajaran dialektikanya, jelas telah membiaskan filsafat Hegel dalam artian yang positif. Mereka mengambil aspek yang negatif, dengan bertolak dari konservatisme teologis, semata-mata untuk mempersenjatai diri dalam memerangi filsafat Marxisme maupun positivisme. Dengan demikian menjadi terang duduk perkaranya. Neo-hegelianisme adalah filsafat dengan spirit yang reaksioner secara filosofis maupun politis. Mereka hendak mengatakan betapa selarasnya persekutuan neo-hegelianisme, teologi kristen dengan kapitalisme; suatu perspektif yang menunjukkan pandangan mereka yang sepenuh-penuhnya reaksioner. Maka tidak heran bila secara langsung mereka menyerang semua pandangan materialisme dialektika dan usaha-usaha kelas buruh untuk mengganti sistem kapitalisme dengan sosialisme.


 Neo-Kantianisme

Otto Liebmann
Madzab Marburg
Madzab Baden
Wilhelm Dilthey (1833-1911)


Berangkat dari semangat kereaksioneran yang sama dengan neo-hegelianisme untuk memerangi materialisme dialektika, neo-kantianisme muncul kembali di pertengahan abad ke-19 di tanah airnya sendiri, Jerman. Penggagas awalnya adalah Otto Liebmann dalam karya Kant und die Epigon (1865). Karya ini semacam manifesto teoritik yang melontarkan himbauan untuk kembali ke filsafat kritisisme Immanuel Kant. Untuk menyebarluaskan semangat kritisisme Kant ini maka pada tahun 1897 diterbitkanlah majalah berjudul Kant-Studien atau kajian tentang filsafat Kant sebagai jurnal teori mereka. Berikutnya pada tahun 1905, diresmikanlah sebuah perhimpunan bernama Kant-Gesellschaff untuk menjalankan studi khusus tentang filsafat Kant. Pada perkembangannya, para profesor neo-kantianisme ini memberi pengaruh besar terhadap hampir semua pemikir Jerman pada zaman itu seperti Husserl, Scheler, Hartmann, Jaspers, Heidegger, Hokhoimer, Adorno.
Gerakan neo-kantianisme mencapai masa puncaknya pada awal abad ke-20 dengan mencurahkan perhatiannya pada perkembangan ilmu pengetahuan, seperti fisika maupun psikologi yang pada waktu itu masih sebagai ilmu yang belia. Namun pada perkembangan lebih lanjut mereka terbelah dalam dua sayap pemikiran: madzab Marburg dan madzab Baden.
Madzab Marburg, sebuah nama yang diambil dari nama Universitas Marburg, dengan juru bicaranya Herman Cohen (1842-1918). Madzab ini memiliki kecenderungan kantianisme dalam aspek teoritis yang kuat, khususnya mengambil kajian tentang etika dan estetika. Cohen dan teman-temannya menganggap filsafat sebagai analisa logis tentang pemikiran manusia. Kesatuan logis pemikiran demikian ditekankan sehingga sering diberi nama “pan-logisme”. Bagi mereka pengetahuan yang paling ideal adalah pengetahuan ilmu eksakta yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu alam. Dari sudut pandang ini tampak sekali karakter pemikiran Kant yang suka dengan seluruh hal yang jelas dan terpilah (clearly and distingly) dan watak kritisismenya yang khas. Madzab Marburg ini menghasilkan dua orang murid yang terkenal, Paul Natorp (1854-1924) dan Erns Cassirer (1847-1945).
Madzab Baden, mengambil nama sebuah lokasi di daerah Jerman Barat Daya. Madzab ini secara terang bertentangan dengan Marburg yang mereka kecam mengidap kecenderungan teoritis yang parah. Madzab Baden cenderung menafsirkan Kant dalam arti rasio-praktis dengan menghubungkan konsep-konsep “nilai” dalam ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu alam. Kecenderungan menerapkan rasio-praktis ini, secara langsung mereka membedakan dengan ilmu alam. Dalam ilmu alam, ia hanya menyangkut fenomena-fenomena obyektif yang hanya berguna untuk menopang segi deduktif dan melulu suatu pengulangan-pengulangan yang pasti. Sebaliknya, ilmu sosial adalah ilmu pengetahuan historis yang induktif, individual, unik dan hanya satu kali terjadi. Ilmu sosial, dalam perspektif mereka, jauh lebih kompleks dan kaya, di mana menuntut kita untuk membedah seluruh konteks yang menghubungkannya. Beberapa tokoh dari Baden ini bisa kita sebutkan: Rudolf Hermann Lotze (1817-1881), Wilhelm Windelband ( 1848-1915), dan Heinrich Rickert (1863-1936).


B. IDEALISME SUBYEKTIF


Berbeda dengan idealisme obyektif, idealisme subyektif merupakan pandangan dunia yang bertolak dari manusia sebagai subyek. Menurut pandangan idealisme subyektif, dunia ini merupakan jumlah total dari apa yang ditangkap oleh pikiran dan pancaindra (sensasi) manusia sebagai subyek. Dengan pengertian lain, dunia seisinya ini merupakan persepsi dari pikiran dan sensasi (warna, rasa, aroma, kepadatan, bentuk, gerak, dsb) belaka. Pangkal kebenaran utama terletak di dalam pikiran dan indera manusia. Pikiran manusia dengan demikian menjadi satu-satunya substansi kebenaran yang nyata. Dunia adalah apa yang diciptakan oleh “aku”, buah kesadaran dari seorang “aku” manusia. Idealisme subyektif secara langsung menuntun pandangan manusia ke arah solipsisme, suatu pandangan filsafat yang absurd karena hanya mengakui aku sendiri yang eksis, dan seluruh dunia termasuk manusia seluruhnya, hanyalah kilasan khayalan manusia semata. Seluruh solipsisme pasti membawa pada kesimpulan yang salah dalam memahami seluruh hukum-hukum dunia obyektif ini.
Mari kita membedah kelahiran idealisme subyektif dalam sudut pandang sejarah perkembangan masyarakat dan watak filsafatnya. Sering muncul pernyataan apa hubungan antara Renaissance, humanisme, dan idealisme subyektif? Hubungan mereka sangat erat. Mereka memiliki pertalian semangat yang historis. Renaissance (bahasa Perancis yang berasal dari kata Rinascita dalam bahasa Italia) yang memiliki arti kelahiran kembali, merupakan penemuan manusia kembali semangat rasionalisme dan penyelidikan ilmiah yang disebabkan oleh kebangkitan kembali akar-akar kebudayaan ilmiah zaman Yunani kuno dan Romawi. Renaissance muncul sebagai gerakan kebudayaan (pemikiran) pada abad ke-15-16 Masehi, dimulai di negeri Italia kemudian berkembang ke Perancis, Belanda, Inggris dan Jerman. Memaknai Renaissance berarti memaknai semangat humanisme dan rasionalisme yang harus dipertentangkan dengan semangat Abad Gelap hingga Abad Tengah yang gersang dan teosentris itu, suatu ajaran agama Katolik yang berprinsip bahwa segala sesuatu harus dibaktikan sepenuhnya kepada agama (Tuhan). Para penggerak Renaissance, dengan mempelajari kembali kitab-kitab ilmiah di zaman Yunani Kuno dan Romawi, mulai beranjak pada pikiran-pikiran yang mandiri dari dari ajaran dogma agama. Sarana kemandirian ini diwujudkan dalam pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan yang sekuler. Mereka berpandangan bahwa pemikiran manusia dan penyelidikan ilmiah tidak perlu disangkutpautkan lagi dengan dasar-dasar ajaran agama dan ketuhanan. Untuk menggapai kemajuan, kebudayaan masyarakat harus bebas dan mandiri dari takhayul-takhayul lama yang dipasok oleh dogma agama. Inilah makna humanisme dari semangat Renaissance. Segala pandangan yang bertolak semata-mata dari manusia dan alam semesta secara wajar.
Pada periode awal, Renaissance belum mampu melahirkan suatu pemikiran filsafat yang besar. Gerakan kebudayaan baru ini meliputi semangat belajar bahasa Yunani dan Latin. Kemudian kesusastraan yang semakin maju dengan para sastrawan penting seperti Francesco Petrarca (1304-1374), Giovanni Boccacio (1313-1375), Dante Alighieri (1265-1321), William Shakespeare (1564-1616); pemikiran politik diwakili oleh Niccolo Machiavelli (1469-1527); kemudian para pelukis berpengaruh seperti Leonardo de Vinci (1452-1519), Michel Angelo (1475-1564), Raphael (1483-1520), Rembrant; di bidang seni musik lahir para komponis besar seperti Johann Sebastian Bach (1685-1750), Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) dan Joseph Haydn (1732-1809). Sementara di bidang ilmu pengetahuan lahir ilmuwan-ilmuwan ternama seperti Nikolaus Kopernikus (1473-1543), Galileo-Galilei (1564-1642), dan Giordano Bruno (1548-1600). Mereka semua adalah manusia-manusia yang sangat bergairah dengan semangat humanisme yang semakin tumbuh.
Masih dalam suasana Renaissance, dalam bidang agama juga terjadi goncangan iman berupa gerakan reformasi dalam tubuh agama Katolik pada tahun 1519. Suatu gerakan spiritual yang memisahkan diri dari pusat Katolik Roma di Vatikan yang dianggap telah menyeleweng dari semangat awal ajaran agama. Gerakan ini di bawah pimpinan seorang pendeta Jerman bernama Martin Luther (1483-1546). Menurut kaum protestan, yang tentu dipengaruhi oleh semangat Renaissance, mereka berpendapat bahwa manusia tidak perlu perantara gereja dalam berhubungan dengan Tuhan. Manusia bisa berhubungan secara langsung dengan Tuhan. Pengaruh ajaran protestan sendiri meluas keluar Jerman hingga hampir ke semua negara Eropa seperti Belanda, Swiss, Perancis, Inggris, Polandia, Skotlandia, dsb.
Antara abad ke-15 dan ke-16, dunia juga diberkati oleh tiga penemuan benda penting yang berpengaruh terhadap perkembangan sejarah: bubuk mesiu, kompas, dan alat cetak. Apa dampak dari penemuan 3 benda tersebut? Pertama, sejak ditemukan bubuk mesiu, para raja dan bangsawan feodal tidak merasa aman lagi tinggal di puri dengan dikelilingi tembok tebal dan tinggi. Penemuan mesiu ini menjadi anti-tesis bagi tembok kekuasaan feodal yang setiap saat bisa dihancurkan, sekaligus sebagai penanda peralihan kekuasaan dari kaum feodal ke kapitalis yang sedang giat meluaskan pengaruh produksi dan merebut pasar. Dan oleh para borjuis kota inilah, sejak Konstantinopel direbut oleh Turki pada tahun 1453 mendesak kepada raja-raja untuk mencari jalan laut sebagai jalur alternatif ke Asia karena jalan darat yang menghubungkan Eropa ke Asia telah diduduki oleh tentara Turki. Asia pada waktu itu menjadi sumber memperoleh rempah-rempah dan barang-barang lain yang berharga untuk diperdagangkan di pasaran Eropa. Disebabkan oleh segala keterdesakan ekonomi-politik itulah pada tahun 1485, Bartolomeo Diaz berlayar ke selatan dan mendarat di Tanjung Harapan. Seorang pelaut lain, Khristopher Kolumbus mendarat di Amerika pada tahun 1492 atas bantuan kompas. Dan pada tahun 1498, Vasco de Gama menemukan jalan ke India, pintu gerbang ke seluruh negeri Asia termasuk Indonesia. Dan hanya selisih beberapa tahun kemudian, pada tahun 1519-1521 Ferdinand Magellan, penjelajah portugis yang legendaris itu, menjadi orang pertama yang mengelilingi dunia dan membuktikan bahwa dunia itu bundar. Kompas dengan demikian menjadi alat petunjuk bagi penjelajahan dan penemuan benua-benua baru melalui jalur samudra. Dengan kata lain, ia membantu manusia menemukan dunia (the discovery of world) dan mengusir untuk selama-lamanya prasangka agama yang secara takhayul mengatakan bahwa bumi ini lempeng. Dan benda penting ketiga, yakni sejak ditemukannya alat cetak manual pada tahun 1423, telah merombak hubungan agama dan ilmu pengetahuan. Bila semula ilmu pengetahuan menjadi hak milik para bangsawan feodal, melalui alat cetak manual telah berhasil mencetak tulisan-tulisan berisi tentang ilmu pengetahuan yang tersebar luas di kalangan masyarakat. Dunia tulis-menulis, ilmu pengetahuan dan jurnalistik berkembang pesat sebagai sumber informasi masyarakat.
Renaissance dalam perspektif kebudayaan bisa kita katakan sebagai pintu gerbang menuju revolusi kebudayaan kedua Eropa, di mana revolusi kebudayaan pertamanya terjadi pada zaman Yunani Kuno; sekaligus sebagai akar dari seluruh kebudayaan Eropa yang sangat mempengaruhi dunia. Dengan latar belakang Renaissance dan semangat humanisme inilah apa yang kita sebut dengan filsafat idealisme subyektif muncul dan berpuncak pada Abad Pencerahan. Kedua batu pal kebudayaan ini telah menghantarkan filsafat keluar dari cengkraman Abad Tengah yang gelap dan menemukan kembali manusia dan dunia (the discovery of man and world). Lebih tepatnya, dunia obyektif telah menginvansi pikiran umat manusia. Bila Renaissance berlaku sebagai fajar merekahnya akal budi, maka Abad Pencerahan menjadi puncak terangnya matahari. Filsafat yang meninggalkan kajian yang semula bercorak teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat).
Pemikir filsafat pertama Renaissance pertama adalah Rene Descartes (1596-1650), seorang filosof rasionalisme terkemuka dari Perancis. Ia sering juga disebut sebagai Bapak Filsafat modern. Pandangan filsafatnya yang paling terkenal adalah apa yang sering disebut dengan Cartesian doubt, metode keragu-raguan (dubium methodicum). Untuk mencapai suatu kebenaran baru seseorang harus meragukan secara total seluruh dalil kebenaran sebelumnya. Dengan menerapkan metode keragu-raguan secara total, maka seseorang akan sampai pada situasi kepastian bahwa “saya ragu-ragu”. Keragu-raguan adalah suatu bentuk kegiatan berpikir, atau kalau saya meragukan sesuatu maka saya berpikir; kalau saya berpikir maka saya ada. Filsafat Descartes kemudian dikenal dengan kalimat pendek, cogito ergo sum. Arti harfiah bahasa latin ini adalah: “Saya berpikir, maka saya ada”. Pemikiran Descartes ini membawa pengaruh besar pada zamannya dan menjadi latar belakang kemunculan filsafat modern pada umumnya. Dalam perspektif filsafat epistemologi, periode ini sering juga disebut sebagai periode “pembentukan subyektifitas”. Periode yang tak bisa lepas dari sejarah perkembangan masyarakat di mana feodalisme telah melapuk, dogma-dogma gereja terbukti palsu dan tak bisa berbuat banyak di hadapan ilmu pengetahuan; serta borjuis-borjuis Eropa yang mulai tumbuh berkembang menyongsong zaman baru kapitalisme.
Selain rasionalisme sebagai thesis, empirisisme juga lahir di tanah Inggris Raya sebagai anti-thesis dari rasionalisme melalui bapaknya, Francis Bacon yang akan segera kita singgung dalam kajian ini. Empirisisme tak bisa kita lepaskan dari pengaruh kebangkitan ilmu-ilmu alam induktif, maupun revolusi industri yang sedang bergemuruh melanda Inggris raya. Kita kemudian menyaksikan filsafat modern sebagai permulaan yang sangat penting; dimulainya kembali soal-soal epistemologi dalam mata rantai perkembangan subyektifitas, bagaimana para filosof menyelidiki segi-segi khusus obyek dan subyek manusia yang semakin sadar. Slogan terkenal yang mewakili semangat ini adalah “Sapere Aude!” (kibarkan akal budimu). Manusia sebagai subyek yang berpikir. “Aku” sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat perasaan, pusat kesadaran, pusat kehendak, dan pusat tindakan. Pembedaan antara subyek dan obyek kemudian berkembang sebagai landasan epistemologi. Beberapa tokoh dari golongan idealisme subyektif bisa kita jabarkan sebagai berikut:


 George Berkeley (1684-1753)



George Berkeley lahir pada tahun 1685 dari keluarga Inggris di Kilorim, Irlandia. Ia belajar teologi di Dublin kemudian diangkat menjadi imam Katholik Anglikan hingga tahun 1734 menjadi uskup di Cloyne. Bila tanah Inggris pernah melahirkan 3 orang empirisis abad 18, dialah salah satunya selain John Locke dan David Hume. Dua karya penting Berkeley adalah Essay toward a new Theory of Vision (1709) yang dihasilkannya dalam usia cukup muda dan A Treatise concerning the Prinsiples of Human Knowledge (1710). Ia merumuskan filsafatnya untuk membela agama dari serangan empirisisme Locke dengan menyusun doktrin empirisisme yang pada akhirnya menyerang dirinya sendiri. Ia membela pikiran-pikiran dogma gereja dari serangan kaum pemikir bebas. Pikiran pokok Berkeley adalah penyangkalan atas eksistensi materi, dengan apa yang menjadi inti sarinya: “esse est percipi”. Kalimat ini bisa kita terjemahkan, bahwa “Ada adalah apa yang kita amati” atau filsafat tentang manusia sebagai subyek yang mengamati.
Filsafatnya idealisme subyektifnya bertolak dari kritik atas pandangan filsafat Locke yang membedakan antara idea dan pengalaman. Pengalaman menurut Locke merupakan sesuatu yang berasal dari obyek, sedang pengalaman adalah apa yang dicerna oleh subyek. Berkeley menolak pendapat ini dengan menyatakan bahwa ide dan pengalaman adalah satu dan sama. Bila pengalaman bagi Locke adalah sesuatu yang inderawi, bagi Berkeley sesuatu yang batiniah. Dengan cara itu pula persepsi, citra, dan idea sama dengan pengalaman. Dengan demikian, Berkeley telah memutlakkan peranan subyek. Pandangan yang berpangkal bahwa pengalaman itu tidak disebabkan oleh sesuatu di luar kita dalam dunia benda-benda, karena tidak ada apa-apa di luar kesadaran kita. Benda-benda hanya “ada” kalau benda-benda itu “diamati”. Sesuatu yang tidak diamati, sama sekali tidak ada. ‘Esse est percipi’ demikianlah kata Berkeley. Tidak ada materi bernama “pohon” kalau pohon tersebut tidak dilihat oleh seorang Berkeley. Tidak ada materi bernama kuda, rumah, gunung, manusia, kalau semua materi itu tidak diamati oleh seorang Berkeley. Kalau kemudian ditanyakan kepada Berkeley, apakah matahari juga tidak ada ketika kita tidur? Dia menjawab, matahari tetap ada karena matahari pasti diamati oleh orang lain, dan akhirnya segala sesuatu itu pasti diamati oleh mata Tuhan sebagai sang Maha Pengamat yang tidak pernah tidur, sehingga kontinuitas kenyataan terus terjamin. Tidak ada soal, menurut Berkeley.
”Bagi setiap orang yang meninjau obyek-obyek pemahaman manusia, jelas bahwa obyek-obyek itu merupakan ide-ide (ideas) yang betul-betul ditangkap oleh perasaan, atau yang kita terima ketika mengamat-amati emosi dan gerak dari akal, atau pada akhirnya, ide-ide yang dibentuk dengan pertolongan ingatan dan fantasi. Dengan penglihatan saya menyusun ide-ide tentang cahaya, tentang warna, tentang bermacam-macam jenis dan sifat mereka. Dengan indra perasaan, tubuh saya merasakan keras dan lunak, hangat dan dingin, gerak dan hambatan …. Penciuman memberikan kepada saya bau; perasa lidah – rasa; pendengaran suara …. Karena bermacam-macam ide teramati bersama satu dengan yang lain, maka ide-ide itu diberi tanda dengan sesuatu nama dan dianggap sebagai sesuatu benda. Misalnya mengamati terpadukannya bersama (to go together) warna tertentu, rasa, bau, bentuk, konsistensi – diakui hal itu sebagai benda tersendiri dan ditandai dengan kata apel; kumpulan-kumpulan ide yang lain (collection of ideas) lain membentuk batu, pohon, buku dan benda-benda yang dirasakan lainnya ….”
Berkeley menyangkal adanya dunia materi yang obyektif, dan hanya mengakui adanya dunia material yang ada di dalam ide atau sensasi manusia. Kesimpulan yang wajar dari pandangan ini adalah bahwa yang ada secara nyata di dunia ini hanyalah “aku”. Orang di sekitar kita, kau, mereka, orang tua kita, saudara dan seluruh umat manusia hanyalah bayangan dari ide kita. Mereka semua tidak nyata. Untuk berlindung dari inkonsistensi pemikirannya, dari semacam jatuh ke dalam solipsisme, Berkeley menyatakan bahwa hanya Tuhan yang berada tanpa bergantung pada sensasi, bahkan sebagai penggerak dari sensasi manusia.
Dunia luar, alam akan kita anggap sebagai “kombinasi perasaan-perasaan” yang ditimbulkan dalam pikiran kita oleh Tuhan. Akuilah itu, maka kalian akan menolak untuk mencari di luar kesadaran, di luar manusia “dasar-dasar” dari perasaan-perasaan itu – dan saya, dalam rangka teori pemahaman idealis saya, akan mengakui semua ilmu alam, semua arti dan ketepatan dari kesimpulan-kesimpulannya. Saya memerlukan justru rangka itu dan hanya rangka itu untuk kesimpulan-kesimpulan saya yang akan menguntungkan “perdamaian dan agama”. Demikianlah pikiran Berkeley, yang tepat dalam menyatakan hakekat filsafat idealis dan arti kemasyarakatannya.
Di hadapan kita terletak dua aliran filsafat dalam masalah tentang sebab musabab. Yang satu “menuntut menjelaskan benda-benda dengan pertolongan sebab-sebab jasmaniah”, jelas, bahwa ia berhubungan dengan “doktrin materi” “yang absurd” yang dibantah oleh Uskup Berkeley. Yang lain menjuruskan “pengertian sebab musabab” ke pengertian “cap atau tanda”, yang diperuntukkan “bagi pemberitahuan kepada kita” (oleh Tuhan). Berkeley tampak jelas mengalami kesesatan epistemologis ketika ia gagal memahami konsekuensi-konsekuensi dari prinsip berpikir yang ia letakkan sendiri. Jika sepenuhnya konsisten, di luar kedudukan dirinya sebagai uskup, Berkeley akan dibawa pada kesimpulan pengingkaran pengetahuan adanya Tuhan. Namun ia tidak melakukan penyimpulan tersebut, membisu dalam kebungkaman solipsisme-epistemologis sebagai problem pokok mentalnya sendiri. Suatu sikap keras kepala subyektifistik yang sering menjadi karakter dari kebanyakan filsafat modern. Dan filsafatnya adalah perwakilan dari kelas borjuis Inggris yang secara terus terang menyatakan sebagai musuh dari materialisme dan untuk memperkuat eksistensi Tuhan demi keuntungan kelas-kelas reaksioner.


 Auguste Comte (1789-1857)




Salah satu filosof pendiri aliran positifisme ini lahir di Montpellier, 1789. Pada awalnya ia sekolah di Politeknik di Paris dan dipecat karena ia menyokong kaum republik. Berikutnya ia menjadi pembantu Saint Simon dan mendapat pengaruh besar dari Saint Simon, tokoh sosialisme utopia itu. Karya terpenting Comte yang sekaligus menjadi injil-nya positifisme adalah A General View of Positivism. Pokok pikiran Comte adalah apa yang tertuang dalam aliran positifisme sebagai anti-tesis dari seluruh pandangan mistisisme dan metode metafisika yang ada. Menurutnya, keadaan teologis dan metafisis dari setiap ilmu pengetahuan memiliki satu ciri yang khas – kekuasaan imajinasi atas observasi. Satu-satunya perbedaan pandangan di sini adalah mereka asyik dengan imajinasi tentang mahkluk-mahkluk sakti dengan abstraksi yang diwujudkannya. Filsafat positifisme dengan demikian mengumumkan berakhirnya periode metafisika dan spekulasi dengan diproklamirkannya ilmu pengetahuan dan fakta-fakta. Suatu “fisika sosial” itulah yang diharapkan oleh Comte.
Memasuki positifisme, menurut Comte, adalah memasuki tahap alam orang dewasa. Sebagai anak kita menjadi teolog, sebagai pemuda kita menjadi ahli metafisika, dan sebagai orang dewasa kita memasuki ilmu pengetahuan rasional (positifisme). Bahwa tidak ada gunanya bagi manusia mencari pengetahuan mutlak pada teologi dan metafisika. Ia mengundang seluruh umat manusia untuk menemukan hukum-hukum alam dengan mengamati alam dan hanya dengan menggunakan akal pikiran.
Dengan demikian, positifisme hanya mengakui suatu kebenaran sejauh ia ditemukan secara positif dan ilmiah dan menjauhkan diri dari seluruh pertanyaan metafisika yang itu berada di luar pagar-pagar positifisme. Positifisme bertumpukan pada seluruh gejala (fenomin-fenomin) yang menampakkan diri dalam kenyataan melalui penemuan ilmiah (observasi). Ia mengusulkan suatu filsafat positif sebagai agen utama yang mengorganisasikan kekacauan masyarakat modern. Rumusan ini bersumber dari pandangannya bahwa ide-ide telah mengatur dunia, atau telah membuatnya kacau. Filsafat positif dengan demikian datang sebagai agen utama yang bertugas untuk mengembalikan ketertiban sosial ke tingkat yang lebih positif dan rasional.
Filsafat Comte memberi pengaruh besar dalam dunia universitas hingga dewasa ini, bahkan ia sering dikatakan sebagai bapak dari ilmu sosiologi. Pikiran filsafat Comte yang lain sebagai murid setia dari Saint Simon adalah paham utopianisme tentang “altruisme” yakni cinta kasih sesama umat manusia. Menurutnya keteraturan masyarakat yang dicari oleh positifisme hanya dapat dicapai bila semua orang menerima altruisme sebagai prinsip tindakan. Yakni ketika manusia memerangi egoisme dan menyerahkan diri pada ras manusia (l’humanite), bukan hanya suatu golongan dalam masyarakat. Pada tataran tertentu, ide Comte juga kembali kepada pintu belakang metafisika walau bebas dari mistisisme. Yakni spiritualisme tanpa agama, atau “suatu katolisisme tanpa agama masehi”. Suatu paham utopianisme yang lain di mana ia meletakkan dogma satu-satunya ajaran agama dalam pernyataan sebagai berikut: “Cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai dasar, dan kemajuan sebagai tujuan”. Inilah kepicikan apa yang oleh Marx dikritik sebagai kecerdikan sosialisme borjuis kecil, dengan tetap melanggengkan produksi komoditi tapi hendak menghapuskan “pertentangan antara uang dan komoditi”, yaitu menghapuskan uang itu sendiri karena uang hanya ada dan melalui antagonisme ini. Dengan kata lain mereka hendak menyatakan mempertahankan Katolisisme tanpa Paus.
Tujuan terbesar dari filsafat Comte adalah mengabdi pada kesempurnaan sistem yang ada, yakni mengorganisasikan masyarakat modern (kapitalisme) secara lebih rasional agar terhindar dari tindakan-tindakan yang mengandung anarkhi atau kekacauan. Menurut Comte, sudah menjadi nasib bagi sebagian besar orang-orang yang hidup dari hasil-hasil pekerjaan keseharian masyarakat yang sedikit banyak ada aspek yang berbahaya, masalah sosial yang besar adalah memperbaiki kondisi mayoritas masyarakat tanpa merusak strukturnya, tanpa menganggu perekonomian secara umum; dan inilah jantung dari kebijakan-kebijakan pemikiran positifistik yang dianggap sebagai aturan klasifikasi terakhir dari masyarakat modern.
Dari pandangan tersebut kita segera tahu kedudukan teori positifisme atas kapitalisme, bahwa mereka berlaku sebagai bengkel teoritik atas seluruh mesin penghisapan kapitalisme; bahwa mereka hendak memperbaiki seluruh kebusukan mesin kapitalisme tanpa merusakkan satu pun sendi-sendinya, tanpa menganggu perekonomian secara umum dalam arti tanpa mengurangi sepersen pun mengurangi kekayaan borjuis dan tidak menambahkan sedikit pun kekayaan bagi buruh; dan walhasil bengkel utopia ini menjadi semacam pengecatan kapitalisme tanpa melecetkan satu pun kulit permukaan penghisapannya. Inilah posisi dan peranan teoritik positifisme atas kapitalisme.
Meskipun demikian, mereka (kaum positifis) mengklaim diri berdiri di atas materialisme dan idealisme, menyamakan begitu saja antara ilmu dan filsafat. Mereka juga mengklaim telah menemukan dasar pengetahuan yang fundamental. Namun sejatinya positifisme adalah suatu bentuk filsafat idealisme yang bersumber dari diri manusia yang subyektif (apa yang kita namakan dengan idealisme subyektif) yang sangat bertentangan dengan materialisme dialektika. Di sini jelaslah bahwa pandangan filsafat Comte atau positifisme pada umumnya melakukan pembelaan terhadap kepentingan borjuis dan sistem kapitalisme dengan artikulasinya yang kritis. Ia tidak memiliki syarat-syarat berpikir jauh ke depan (visioner), dan jatuh dalam watak reformisme; suatu pencapaian yang tak lebih radikal ketimbang Bacon. Seluruh usaha-usahanya untuk mematahkan metafisika tidak berhasil ketika landasan filsafatnya sendiri masih idealisme yang hanya bertumpu pada subyek manusia yang rasional. Filsafat ini tidak pernah dianggap berbahaya oleh kekuasaan reaksioner kapitalisme karena tidak pernah menyerang kekuasaan politik secara radikal. Dan seluruh kritisisme mereka tidak mampu menjelma menjadi gerakan politik. Dan para borjuis besar yang memegang peranan kapitalisme tahu benar bila Comte hanyalah seorang bandit biasa yang tak berbahaya. Suatu kritisisme teoritis yang tidak pernah mencapai tindakan praktik yang revousioner. Dan lebih jauh lagi, filsafatnya dijadikan sebagai minyak pelumas bagi roda dan gerigi sistem kapitalisme agar terus bergerak dengan lebih baik.


 Johann Gotlieb Fichte (1762-1814)



Pada tanggal 19 Mei tahun 1762, Johann Gotlieb Fichte seorang filsuf terkenal asal Jerman, lahir ke dunia ini. Latar belakang keluarganya berasal dari kelas pekerja yang miskin. Atas sokongan seorang bangsawan, pada tahun 1780 Fichte masuk ke Universitas Jena untuk belajar teologi dan filsafat. Dalam pandangan filsafat ia dipengaruhi oleh spinoza dan Immanuel Kant. Sekitar tahun 1792, Fichte bertemu dengan Immanuel Kant dan memberikan karyanya berjudul A Tentative Critique of all Revelation kepada Kant dan yang kemudian memujinya. Setahun kemudian, naskah itu diterbitkan dan sejak saat itu, ia menjadi terkenal sebagai filsuf. Pada tahun 1794, Fichte diangkat sebagai filsuf di Jena di mana ia mulai mengungkapkan ide-ide transendentalnya. Pada tahun 1798, menerbitkan artikel berjudul The Basis of Our Belief in a Divine Government of the World yang membuatnya dituduh sebagai atheis karena telah mengkarakterisasikan Tuhan sebagai aturan moral di dunia. Akibatnya Fichte dicopot dari kedudukannya sebagai filsuf di Jena. Tahun 1810, Fichte diangkat sebagai profesor di University of Berlin yang baru berdiri dan empat tahun kemudian ia meninggal karena sakit tifus.
Pokok pikiran Fichte berporos dalam filsafat Immanuel Kant, apa yang menjadi dasar dari ajarannya adalah tentang fenomenalisme. Yakni pendapat bahwa manusia itu hanya dapat mengenali bentuk-bentuk kenyataan sebagaimana yang menampakkan pada diri kita semata. Sedangkan isi kenyataan yang lebih jauh dan esensial sesungguhnya tidak dapat kita kenali. Namun di tangan Fichte, fenomenalisme Kant dikembangkan dengan mengganti “das Ding an sich” yang tak dikenal itu menjadi subyek yang mutlak. Yakni aku yang menempatkan diri sendiri, juga seluruh ciptaan merupakan suatu hasil ‘perbuatan’ dari ‘subyek’ atau ‘aku’. Bila “das Ding an sich” milik Kant sebagai sesuatu yang tak diketahui (dogmatisme), atau lepas dari “keaktifan subyek”, maka oleh Fichte dikembangkan lebih lanjut bahwa aku sebagai subyek sebagai pencipta benda-benda atas bantuan fantasi yang lebih kreatif. ‘Aku murni’ atau ‘aku transendental’ sebagai pusat kesadaran akan diri yang mengatasi hal yang empiris dan dasar dari seluruh filsafatnya. Dalam tataran praktis, bagaimana persoalan ini dipahami, Fichte memberi contoh sebagai berikut: “saudara-saudara, pikirkanlah dinding itu. Pikirkanlah dia yang memikirkan dinding itu, pikirkanlah dia yang memikirkan dia yang memikirkan dinding itu, dan seterusnya.” Dari proses refleksi yang terus-menerus, kita akan menemukan adanya sesuatu yang tetap, sesuatu yang melakukan refleksi atau obyektifasi. Itulah aku murni!
Kepasifan agnotisisme Immanuel Kant diaktifkan oleh peranan subyek yang lebih sadar. Dengan demikian Fichte hanya mengembangkan dasar filsafat agnostisisme yang telah diletakkan oleh Kant ke tingkat yang lebih aktif dan maju. Tidak ada hal fundamental lainnya yang dirumuskan oleh Fichte tentang kenyataan obyektif.


 David Hume (1711-1776)




David Hume merupakan tokoh empirisis klasik Inggris, lahir pada tahun 1711 di Skotlandia. Ia lahir di sebuah keluarga tuan tanah kaya dan moderat dengan latar belakang agama Calvinis yang mereka pegang teguh. Dalam perkembangan intelektualnya, David Hume menjadi penerus dari tradisi pemikiran empirisis Inggris, John Locke dan George Berkeley. Ia dikenal sebagai skeptikus radikal yang metafisika tradisional, dogma-dogma katholik dan berbagai takhayul yang menyebar di kalangan rakyat. Skeptisisme mendasar Hume dilukiskan sebagai serangan terhadap tiga aliansi pemikiran: pertama, serangan terhadap pandangan rasionalisme tentang ide-ide bawaan serta anggapan bahwa alam semesta terdiri dari keseluruhan yang saling bertautan. Kedua, Hume menyerang seluruh dogma religius baik dari tradisi Katholik, Anglikan, maupun dogma-dogma deisme lainnya. ketiga, Hume juga menyerang empirisisme itu sendiri yang masih percaya adanya substansi.
Ajaran terpenting dari pemikiran filsafat Hume adalah soal “substansi” dan “kausalitas”. Argumen dasarnya dapat diringkaskan sebagai berikut: “Bahwa saya menginterpretasi dunia melalui indera saya. Dengan demikian, semua yang saya tahu benar-benar ada adalah citra yang ditangkap oleh indera saya. Dapatkah saya, contohnya, bersumpah bahwa sebuah apel benar-benar ada? Tidak. Apa yang saya dapat katakan adalah saya melihatnya, saya merasakannya, saya menciumnya, saya mengecapnya. Dengan demikian, saya tidak dapat benar-benar menyatakan bahwa dunia material benar-benar ada. Sebab semua yang terindra dari kenyataan ini terletak di dalam konsepsi-konsepsi berbagai cita-rasa di dalam diri saya.” Suatu ‘a bundle of penceptions’ atau sehimpunan persepsi-persepsi. Bila seluruh persepsi ini disingkirkan, kita segera kehilangan ‘diriku’. Yang pasti adalah kematian, sebab dengan kematian segala persepsi betul-betul dilenyapkan yang membuat ‘diriku’ ini non-entitas (bukan kenyataan).
Logika dari idealisme subyektif adalah bahwa, jika saya menutup mata saya, dunia ini akan menghilang. Pada ujungnya, filsafat ini akan membawa kita pada solipisme (dari bahasa Latin "solo ipsus" - "saya sendiri"), ide bahwa hanya saya sendiri yang ada, yang lain tidak ada. Filsafat David Hume, sahabat kental Adam Smith ini, tak jauh beda dengan gurunya yang bernama uskup Berkeley. Kiranya sudah sangat terang bahwa asin sebagai rasa, adalah pernyataan subyektif daripada sifat obyektif bernama garam. Garam sebagai materi dengan rasa asin sudah dari sono-nya yang obyektif. Namun hal ini tidak berlaku bagi kedua orang pria empirisis Inggris ini.
Bila kita teruskan alur pikiran ini, kita akan segera menemukan kuburan idealisme subyektif yang absurd ini. Bagi filsafatnya Hume, adanya seorang bernama Berkeley, gurunya itu, sebenarnya hanyalah ide semata bagi Hume. Hakekatnya tidak ada. Juga sebaliknya, Berkeley akan menganggap Hume sebenarnya hanyalah ide semata yang tak ada dalam realitas nyata. Bagi Hume, Berkeley sebenarnya tidak ada. Bagi Berkeley, Hume juga tidak ada. Berangkat dari logika kacau ini, Hume yang telah membatalkan materi dan hanya mengakui ide semata, tanpa sadar telah melakukan pembatalan eksistensial adanya dirinya sendiri. Menurut dasar kausalitas ini, maka Hume secara material tidak ada. Beginilah akibatnya hukum konsekwensi dari idealisme, yang telah membatalkan adanya materi, membatalkan adanya dirinya sendiri, dan secara langsung menewaskan filsafat idealisme itu sendiri. Sehingga filsafat idealisme dibatalkan sendiri oleh hukum berpikirnya sendiri.
Ide ini mungkin tidak masuk nalar bagi kita, tapi mereka telah terbukti tetap bertahan. Melalui satu atau lain cara, prasangka idealisme subyektif telah merasuki bukan hanya filsafat tapi juga ilmu pengetahuan, bahkan pada sebagian besar abad ke-20. Kita akan melihat kecenderungan ini lebih lanjut di belakang.
Hume juga menyerang metode kausalitas atau hubungan sebab-akibat. Sebagai contoh, dalam kasus api menyala yang membakar kertas, hal ini tidak bisa disimpulkan bahwa api sebagai sebab terbakarnya kertas . Yang bisa kita amati hanyalah gejala yang satu dan menyusul gejala yang lain. Hume menyatakan bahwa konsep kausalitas hanyalah ‘animal faith’ (kepercayaan naif) belaka yang tidak memiliki dasar. Serangan terhadap kausalitas ini merupakan serangan terhadap metode induktif yang telah dirintis oleh Francis Bacon dan eksperimentasi ilmiah lainnya. secara skeptis Hume merelatifkan ilmu pengetahuan hanya berada pada taraf keserba-kemungkinan (probabilitas).
Di antara kedua kubu, Engels meletakkan pengikut-pengikut Hume dan Kant, sebagai orang-orang yang mengingkari kemungkinan pemahaman dunia, atau paling tidak pemahamannya secara penuh dan utuh, menamakan mereka kaum agnotikus. Di dalam karya “Ludwig Feuerbach” Engels menggunakan istilah terakhir itu hanya bagi pengikut Hume, tapi dalam artikel “Tentang Materialisme Historis” Engels secara langsung membicarakan titik tolak “agnostikus Neo-Kantianisme” dengan memandang neo-Kantianisme sebagai salah satu jenis dari agnostisisme.


 Empirio-kritisisme

Ernest Mach (1838-1916)
Richard Avenarius
Aleksandr Bogdanov
Lunacharsky


Empirio-kritisisme sering dikenal juga dengan positifisme generasi kedua, untuk membedakan dengan positifisme generasi pertama dan neo-positifisme sebagai positifisme generasi ketiga. Ernest Mach adalah bapak spiritual dari positifisme kedua ini, pandangan yang meletakkan dasar epistemologinya pada “fakta-fakta yang bisa diamati”. Ernest Mach sendiri adalah orang Austria yang pada mulanya seorang ahli matematika dan fisika, khususnya dalam hal teori mekanik dan arus dinamik, kemudian menjadi profesor filsafat pada Universitas Wina. Mach memang seorang ahli fisika yang baik, namun berlaku sebagai ahli filsafat yang buruk sekali.
Sejak tahun 1895 ia memberikan mata kuliah “filsafat ilmu pengetahuan induktif”. Universitas Wina sejak Mach, memiliki tradisi empiris yang sangat kuat. Karangan Ernest Mach yang penting, semacam injil-nya kaum Machis, adalah The Analysis of Sensations yang menjelaskan banyak hal tentang pandangan filsafat positifisme dan mengklaim sebagai filsafat modern yang paling ilmiah. Satu sisi mereka menerima materialisme, namun materialisme dalam pengertian “materialisme taman kanak-kanak”. Lenin mendefinisikan mereka sebagai “realisme naif”. Mereka menolak segala hal pengetahuan dari fakta-fakta yang tak bisa diamati. Suatu pandangan picik yang membawa mereka pada anggapan bahwa teori atom atau materi-materi terkecil bernama atom hanya khayalan picisan belaka dari para ilmuwan penggemar fiksi. Ia menolak teori atom yang menyumbang sangat besar kemajuan ilmu fisika dan kimia.
Mereka menggolongkan diri sebagai kaum empirio-kritisisme. Suatu aliran filsafat anti-Marxis, suatu renovasi atas pikiran filsafat Berkeley dan Hume di abad ke-18, kemudian dianjurkan oleh segolongan intelektual di dalam Partai di Rusia sebelum revolusi menang, yang mencerminkan "kebobrokan serta skeptisme" mereka pada masa sesudah kalahnya Revolusi tahun 1905. Dengan mengaku sebagai Marxis – memang, dengan menyatakan mereka "mempertahankan" Marxisme – kaum empirio-kritikus melakukan kampanye yang ditutup-tutupi dan palsu menentang dasar-dasar filsafat Marxis, yaitu materialisme dialektik. Dalam epistemologi, empirio-kritisisme berasal dari filsafat idealis yang terang-terangan dari seorang ahli ilmu alam dan filsafat Austria, Ernest Mach. Ia memiliki beberapa pengikut di Eropa, seperti Perancis yang diwakili oleh seorang revisionis Marxis, Roger Garaudy. Mach berceramah, bahwa bukanlah benda tapi “suara, tekanan, ruang, waktu (yang biasa kita namakan sensasi), itulah yang merupakan elemen-elemen yang sesunguhnya dari dunia”. Orang yang bersama-sama dengan Mach membina empirio-kritisisme ini adalah Richard Avenarius, seorang ahli filsafat dari Jerman. Ia menggunakan istilah yang aneh-aneh untuk mengemukakan pikiran-pikirannya, dan berusaha menciptakan bahasa yang simbolik bagi filsafat seperti dalam ilmu pasti. “Dia menyerang Kant bukan dari kiri, sebagaimana dilakukan oleh kaum materialis, tapi dari kanan seperti caranya kaum skeptis dan idealis,” demikian Lenin membantah mereka dengan argumentasi yang tajam dan mematikan dalam karyanya Materialisme dan Empirio-kritisisme: Catatan Kritis tentang suatu Filsafat Reaksioner yang ditulisnya pada tahun 1908. Karya Lenin ini menunjukkan betapa kuatnya pemahaman Lenin tentang materialisme dialektika dan sekaligus memberi pelajaran pada kita bagaimana cara menggunakannya dengan baik dalam pertarungan teoritik melawan filsafat kaum reaksioner.
Bertentangan dengan cara dialektik dalam mempelajari gejala, yang “memahami benda serta gambarannya yang dipersepsi pada hakekatnya dalam hubungannya satu sama lain, dalam rangkaiannya, dalam geraknya, dalam timbul dan lenyapnya” (Engels), empirisisme menyempitkan penyelidikan itu sedikit banyaknya hanya pada tanggapan yang langsung dan suatu cara interpretasi yang sama terbatasnya. Dengan kata yang agak sederhana, empirisisme adalah cara yang "praktis". Dan biar bagaimanapun ia mengaku telah berbuat "kritis", tapi empirisisme tetap sempit dan berat-sebelah, karena ia hanya satu bentuk lain dari berbagai bentuk idealisme yang tak terhitung banyaknya. "Peranan kelas yang obyektif dari empirio-kritisisme tidak lain daripada peranan budak kaum fideis dalam perjuangannya menentang materialisme pada umumnya dan materialisme histori pada khususnya," demikian Lenin membelejeti mereka.
Bahwa ajaran-ajaran Ernst Mach tentang benda-benda sebagai kompleks-kompleks perasaan, adalah idealisme subyektif, adalah menghidupkan kembali secara langsung Berkeleyanisme di masa sebelumnya. Kalau benda adalah “kompleks perasaan” sebagaimana kata Mach, atau “kombinasi perasaan” sebagaimana kata Berkeley, maka secara tak terelakkan dari sini bisa disimpulkan, bahwa seluruh dunia adalah hanya bayangan semata. Bertolak dari sumber yang demikian, tidak bisa sampai pada adanya manusia lain, kecuali dirinya sendiri. Inilah pandangan solipsisme sejati. Betapapun Mach, Avenarius, dan Petzoldt mengingkarinya, tapi pada kenyataannya, mereka tidak bisa terhindar dari solipsisme tanpa keabsurdan yang tak terbatas di bidang logika. Untuk lebih menjelaskan elemen dasar filsafat Machisme itu, kita ajukan beberapa sitiran tambahan dari karangan Mach. Inilah contoh dari “Analisa Perasaan”, “Catatan-catatan Anti Metafisis” Mach. Itu adalah plagiat mentah-mentah dari Berkeley. Tak ada satu pun renungan, tak ada satu pun percikan pikiran, kecuali bahwa “kita merasakan perasaan kita sendiri”. Dari situ hanya ada satu kesimpulan, yaitu – bahwa “dunia terdiri hanya dari perasaan-perasaan saya”.
Coba lihat, tidak ada kesukaran apa pun untuk membentuk setiap elemen fisik dari perasaan yaitu dari elemen-elemen psikis. Membentuk semacam itu sudah barang tentu tidak sukar, sebab itu adalah pembentukan kata-kata semata-mata, skolastika kosong yang mengabdi pada penyelundupan fideisme. Sesudah itu tak mengherankan bahwa Mach memperuntukkan karangannya bagi kaum immanenstis, bahwa Mach dipeluk oleh kaum immanentis, yaitu pengikut-pengikut filsafat idealis yang paling reaksioner. “Positivisme terbaru” Ernst Mach terlambat hanya kira-kira dua ratus tahun: Berkeley sudah cukup menunjukkan, bahwa tidak bisa “membentuk” dari perasaan yaitu dari elemen-elemen psikis” sesuatu apapun kecuali solipsisme.
Secara filosofis, Lenin memerangi murid-murid Machisme yang berkembangbiak di Rusia, seperti A. Bogdanov (nama aslinya A. A. Malinovsky) dan Lunacharsky yang semula terang-terangan menyokong G. V. Plekhanov, seorang pimpinan teoritis dari kaum oportunis Menshevik yang mengklaim sebagai pemimpin ideologis kelas buruh, sebelum kemudian ia melancarkan kritik terhadap Plekhanov. Kritik Machisme Rusia terhadap Plekhanov memberi kesan seolah-olah mereka mewakili filsafatnya kaum Bolshevik. Situasi ini segera disambut oleh Plekhanov dengan melancarkan propaganda teori bahwasannya sumber teori kaum Bolshevik bukanlah materialisme dialektika Marx dan Engels, tapi campuran antara Mach, Bogdanov dan Lunacharsky.
Tugas melancarkan pembelaan dan pengembangan atas filsafat Marxisme ini sungguh tidaklah mudah. Satu sisi harus membelejeti esensi dari revisi Machis-Bogdanovis atas pandangan Marx dan Engels – di mana Plekhanov juga ambil bagian dalam melakukan pembelejetan ini namun tidak detil dan menyeluruh dengan bahasa yang terselubung. Sisi lain adalah menunjukkan perjuangan teoritis secara jelas dan menyeluruh melawan Machisme Rusia yang tergelincir dalam idealisme, dan menjawab secara ilmiah atas masalah-masalah mendasar dalam perspektif filsafat Marxisme. Lenin telah mengemban tugas ini dengan sangat baik dalam karyanya Materialisme dan Empirio-kritisisme Catatan Kritis atas Filsafat Reaksioner. Perdebatan ini konon juga menyeret sastrawan terkenal Rusia Maxim Gorky yang berusaha keras untuk menyatukan Lenin dengan Bogdanov. Keduanya diundang oleh Maxim Gorky ke kota Capri, bermain catur dan melakukan perdebatan panjang; dan hasilnya keteguhan dan keilmiahan Lenin tak mau berdamai dengan pikiran-pikiran salah dalam filsafat idealisme Bogdanov, frase-frase idealis tentang empirio-monistik, empirio-simbolistik, dsb. Usaha Maxim Gorky sia-sia. Kemarahan Lenin tidak bisa dibendung lagi ketika mereka berambisi untuk menjadikan kota Capri sebagai pabrik literatur, yang berpretensi menjadi pusat kendali atau markas pemikiran dari seluruh peranan gerakan sosial demokrat Rusia; peranan dari filsafat dan seluruh teori yang akan dijalankan oleh seluruh petugas fraksi di Bolshevik.
Di bawah panji-panji Marxisme, Lenin telah mempertahankan keilmiahan Marx-Engels dari serangan dan pemalsuan filsafat reaksioner di zamannya. Machisme dan murid-muridnya di Rusia, berkoar-koar tentang filsafat yang itu-itu juga, barang rongsokan yang itu-itu juga yang dipersolek kembali dengan berbagai merek. Mengulang-ulang omong kosong yang keterlaluan dari profesor-profesor reaksioner tentang materialisme, -- dalam tahun 1907 mengingkari Engels, -- dalam tahun 1908 berusaha “mengolah Engels a la agnostisisme, -- itulah filsafat “positifisme terbaru” dari kaum Machis Rusia! Demikianlah empirio-kritisisme telah diperangi oleh Lenin dalam masa kemunculannya di Rusia.


 Pragmatisme

Charles Sanders Pierce (1839-1914)
William James (1842-1910)
John Dewey (1859-1952)
Sidney Hook (1902-1989)



Pada akhir abad ke-19 muncul aliran pragmatisme dari sebuah kelompok yang menamakan dirinya “Klub Metafisis”. Dari aspek nama yang mereka stempelkan sendiri atas diri mereka, pada dasarnya sudah menjelaskan orang-orang macam apa yang berhimpun dalam gerombolan metafisis ini. Mereka adalah sekelompok pemikir dari Harvard yang bertemu secara informal untuk mendiskusikan masalah-masalah filsafat di Cambridge dan Massachuset. Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang artinya “tindakan”. Pendirinya adalah Charles Sanders Pierce dan diteruskan oleh William James dan John Dewey. Mereka semua adalah filosof dari Amerika Serikat dan pragmatisme secara sosial merupakan suatu pandangan hidup yang khas Amerika Serikat – mereka yang tidak suka dengan corak filsafat Barat yang terlalu teoritis dan rumit. Pragmatisme hanya mau melihat hasil-hasil nyata dan praktis dari suatu tindakan. Segala hal yang tidak praktis dan tidak menguntungkan bukanlah suatu kebenaran.
Bila filsafat teoritis bertanya, “apakah kebenaran itu”, maka pertanyaan model filsafat pragmatisme adalah “Apa untungnya suatu kebenaran itu?”. Prinsip Pragmatisme oleh tokoh utamanya, Pierce, diuraikan sebagai: “Untuk mencapai kepastian tentang arti suatu konsep intelektual, harus diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya yang dapat timbul dari kebenaran konsep tersebut. Jumlah total konsekuensi ini merupakan seluruh arti konsep itu”. Sebuah uraian yang menurut Pierce juga dibenarkan dalam Injil dengan ringkas: “Jadi dari buahnya kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:20). Seperti sebatang pohon dikenal dari buahnya, demikian juga suatu konsep harus bisa dikenal dari hasil-hasilnya. Kebenaran merupakan sifat dari suatu keyakinan, bukan dari benda-benda.
Kaum pragmatis walaupun mengakui adanya dunia obyektif, namun menurut mereka dunia obyektif tak ada artinya sama sekali bila tidak dihubungkan dengan pengalaman praktis manusia. Dalam hubungan ini, menurut mereka, benar atau tidaknya suatu pengetahuan bukanlah diukur dari sesuai atau tidaknya kenyataan obyektif tersebut, melainkan dari menguntungkan atau tidaknya suatu tindakan tersebut. Kebenaran menjadi nyata ketika memang benar-benar menguntungkan. Suatu konsepsi subyektif atas tindakan yang berdasarkan pada gerak yang tak ilmiah karena dunia irasional dan tak dimengerti. Dengan demikian, pragmatism sejatinya berlaku subyektif sepenuhnya, karena melihat secara parsial suatu nilai kebenaran obyektif.
John Dewey, salah satu eksponen pragmatisme, menganjurkan sebuah gagasan “logika eksperimental” atau “instrumental”. Suatu pandangan yang secara esensial mencari dengan metode percobaan (trial and error) untuk suatu sikap tindakan yang paling menguntungkan dalam situasi tertentu. Dari sudut pandangan pragmatisme, pemikiran bukanlah permintaan pengetahuan, tapi kemampuan untuk mencari jalan keluar dari kesulitan menuju kesuksesan. Dengan demikian, pernyataan pragmatisme adalah konsep-konsep ilmiah, hukum dan teori bukanlah refleksi dari kenyataan obyektif, namun semata-mata “panduan tindakan”, suatu “alat” atau “instrumen” untuk suatu realisasi sampai pada akhirnya. Semua kenyataan dengan demikian secara sempurna bergantung pada subyek dan kehendak subyektifnya. Konsekuensi dari filsafat pragmatisme adalah didasarkan pada konsepsi yang dibiaskan oleh praktek. Ia membesar-besarkan keaktifan, karakter kehendak atas aktifitas manusia dan menjadikannya basis kenyataan tunggal.
Bertolakbelakang dengan pernyataan pragmatisme, bagaimanapun juga aktifitas manusia bukanlah menciptakan dunia eksternal ini. Ia hanya mengubah suatu kenyataan, yang eksis secara independen dari pikiran manusia. Untuk berhasil, kesadaran aktifitas manusia harus berdasarkan pada dunia obyektif dan hukum-hukum yang berlangsung di dalamnya. Tindakan tidaklah meniadakan pengetahuan, sebagaimana pernyataan pragmatisme, namun mensyaratkannya. Secara alamiah, kadang suatu tindakan bisa dicapai dengan sukses walau didasarkan pada ide-ide yang salah. Namun biasanya ia tak berlangsung lama, kesuksesan yang hanya sekejap sebagaimana yang pernah diraih oleh Hitler yang bersandarkan pada mitologi fasis yang lancung itu.
Filsafat pragmatisme adalah filsafat raja-raja bisnis besar atau borjuis besar, mewakili pandangan kaum imperialis yang dalam kurun waktu perkembangan kapitalisme berlaku sebagai penguasa dunia. Mereka mengabaikan kenyataan obyektif, memupuk avonturisme dan jalan pintas, kecenderungan agresif dalam pemikiran politik, yang memasok basis teoritis bagi tindakan agresi “dari posisi yang superior”. Dengan kegagalan dalam mengetahui hal yang subyektif dan obyektif, benar dan salah, pragmatisme selalu bertindak tanpa prinsip kecuali apa yang menguntungkannya, betatapun itu suatu tindakan kriminal. Filsafat ini yang menjadi dasar pembenaran atas tindakan agresi, memulai peperangan, bahkan mengirim bom atom seperti di Nagasaki dan Hiroshima adalah sah dan bisa dibenarkan selama tindakan tersebut memang menguntungkan mereka.
Dalam hal ini sejarah juga mencatat, bagaimana Presiden AS Eisenhower menyatakan, “Menurut pendapat saya, menggunakan bom atom atas dasar ini, apakah tindakan kita menguntungkan saya atau tidak, apabila saya mengadakan suatu peperangan. Apabila saya berpikir bahwa hasil bersih akan ada di pihak saya, saya akan menggunakannya segera.” Dan tidak salah bila Musollini juga belajar banyak dari William James tentang pragmatisme ini, dan menjadi “batu pertama bagi bangunan teori fasisme.” Secara konkret, orang-orang macam inilah yang menggunakan filsafat pragmatisme sebagai cara pandang atas dunia sebagai penuntun tindakan-tindakannya yang tak bermoral dan tak bermartabat itu.
Pada saat yang sama, dengan subordinasi teori dan praktek di bawah pertimbangan keuntungan langsung, pragmatisme lebih lanjut mengembangkan berbagai varian dari subyektifisme: pikiran sempit, tindakan oportunis dan avonturistik. Kita tidak mungkin menggunakan filsafat yang lancung ini dalam kepemimpinan teoritik perjuangan kelas buruh yang mulia dan revolusioner. Mereka secara serampangan juga akan menggunakan segala sinkretisme teoritik untuk melegitimasi tindakan-tindakan mereka. Sebab pragmatisme sungguh suatu filsafat yang sangat dekat dengan sinkretisme atau eklektisisme demi mengejar keuntungan-keuntungan dan kepuasan yang didapat. Menilai dan menyimpulkan jenis filsafat lancung ini, menjadi terang bagi kita bagaimana prinsip-prinsip pragmatisme menampilkan diri sebagai cara pandang untuk melayani kegarangan dan kerakusan raja-raja bisnis besar atau borjuis besar seperti di Amerika Serikat sebagai negeri imperialis dan pimpinan imperialisme No. 1. Pendek kata, inilah filsafat yang menjadi ilmu berpikirnya kelas maling besar di bumi manusia ini.
Murid utama aliran pragmatisme pada paruh akhir abad ke-20 adalah Sidney Hook. Pemikir dari Amerika ini menghasilkan bunga rampai pemikiran yang luas menyangkut masalah-masalah naturalisme, humanisme, demokrasi, kebebasan dan kritik atas agama. Filsafatnya sendiri lebih sering dikenal dengan naturalisme, suatu positivisme yang lebih menekankan empirisisme dan kritik atas pendekatan metafisika-teologis atas kajian ilmiah. Pragmatisme bagi Hook adalah teori dan praktek untuk memperluas kebebasan manusia dalam dunia yang sulit dan tragis melalui seni-seni kontrol sosial yang berakal sehat. Hook percaya bahwa hanya dengan pembudayaan atas keutamaan-keutamaan intelegensi yang humanis dan keberanian, serta perkembangan masyarakat menuju kebebasan dan demokrasi akan mencapai kehidupan yang lebih baik. Pandangan Hook lebih menunjukkan watak positivisme yang khas negeri imperialis Amerika, gagasan yang berisi sepenuhnya reformisme demokrasi borjuis dalam sistem kapitalisme. Ia sangat kritis terhadap seluruh pranata kapitalisme yang korup dan tidak demokratis, agar berjalan dan berfungsi dengan baik menurut peranannya masing-masing: pemerintahan, parlemen, peradilan, pers bebas, masyarakat sipil, dsb. Kedudukan kelas dan pandangannya lebih dekat dengan aspirasi kaum sosial-demokrat yang sedang gencar mempromosikan negara kesejahteraan (welfare-state) sebagai model. Suatu kedudukan dan pandangan yang secara langsung berhadap-hadapan dengan Marxisme-Leninisme yang ditentangnya dengan sengit. Ia menjadi juru bicara dari ajaran tentang kebebasan individu, penganjur demokrasi model Amerika serikat yang dikatakannya sebagai bentengnya masyarakat bebas dan dilawankannya dengan fasisme dan komunisme model Uni soviet. Sehingga tidak heran bila pada tahun 1985 Hook mendapat penghargaan Medali Kebebasan dari Gedung Putih, jantung kekuasaan imperialisme Amerika Serikat.
Posisi ideologis Hook dinyatakan sebagai humanisme demokrat, suatu pandangan seperti yang tertuang dalam kutipan langsung di bawah ini:

“Sejauh peradaban memiliki masa depan, maka peradaban bergantung pada pertumbuhan cita-cita humanisme demokrasi universal yang mencakup apa yang secara moral terbaik dalam agama, diperkuat oleh keyakinan yang tidak berasal dari dogma supernatural tetapi dari instrumen pencerahan, intelegensi ilmiah.”

Terlepas dirinya menunjukkan sikap yang tidak percaya pada Tuhan dan lembaga agama, namun oleh sikap yang mewakili pandangan borjuis demokratis tetap mengizinkan adanya eklektisisme dalam filsafatnya. Yakni pencampuran atas unsur-unsur moral yang terbaik dalam agama maupun intelegensi ilmiah.
Sebagai filsafat yang muncul dari kelas borjuis besar dan menengah di negeri imperialis, dalam perkembangannya sekarang, filsafat pragmatisme ini telah berkembang juga di kalangan borjuis kecil baik di negara imperialis maupun negeri-negeri dunia ketiga. Mereka, orang-orang dengan syarat-syarat ekonomi yang menyedihkan sebagai kelas borjuis kecil, namun ingin cepat kaya dengan jalan pintas; melakukan penjilatan, suap, korupsi, pengkhianatan dan tindakan-tindakan pragmatis lainnya untuk kepentingan diri sendiri. Tindakan-tindakan yang oportunistik menjadi ciri mereka yang menonjol, baik di lapangan ekonomi maupun politik. Pandangan filsafat pragmatisme sangat bertentangan dengan pandangan kelas proletar dan rakyat Indonesia yang suka bekerja keras dan pantang menyerah; apa yang setidaknya diwakili oleh pepatah dalam pantun Melayu yang baik di bawah ini:

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian


 Eksistensialisme

Soren Kiekegaard (1813-1855)
Karl Jasper (1883-1969)
Martin Heidegger (1889-1976)
Jean Paul Sartre (1905-1980)



Eksistensialisme muncul pertama pada abad ke-19 di Eropa. Pandangan filsafat ini lahir dari situasi-situasi krisis tertentu, baik krisis secara individual maupun krisis besar di zamannya. Ada berbagai model eksistensialisme yang mencerminkan situasi-situasi khusus para filosofnya. Salah satu bapaknya adalah Soren Kierkegaard, seorang yang selama hidupnya tak lepas dirundung malang. Banyak paradoks hidup yang menimpa Kierkigaard; mengalami keterasingan karena kematian bapak, ibu dan saudara kandungnya, diputus asmara dari tunangannya, dan merasa menjadi orang paling sendirian di zamannya. Soren Kierkegaard juga memandang bahwa Hegel adalah seorang pemikir raksasa dengan konsepsi yang menyeluruh dan abstrak, namun yang dilupakan Hegel adalah eksistensi manusia individual yang konkret. Menurut Kierkegaard, manusia tak bisa dimaknai “pada umumnya” atau “menurut hakekatnya”. Karena “manusia pada umunya” sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah manusia-manusia konkret yang semua berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Bereksistensi berarti merealisasi diri, mengikat diri dengan bebas, mempraktekkan keyakinannya dan mengisi kebebasannya.
Selain Kierkegaard juga terdapat Heidegger dan Jaspers yang merupakan barisan filosof Jerman. Khusus Heidegger, ia adalah pendiri eksistensialisme Jerman. Ia menguasai Plato, Aristoteles, Gnostik awal, dan secara khusus dipengaruhi Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzche, Wilhelm Dilthey, dan gurunya Edmund Husserl. Karya paling penting dari Heidegger adalah Time and Being (1927), buku yang memberi pengaruh besar bagi lahirnya para filosof eksistensialisme berikutnya seperti Jean Paul Sartre. Ia menggunakan metode fenomenologis untuk menyelidiki struktur-struktur adanya manusia. Struktur-struktur inilah yang oleh dia disebut sebagai eksistensial-eksistensial. Pada bulan November 1933, ketika Hitler berkuasa di Jerman, segera terjadi penindasan terhadap seluruh ilmuan Yahudi, termasuk melarang teori relativitas Einstein! Pada saat itulah, Heidegger dipercaya oleh rezim Fasis Jerman pimpinan Hitler menjadi rektor Universitas Freinburg. Dengan posisi ini ia sepenuhnya menjadi penyokong Fasisme Jerman dan mengabdikan filsafatnya untuk sosialisme nasional (Fasisme), dengan pandangan-pandangan rasisme dalam hal anti-Semitnya. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Rektor, ia berkata “Hitler (the Fuhrer) dan hanya dirinya adalah kenyataan Jerman hari ini dan masa depan, dan hukum-hukumnya.” Ia mundur dari jabatan rektor pada tahun 1934 dan ikut mengutuk Nazi ketika perang anti-fasis telah selesai dan kemenangan berpihak pada tentara merah. Ketika Nazi tumbang, nasibnya pun berkebalikan. Ia dilarang mengajar selama 1946-1949 dan harus menjalani proses denazifikasi.
Tokoh penting eksistensialisme lainnya adalah orang Perancis bernama Jean Paul Sartre. Konteks sejarah di mana ia hidup, adalah dunia yang tragis, terkoyak oleh dua Perang besar, yakni invasi tentara Jerman ke kota Paris (1940) dan kekezaman Nazi atas nama ras. Pokok pandangan eksistensialisme-nya adalah apa yang tertuang di dalam tulisannya berjudul L’Existensialisme est un Humanisme (Eksistensialisme adalah suatu Humanisme) menyatakan, humanisme yang digagas Sartre adalah koreksi atas filsafat Descartes yang mengatakan “aku berpikir maka aku ada” menjadi “aku ada maka aku berpikir”, bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan otonom. Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika manusia masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Manusia seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan dan kemanusiaan, dan untuk itu Tuhan harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya.
Karena manusia adalah makhluk yang bebas dan otonom dalam menentukan nasib sendiri, maka manusia memiliki kemampuan melampaui dirinya sendiri untuk meraih obyek-obyek dalam hubungannya dengan eksistensinya. Manusia menjadi pusat dari transendensinya dan relasi antara transendensi manusia dengan subyektifitas dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri melainkan selalu hadir dalam semesta manusia; itulah yang disebut Sartre dengan humanisme eksistensial. Pandangan ini disebut humanisme karena meletakkan manusia sebagai faktor determinan bagi dirinya sendiri. Dengan memahami dan mencari, manusia menggapai tujuan kemerdekaannya sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Apa yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali untuk memahami bahwa tidak ada satu pun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu suatu tindakan aktif, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke dalam pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa. Eksistensialisme adalah sebuah ajaran untuk bertindak secara konkret dan orisinal dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia kehidupan umat manusia.
Dalam periode tahun 1960-an, Sartre mengatakan bahwa eksistensialisme merupakan suatu “daerah kantung” di dalam teori Marxisme. Walaupun selama hidupnya belum pernah menjadi anggota Partai Komunis, namun Sartre menunjukkan keyakinannya secara lebih terang dalam “iman Marxis” dibanding seniornya Merleau-Ponty yang bimbang dan seorang penunggu yang pasif. Menurut Sartre, Marxisme adalah satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Ia adalah filsafat bagi zaman kita karena Karl Marx adalah satu-satunya pemikir yang paling berhasil dalam merumuskan makna yang sebenarnya dari kehidupan dan sejarah. Secara khusus Sartre juga mendefinisikan paham eksistensialisme-nya sebagai “eksistensialisme kiri” yang dikonfrontasikan dengan “eksistensialisme kanan” yang dibawakan oleh juru bicaranya, Soren Kierkegaard. Menurut Sartre, Kierkegaard sebenarnya bukanlah seorang filosof namun seorang Kristen yang membela agamanya dari idealisme Hegel. Ia menolak tinjauan ontologis agama Kristen berasal dari sistem ide absolut Hegel, walaupun sebenarnya ia hanya mengganti ide absolut yang abstrak dengan subyek yang abstrak pula. Dalam Abad ke-20 eksistensialisme Kierkegaard diteruskan oleh Karl Jaspers. Menurut Sartre, filsafat eksistensialisme kanan abad ke-20 tak lebih dari sikap menipu diri yang buruk (malafide) dari golongan borjuis yang merenungi kegagalan filsafat tragis mereka.
Lantas apa yang dimaksud eksistensialisme Sartre, atau “eksistensialisme kiri” itu sendiri? Kemunculan eksistensialisme tidak bisa lepas dari kelemahan sebagian dari Marxisme yang telah menjadi konsepsi abstrak yang kehilangan kontrak dengan realitas konkret, suatu “eksistensi”. Seandainya Marxisme sungguh-sungguh berakar di dalam kenyataan konkret, maka tak akan muncul apa itu yang dinamakan eksistensialisme. Menurut Sartre, Marxisme telah menjadi suatu Marxisme yang malas, dogmatisme, formalisme, apriorisme, dan obyektifisme. Suatu teori yang tidak tumbuh dengan cara dipupuk oleh praktek dalam kenyataan manusiawi yang konkret. Eksistensialisme kiri yang dimaksudkan oleh Sartre adalah suatu kritik atas kecenderungan praktek Marxisme yang semakin merosot. Kritik ini, menurut Sartre, bukanlah kritik dari sudut pandang pihak luar (outsider), namun suatu kritik dari dalam oleh eksistensialisme untuk menghantarkan pada kebenaran kembali Marxisme. Dan bilamana tujuan Marxisme sudah tercapai, maka eksistensialisme akan berhenti sebagai filsafat yang otonom, karena telah melebur dengan sendirinya di dalam Marxisme.
Dari pandangan-pandangan di atas, kelemahan eksistensialisme Sartre menderita dua keterbatasan pokok. Pertama, konsepsi manusia otonom dan kehendak bebasnya yang tidak berkonteks dalam keadaan-keadaan sosial yang nyata. Bahwa untuk melaksanakan kehendak bebasnya keadaan manusia tidaklah netral dan merdeka. Ia terikat dalam batasan-batasan keadaan kelas sosialnya. Dalam masyarakat kapitalis, di mana mayoritas kelas buruh sebagai eksistensi-eksistensi manusia yang terbelenggu dalam rantai penghisapan kelas, mengalami kemiskinan struktural; bagaimana ia hendak merealisasikan kehendak otonom dan bebasnya? Suatu posisi eksis yang tentu berbeda dengan seorang kapitalis atau seorang borjuis kecil semacam Sartre. Eksistensialisme Sartre di sini, di hadapan keadaan-keadaan sosial manusia tampak tidak memiliki daya kekuatan di tengah situasi ketimpangan struktural masyarakat. Untuk itulah, eksistensialisme harus hijrah terlebih dahulu dari kepompong sempit individualisme ke Marxisme untuk menemukan kekuatan humanismenya yang ilmiah dan sejati. Kedua, senantiasa bertolak dari pandangan borjuis kecil yang liberal, Sartre tidak pernah mau bergabung dengan organisasi kelas buruh untuk melaksanakan kesatuan pandangan, garis politik dan daya rombak dalam praktek berorganisasi untuk mewujudkan cita-cita Marxisme. Dengan menyatakan kesepakatannya terhadap Marxisme, simpati yang besar terhadap gerakan kelas buruh dan sosialisme, namun tetap berdiri sebagai individu yang bebas dan otonom (baca: liberal!) hanya akan memperjelas kedudukan kelasnya sebagai borjuis kecil yang terpisah dari faktor internal perjuangan kelas buruh itu sendiri. Ia menderita inkonsistensi teori dan praktek, kesepakatan pikiran dan tidak dalam tindakan. Sartre dan “eksistensialisme kiri”-nya pada hakekatnya adalah ideologi di luar Marxisme; suatu ide yang tak pernah muncul dari kelas proletariat, namun ide yang muncul dari kelas borjuis kecil. Adalah suatu hal yang naif bila hanya merasa satu dalam pandangan Marxisme sebagai ideologi, namun memisahkan diri dalam garis politik dan organisasi sebagai faktor kesatuan yang utuh. Memisahkan marxisme dari kesatuan ideologi, politik dan organisasi adalah kedangkalan dan berat sebelah yang khas borjuis kecil. Terlepas Sartre merupakan tokoh eksistensialisme yang paling progresif dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain, namun kita tetap tidak bisa menyembunyikan sejumlah kritik atas kelemahan pokok yang dideritanya. Satu-satunya pesan positif yang menuntut tanggapan positif bagi kaum Marxis adalah, sartre mengkritik kecenderungan dogmatisme dalam memahami dan mengamalkan ajaran Marxisme.
Demikianlah penjabaran tentang filsafat eksistensialisme. Secara umum filsafat ini merupakan suatu pandangan yang bertolak dari rasa takut, kemalangan, dan mengabarkan penderitaan umat manusia dari sudut pandangan individu. Demikianlah adanya, bagaimana aliran eksistensialisme mendemonstrasikan kekosongan spiritualitas dan degradasi moral yang berakar di dalam diri kelas borjuis kecil individual yang gagal menemukan jawaban fundamental atas penderitaan dan rasa perihnya. Filsafat ini sebagai cermin ketakutan kelas borjuis kecil di masa-masa perang yang mencekam atau situasi penderitaan pribadi yang tragis. Jawaban atas kelemahan dan kerapuhan filsafat ini, hanya didapat dengan belajar dan memegang teguh Marxisme-Leninisme dan melaksanakannya dengan konsekuen dalam praktek. Tidak ada jalan penyelamatan lain.


• Neo-Positivisme

Moritz Schlick (1882-1936)
Hans Hahn (1879-1934)
Otto Neurath (1882-1950)
Rudolf Carnap (1891-1970)
Alfred Jules Ayer (1910 - )


Neo-positifisme dalam pengertian tahap perkembangan teoritiknya, adalah positivisme generasi ketiga hingga dewasa ini. Sering juga mereka disebut positivisme logis atau empirisisme logis, namun lebih jamak disebut dengan neo-positivisme. Dalam periode tahun 1922-1936, di kota Wina berkembang aliran neo-positivisme dengan apa mereka menamakan diri sebagai “Lingkaran Wina” (Wiener Kreis). Secara komunitas mereka juga lazim menggunakan sebutan “Perhimpunan Ernest Mach”, mengambil nama seorang tokoh bernama Ernest Mach sebagai bapak spiritualis positivisme yang mereka anut. Mereka adalah sekelompok ilmuwan Austria yang melarikan diri ketika pasukan Hitler menduduki Austria. Moritz Schlick menjadi tokoh utama pemikiran mereka, yang kemudian dibunuh oleh seorang mahasiswa simpatisan Nazi di Universitas Vienna pada tahun 1936. Mereka adalah para pembela positifisme yang paling gigih di Abad ke-20 dan menjajakan pemikiran positifisme logis di banyak kalangan, khususnya kampus-kampus dan mimbar-mimbar akademis. Mereka juga aktif dalam mengorganisir serangkaian kongres tentang epistemologi dan filsafat sains sebagai sarana propaganda filsafatnya. Kelompok filosof dan ilmuwan ini, meletakkan satu tesis sentral untuk memisahkan secara tegas antara penyataan-pernyataan kebenaran ilmiah dan non-ilmiah. Secara konsisten mereka meneruskan tradisi perlawanan positifistik melawan rumusan-rumusan ‘kebenaran’ yang dilahirkan dari ajaran teologi dan metafisika. Mereka juga mengembangkan kajian seperti masalah-masalah bahasa, logika simbolik, dan soal-soal epistemologi seperti logika formal dan matematika. Secara nyata dan terbatas mereka memang memperkaya berbagai kajian soal-soal ilmu pengetahuan dan filsafat.
Pada tahun 1919 mereka menerbitkan semacam manifesto teoritiknya, suatu karangan kecil yang disusun oleh tiga serangkai Hahn-Neurath-Carnap berjudul Wissenschaftliche Weltauffasung: der Wiener Kreis (Pandangan Dunia ilmiah: Lingkaran Wina). Otto Neurath sendiri adalah seorang intelektual yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Marxisme. Di dalam Lingkaran Wina itu sendiri ia mengecam anggota Lingkaran Wina yang acuh tak acuh terhadap persoalan sosial, dengan memisahkan penelitian ilmiah dengan sikap dan tindakan politik praktis. Ia berpendapat bahwa sikap seperti itu, melumpuhkan pengaruh kritis yang harus dijalankan oleh ilmu pengetahuan demi kemajuan sosial. Dalam banyak pandangan, Neurath berbeda pendapat dengan Schlick yang mewakili pendirian kanan dalam kelompok intelektual tersebut.
Mereka membatasi bidang filsafat hanya pada pernyataan-pernyataan yang dapat “diverifikasi” melalui data-data yang dapat diobservasi secara langsung secara indrawi (empiris). Yakni, pernyataan-pernyataan yang dapat diverifikasi adalah yang bersifat “kognitif-deskriptif”. Segala pertanyaan yang tidak dapat memecahkan pertanyaan teoritis seperti “Bagaimana Anda tahu?” dan “Apakah maksud Anda?”, ditolak sebagai kebenaran ilmu dan tidak ada maknanya. Di “Lingkaran Wina” mereka tidak memberi tempat pada metafisika dan etika normatif sebagai kajian ilmiah. Segala yang bertolak dari dogma agama adalah kebenaran yang tak punya makna dan tiada guna.
Mari kita menyimak dari salah satu juru bicara mereka (meskipun dari luar Lingkaran Wina), Jules Ayer, tentang apa yang ia maksud dengan prinsip verifikasi sebagai dasar epistemologi positifisme logis. Secara konkrit mereka membedah isi dari suatu pernyataan (statement). “Hari ini cuaca lebih bagus daripada di luar?” atau “Dunia diciptakan oleh Tuhan” Ucapan ini tidak bermakna karena sama sekali tidak diketahui kepada apa ditunjukkannya. Tidak ada observasi apa pun yang membuat ucapan itu benar dan bermakna. Sesuatu yang menuntun pada kekeliruan (falsification). Menurut Ayer, pernyataan yang benar dan bermakna adalah pernyataan observasional (observation-statement), suatu pernyataan yang bisa diverifikasi dengan realitas inderawi. Contoh pernyataan yang benar adalah, “Keranjang itu berisi 30 buah mangga” atau “Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945” kedua pernyataan tersebut positif dan logis karena bisa diverifikasi oleh kenyataan indrawi yang empiris (faktual) maupun yang prinsipil. Dengan demikian, pengalaman sebagai laporan otentik atas suatu kejadian atau kenyataan obyektif.
Dalam perspektif materialisme dialektika, neo-positifisme tidak berbeda secara esensial dengan positifisme sebagai pandangan dari orang-orang yang kita golongkan idealisme subyektif. Mereka hanya mengembangkan positifisme lebih lanjut dengan segala kembang-kembangnya. Terlepas mereka memiliki pikiran maju yang anti-dogma dan menawarkan kritisisme terhadap negara reaksioner, namun mereka mengakui suatu ‘kebenaran’ hanya sebatas apa yang mampu mereka singkap secara rasional dan empiris semata-mata. Suatu ‘kebenaran’ yang seringkali terperosok ke dalam keterbatasan dengan sifat-sifat yang berat sebelah (spasial) maupun relatif (temporer). Peralatan berpikir baik kaum positifis maupun kembangannya dalam neo-positifis tidak pernah mampu mencapai ketinggian dan kedalaman dalam usaha merumuskan dunia obyektif ini seutuhnya. Mereka selalu pincang baik dalam merumuskan teori apalagi penerapannya dalam kancah praktek sosial gerakan rakyat. Pemikiran terbaik yang mereka hasilkan hanya sebatas apa yang rasional dan empiris di dalam sistem kapitalisme dewasa ini; teori-teori kritik sebagai otak-atik pemikiran di dalam sistem kapitalisme itu sendiri, sambitan-sambitan kecil atas sistem kini dan tak pernah mampu keluar dari pagar teoritik yang disediakan oleh sistem busuk tersebut.
Filsafat macam ini, yang sekarang banyak digandrungi oleh kalangan intelektual muda lulusan universitas-universitas terbaik di Amerika Serikat dan Eropa ini, celakanya adalah salah satu bentuk cara berpikir yang reaksioner dan tak punya masa depan. Masa peredaran aliran filsafat ini paling banter hanya akan berlaku di bawah sistem kapitalisme tua ini; sebagai sandaran pokok dari apa yang mereka definisikan dengan empirisme yang rasional itu. Kata lain dari filsafat ini adalah upaya-upaya reformasi yang terus-menerus mereka tawarkan untuk memperbaiki kepincangan sistem dunia ini. Suatu horizon yang lagi-lagi hanya sebatas kaki-langit kapitalisme, visi teoritis yang digunakan hanya untuk menyempurnakan sistem tua ini dan jauh dari memadai untuk menghancurkan sistem zaman ini. Dengan kata lain, teori ini bukanlah teori anak yang akan menghantarkan pada terciptanya zaman baru.
Dalam kedudukan inilah ia menjadi sangat rapuh dan lembek di hadapan senjata kanon filsafat materialisme dialektika (Marxisme); filsafat yang jauh lebih revolusioner dan visioner dalam merumuskan dunia dan memimpin arah perkembangan sejarah dunia ini. Dengan hanya mengakui ‘kebenaran’ sebagai yang rasional dan empiris, mereka tidak menganggap adanya suatu kebenaran obyektif sebagai hal-ihwal dunia obyektif yang terus bergerak dan berkembang di luar yang mereka temukan dan rumuskan dalam karya-karya akademis; tesis, disertasi, atau hasil penelitian-penelitian induktif mereka. Kebenaran-kebenaran yang mereka rumuskan hanya dirayakan dan diteguhkan oleh lingkaran kecil dari kaum intelektual liberal dan dunia akademis. Watak filistin dari kelasnya telah membatasi diri mereka sendiri dari persatuan dengan perjuangan rakyat yang besar dan luas. Teori yang gagal membumi secara sosial sehingga gagal pula menampilkan diri sebagai aspirasi sosial. Inilah akar dari kelemahan pandangan filsafat mereka, suatu bentuk pandangan idealisme subyektif (positivisme) sejak nenek-moyang mereka: Comte, David Hume, John Stuart Mill, Ernest Mach dan generasi penerusnya.
Dalam bahasa aforisme, saya melukiskan kedudukan teoritik positivisme dan generasinya di hadapan materialisme dialektika dalam bentuk puisi seperti bait-bait di bawah ini:

Es Cream Positivisme
(Untuk generasi positivisme dan anak -cucunya)


Aha, di atas dasar apa engkau berdiri, teman?
Apa yang kalian rumuskan atas dunia?
Apa pula yang kalian tawarkan pada rakyat dunia?

Sejak kalian peras saripati Descartes-Bacon menjadi Comte
Sejak kalian himpun rasio dan indra menjadi satu kitab sekaligus
Kalian selalu berjalan terhuyung-huyung ke kiri dan ke kanan
Kadang terpincang-pincang di kaki indrawi yang empiris
Kadang tersaruk-saruk di kaki rasio yang kognitif
Kalian tak pernah mampu menjaga keseimbangan yang kokoh
Kalian tak pernah mampu berjalan tegap lurus ke depan
Kalian tak pernah mampu menatap kaki langit masa depan

Aha, di atas segala kepincangan itukah kalian rumuskan dunia?
Kau bilang teolog sebagai bocah ingusan
Kau namakan metafisika sebagai keisengan remaja
Dan kalian puji diri sebagai kematangan orang dewasa.
Ya, orang dewasa yang pincang perspektif
Ya, orang dewasa yang cacat metodis
Sama saja kalian dengan bocah ingusan itu
Bila teolog menciptakan asap kemenyan dan menghirupnya
Kalian menciptakan es cream dan menjilatinya
Es cream faktual sensasi rasa warna aroma
Es cream sebuntel konsepsi-konsepsi
Es cream verifikasi dan tautologi
Es cream positivisme, atomisme logis, rasionalisme logis
empirisisme logis, neopositivisme

Es cream dan segala cita-rasanya, itukah yang kau rumuskan atas dunia?
Itukah yang kau tawarkan pada rakyat dunia?
Es cream kalian adalah adonan idealisme subyektif
Epistemologi dari sekawanan bocah ingusan di kampus-kampus kuno
Es cream yang hanya cukup untuk kesenangan bocah ingusan
Rakyat dunia tak akan kenyang dengan es cream ciptaan kalian
Rakyat dunia sudah bosan kelaparan panjang dan hiburan murahan
Rakyat dunia butuh nasi, kentang, sayuran dan buah-buahan segar
Rakyat dunia butuh darah-daging yang sehat penuh gizi bagi pertumbuhan
Rakyat dunia butuh mengolah seluruh isi bumi ini untuk kesejahteraan bersama
Rakyat dunia butuh melihat kaki langit dunia baru dan kehidupan baru
Rakyat dunia pasti mampu mewujudkannya dengan jalan pikiran dan tangannya sendiri
Untuk itulah rakyat dunia memeluk materialisme dialektika dan mengamalkannya
Untuk itulah rakyat dunia mencampakkan es cream positivisme kalian
sebagai hiburan murahan yang tak mampu lagi menjawab keadaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar