Selasa, 22 November 2011

KAJIAN KEDUA MATERIALSIME DIALEKTIKA

K A J I A N K E D U A





BAB VI
Materialisme Dialektika





A. SEJARAH PERKEMBANGAN DIALEKTIKA SEBAGAI METODE BERPIKIR


• Dialektika Kuno pada masa Plato dan Aristoteles

Dialectique atau dialectica, adalah khasanah bahasa yang tumbuh dari taman filsafat Yunani Kuno yang demokratis. Suatu masa di mana orang-orang bebas menyatakan pendapat (dialogue) di tempat publik atau melakukan perdebatan secara terbuka. Pengertian dialektika adalah metode mencari kebenaran dengan jalan pertentangan atau perdebatan. Bahwasannya suatu kebenaran tidak bisa dicapai dengan jalan mendirikan satu argumen atau pendapat tanpa dipertentangkan dengan pendapat yang lain. Dengan kata lain, suatu kebenaran hanya bisa ditegakkan dan dirumuskan setelah menjalani proses dialektika berupa kesalinghubungan dan perdebatan dari berbagai argumentasi. Dalam pengertian ini, Plato menyatakan, tugas ahli filsafat adalah melaksanakan dialektika. Yakni, mencari dasar-dasar ilmu pengetahuan dengan jalan membeda-bedakan suatu kategori (induksi), kemudian menggolongkannya suatu ide ke dalam jenis satuan tertentu (deduksi). Antara “ya” dan “tidak”, antara yang ganjil dengan yang genap, antara yang kecil dengan yang besar, dsb, sebagai struktur-struktur yang menentukan sifatnya. Kedudukan ini penting untuk menerangkan suatu fenomena agar konsisten dan menyingkirkan segala hal yang mengacaukan karena mengandung pertentangan di dalam suatu penalaran. Dasar-dasar metode berpikir ini pada awalnya menjadi ilmu logika; istilah yang juga berasal dari kata logikos dalam bahasa Yunani. Arti logikos adalah suatu pengetahuan yang rasional, yang dapat dimengerti oleh akal pikiran karena rumusannya yang teratur, menjalankan proses penalaran yang konsistensi dan sistematis agar mampu menarik kesimpulan yang tepat. Logika itu sendiri pada perkembangannya adalah metode dialektika yang lemah yang banyak disumbangkan oleh ilmu pasti. Sebagai suatu gambaran praktis dari ilmu logika adalah apa yang tampak dalam silogisme Plato yang lemah, seperti yang tertuang di dalam rumusan di bawah ini:

Dunia ide-ide adalah universal
Keadilan selalu mengandung ide-ide
Keadilan mengandung ide-ide universal

Kelemahan filsafat Plato tidak bisa lepas dari watak kelasnya sebagai ideolog yang membela sistem perbudakan di masa hidupnya. Sebagai seorang filosof idealis yang tulen, ia menentang eksperimentasi fisika dan penyelidikan ilmiah lebih jauh. Ia berpegang teguh pada kebenaran yang ditemukan melalui logika dan kontemplasi pasif yang terus menerus disempurnakan; dan ilmu yang diperbolehkan dipelajari oleh murid-muridnya hanya sebatas ilmu geometri dan matematika untuk menopang filsafatnya yang lemah dan reaksioner tersebut.
Aristoteles (384-322 SM), sebagai ahli filsafat yang sering dikatakan sebagai Hegel-nya filsafat Yunani Kuno, mengembangkan lebih maju logika yang telah diletakkan dasar-dasarnya sejak Pytagoras hingga Plato. Ia memperkaya hampir semua cabang filsafat dan memberi sumbangsih tak terperikan besarnya terhadap ilmu pengetahuan. Dia memiliki bakat mengatur cara berfikir, merumuskan kaidah-kaidah dan jenis-jenisnya yang kemudian menjadi dasar berpikir di banyak bidang ilmu pengetahuan. Aristoteles tak pernah terjerembab ke dalam rawa-rawa mistik yang parah sebagaimana menimpa pendahulunya, Plato. Aristoteles senantiasa bersiteguh dalam mengutarakan pendapat-pendapat yang akurat dan praktis, terlepas berbagai kelemahan yang dideritanya.
Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang hari sungguh mendalam. Di zaman pertengahan, karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di antaranya Latin, Arab, Italia, Perancis, Ibrani, Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang muncul kemudian, begitu pula filosof-filosof Byzantium mempelajari karyanya dan menaruh kekaguman yang sangat. Perlu juga dicatat, buah pikiran Aristoteles banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan selama berabad-abad lamanya tulisan-tulisan Aristoteles mendominasi cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes), filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan suatu perpaduan antara teologi Islam dengan rasionalismenya Aristoteles. Summa Theologia karya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas, juga tak lebih sebagai penafsiran atas filsafat Aristoteles secara Katolik. Hal paling penting yang dilakukan Aristoteles adalah pendekatan rasional yang senantiasa melandasi karyanya. Metode deduktif mendapat sumbangan besar dengan metode pembuktian logis bernama silogisme umum sebagai media yang menghubungkan antara hal-hal yang khusus dengan yang umum. Silogisme yang membetulkan silogisme Plato yang lemah. Misalnya:

Semua manusia akan mati  (premis mayor – keumuman)
Sokrates adalah manusia  (premis minor – kekhususan)
Sokrates pasti mati  (kesimpulan)

Masalah-masalah kategori dalam dialektika mulai dikembangkan secara lebih luas oleh Aristoteles. Di antaranya adalah soal-soal dialektika seperti substansi, materi dan gerak, hubungan antara ruang dan waktu, perubahan kuantitas menuju kualitas, isi dan bentuk, dsb, sebagai kesalinghubungan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.


• Dialektika Modern pada masa Immanuel Kant dan Hegel

Dalam perkembangan filsafat hingga memasuki zaman modern, metode dialektika telah memperoleh makna yang lebih luas dan kaya khususnya oleh filsafat Jerman Klasik atau idealisme Jerman. Aliran filsafat ini diawali oleh Immanuel Kant (1724-1804). Pandangan filsafat Jerman Klasik sendiri mewakili semangat kritik atas aliran rasionalisme yang mengandung banyak kelemahan. Pandangan dialektika Kant juga sering dikenal dengan filsafat kritis, atau pandangan yang mengatasi kelemahan metode metafisika tradisional menjadi metafisika sains; atau memajukan pandangan yang rasional dogmatis menjadi rasional kritis. Immanuel Kant sendiri sering dikenal sebagai kritikus terpenting bagi filsafat Aristoteles. Pengetahuan inderawi merupakan sistesis seluruh hal-ihwal dan sumbangan dari kategori-kategori. Sinyal panca indera diterjemahkan dalam ruang dan waktu yang meliputi:

Kuantitas  kesatuan- kebanyakan - keseluruhan.
Kualitas  realitas - negasi - limitasi.
Relasi  substansi - eksiden, sebab dan akibat, interaksi.
Modalitas  mungkin - tidak mungkin, ada - tidak ada, keharusan - kebetulan.


Pembagian Immanuel Kant atas Kritik atas Akal Murni





Kelemahan Immanuel Kant, sekaligus watak reaksioner dari kaum idealisme, adalah dasar dari pengetahuan yang bersandarkan pada pengalaman adalah sebuah “X” yang tidak dapat dikenal oleh manusia; atau yang sering disebut dengan “das Ding an sich” atau benda di dalam benda itu sendiri yang tidak dapat dikenal oleh manusia, ata sesuatu yang kembali berpulang ke yang illahiah. Dalam suatu ulasan tentang dialektika akal budi murni secara umum, ada baiknya kita tuliskan petikan secara langsung pendapat Kant tentang masalah ini:

“Dalam penerapan praktis dan spekulatif, akal budi selalu memiliki dialektika, karena ia menghendaki adanya totalitas syarat mutlak bagi sesuatu tertentu yang dikondisikan, dan ini dicapai dalam hal-hal di dalam diri mereka sendiri. Namun, karena semua konsep tentang berbagai hal harus disesuaikan dengan intuisi, yang bagi kita sebagai manusia, tidak ada lain kecuali hal-hal inderawi, dan yang membiarkan obyek diketahui bukan sebagai sesuatu di dalam dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai penampakan.”

Sangat jelas pendapat Kant di atas, bahwa manusia dengan kemampuan inderawinya hanya sanggup mengetahui apa yang ada sebatas penampakan, dan bukan sesuatu di dalam benda itu sendiri (das Ding an sich). Satu sisi ia mengakui metode dialektika sebagai totalitas kenyataan, namun satu kakinya terpancang dalam pandangan idealisme yang reaksioner. Ia terkunci di dalamnya. Lanjutan kutipan di bawah ini sebagai bukti kemalangan filsafatnya:

“Kunci ini, begitu ditemukan, mengungkapkan bahwa yang tidak kita cari namun kita butuhkan, yaitu suatu pandangan terhadap tatanan kokoh yang lebih tinggi atas berbagai hal yang menjadi sandaran kita, dan yang digunakan untuk melanjutkan eksistensi kita dalam kaitannya dengan tatanan ilahiah tertinggi bagi akal budi tempat kita diarahkan, setelah penemuan ini, oleh prinsip yang pasti.”

Inilah yang kita sebut sebagai agnostisisme itu; materialisme yang “malu-malu”; pemikir-pemikir perbatasan yang mentah; seorang profesor desertir yang kurang militan sehingga harus menuntut arahan dari tatanan ilahiah tertinggi bagi akal budinya. Apa yang tidak perlu dicari namun dibutuhkan, demikian kata Kant. Kebutuhan yang tidak perlu dicari namun ada dengan sendirinya, sebagai tatanan kokoh yang lebih tinggi. Dan telah ia tetapkan sebagai prinsip yang pasti atas filsafatnya yang terkunci dalam teologi. Di sinilah makna dari pernyataan bahwa seluruh filsafat idealisme pada hakekatnya adalah lolongan teologi.
Puncak idealisme Jerman sekaligus menandai akhirnya adalah pada masa Hegel. Dialektika Hegel memandang bahwa di dalam kenyataan selalu mengandung gejala kesalinghubungan, pertentangan yang menjadi sendi dari seluruh gerak perkembangan. Tidak ada satu materi yang berdiri sendiri, terpisah dan terasing dari yang lainnya. Dengan tinjauan lain, dialektika berarti suatu hal-ihwal akan berlaku benar apabila dilihat dari keseluruhan hubungan yang bersifat hubungan pertentangan. Dan seluruh perkembangan yang logis ini berjalan secara bertingkat-tingkat menurut irama yang berdasarkan pada negasi dialektis atau tesis-antitesis-sintesis. Suatu metode penalaran yang kemudian dikenal dan digunakan oleh masyarakat umum. Capaian terbesar Hegel adalah ia mampu merumuskan proses perubahan sejarah secara umum. Dialektika adalah perubahan historis itu sendiri, gagasan-gagasan menyusun dirinya sendiri secara dialektis. Dengan cara ini Hegel mengatasi kelemahan dialektika kuno dan semakin memperjelas hubungan antara ide dan materi; bahwa dialektika menurutnya adalah hubungan timbal-balik di mana materi diubah oleh proses-proses pikiran, sementara pada saat yang sama pikiran diubah oleh perwujudan materi-materi; sebuah interaksi yang terus-menerus ke dalam kesatuan yang menyeluruh.
Asal-usul dari seluruh gerak hal-ihwal tersebut dipancangkan oleh pandangan idealisme – apa yang Hegel nyatakan sebagai “ide mutlak”. Kekacauan dari filsafat spekulatif Hegel ini bisa digambarkan seperti seorang anak yang melahirkan ibunya; atau bagaimana roh atau spirit melahirkan alam; ide menentukan materi. Kekacauan dialektika yang idealis ini pada akhirnya mengacaukan prinsip, kategori, dan logika itu sendiri. Suatu kekacauan berpikir yang menuntut pembetulan dengan cara membalikkannya.
Demikianlah idealisme Jerman, baik “das Ding an sich”-nya Kant maupun “Ide mutlak”-nya Hegel telah sama-sama menjadi titik paling lemah sekaligus mengakhiri riwayat kaum idelisme Jerman; terlepas kita tetap memberi hormat pada mereka yang telah memberi sumbangan besar pada metode berpikir dialektika. Negasi dialektis Hegel tersusun di bawah ini:

Tesis Antitesis Sintesis

Ada  Tiada = Menjadi
Hukum  Moralitas = Kesusilaan
Seni  Agama wahyu = Filsafat
Esensi  Fenomena = Kenyataan
Subyek  Obyek = Ide
Kualitas  Kuantitas = Ukuran
Ilmu logika  Filsafat alam = Filsafat roh



B. Materialisme Dialektika pada masa Karl Marx dan Frederick Engels


Metode dialektika kemudian memperoleh tonggak yang terpenting sejak masa Karl Marx dan Frederick Engels (Marxisme). Aspek idealisme (Ide mutlak) yang mencekik dialektika Hegel telah dibebaskan melalui cara pandang materialisme. Materialisme dialektika kemudian tegak berdiri secara benar sebagai cara pandang dan metode berpikir manusia atas alam semesta dan masyarakat. Filsafat materialisme dialektika merupakan teori yang memiliki faedah besar dalam memahami gerak dan perkembangan seluruh hal-ihwal dunia obyektif. Ia telah berhasil menyimpulkan ribuan tahun sejarah perkembangan pemikiran umat manusia dan mengambil aspek yang paling maju darinya, dan mencampakkan segala aspek yang salah. Ia melakukan generalisasi yang tak terbatas atas praktek sosial. Filsafat materialisme dan metode berpikir dialektika adalah dua hal berbeda namun tak terpisahkan. Keduanya saling berjalinan sebagai dwi-tunggal di dalam sistem filsafat Marxisme.
Perbedaan atas keduanya adalah: filsafat materialisme Marxis sebagai kritik atas cara pandang filsafat idealisme. Ia lebih menekankan hubungan antara materi dan ide, konsep-konsep tentang materi, doktrin tentang kesatuan dunia materi, dan analisis tentang cara berada dan perkembangan suatu materi. Sedangkan dialektika merupakan kritik atas metode berpikir metafisika dalam mendekati seluruh hal-ihwal gejala dunia obyektif. Pokok-pokok pikiran dialektika menyangkut soal kesalinghubungan materi, gerak perkembangan dan perubahan materi, perubahan kuantitas menuju kualitas, negasi dari negasi serta teori tentang kontradiksi. Dengan demikian materialisme dialektika berdiri di garis depan sebagai teori filsafat yang menguraikan segala hal-ihwal tentang hubungan-hubungan universal, hukum-hukum gerak dan perkembangan dunia obyektif serta cerminannya dalam pikiran manusia. Dengan bersenjatakan materialisme dialektika, ia mengajak isi pikiran kita agar sesuai dengan kenyataan obyektif dan jalannya kenyataan obyektif. Dan bukan sebaliknya, kenyataan obyektif yang menyesuaikan dengan pikiran manusia. Kebenaran cara berpikir yang sesuai dengan jalannya kodrat kenyataan akan sangat berguna dalam mengurus dan mengubah kenyataan itu sendiri.
Materialisme dialektika merupakan perkembangan yang lebih maju dari perkembangan bentuk materialisme pra-Marx yang sering dikenal dengan materialisme mekanis atau materialisme metafisis. Memang benar bahwa materialisme mekanis Abad ke-17 memiliki kedekatan dengan ilmu alam pada zamannya, seperti ilmuwan Inggris Isaac Newton dan filosof Perancis Rene Descartes. Keduanya menjelaskan semua perubahan secara analog sebatas perubahan tempat dari satu ke yang lainnya dalam suatu mekanisme yang kompleks yang berjalan secara berualang-ulang dan abadi. Pencapaian ini tentu merupakan aspek positif yang tak terbantahkan. Namun aspek positif tersebut bukannya tanpa keterbatasan. Ia harus dilengkapi dan disempurnakan lagi. Frederick Engels setidaknya menunjukkan tiga kelemahan dasar yang diderita oleh materialisme non-dialektis dalam karyanya berjudul “Ludwig Feuerbach”.
Pertama, pendekatannya yang mekanistis. Pada zaman itu pendekatan mekanis memang menjadi model bagi sains maupun dunia filsafat. Pendekatan ini semata-mata disebabkan oleh belum majunya dunia ilmu; di mana ilmu kimia masih berada dalam usia kanak-kanaknya, ilmu biologi menjelaskan hewan dan tumbuhan masih sebatas sebab akibat mekanis semata. Sebagaimana hewan bagi Descartes dan manusia bagi filosof materialis Perancis dimaknai tak ubahnya sebagai sebuah mesin. Pendekatan ini telah membatasi pandangan obyektif mereka sendiri atas dunia. Secara nyata, dengan keterbatasan ini, mereka telah menciutkan semua proses hal-ihwal, seluruh bentuk gerak hanya pada gerak mekanis semata dan gagal memahami kemajemukan alam organik. Puncak kegagalan ini juga ketidakmampuan mereka menjelaskan hukum kehidupan sosial yang jauh lebih rumit dan kompleks.
Kedua, ketidakmampuan materialisme mekanis maupun metafisis untuk memahami dan menjelaskan perkembangan alam sebagai suatu proses materi yang senantiasa mengalami perkembangan sejarah yang tak ada putus-putusnya. Kelemahan ini semata-mata karena pendekatan yang non-dialektis. Alam sejauh yang mereka ketahui berada dalam gerak yang kekal abadi. Gerak bagi penganut metafisika itu berlangsung dalam gerak lingkaran yang berulang-ulang dan menghasilkan hasil yang itu-itu juga. Teori Immanuel Kant tentang asal-usul tata surya, bahwa matahari dan planit-planit berasal dari gumpalan kabut pijar yang berputar, baru dikemukakan pada waktu itu. Sejarah perkembangan bumi (geologi), masih belum diketahui dan konsepsi bahwa makhluk-makhluk yang bernyawa hari ini adalah suatu hasil dari rentetan perkembangan yang panjang; dari hal sederhana ke hal-ihwal yang rumit dan lebih tinggi. Oleh pendekatan yang non-dialektis, maka pendirian yang a-historis pun tak bisa dielakkan. Contoh terbesar adalah Hegel, yang menjelaskan alam sebagai penjelmaan semata-mata dari “ide mutlak”, sebuah teori yang tak mampu berkembang dan dalam proses hanya memperbesar kelipatgandaannya dalam ruang, sehingga semua hal-ihwal ditakdirkan mengalami gerak pengulangan yang abadi. Semua hal yang tak masuk akal ini, celakanya dipaksakan oleh Hegel justru pada saat geologi, embriologi, fisiologi, kimia organik sedang tumbuh dan tampil dengan penemuan-penemuan ilmiahnya. Pandangan yang tak masuk akal ini kita sebut dengan metafisis. Dan konsekuensinya, materialisme mekanis pada hakekatnya adalah bagian dari doktrin metafisika.
Ketiga, seperti pada umumnya materialisme pra-Marx, dengan berkuasanya pendekatan metafisika yang a-historis atas alam dan masyarakat, mereka pada akhirnya tak mampu menerapkan materialisme untuk menafsirkan persoalan-persoalan sosial yang jauh lebih kompleks. Mereka gagal melihat basis sosial dan menyadari masyarakat transisi dari bentuk yang lebih rendah ke yang lebih tinggi sebagai pengetahuan yang progresif, yang mengubah pandangan dan ide-ide yang berlaku di dalam masyarakat. Pandangan demikian, bagaimanapun juga adalah sebuah bentuk pandangan idealis. Materialisme pra-Marx tidak memahami bagian yang diperankan oleh aktifitas praktis yang kritis, kegiatan revolusioner dari kelas-kelas di dalam masyarakat; yakni dinamika masyarakat dalam mengubah kenyataan dan memperbarui kehidupan sosial. Adalah benar bila mereka – para materialis mekanis tersebut – berkehendak untuk mengubah sistem feodal dengan yang sistem borjuis, namun pada saat yang sama mereka menolak perjuangan massa. Mereka gagal memahami hukum gerak perkembangan sejarah; suatu kegagalan yang membuat mereka takut dan gemetar oleh gemuruh perjuangan massa. Suatu kegagalan yang tak bisa lepas dari hukuman kenyataan yang disebabkan oleh keterbatasan pandangan kelas mereka sendiri; kelas borjuis yang dangkal dan picik.
Demikianlah keunggulan materialisme dialektika sebagai senjata berpikir kelas proletar atas materialisme mekanis dan metafisis dari kelas borjuis demokratis pada waktu itu. Suatu perbedaan yang tak pernah bisa dipungkiri, melekat di dalamnya asal-usul pandangan yang bertolak dari dasar kepentingan kelas dan tujuan kelasnya. Inilah yang kita maksud bahwa pandangan filsafat senantiasa memiliki watak kelas.
Secara khusus kita perlu membahas tentang dialektika sebagai salah satu peralatan kunci dalam teori Marxisme. Baik Marx maupun Engels menyatakan seluruh metode berpikir yang digunakan dalam membedah seluruh fenomena dunia obyektif ini adalah dialektika. Sebagai ahli warisnya sudah seharusnya kita menguasai dan mencengkam erat-erat metode ini dalam mendekati seluruh hal-ihwal. Apakah gerangan metode ini? Dari mana Marx mewarisi metode berpikir ini? Dengan jujur Marx menyatakan penghargaannya pada Hegel, sebagai guru yang telah menyusun metode ini secara baik. Dalam kata pengantar untuk edisi kedua buku Kapital Marx menuliskan:

“Yang disebut belakangan mesti menguasai bahan secara terperinci, menganalisis bentuk-bentuk perkembangannya yang berbeda-beda, menelusuri keterkaitan internalnya. Hanya setelah pekerjaan ini dilakukan, dapatlah gerak sesungguhnya digambarkan dengan sepadan. Jika hal ini dilakukan dengan berhasil, jika kehidupan hal-ihwal itu dicerminkan kembali dalam ide-ide itu, maka ia dapat tampil seakan-akan kita mendapatkan di hadapan kita suatu bangunan a priori semata-mata.
Metode dialektika saya, pada dasarnya, tidak hanya berbeda dari metode Hegelian, melainkan secara langsung berlawanan dengan metode Hegel. Bagi Hegel, proses berpikir, yang bahkan ditransformasikan suatu subyek yang independen dengan nama Ide, adalah pencipta dari dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah penampilan eksternal dari Ide itu. Bagi saya sebaliknya, yang ideal itu tidak lain dan tidak bukan hanya dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia, dan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pikiran.
Segi mistik dari dialektika Hegel telah saya kritik hampir 30 tahun yang lalu, pada suatu masa ketika ia masih menjadi mode. Tetapi bertepatan selagi saya mengerjakan jilid pertama Das Kapital, para Επιγονοι (epigon) yang bersifat jelek, congkak, dan pas-pasan itu, yang berbicara besar dalam lingkaran-lingkaran terpelajar Jerman sedang bersenang-senang memperlakukan Hegel dengan cara yang sama persis dengan apa yang dilakukan Moses Mendelssohn memperlakukan Spinoza pada zaman Lessing, yaitu sebagai seekor anjing mati. Oleh karena itu secara terbuka saya mengumumkan diri saya sebagai murid dari pemikir besar itu, dan bahkan di sana-sini, dalam bab tentang teori nilai, saya bahkan mendemonstrasikan ungkapan-ungkapan yang tipikal Hegelian. Mistifikasi yang diderita dialektika di tangan Hegel, sama sekali tidak membuatnya gagal menjadi orang yang pertama berhasil menyajikannya dalam bentuk fungsi umum yang komprehensif dan ringkas. Pada Hegel, dialektika berdiri di atas kepalanya. Kita harus membalikkannya, agar kembali ke atas kakinya, agar dapat menemukan inti rasional yang terbalut oleh kulitnya yang mistik itu.
Dalam bentuknya yang mistis, dialektika menjadi mode di Jerman, karena ia seakan-akan memberi bentuk dan mengagungkan kondisi-kondisi yang ada. Dalam bentuknya yang rasional ia adalah satu skandal dan kutukan bagi borjuis dan para juru bicaranya yang doktriner, karena di dalamnya terkandung suatu pemahaman dan pengakuan positif terhadap berbagai hal yang ada, dan sekaligus pada saat bersamaan, keniscayaan akan penghancurannya yang tak terelakkan; karena ia memandang segala bentuk sosial yang berkembang dalam sejarah sebagai pergerakan yang cair, dalam gerak, dan dengan demikian memperhitungkan pula aspek kesementaraan; dan karena ia tidak membiarkan dirinya ditundukkan oleh apa pun, karena dalam hakekatnya sendiri ia berwatak kritis dan revolusioner.”

Kutipan langsung yang cukup panjang di atas berguna untuk menjelaskan asal-usul metode dialektika yang kita kaji ini. Dialektika dalam pengertian Leninis, tak berbeda dengan Marx-Engels, yakni suatu studi tentang hukum pertentangan di dalam hakekat obyek itu sendiri. Secara umum materialisme dialektika mengandung tiga struktur yang perlu kita bedakan agar kita pahami dengan baik.
Pertama, dialektika memiliki tiga prinsip yang menjelaskan keberadaan dunia obyektif. Masalah yang pokok berkaitan dengan hubungan antara materi, ruang dan waktu. Prinsip pertama menjelaskan prinsip universal tentang kesalinghubungan obyek-obyek dan fenomena. Bahwasannya tak ada satu pun materi di dunia ini yang terpisah sama sekali dengan materi yang lain. Prinsip kedua menjelaskan tentang gerak dan perkembangan materi. Bahwasannya seluruh materi senantiasa terikat dalam gerak dan perkembangan. Tak ada satu pun materi di dunia ini yang terlepas dari prinsip yang berlaku secara universal ini. Prinsip ketiga, tentang kontradiksi yang menjelaskan hubungan antara satu materi dengan yang lainnya berjalan secara bertentangan (kontradiksi).
Kedua, dialektika sebagai hukum dari keberadaan dunia obyektif atau seluruh hal-ihwal. Hukum pertama, persatuan dari segi-segi yang saling bertentangan, kontradiksi sebagai sebab dari adanya gerak. Hukum kedua, hukum perubahan sebagai proses perubahan dari kuantitas ke kualitas. Hukum ketiga, hukum negasi dari negasi sebagai arah dari gerak perubahan.
Ketiga, kategori-kategori yang menjelaskan berbagai aspek dialektis dari kesalinghubungan materi. Berbagai kategori ini meliputi: keumuman dan kekhususan, sebab dan akibat, keharusan dan kebetulan, esensi dan penampakan, isi dan bentuk, kenyataan dan kemungkinan.




Seluruh aspek materialisme dialektika di atas tentu sangat penting untuk kita cengkam dengan kuat dan kita gunakan sebagai metode berpikir untuk memahami dan menjelaskan gerak dan seluruh hal-ihwal perkembangan dunia obyektif. Seluruh soal tersebut menuntut pendalaman kita untuk memahami dialektika sebagai hal-ihwal yang berlangsung secara obyektif, bahwa pada akhirnya alam dipahami secara tepat sebagai alam yang bergerak secara dialektis. Apa yang dimaksud dengan prinsip dan hukum di sini adalah tatanan dunia obyektif yang bergerak dan berkembang secara dialektis, bekerja dengan sendirinya sedemikian rupa, tanpa ada campur tangan manusia. Sedangkan soal berikutnya adalah bagaimana manusia menggunakan dialektika sebagai metode berpikir untuk memahami dan menjelaskan gerak dan perkembangan dunia obyektif. Soal terakhir ini, karena bergantung pada manusia yang menggunakannya dalam kancah praktek, maka selalu mengandung hal-hal yang subyektif sehingga pasti beresiko adanya kesalahan-kesalahan subyektifis.
Seseorang yang kurang wawasan dalam memahami aspek-aspek ilmiah tentang bagaimana alam dan masyarakat bergerak, kemungkinan besar akan jatuh dalam kesalahan subyektifis dalam menggunakan metode dialektika. Seseorang, betapa pun ia seorang ilmuwan besar sekaliber Albert Einstein, namun kurang memahami dialektika sebagai tuntutan metodis filosofis, juga akan jatuh dalam kesalahan subyektifis serupa. Metode induktif yang merajai pada masa muda perkembangan ilmu pengetahuan, pada akhirnya harus menyerahkan kedudukannya ke pangkuan ilmu modern yang lebih tinggi; deduksi tentatif sebagai jalinan dialektis antara metode induksi dan deduksi. Hanya dengan metode dialektika, maka ilmu pengetahuan mampu mengarungi lembah dan ngarai dari kesunyian tanpa daya dalam cengkraman metafisika yang beku.
Seorang borjuis kecil juga pasti akan mengalami kesalahan-kesalahan subyektifis bila menggunakan metode dialektika ini dalam praktek kehidupan sosial, khususnya dalam perjuangan revolusioner kelas proletar. Seorang borjuis kecil yang hendak mengamalkan Marxisme-Leninisme dengan baik memiliki dua tantangan besar. Pertama, dia harus menjalani program proletarisasi diri secara pikiran dan tindakan. Kesuksesan program ini ditandai dengan semakin terkikisnya cara berpikir lama dan tindakan-tindakan khas borjuis kecilnya. Teguhnya pendirian kelas, materialis dalam pandangan dan dialektis dalam metode berpikir, menjadi ciri kekuatan teoritiknya. Namun seluruh perubahan itersebut tidak akan terjadi tanpa terlibat aktif dalam gerakan massa, seperti bergabung dengan serikat buruh, serikat tani, atau organisasi perjuangan massa lainnya sebagai cara yang efektif untuk menjalani program proletarisasi ini. Seorang borjuis kecil tanpa terlibat praktek dalam perjuangan massa mungkin bisa memahami teori Marxisme-Leninisme dengan baik, namun pasti mengandung kelemahan dalam hal keteguhan dan pengorbanan; dua hal yang hanya bisa dilahirkan dalam sengitnya penempaan praktek yang nyata. Tahap berikutnya, dia harus menjalani program Bolshevikasi atau Pem-bolshevik-kan diri. Yakni menempa teori dan praktek dalam kancah perjuangan revolusioner seperti kawan-kawan Bolshevik di Rusia yang telah berhasil memenangkan revolusi sosialis pada tahun 1917. Seluruh program Bolshevikasi tersebut menuntut seorang borjuis kecil yang sudah terproletarkan untuk bergabung dengan Partai Kelas Buruh yang benar dan revolusioner. Hanya Partai Kelas Buruh-lah tempat berhimpun dan menjadi sekolah terbaik bagi kaum revolusioner untuk memimpin perjuangan massa dari tahap perjuangan demokratis hingga perjuangan revolusioner. Inilah sekelumit penjelasan tentang hal-ihwal pengamalan Marxisme-Leninisme dengan baik.
Demikian pula seorang buruh, terlepas asal kelasnya proletar, namun tidak menjamin ia bebas dari berbagai bentuk kesalahan subyektifisme dalam menggunakan metode dialektika sebagai bagian dari pengamalan ajaran Marxisme-Leninisme. Seorang buruh, ketika ia bergabung dengan serikat buruh kuning atau serikat buruh milik majikan itu, pada hakekatnya ia dipimpin oleh ide-ide borjuis. Kesalahan-kesalahan pikiran dan tindakan oportunisme pasti terjadi. Pun ketika seorang buruh telah berhasil membangun serikat buruh sejati, di tengah kelemahan teoritik, ia tidak bebas dari kecenderungan subyektifisme baik dalam ideologi maupun politik seperti bentuk oportunisme kiri maupun kanan. Kesalahan subyektifis dalam pengeterapan materialisme dialektika adalah hal yang pasti, karena seseorang terikat dalam praktek sosial yang nyata. Seseorang, betapa pun memiliki pemahaman teoritik yang sangat baik dalam masalah ini, seluruh ujiannya terletak di dalam praktek. Setiap orang yang praktek pasti mengandung kelemahan dan kesalahan karena tidak ada manusia yang sempurna. Hanya orang yang tak pernah praktek yang tak pernah berbuat salah. Namun bukan berarti orang yang tidak pernah praktek tidak memiliki kesalahan. Justru kesalahan terbesarnya adalah tidak pernah praktek. Dan hanya dengan melakukan praktek yang intensif dan terus menerus, memahami kesalahan dan membetulkannya pada praktek berikutnya, melakukan kritik dan otokritik dengan jujur, seseorang akan mendapatkan bobot pemahaman materialisme dialektika yang semakin berkualitas. Lebih dari itu, seseorang dengan kualitasnya yang unggul dalam teori dan praktek, akan sanggup mengembangkan dan memperkaya metode yang benar dan ampuh ini dalam kelestarian yang tak terbatas.
Dengan kebenaran yang akurat dan obyektif inilah, materialisme dialektika mengusir untuk selama-lamanya seluruh pameran intelektual yang sok sublim, omong kosong yang muluk-muluk tentang kebenaran abadi, teoritisi murni yang metafisis, dan hanya memberi sedikit ruang pada orang-orang yang keras kepala untuk sekedar mempersolek diri atas teori-teori lama yang sudah lapuk untuk kemudian menderita kebangkrutan dengan sendirinya. Demikianlah, materialisme dialektika di tangan kita. Ia menjadi metode berpikir universal yang mengatasi seluruh keterbatasan metode berpikir yang pernah ada selama ini.






Dialektika dalam pengertian umum sekarang kurang mendapat perhatian yang memadai sebagai kritik atas metafisika serta metode berpikir yang memimpin praktek sosial. Dialektika seringkali hanya dimengerti sebagai suatu proses umum yang abstrak dan pasif, bukan sebagai hukum pengetahuan atau hukum perkembangan dunia yang obyektif dan memiliki watak progresif. Sering dalam percakapan sehari-hari kita temukan ungkapan, “Mari kita berjalan secara dialektis sajalah..”. Ungkapan ini lebih sebagai pernyataan pemalas yang metafisis ketimbang penyataan dialektis. Dialektika memberi kita panduan metode berpikir yang mengajarkan tidak hanya sebatas memahami hal-ihwal gejala yang saling berhubungan secara material, namun memahami ke mana arah perkembangan dialektisnya. Dengan syarat-syarat tertentu, kita bisa mengetahui perkembangan materi apakah ia bergerak lebih maju, bergerak di tempat, atau bergerak mundur dua langkah ke belakang.
Dalam kajian filsafat Marxis, istilah “dialektika” telah mendapatkan makna yang berbeda dan dikembangkan secara lebih maju dibandingkan tradisi filsafat pra-Marxis. Demikian juga dengan istilah “metafisika”, telah menemukan pengertian yang berbeda di dalam perspektif Marxis bila dihadapkan pada literatur-literatur borjuis. Filsafat pra-Marxian menempatkan istilah “metafisika” merujuk pada bagian khusus di dalam filsafat dalam usaha-usahanya dengan pemikiran murni dan spekulatif apa yang kemudian menemukan esensi yang tetap dan abadi atas suatu materi. Pengertian ini, bila kita bawa ke atas meja pembedahan metode berpikir Marxis, metafisika memiliki cacat bawaan secara metodis sebagaimana telah ditunjukkan dengan tepat oleh Engels pada bagian awal bab ini. Yakni suatu metode berpikir yang membimbing pada penilaian yang berat sebelah, dangkal, terbatas dan kemandirian suatu materi dalam kekekalan yang abadi. Suatu kecenderungan yang melebih-lebihkan, individuasi yang mutlak atas fenomena dan mengabaikan aspek lain sebagai hal yang kurang penting. Metafisika dalam berbagai bentuknya, khususnya metafisika tua, harus kita gugat dan singkirkan karena telah bertanggung jawab dalam menyesatkan pikiran, mengikat kaki dan tangan manusia, dalam ketidakbebasan tindakan.
Cacat bawaan metodis yang diderita oleh metafisika adalah pandangan tentang materi tanpa batas, kedudukan materi yang terisolasi dari gejala yang lain, membawa pada kesesatan berpikir karena tidak mampu melihat perubahan dan perkembangan suatu materi. Pandangan yang selalu memisahkan suatu fenomena khusus dari yang lainnya, yang membawa pada kegagalan dalam mencari hubungan antara gejala satu dengan yang lainnya dalam banyak sisi. Ia hanya menyediakan jawaban tunggal dan final dari semua pertanyaan yang diajukan oleh filsafat atau ilmu pengetahuan. Ia tidak pernah memahami dan mengakui bahwa dalam suatu tingkat perkembangan sesuatu, proposisi ilmiah memiliki arti penting dalam ikatan tertentu. Ia secara tak terelakkan akan patah dan gagal ketika berusaha menjelaskan proses perkembangan yang rumit dan kompleks, baik dalam ilmu alam maupun fenomena sosial-politik dan sejarahnya. Ketidakcukupan metafisika sebagai metode berpikir telah membawa kebutuhan manusia pada pemecahan yang ditawarkan secara lebih maju dan komplit dalam materialisme dialektika. Dialektika sebagai metode berpikir yang obyektif sebagaimana dunia memang berlaku dan berproses secara dialektis.
Di mana spekulasi dan independensi metafisika berakhir? Di dalam kehidupan obyektif, ketika ilmu pengetahuan telah berkembang dengan perkasa dan mengambil alih posisinya untuk selama-lamanya. Pandangan metafisis telah sekian lama mencegah rakyat tahu tentang asal-usul dan perkembangan suatu materi. Metafisika juga telah memundurkan usaha-usaha manusia menuju puncak kesadarannya ketika pada Abad ke-17 hingga ke-18 masih menjadi tradisi dalam metode pemikiran ilmiah. Namun dengan langkah pasti, ilmu pengetahuan memproklamasikan kemerdekaannya. Bahwa alam juga memiliki perkembangan sejarahnya sendiri dan bukan semata-mata hamparan keluasaan yang kosong. Alam yang semula didekati dengan sepenuh-penuhnya konservatif dan kekanak-kanakan, telah menemukan diri yang sebenar-benarnya secara obyektif dan merdeka.
“Mengapa engkau tidak menyebutkan Tuhan dalam karyamu, Laplace?” tanya Napoleon suatu ketika tentang teori mekanika angkasa karangan Laplace.
“Sire, je n’avais pas besoin de cet hypothese” Jawab Laplace.
Sementara Epikurus, hanya menempatkan Tuhan di tempat peristirahatan-Nya yang terakhir di luar angkasa jauh, tak lagi mengurusi soal-soal takdir dan kehidupan praktis umat manusia. Kopernikus, dilanjutkan oleh Galileo, secara tidak langsung telah membakar Surat Perintah Kepausan ketika menemukan kembali heliosentris sebagai hal yang obyektif. Newton masih memberi ruang pada-Nya untuk soal impuls pertama, namun melarang-Nya campur tangan lebih lanjut dalam sistem solarnya. Dalam bahasa yang rendah hati, Charles Darwin juga tidak mengajak-Nya turut serta dalam menjelaskan perkembangan makluk hidup dalam teori evolusi, bahkan membantah apa kata wahyu dalam kitab genesis. “Saya hanya menaruh perhatian pada penemuan ilmiah dan tidak berpretensi merontokkan sendi-sendi agama yang adikodrati itu,” ujarnya ketika Marx dengan suka cita mengajaknya beraliansi dalam gerakan ilmiah front anti-mistisisme. Sungguh, metafisika dan dependensinya pada mistik telah menderita bersama para pembelanya, sebagaimana yang menimpa raja-raja feodal bersama para jenderalnya yang setia. Namun apalah arti kesetiaan konservatif ketika prajurit demi prajurit telah takluk dan meletakkan senjata, benteng demi benteng dogma telah berkapitulasi di hadapan barisan ilmu pengetahuan melalui suatu penaklukan-penaklukan yang perkasa dan tak terelakkan.
Demikian juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini. Metode dialektika kurang mendapat sambutan meriah dalam komunitas-komunitas ilmiah seperti universitas maupun perguruan tinggi. Hal ini bisa kita maklumi mengingat metode berpikir ini mengandung sifat hakiki yang kritis dan revolusioner – yang sangat tidak dikehendaki oleh seluruh institusi reaksioner yang saat ini menentukan nasib ilmu pengetahuan dan kehidupan universitas. Lebih tepatnya, terdapat prasangka negatif yang luar biasa besar yang bertanggung jawab dalam membiaskan seluruh penggunaan metodologis untuk tidak sampai pada kesimpulan-kesimpulannya yang ilmiah dan revolusioner. Sesuatu yang memang sangat ditakuti oleh segenap pikiran orang-orang reaksioner. Ketakutan yang sia-sia karena mereka semua tidak akan selamat dan akan mendapat hukuman tersendiri dari seluruh hukum gerak dan perkembangan itu sendiri.






• Bagaimana Lenin dan Mao Tse-tung mempertahankan dan mengembangkan materialisme dialektika?


V. I. Lenin sungguh besar jasanya dalam mengembangkan dan memajukan teori Marxisme secara umum dan filsafat Marxisme secara khusus. Sebagai penerus dari ajaran Marxisme setelah kematian Marx dan Engels, Lenin tampil dalam menjaga keilmiahan dan kebenaran Marxisme dengan sebuah karya filsafat berjudul Materialisme dan Empirio-kritisisme, sebuah Catatan atas Filsafat Reaksioner (1908). Dalam karya teoritik ini, Lenin mengembangkan teori materialisme jauh lebih maju dari Plekhanov yang mengerdilkan Marxisme menjadi suatu materialisme vulgar; suatu pembalikan harfiah atas idealisme Hegel dan menyederhanakannya sebagai materialisme ala Feuerbach.
Selain melancarkan kritik atas Plekhanov yang inkonsisten secara teori, Lenin juga melakukan serangan melawan filsafat Machisme yang memberi pengaruh terhadap beberapa ahli teori filsafat di Rusia. Sederet penulis filsafat yang bermaksud menjadi Marxis namun tersesat jauh, menyodorkan filsafat yang kacau balau dan reaksioner. Risalah-risalah filsafat yang ditujukan untuk menyerang materialisme dialektika itu di antaranya adalah: “Risalah tentang Filsafat Marxisme”, sebuah kumpulan artikel yang terbit pada tahun 1908 di St Petersburg dengan penulis Bazarov, Bogdanov, Lunacarsky, Berman, Helfold, Yuskevic, dan Suvorov. Kemudian “Materialisme dan Realisme kritis” karya Yuskevic, “Dialektika dalam Dunia Teori Pemahaman Modern” karya Burman, “Konstruksi Filosofis pada Marxisme” karya Valentinov. Mereka adalah orang-orang yang mengajukan usulan untuk meninjau ulang filsafat Marxisme setelah kekalahan revolusi 1905 di Rusia dan menggantikannya dengan positifisme terbaru. Mereka, kaum intelektual tersebut, dengan gampang sekali mengalami krisis ideologi dan remuk moralnya setelah revolusi mengalami pukulan dan mencampakkan Marxisme begitu saja. Mereka memperlakukan teori secara buruk sebagaimana prakteknya. Mereka menyatakan bahwa Marxisme tidak menepati janjinya, seolah-olah revolusi merupakan suatu sukses yang gampang dan langsung tanpa pengorbanan. Inilah suatu sikap kemanjaan yang khas kaum intelektual salon.
Secara terang Lenin menuding bagaimana mereka sebagai revisionis yang tipikal dalam filsafat yang membawa pengaruh buruk dalam gerakan buruh. Mengapa tipikal revisionis? Sebab hanya kaum revisionis yang memperoleh kemuliaan yang menyedihkan dengan menggunakan penyelewengan-penyelewengan mereka dari titik tolak Marxisme dan mengatasnamakan Marxisme. Bagaimana mereka menggunakan ketakutan-ketakutan mereka, semata-mata karena ketidakmampuan mereka secara terbuka, langsung dan jelas. Mereka membantah materialisme dengan melakukan pengulangan terhadap doktrin idealisme subyektif Berkeley, Hume, Kant melalui positifisme terbaru. Bila kita membaca buah karya Lenin tersebut, sangat terang dan terbuka sebagai perjuangan teoritik untuk menegakkan dan mengembangkan keilmiahan filsafat Marxisme. Demikian juga ketika kaum revisionis klasik di Jerman, yang dimotori oleh Berstein dan Kautsky, hendak merevisi ajaran kontradiksi dalam materialisme dialektika yang ilmiah. Lenin menunjukkan konsistensi teoritik Marxisme, memerangi orang-orang yang hendak mempreteli materialisme dialektika dalam hal mendamaikan kontradiksi antagonis antara buruh dan borjuis, mencapai sosialisme dengan jalan damai; yang pada hakekatnya adalah memerangi ajaran Marxisme itu sendiri. Lenin tidak hanya melancarkan serangan teoritik, namun sekaligus memimpin praktek revolusioner bagaimana mencapai sosialisme secara ilmiah melalui kemenangan Revolusi Bolshevik 1917.
Demikian juga dengan Mao Tse-tung, khususnya karya berjudul “Tentang Kontradiksi” yang terbit pada tahun 1937. Karya ini secara khusus ditulis untuk memerangi berbagai kecenderungan dogmatisme di dalam Partai Komunis Tiongkok karena pengaruh buruk dari metodologi mazhab Deborin di Rusia. Karya ini telah memberi sumbangan yang besar bagi materialisme dialektika bagi perjuangan proletariat di dunia. Mao Tse-tung tidak hanya meneguhkan kembali materialisme dialektika, namun juga mengembangkannya ke tingkat yang lebih tinggi. Bagaimana ia menggunakan filsafat ini untuk memerangi metafisika atau evolusionisme vulgar yang kuat mengakar di Tiongkok, dan aspek-aspek dogmatisme di dalam Partai. Dalam pendalaman ini, Mao Tse-tung melakukan studi yang kaya tentang keumuman dan kekhususan kontradiksi, kontradiksi pokok dan segi-segi pokok kontradiksi, kesatuan dan perjuangan antara segi-segi kontradiksi, dan kedudukan antagonis dalam kontradiksi. Dan pandangan yang tak kalah penting adalah pelajaran bagaimana mengurus kontradiksi secara tepat.

“Kontradiksi yang secara kualitatif berbeda hanya dapat dipecahkan dengan cara-cara yang kualitatif berbeda juga. Misalnya, kontadiksi antara proletariat dengan borjuasi dipecahkan dengan cara revolusi sosialis; kontradiksi antara massa rakyat dengan sistim feodal dipecahkan dengan cara revolusi demokratis; kontradiksi antara tanah jajahan dengan imperialisme dipecahkan dengan cara perang revolusioner nasional; kontradiksi antara klas buruh dengan klas tani di dalam masyarakat sosialis dipercahkan dengan cara kolektivisasi dan mekanisasi pertanian; kontradiksi di dalam Partai Komunis dipercahkan dengan cara kritik dan otokritik; kontradiksi antara masyarakat dengan alam dipecahkan dengan cara mengembangkan tenaga-tenaga produktif. Proses-proses berubah, proses lama dan kontradiksi lama lenyap, proses baru dan kontradiksi baru timbul, karena itu cara-cara memecahkan kontradiksi juga berbeda. Di Rusia, Kontradiksi yang dipecahkan oleh Revolusi Februari dan kontradiksi yang dipecahkan oleh Revolusi Oktober, demikian juga cara-cara yang digunakan untuk memecahkan kontradiksi-kontradiksi itu, berbeda secara fundamentil. Pemecahan kontradiksi-kontradiksi yang berbeda dengan cara yang berbeda - inilah prinsip yang harus ditaati dengan keras oleh kaum Marxis-Leninis. Kaum dogmatis tidak mentaati prinsip ini: mereka tidak mengerti akan perbedaan keadaan dalam berbagai macam revolusi, oleh karenanya juga tidak mengerti berbagai macam revolusi, oleh karena juga tidak mengerti akan keharusan memecahkan kontradiksi-kontradiksi yang berbeda dengan cara-cara yang berbeda; sebaliknya, mereka selalu dengan serampangan mentrapkan ke mana-mana rumus yang itu-itu juga, yang dianggap tak dapat diubah; dan ini hanya mungkin mengakibatkan kekandasan-kekandasan revolusi atau membikin rusak sama sekali apa yang sebetulnya dapat dikerjakan dengan baik.”

Perjuangan teori dan praktek Marxisme yang dilakukan oleh Mao Tse-tung tidak semata-mata memimpin rakyat terbesar di dunia tersebut dalam memenangkan revolusi Tiongkok pada tahun 1949, namun juga melawan penyelewengan dari kaum revisionis modern. Untuk sekian kalinya, kaum revisionis muncul kembali pasca kemenangan kelas buruh di suatu negeri. Mereka adalah klik revisionis yang dikepalai oleh Nikita Kruschev yang memimpin Partai Komunis Uni Soviet setelah meninggalnya Stalin. Mereka kembali menggerogoti keilmiahan materialisme dialektika, persis seperti yang dilakukan oleh kaum revisionis klasik di dalam Internasionale kedua. Mereka mempropagandakan jalan damai dalam mencapai sosialisme dan meninggalkan ajaran Marxisme yang revolusioner. Mereka adalah borjuis yang menyusup di dalam partai kelas buruh dan memecahbelah gerakan revolusioner dari dalam. Mao Tse-tung tampil sebagai Marxis-Leninis yang paling gigih dan teguh dalam memerangi mereka, dan memurnikan kembali ajaran Marxisme dari penjahat-penjahat revisionis yang hakekatnya borjuis tersebut.
Demikianlah, bagaimana Lenin dan Mao Tse-tung menjadi teladan dan pelopor dalam membela dan mengembangkan ajaran materialisme dialektika sebagai senjata berpikirnya kelas proletar yang revolusioner. Aspek-aspek ilmiah di dalam ajaran ini akan terus berkembang dan kaya seiring dengan praktek yang senantiasa dijalankan secara konsisten oleh kaum komunis di dunia hingga dewasa ini. Oleh karena materialisme dialektika merupakan sebuah pandangan hidup yang ilmiah – dan bukan suatu dogma yang mandek – maka ia akan selalu cocok dengan segala keadaan karena terus menerus diperkaya oleh praktek sosial.






C. MATERI, GERAK DAN PERKEMBANGANNYA

Seperti yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya tentang materialisme, bahwa materi adalah primer sedangkan pikiran atau ide adalah sekunder sebagai cerminan materi. Dengan demikian terang sudah bahwa seluruh gejala yang ada di dunia ini sebagai gejala material. Dunia material, alam semesta dan masyarakat yang obyektif ini, adalah satu-satunya dunia yang nyata. Tidak ada dunia yang lain.


• Apakah Materi?

Materi adalah seluruh kenyataan obyektif yang ada di luar pikiran manusia


Menguraikan tentang apa yang dimaksud dengan hal-ihwal materi mengandung dua pengertian: pertama, materi dipandang secara filsafat. Kedua, materi dipandang secara ilmu pengetahuan. Mari kita segera mengupasnya.
Bagaimana filsafat memandang materi? Materi adalah segala sesuatu yang ada di luar pikiran manusia, segala sesuatu yang terhampar sebagai kenyataan obyektif. Adanya materi tidak bergantung pada kesadaran manusia, tidak diciptakan atau dikendalikan oleh suatu ide, pikiran, jiwa, roh atau apapun namanya. Keberadaan materi diterima oleh indera manusia, disalin, dipotret, dirasa, direfleksikan dengan cara tertentu oleh indera dan rasio manusia yang melahirkan sensasi, pikiran, dan kesadaran. Dengan demikian, pengertian materi dalam sudut pandang filsafat senantiasa memiliki hubungan antara materi dan ide, antara keadaan dan kesadaran, antara obyek dan subyek.
Dalam perspektif filosofis ini, maka tak ada satu fakta kenyataan pun yang mampu menyangkal pandangan bahwa sensasi atau pikiran merupakan gambaran dari dunia obyektif. Persepsi manusia dan ide-ide merupakan gambarannya, pembuktian atas gambaran-gambaran, membedakan antara gambaran yang benar dan yang palsu melalui praktek. Dalam kedudukan inilah, filsafat merupakan cara pandang dan metode berpikir yang menyeluruh atas dunia obyektif. Suatu masalah yang sangat penting bagi umat manusia. Berangkat dari basis filsafat yang fundamental ini, maka musuh terbesar bagi kemajuan umat manusia yang paling berbahaya adalah subyektifisme. Baik pandangan idealisme obyektif maupun idealisme subyektif, keduanya berakar dari subyektifisme manusia.
Lantas bagaimana ilmu pengetahuan memandang materi? Berbeda dengan sudut pandang filsafat, ilmu pengatahuan menjelaskan materi sebagai susunan dari segala sesuatu yang ada di alam semesta obyektif ini. Sebagai contoh, apakah yang kita maksud dengan air? Air adalah suatu materi yang konkret berupa benda cair di alam semesta yang hampir menutupi tiga perempat dari permukaan bumi. Ini bisa merupakan penjelasan filsafat. Sedangkan ilmu pengetahuan menjelaskan air adalah H20, suatu materi yang tersusun dari reaksi kimiawi antara gas-gas hidrogen (H) dan oksigen (O). Penjelasan ilmu tentang air juga bisa dikembangkan lagi menurut hukum kekekalan massa yang ditemukan oleh ilmuwan Perancis Antoine Laurent Lavoisier (1789) yang berbunyi “Dalam setiap reaksi kimia, jumlah massa zat-zat sebelum dan sesudahnya adalah sama”. Mari kita ambil contoh: 1 gram hidrogen akan tepat bereaksi dengan 8 gram oksigen. Menurut hukum kekekalan massa, berapa gram air yang terbentuk? Jawabnya adalah 9 gram. Teori Lavoisier tentang kekekalan massa ini kemudian dikembangkan lagi oleh Albert Einstein dengan rumus E = MC2 (E = energi, M = massa, C = kecepatan cahaya) sebagai penjelasan ilmiah yang lebih maju tentang kesamaan massa atau teori khusus tentang relativitas. Ia mengungkapkan bahwa energi dan massa ibarat dua sisi pada satu keping mata uang. Rumus teori khusus relativitas tersebut kemudian tidak memadai lagi untuk menerangkan semua jenis gerak, seperti misal gerak benda dalam hubungan gravitasi kekuatan skala besar yang membentuk alam semesta. Pada tahun 1915, Einstein kemudian memperbaiki kekurangan teorinya sekaligus menyempurnakan hukum Newton dengan merumuskan teori umum gravitasi. Demikianlah ilmu pengetahuan terus menerus berkembang menjelaskan gerak materi secara obyektif, bergerak dari pengetahuan relatif hingga disempurnakan oleh berbagai generasi umat manusia menjadi pengetahuan yang mutlak.
Dari materi bernama air mari kita berganti ke benda terang benderang di alam semesta ini. Apakah materi bernama matahari itu? Ilmu astronomi menjelaskan matahari sebagai bintang induk kita. Jauhnya sekitar 150 juta km. Matahari adalah bintang berukuran sedang, bergaris tengah 1,4 juta km dan susunan dirinya terdiri atas sebagian besar gas hidrogen dan helium. Matahari membangkitkan cahaya dan panas di pusatnya dengan reaksi nuklir. Ia diedari oleh 9 buah keluarga planet, termasuk Bumi tempat tinggal kita ini. Demikianlah matahari dijelaskan oleh ilmu astronomi. Demikian juga ilmu bumi dan anak-anak cabang ilmunya (geologi, geodesi, ilmu tanah, oseanografi, glasiologi) yang berbicara tentang susunan bumi dan hukum-hukum perkembangannya. Ilmu sosial berbicara tentang isi dan susunan masyarakat dengan segala seluk-beluk kehidupannya yang kompleks. Berdasarkan contoh uraian ini, maka pemahaman manusia atas alam dan susunannya sangat ditentukan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia untuk memecahkan kontradiksinya dengan alam obyektif. Kegagalan manusia untuk memecahkan masalah alam dengan ilmu pengetahuan, akan mengakibatkan penderitaan manusia karena mendapat hukuman yang setimpal dari alam. Gempa bumi, tsunami, banjir bandang, tanah longsor, kecelakaan, kekeringan, busung lapar, merupakan contoh fenomena-fenomena alam yang menderitakan umat manusia.
Kelahiran dan perkembangan ilmu-ilmu berasal dari studi induktif tentang suatu obyek materi secara khusus di alam semesta obyektif ini. Studi ini kemudian bergerak dan berkembang seiring dengan penemuan dari berbagai eksperimentasi ilmiah yang dilakukannya. Ilmu fisika pada awalnya adalah ilmu tentang gerakan benda-benda alam, namun hingga pada perkembangannya yang mutakhir ilmu fisika telah berhasil melakukan klasifikasi partikel fundamental dan interaksinya dengan atom. Dalam sejarahnya ilmu fisika hampir identik dengan ilmu kimia. Namun sejak kapan ilmu fisika berpisah dengan ilmu kimia yang juga memiliki hubungan erat dengan atom ini? Perpisahan ini seiring dengan semakin berkembang pesatnya eksperimentasi ilmu pengetahuan di bidang kimia. Sekumpulan atom mengandung sifat-sifatnya sendiri, yang kemudian menuntut penjelasan ilmu kimia secara tersendiri. Demikian juga perkembangan dan perpisahan yang terjadi antara ilmu biologi dan kedokteran, ekonomi dan sosiologi. Materi bernama atom tentu berbeda dengan materi bernama manusia. Satu partikel atom mungkin bisa dijelaskan dengan simpel, namun materi berupa seorang manusia sungguh kompleks dan rumit. Ia mengandung elemen-elemen kesadaran diri yang dibentuk dari pengetahuan, emosi, kehendak, bawah sadar, dsb. Demikian juga ketika seorang manusia sudah bergabung dalam masyarakat, yang segera menyangkut sistem jaringan sosial yang kompleks, rumit dan tidak semudah diprediksi sebagaimana kita memperlakukan sekumpulan atom. Bila kita gambarkan, sekumpulan buruh-tani dan buruh industri yang bertemu, betapa pun watak kelas mereka secara obyektif revolusioner, namun belum tentu menghasilkan tindakan revolusioner. Demikianlah sebagai misal, bagaimana kedudukan ilmu dan peranannya dalam menjelaskan susunan dan sifat dari suatu materi.
Mari kita mengunjungi ilmu fisika dan ilmu kimia agar bisa berkenalan secara lebih dekat:
Ilmu Fisika: Ilmu tentang gerak benda-benda alam. Ilmu ini sudah berkembang sejak zaman purbakala bagaimana manusia memindahkan batu-batu besar dengan derek atau pengungkit. Dalam perkembangannya, fisika juga berurusan dengan soal-soal besaran dan satuan, energi dan usaha, suhu dan kalor, rangkaian listrik, medan magnet, gerak gelombang elektromagnetik, teori relativitas, semikonduktor, dsb. Sehari-hari kita juga mendapati masalah-masalah fisika seperti perubahan materi (pelelehan, pembekuan, penguapan, sublimasi, pengembunan). Dalam soal perubahan materi (zat), terkadang sangat tipis perbedaan antara ilmu fisika dan ilmu kimia. Seperti contoh pada kasus lilin yang menyala. Pembakaran lilin adalah proses perubahan kimia sedangkan proses melelehnya lilin karena panas adalah masalah fisika. Soalnya kemudian apakah kita hendak memperkarakan proses melelehnya lilin atau terbakarnya lilin? Baik fisika maupun kimia memiliki sudut pandangnya masing-masing. Penemuan teknologi juga memiliki arti penting bagi ilmu fisika, seperti penemuan giroskop yang dapat digunakan kompas sebagai alat penunjuk arah mata angin. Teropong bintang ditemukan Galileo untuk menyelidiki tata surya dan setiap gerakannya dan menjadi awal bagi mekanika klasik. Dibuatnya cara pengukuran waktu, yakni berupa jam mekanik yang saat ini sudah menjadi jam elektronik hingga sistem digital. Perkembangan sistem transportasi tak bisa lepas dari jasa ilmu ini, baik ditemukannya kereta kuda, sepeda, kereta api, mobil, kapal laut hingga pesawat terbang. Abad ke-19, Thomas A. Edison menemukan lampu pijar, seiring juga ditemukannya alat komunikasi seperti telepon dan telegraf. Dengan ditemukannya elektron oleh J.J. Thomson, perkembangan dunia elektronika berkembang sangat pesat khususnya dengan penggunaan komputer di segala bidang kehidupan manusia dewasa ini.
Ilmu Kimia: Ilmu pengetahuan alam yang mempelajari tentang struktur dan sifat-sifat materi, perubahan materi menjadi materi yang lain, serta energi yang menyertai perubahan materi. Dalam dunia kimia, istilah materi ini sering disebut juga dengan “zat”. Seperti contoh, reaksi kimia adalah hukum perubahan suatu zat menjadi zat yang lain. Dalam perspektif ilmu kimia materi adalah segala sesuatu yang memiliki massa dan volume. Massa adalah ukuran bertahannya suatu benda terhadap perubahan kecepatan. Volume adalah segala materi yang menempati ruang tertentu. Secara lebih lanjut soal-soal kimia berurusan dengan struktur atom, stoikiometri, energitika, kecepatan reaksi, larutan dan sifat-sifatnya, elektrokimia, dsb. Tanpa kita sadari peristiwa-peristiwa kimiawi menyertai kehidupan kita sehari-hari. Zat-zat di alam semesta yang tiada terhingga jenisnya, semua makanan yang masuk ke dalam tubuh kita harus melalui berbagai reaksi kimia sebelum dapat berfungsi sebagai sumber tenaga bagi tubuh kita. Ketika kita tidur di malam hari, oleh jasa dari zat-zat kimia tersebut, kita tetap hidup lantaran reaksi kimia yang berlangsung sewaktu kita bernafas. Bangsa Mesir kuno menemukan formalin sebagai zat pengawet, orang-orang Mesopotamia kuno menemukan zat pewarna dari hewan-hewan molluska, alkohol 70% digunakan untuk antiseptik, kaporit (kalsium hipokhlorit) sebagai zat desinfektan atau pembunuh bakteri-bakteri berbahaya, dsb. Setiap hari kita juga menjadi pengguna benda-benda yang dihasilkan dari industri kimia seperti sabun untuk mandi, pasta gigi untuk gosok gigi, pakaian yang kita kenakan, kendaraan bermotor yang kita tumpangi, hingga kertas dan tinta yang menjadi buku-buku yang kita baca. Semuanya merupakan buah yang kita petik dari kemajuan ilmu kimia.
Hubungan persaudaraan antara ilmu kimia dan biologi juga memiliki persaudaraan historis yang kuat. Kita bisa mengambil contoh dengan mempelajari proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan sembari mengeterapkan hukum kekekalan massa milik Lavoisier di atas. Sebagaimana kita ketahui, proses fotosistesis merupakan reaksi kimia berkat adanya khlorofil (zat hijau daun) dengan bantuan sinar matahari, di mana tumbuhan mampu mengubah gas karbondioksida yang diambil dari udara dan air yang diserap dari tanah melalui akar dan menghasilkan glukosa dan gas oksigen. Glukosa merupakan sumber energi yang sangat penting bagi makhluk hidup, baik tumbuhan, hewan, maupun manusia. Gas oksigen yang dihasilkan oleh proses fotositesis kemudian dibuang ke udara, suatu gas yang sangat berguna bagi pernapasan kita. Itulah kenapa bila di siang terik kita menemukan kesegaran alamiah bila berteduh di bawah pohon yang hijau dan rindang. Nah, proses fotosintesis tumbuhan tersebut juga bisa jelaskan dengan hukum kekekalan massa sebagai berikut: 22 gram karbon dioksida akan tepat bereaksi dengan 9 gram air. Reaksi tersebut akan menghasilkan 15 gram glukosa dan 1 gram oksigen.
Dalam kehidupan sehari-hari sungguh kaya-raya kita diliputi oleh kegiatan kimiawi, sebagaimana bumi kita ini diliputi oleh lapisan gas yang disebut ruang udara (atmosfer). Kita semua hidup pada lapisan paling bawah dari atmosfer, bagaimana gas-gas penyusun atmosfer tidak terlihat oleh mata telanjang kita tetapi dapat kita rasakan kehadirannya dengan cara mengibas-ibaskan tangan di udara dan bisa kita hirup dalam-dalam. Pada zaman dahulu orang menyangka bahwa gas penyusun udara hanya satu jenis saja. Kita tentu masih ingat apa kata Anaximenes, filosof Yunani Kuno dari Milenia yang menyangkal Thales itu, yang mengatakan bahwa udara sebagai satu-satunya unsur penyusun kehidupan. Pandangan Anaximenes ini tidak salah, benar adanya dalam pengertian zaman yang purba. Namun seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, bahwa sususan gas ada berbagai jenis, baru disadari setelah pada tahun 1774, Joseph Priestley (1733-1804) menemukan bahwa peristiwa pembakaran suatu zat tiada lain adalah reaksi kimia zat tersebut dengan salah satu komponen udara yang disebutnya vital air. Penemuan Joseph Priestley ini kemudian dikembangkan lagi oleh Antoine Laurent Lavoisier pada tahun 1779 dengan melakukan eksperimen ilmiah, yaitu memanaskan merkuri (raksa) dalam tabung tertutup. Ternyata merkuri bersenyawa dengan seperlima bagian udara, membentuk suatu serbuk merah yang kini disebut HgO. Empat seperlima bagian sisa udara tetap berupa gas. Lavoisier mengamati bahwa dalam gas sisa itu lilin tak dapat menyala dan tikus pun tidak bisa bertahan hidup lama. Dari eksperimentasi ilmiah ini Lavoisier menyimpulkan bahwa udara tersusun dari dua jenis gas. Jenis yang pertama adalah gas yang sangat berguna bagi kehidupan dan pembakaran, dan jumlahnya meliputi seperlima bagian udara. Inilah gas yang ditemukan oleh Priestley yang disebut dengan vital air itu, yang oleh Lavoisier kemudian dinamakan dengan Oksigen yang kita kenal dewasa ini. Adapun jenis udara penyusun yang kedua, yang meliputi empat seperlima bagian udara disebut “Azote” (berasal dari kata Yunani yang artinya “tiada kehidupan”). Pada abad ke-19 nama azote kemudian diganti menjadi nitrogen. Penelitian yang lebih akurat terhadap atmosfer pada abad ke-19 juga menunjukkan bahwa nitrogen dan oksigen merupakan 99% penyusun atmosfer bumi kita ini. Satu persen sisanya adalah oksida-oksida, metana, ozon, uap air, dan gas mulia. Terdapatnya gas-gas mulia (helium, neon, argon, kripton, xenon, dan radon) di alam ini juga baru diketahui pada akhir abad ke-19 berkat penemuan John Rayleigh (1842-1919) dan William Ramsay (1825-1916); keduanya dari Inggris dan berhasil mendapat hadiah Nobel pada tahun 1904. Inilah jasa dari kedua ilmuwan tersebut, sebagai penemu (bukan pencipta) dari unsur-unsur materi yang bertebaran di alam semesta ini.
Kini kita dapat mengetahui komposisi atmosfer secara mendetail, seperti terlihat pada tabel di bawah ini:



Komponen Udara

Persen Volume
(dalam Mol)

Titik Didih
(° Kelvin)

Nitrogen (N2)
Oksigen (N2)
Argon (Ar)
Karbon dioksida (CO2)
Hidrogen (H2)
Neon (Ne)
Helium (He)
Metana (CH4)
Kripton (Kr)
Xenon (Xe)
Gas-gas lain

78,084
20,948
0,934
0,034
0,01
0,002
0,0005
0,0002
0,00005
0,00001
Sedikit sekali
77
90
87
195
20
27
4
111
120
165
-



Dalam periode Yunani kuno, materi di alam semesta ini didefinisikan seperti yang tampak pada gambar di bawah, yakni hanya sejumlah empat unsur: udara, air, tanah, dan api. Ke empat unsur tersebut memiliki empat sifat dasar: dingin, panas, kering, dan basah. Udara diterangkan memiliki sifat panas dan basah. Air memiliki sifat dingin dan basah, api memiliki sifat panas dan kering, tanah memiliki sifat dingin dan kering. Itulah pencapaian yang berhasil dirumuskan oleh para filosof pada zaman Yunani Kuno. Para ahli kimia bangsa Arab kemudian menambahkah daftar unsur materi ini dengan: emas, perak, tembaga, besi, belerang, raksa, aksen, bismut, dan timah. Kemajuan ilmu kimia yang besar pada abad ke-19 atau pada tahun 1940 berhasil menemukan 92 unsur penyusun materi, dan pada tahun 1984 telah berkembang lagi menjadi 108 materi di alam semesta ini. Dan pada masa kini sudah ditemukan 116 unsur kimia yang sudah diklasifikasi ke dalam berbagai golongan seperti logam, non-logam, gas mulia, halogen, dsb. Di waktu-waktu mendatang, jumlah daftar materi di alam semesta ini pasti lebih banyak lagi seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan.


Ilmu kimia tentu juga berhutang besar pada Demokritus yang telah menemukan atom. Kata yang berasal dari kata a = tidak dan kata tomos = (terbagi/terurai) pada 4 abad Sebelum Masehi ini, suatubenda terkecil yang semula disangka tak bisa diurai lagi ini, ternyata masih bisa diurai, dibagi. John Dalton (1766-1844) setidaknya membuktikannya, apa yang kemudian telah dirumuskan sebagai teori atom modern dengan temuan atom senyawa. Sir Humphrey Davy (1778-1829) kemudian menemukan metode elektrolisa, suatu penguraian senyawa menjadi unsur-unsur dengan bantuan arus listrik. G. J. Stoney (1817-1895) mengembangkan dan menemukan elektron sebagai atom negatif, Ernest Rutherford (1871-1937) menemukan proton sebagai atom negatif, dan James Chadwick (1891-1974) menemukan neutron sebagai atom netral. Inilah mata rantai ilmu pengetahuan yang sambung-menyambung memajukan kebudayaan umat manusia hingga sekarang.
Demikianlah penjabaran materi secara panjang lebar menurut berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari zaman kuno hingga modern. Semua itu menjadi pengetahuan induktif yang sangat penting untuk menopang kebenaran filsafat materialisme dialektika. Hubungan antara filsafat dan ilmu adalah hubungan antara keumuman dan kekhususan atau antara hal yang mutlak dan hal yang relatif. Penjabaran tentang persoalan ini, bila kita bicara dari sudut filsafat yang meninjau seluruh hal-ihwal dunia materi obyektif ini, maka kita akan menemukan kebenaran absolut bahwa sampai kapan pun, setinggi apa pun kebudayaan umat manusia, materi itu tetap materi yang obyektif dan tak bergantung pada ide atau jiwa. Sementara kebenaran ilmu berkembang dari induksi ke deduksi tentatif, karena kedudukannya ditentukan oleh tingkat perkembangan tenaga produktif di bidang ilmu pengetahuan umat manusia. Dengan demikian, pengertian materi dari sudut pandang filsafat merupakan perluasan atau generalisasi dari pengertian materi menurut ilmu pengetahuan. Sehingga keduanya merupakan pertalian hubungan antara yang umum dan yang khusus, antara hal yang mutlak dan hal yang relatif.


• Apakah yang Dimaksud dengan Ide?

Sudah kita bahas berulang kali pada bagian terdahulu, bahwa dalam pengertian materialisme dialektika ide merupakan cerminan dari materi, sesuatu yang adanya dilahirkan dan ditentukan oleh materi. Persoalan ini mengandung dua pengertian.
Pertama, dipandang dari prosesnya kelahiran ide atau pikiran, maka tidak bisa dipisahkan dari materi tertentu yang kita sebut dengan otak. Yakni suatu organisme sistem urat syaraf yang telah mencapai tingkat perkembangan yang sangat tinggi selama jutaan tahun. Tanpa otak maka tak akan ada pikiran atau ide. Otak atau sistem urat syaraf manusia merupakan hasil tertinggi dari proses perkembangan alam. Oleh karenanya, ide merupakan suatu hasil dari proses hubungan antara manusia dengan alam obyektif yang membentuknya.
Kedua, dipandang dari isinya, suatu ide merupakan percerminan dari kenyataan obyektif. Tidak ada segala sesuatu yang terbit di dalam pikiran manusia yang tidak terdapat di dalam kenyataan obyektif. Dalam hal ini Marx berkata:

“Ide itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk pikiran.”

Pandangan materialisme dialektika tentang ide dengan demikian berbeda dan bertentangan dengan pandangan idealisme yang mengatakan bahwa ide sebagai pencipta dunia materi. Dalam perspektif filsafat materialisme dialektika, pandangan idealisme adalah pandangan yang salah karena dihasilkan dari cara pandang yang salah. Kesalahan subyektifisme ini tentu akan membawa pada kesesatan berpikir dan kesalahan-kesalahan susulan yang dihasilkannya.


• Dari mana datangnya ide yang benar?

Dalam sebuah tulisan yang terbit pada tahun 1963, Mao Tsetung menulis sebuah artikel dengan tema ini.

Dari mana datangnya pikiran manusia yang tepat? Apakah jatuh dari langit? Tidak. Apakah memang sudah ada di dalam otak manusia? Tidak. Pikiran manusia yang tepat hanya bisa datang dari tiga macam praktek sosial, yaitu perjuangan untuk produksi, perjuangan kelas, dan eksperimen ilmiah. Keadaan sosial manusia menentukan pikiran manusia. Sekali pikiran tepat yang mewakili kelas yang maju dikuasai oleh massa, pikiran itu akan berubah menjadi kekuatan material yang mengubah masyarakat dan mengubah dunia.

Seluruh kedatangan ide adalah apa yang ditentukan dan dibentuk oleh praktek sosial seseorang. Ide ini bisa berasal dari praktek seseorang secara langsung maupun praktek orang lain. Bagaimana seseorang melakukan berbagai perjuangan dan memperoleh pengalaman yang kaya, baik itu keberhasilan maupun kegagalan. Seluruh gejala dunia obyektif yang tak terhitung jumlahnya, tercermin di dalam otak manusia melalui panca indera – penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa lidah, dan perasaan tubuh. Pada awalnya semua gejala obyektif datang sebagai pengetahuan persepsi, kemudian oleh proses-proses akumulasi, seleksi, kombinasi dan daya cipta, pengetahuan persepsi berkembang menjadi pengetahuan rasional yang ditandai dengan cetusan suatu ide. Uraian ini adalah proses perkenalan pertama dari tingkat materi obyektif menuju kesadaran subyektif. Ide atau kesadaran subyektif kemudian ditempa kembali dalam kancah praktek untuk perkembangan yang lebih maju dan tinggi. Mari kita kaji satu per satu uraian Mao Tse-tung di atas.
Pertama, bagaimana perjuangan untuk produksi melahirkan ide? Hakekat dari persoalan ini adalah soal-soal yang menyangkut kelangsungan hidup manusia yang mutlak membutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Berbagai usaha manusia untuk melangsungkan hidupnya selalu menghadapi kontradiksi, baik dengan alam, keterbatasan tenaga produktif maupun kelas-kelas yang lainnya. Kontradiksi ini kemudian memunculkan berbagai macam ide. Ide seorang petani membuat cangkul, sabit, bajak sawah, hingga traktor adalah usaha-usaha nyata untuk menjawab kontradiksi manusia dengan alam; yakni kebutuhan material berupa teknik menggarap lahan pertanian yang lebih efisien dan efektik untuk menghasilkan bahan makanan. Ide tentang cangkul bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Ide tentang cangkul hingga berkembang menjadi traktor, lahir dari tanah dan seluruh perkembangan proses produksi pertanian. Penemuan perkakas-perkakas pertanian itu pun memerlukan waktu ribuan tahun yang melibatkan ribuan praktek, ribuan kali usaha daya cipta, kegagalan dan keberhasilan hingga perkembangannya yang paling mutakhir. Sehingga tidak salah bila kita mengatakan, lahirnya berbagai ide tentang alat-alat kerja dan teknologi pertanian adalah usaha hidup mati manusia petani dalam perjuangan produksinya. Inilah yang kita maksud dengan perjuangan untuk produksi melahirkan ide-ide.
Kedua, bagaimana perjuangan kelas melahirkan ide? Dalam perspektif Marxisme, sebagai contoh, lahirnya ide tentang negara merupakan hasil dari perkembangan masyarakat berkelas-kelas. Yakni sejak masyarakat kepemilikan budak di bawah kekuasaan monarkhi absolut tuan budak hingga masyarakat kapitalis di bawah kekuasaan kelas borjuis hari ini. Hakekat negara, menurut Lenin, adalah sarang kepentingan kelas-kelas yang berkuasa untuk menindas dan mendominasi kelas-kelas yang lain. Sejak kelahirannya hingga perkembangan dewasa ini, negara pasti memiliki watak represif atau memaksakan kepentingannya dengan seluruh aparatus di dalamnya (pemerintah, tentara dan penjara). Sebuah negara borjuis, pastilah seluruh kebijakannya mencerminkan kelas borjuis dan menindas kelas buruh dan rakyat pekerja lainnya. Menetapkan upah murah, sistem kerja kontrak, PHK, dsb. Kelas borjuis dengan demikian mengerahkan seluruh kekuatannya untuk bertahan dan menumpuk untung dengan berbagai cara-cara yang sepenuhnya reaksioner. Sebaliknya, sebuah negara sosialis yang hakekatnya sebagai penerapan diktatur proletariat, kelas buruh juga pasti akan menindas kelas borjuis. Mereka akan dibatasi, dikucilkan hingga ditiadakan untuk menghapuskan sistem penghisapan manusia atas manusia. Negara sebagai sebuah ide dalam uraian ini, jelas mencerminkan perjuangan kelas; ide perlawanan dari kelas-kelas revolusioner di satu sisi dan ide untuk bertahan dan menindas dari kelas-kelas reaksioner. Perjuangan kelas juga merupakan usaha hidup dan mati suatu entitas kelas untuk eksis dengan segala kepentingannya. Mereka saling bertentangan dan bertumbukan dalam banyak hal, proses-proses yang menuju matangnya kontradiksi hingga pecah menjadi berkobarnya api revolusi.
Ketiga, bagaimana eksperimen ilmiah melahirkan ide? Persoalan ini erat berkaitan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia terkait dengan ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah kita uraikan dalam pembahasan sebelumnya, kebudayaan manusia semakin maju seiring dengan penguasaan manusia atas ilmu pengetahuan. Orang banyak mengakui bahwa ahli-ahli kacamata dari Belanda telah menemukan baik mikroskop (1590) maupun teleskop (1608). Manusia yang telah menatap bintang selama ratusan tahun dengan mata telanjang, mendapatkan peralatan yang jauh lebih maju untuk meneliti ruang angkasa. Adalah Galileo Galilei, begitu ia mendengar alat tersebut, tak lama berselang ia membuat eksperimentasinya sendiri dan pada tahun 1609 dan berhasil menemukan teleskop bias untuk melihat dunia langit secara lebih maju yang mengukuhkan hipotesa Kopernikus (heliosentris) menjadi kepastian ilmiah tanpa prasangka. Beberapa tahun kemudian, Isaac Newton pada tahun 1668 membuat teleskop pantul sepanjang 15 sentimeter yang lebih modern dan memberi inspirasi pada eksperimen dan penemuan berikutnya. William Herschel, pada akhir abad 18 menemukan teleskop sepanjang 1,5 meter yang memberikan penglihatan terbaik untuk mengamati gugusan galaksi Bima Sakti. Abad 19 teleskop yang lebih besar diciptakan yang mampu melihat tatanan bintang yang lebih luas, yakni galaksi. Eksperimentasi ilmiah dan penciptaan teleskop hari ini telah menghantarkan sains di bidang astronautika, astronomi radio dan astrofisika. Kesemuanya ini merupakan hasil dari eksperimen ilmiah yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan manusia tentang alam untuk menjelaskan dunia obyektif secara lebih akurat. Dengan demikian tepatlah pendapat yang mengatakan bahwa eksperimen ilmiah melahirkan dan mengembangkan ide-ide yang memajukan kebudayaan manusia. Ilmu pengetahuan dengan demikian memiliki peranan emansipaif untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan berbagai bentuk kesalahan berpikir (subyektifisme).
Sikap dan tindakan yang tidak ilmiah dengan demikian juga pasti akan menyesatkan dan menjerumuskan umat manusia ke dalam jurang penderitaan. Kita bisa belajar dari peristiwa malapetaka banjir terbesar dalam tiga abad sejarah kota Jakarta, pada bulan awal Februari, 2007. Banjir besar yang mencapai seluas 396 km2 (60%) dari luas Jakarta, dengan curah hujan 401,5 mm/hari, yang mengakibatkan 55 orang tewas, 399 ribu jiwa mengungsi, dan kerugian material senilai Rp. 4,1 trilyun ini, dijawab dengan enteng oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Jenderal Sutiyoso dengan hanya membuat kesimpulan atas peristiwa alam ini karena siklus banjir lima tahunan. Jawaban ini bukan jawaban ilmiah, melainkan jawaban takhayul yang bersumber dari kebodohan metafisis dan menuntun pandangan-pandangan yang menyesatkan. Siklus banjir lima tahunan terjadi seolah-olah sebagai suatu keniscayaan alam yang sia-sia untuk kita lawan. Kebodohan metafisis macam ini sangat berbahaya dan menjadi musuh rakyat karena mengikat pikiran, tangan dan kaki manusia untuk tidak berbuat apa-apa mengatasi fenomena alam. Mari kita mengulas persoalan banjir ini secara ilmiah agar bisa membuang semua takhayul dari pikiran umat manusia.
Banjir pada intinya merupakan fenomena alam yang berasal dari curah hujan dengan intensitas tinggi maupun gelombang air laut yang pasang, yang didukung oleh berbagai faktor lain seperti buruknya sistem pembuangan air (drainase), dilanggarkanya disiplin ilmu lingkungan (ekologi), hancurnya ilmu perencanaan tata kota dan wilayah (planologi) karena kerakusan tanpa rencana, dan juga karena rendahnya apresiasi masyarakat terhadap ilmu cuaca dan iklim (meteorologi dan klimatologi). Fenomena alam berupa curah hujan dengan intensitas yang tinggi, tidak bisa lepas dari pemanasan global akibat aktifitas manusia semenjak periode revolusi indusri maupun karena faktor-faktor alam. Di mana aktifitas manusia menggunakan bahan bakar minyak (BBM), pembangunan gedung-gedung pencakar langit dengan rumah kaca (greenhouse effect), penggundulan jutaan hektar hutan tropik, telah menyebabkan semakin tingginya gas karbon dioksida (CO2) di udara dan mengakibatkan pelipatgandaan panas di bumi. Terjadinya letusan sejumlah gunung berapi yang menyemburkan abu dan debu juga turut mempengaruhi lapisan atmosfer bumi. Seluruh fenomena di atas telah mengakibatkan pemanasan global yang ditandai dengan terjadinya gelombang panas, meningkatnya suhu panas bumi, mencairnya bongkahan gunung es, dan hujan lebat yang semakin sering terjadi. Angin taufan dan badai memang akan menurun jumlahnya, namun semakin kuat daya terjangnya. Dampak lebih lanjut, menurut laporan hasil Panel antarpemerintah PBB untuk Perubahan Iklim (IPCC), adalah penderitaan yang semakin berat bagi rakyat di negara-negara miskin. Khususnya di negara-negara tropis yang miskin akan mengalami kekeringan dan malnutrisi karena persediaan air kian menipis, rakyat Afrika akan semakin menderita karena bencana akan melampaui kemampuan negara-negara yang bersangkutan untuk mengatasinya, dan lebih dari 30 persen tumbuhan dan hewan-hewan akan punah bila temperatur global meningkat sebesar 1,5 hingga 2,5 derajat celcius.
Kurang lebihnya inilah penjelasan ilmiah. Suatu penjelasan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan tentang fenomena alam yang sangat berguna bagi umat manusia untuk menghadapi berbagai fenomena alam. Keilmiahan suatu rumusan karena ia obyektif menjelaskan keadaan alam, yang mana akan menjadi modal terbesar bagi upaya kita menjawab tantangan alam seperti banjir. Seluruh khasanah ilmu tersebut sudah seharusnya memandu para birokrat dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat menyangkut tata kehidupan dan masyarakat. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Di tangan para kapitalis birokrat di negeri setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia ini, ilmu belum menjadi pelita hati; ilmu belum menjadi panduan dalam menyusun kebijakan yang visioner. Mayoritas para birokrasi pemerintah masih menjadi penganut klenik dalam berbagai wujud, mengumbar pernyataan-pernyataan bodoh tanpa dasar ilmiah, dan agenda pembangunan menjadi perwujudan dari kerakusan tanpa rencana yang berbuah bencana. Maka tak heran bila malapetaka sering datang menimpa rakyat baik di darat, laut maupun udara. Lantas siapakah sumber semua bencana ini? Tidak ada jawaban lain kecuali Pemerintahan reaksioner Republik Indonesia. Rakyat negeri ini dipimpin oleh klik reaksioner yang mewakili kelas komprador dan kapitalis birokrat yang menjadi musuh rakyat; musuh umat manusia dan alam semesta.
Sungguh luar biasa bila kita menjabarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Suatu perkembangan yang sepenuhnya material tentang bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan dan lompatan revolusi teknologi yang mewarnai kebudayaan manusia. Bagi kaum materialis, kita selalu setia pada yang sedang tumbuh dan bersegi hari depan di tengah pesimisme dan ketakutan kaum idealis dan mistikus yang melarikan semua hal pada mistisisme maupun transendentalisme. Pandangan materialisme dialektika mengatakan; ilmu pengetahuan seorang manusia, pencapaian ilmu pengetahuan umat manusia di zaman kini masih terbatas dan relatif. Keterbatasan dan kelemahan sudah semestinya menjadi tantangan manusia untuk dipecahkan, dengan terus belajar dan berkembang; dan tidak semestinya lagi membiarkan segala kelemahan itu menjadi pintu masuk bagi mistisisme dan takhayul ke dalam pikiran umat manusia. Ilmu pengetahuan umat manusia dalam sejarah panjang ke depan, sungguh tak ada batasnya. Artinya umat manusia pasti akan mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
Pandangan materialisme dialektika tentang dari mana datangnya ide yang benar di atas, sungguh sangat bertentangan dengan pandangan idealisme milik kaum mistikus. Dalam tradisi feodal kuno, seribu tahun usia kebiadaban yang umum, ide-ide berkembang dari jurusan mistik yang tidak memberi manfaat apa pun bagi umat manusia. Mereka menciptakan berbagai takhayul tentang kebesaran dan keagungan seorang raja, hak-hak istimewa bagi bangsawan dan gereja, untuk kepentingan mereka sendiri. Seluruh takhayul sudah seharusnya kita usir dari pikiran umat manusia untuk selama-lamanya, karena menjadi sumber pembodohan yang menciptakan rakyat dalam situasi kerdil, pasrah, takut, dan pasif.


• Peranan Aktif Ide dalam Perkembangan Materi


Sudah jelas kiranya uraian tentang apa yang kita maksud dengan materi dan apa yang kita maksud dengan ide. Bahwa materi berbeda dengan ide, bagaimana materi menentukan lahirnya ide. Secara khusus kita juga menjabarkan soal dari mana datangnya ide yang betul. Pada pembahasan selanjutnya kita akan menguraikan bagaimana kaum materialis mengakui peranan aktif ide dalam menentukan perkembangan materi. Pengertian ini mengandung dua hal.
Pertama, ide merupakan pencerminan dari materi, namun pencerminan ini bukanlah semata-mata pencerminan yang sederhana dan langsung sebagaimana kaca cermin memantulkan suatu obyek gejala luar. Ide dalam hal ini mempunyai berbagai daya dalam suatu proses pemikiran yang rumit, sehingga mampu mengenali hakekat dan gejala suatu materi. Dengan peranan aktif ide inilah yang memungkinkan manusia memajukan tenaga produktif, mampu menyempurnakan alat-alat dan teknologi untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengenali suatu keadaan dan mengubah suatu keadaan. Pengakuan terhadap peranan aktif ide inilah yang membedakan materialisme dialektika (reflektif-aktif) dengan materialisme metafisis (reflektif-pasif) maupun pandangan idealisme yang absurd karena menjungkirkan pikiran dan kenyataan tersebut.




Kedua, peranan aktif ide atau kesadaran terhadap perkembangan materi atau keadaan memiliki pengertian bahwa manusia dalam mengenal keadaan dan mengubah keadaan bertindak secara sadar, dengan motif dan tujuan tertentu, yakni untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ide-ide atau kesadaran revolusioner, yaitu ide yang mencerminkan hukum-hukum perkembangan obyektif, memiliki peranan aktif dalam mendorong perkembangan keadaan masyarakat menuju tingkat yang lebih maju. Sebaliknya ide-ide atau kesadaran reaksioner adalah ide yang berlawanan dengan hukum-hukum perkembangan keadaan obyektif, memainkan peranan sebagai penghambat dari seluruh gerak kemajuan masyarakat.
Materi dalam perspektif Marxisme juga berarti praktek. Ide dalam pengertian Marxisme juga berarti teori. Semua perwujudan teori adalah apa yang dilahirkan oleh praktek. Tidak ada sumber teori tanpa praktek, dan tidak akan ada perkembangan materi menuju materi baru yang lebih maju tanpa peranan teori. Dari uraian ini menunjukkan kekuatan Marxisme-Leninisme yang memandang pertalian teori dan praktek sebagai salah satu prinsip dalam cara kerjanya.
Praktek tanpa panduan teori atau sikap anti-teori, akan segera menjerumuskan kita dalam penyakit subyektifisme berupa empirisisme dan lokalisme yang sempit. Yakni pandangan yang menolak inspirasi-inspirasi paling maju dalam perjuangan proletariat di berbagai negeri. Bagi seorang penganut empirisisme, ia hanya punya satu guru yakni pengalaman praktek dirinya semata. Ia menolak mentah-mentah segala hal yang tidak atau belum pernah ia kerjakan sebagai pengalaman praktek. Bagi penganut lokalisme ia juga memiliki kecenderungan menolak praktek yang tidak berasal dari negerinya, walaupun itu sebuah pengalaman praktek yang maju sekalipun. Praktek tanpa panduan teori juga bermakna suatu situasi keterbelakangan sebagaimana menimpa kaum primitif atau seperti kata pepatah ibarat “katak dalam tempurung”. Mereka adalah segerombolan orang yang dikecam Lenin sebagai gerombolan yang mengidap penyakit kerajinan-tanganisme. Yakni pejuang-pejuang baru yang pergi ke pertempuran dengan perlengkapan dan latihan yang luar biasa primitif. Mereka pergi berperang seperti petani-petani membajak sawah, hanya bersenjatakan pentungan padahal mereka melawan tentara dengan persenjataan modern. Atau suatu lingkaran aktivis mahasiswa yang tidak ada sangkut-paut dengan gerakan rakyat sebelumnya, atau tidak memiliki hubungan dengan perjuangan di kota lain, tidak memiliki cara kerja yang maju, sistematis dan tanpa program yang jelas dan terencana.
Marxisme juga menolak para teoritikus yang terpisah dari praktek. Jauh-jauh hari Marx dan Engels sudah melancarkan kritik terhadap materialisme metafisis sebagai para penganut kontemplasi pasif yang tidak pernah bisa mengubah apa pun. Mereka hanya berdiri sebagai penafsir dunia namun tak bisa mengubah kenyataan. Mao Tsetung memberikan uraian yang sangat baik dalam menjelaskan pertalian erat teori dan praktek dalam tradisi Marxisme. Bahwa pengetahuan sama dengan praktek, dan mengetahui sama dengan berbuat. Materialisme pra-Marx, meninjau masalah teori atau pengetahuan terlepas dari watak sosial manusia dan perkembangan sejarah manusia, sehingga ia tidak sanggup memahami adanya ketergantungan teori pada praktek sosial, yaitu ketergantungan teori terhadap sistem produksi dan perjuangan kelas.
Dengan demikian, teori dan praktek merupakan dua pertalian erat antara mengetahui dan berbuat sekaligus. Dan menolak pandangan mengetahui hanya untuk hiasan pengetahuan semata. Mengetahui hanya untuk mengetahui, seringkali menjadi penyakit yang diderita oleh kaum intelektual yang terpisah dari praktek. Bagi mereka ilmu hanya untuk menghias diri, menjadi salon intelektual. Sedangkan bagi Marxis, teori adalah penuntun praktek bagi kesejahteraan dan kemajuan rakyat. Karena dengan praktek atau berbuat kita bisa mengembangkan suatu teori menuju ke tingkat yang lebih maju lagi.


 Peranan Aktif Teori dalam Perkembangan Praktek

Kembali pada pembahasan tentang peranan ide dalam perkembangan materi. Kita akan memahami mata rantai teori dan praktek di satu sisi, dan bagaimana teori menjadi panduan dalam perkembangan materi.
Marxisme merupakan Teori satu (T1) sebagai hasil dari Praktek satu (P1). Dalam sejarah kelahiran Marxisme sebagai teori, ia bersumber dari pengalaman praktek paling maju perjuangan kelas proletar pada zamannya, yakni pergolakan Komune Paris (1871). Sebuah peristiwa yang harus dibedakan dengan pergolakan rakyat pada umumnya di Eropa, di mana untuk pertama kalinya kelas buruh merebut kekuasaan dan berkuasa selama 60 hari walaupun baru di tingkat kota-praja Paris. Uraian ini memiliki arti bahwa praktek perjuangan kelas paling maju pada zaman Marx-Engels adalah Komune Paris, suatu praktek pengalaman yang semakin memperkuat dan mengembangkan teori Marxisme. Hal ini bisa kita katakan Komune Paris sebagai Praktek satu (P1) yang kemudian melahirkan dan mematangkan Marxisme sebagai Teori satu (T1). Lahirnya teori ditentukan oleh faktor praktek. Sampai tahap ini maka kita menyebut Marxisme sebagai teori perjuangan kelas dalam masyarakat kapitalis, yakni ketika lahirnya kelas buruh dan pertentangan antagonis melawan kelas borjuis.
Mata rantai berikutnya adalah bagaimana Lenin sebagai murid terbaik generasi kedua dari Marxisme memahami dan mempraktekkan Marxisme (T1) dalam kancah Revolusi Besar Oktober (Bolshevik) sampai pada kemenangannya kelas buruh di suatu negeri bernama Rusia pada tahun 1917. Kemenangan Revolusi Bolshevik yang telah menghasilkan USSR (Republik Sosialis Uni-Soviet), dalam konteks ini kita maknai sebagai pengembangan dan pengkayaan praktek dari Teori satu (T1) menuju Praktek dua (T2) yang melahirkan Teori dua (T2) bernama Marxisme-Leninisme. Sampai pada tahap ini, kita memaknai peranan teori Marxisme dalam memimpin perubahan masyarakat Rusia di bawah monarki Tsar menjadi Uni Soviet di mana kelas buruh memenangkan revolusi kelas di bawah pimpinan PKUS (B) di suatu negeri untuk pertama kali. Marxisme-Leninisme dengan demikian mengembangkan kemenangan Komune Paris sebagai perjuangan kelas buruh merebut kekuasan di suatu kota praja di Paris menjadi kemenangan kelas buruh di suatu negeri bernama Rusia. Di sini kita melihat peranan Marxisme sebagai Teori satu sebagai perspektif yang memimpin Praktek dua (P2) bernama Revolusi Bolshevik dan melahirkan Marxisme-Leninisme sebagai Teori 2 (T2). Tanpa ada Marxisme sebagai teori pembimbing maka tak akan ada kemenangan besar proletariat di Rusia. Leninisme merupakan praktek pengembangan dan pengkayaan Marxisme di zaman imperialisme.
Mata rantai peranan teori dalam mengembangkan praktek berikutnya adalah apa yang terjadi di Tiongkok. Mao Tsetung adalah murid terbaik dari Marxisme-Leninisme atau generasi ketiga dari Teori Marxisme. Mao Tsetung mempraktekkan panduan Teori 2 (Marxisme-Leninisme) dalam kancah praktek Revolusi Tiongkok sampai pada kemenangannya pada tahun 1949. Dalam pengertian ini, Revolusi Tiongkok merupakan Praktek ketiga (P3) yang kemudian melahirkan Marxisme-Leninisme-Maoisme sebagai Teori tiga (T3). Tanpa panduan Teori dua (Marxisme-Leninisme) Revolusi Tiongkok tidak akan mencapai kemenangan besarnya. Dan Mao Tsetung merupakan Generasi Ketiga dari Marxisme yang melaksanakan Marxisme-Leninisme secara konsekuen. Hal ini dibuktikan dengan perjuangan Mao Tsetung menjaga keilmiahan dan mengembangkan Marxisme-Leninisme baik dalam lapangan filsafat, ekonomi-politik maupun sosialisme ilmiah. Tanpa panduan teori Marxisme-Leninisme maka tak akan ada kemenangan besar proletariat di negeri Tiongkok. Juga merujuk pada praktek paling maju yang ditunjukkan Mao Tsetung baik dalam mengkritik kesalahan-kesalahan kawan Stalin maupun dalam hal memerangi revisionisme modern yang muncul pada tahun 1946 di Yugoslavia dan diresmikan oleh PKUS dalam Kongres ke-XX pada tahun 1956. Revisionisme ibarat kuda Troya, gagasan borjuis sebagai musuh ideologi kelas proletar yang menyusup ke dalam tubuh Partai Komunis. Revisionisme menggunakan “ABC Marxisme” untuk melawan jiwa Marxisme yang revolusioner. Revisionisme Modern menjadi faktor pemecah-belah terbesar dalam Gerakan Komunis Internasional yang kemudian terbukti mengalami kebangkrutan seiring dengan bubarnya Uni-Soviet yang kita maknai sebagai kebangkrutan dari rezim revisionis. Selain memerangi Revisionisme Modern, pengalaman Revolusi Besar Kebudayaan Proletariat (RBKP) di Tiongkok yang dipimpin Mao Tsetung juga memberi sumbangan besar bagi gerakan proletariat secara universal. Maoisme dengan demikian adalah Marxisme di zaman imperialisme dan Gerakan Pembetulan (Rectification Movement) di dalam tubuh Partai Komunis dan Gerakan Proletariat Internasional. Maoisme adalah landasan teori pemisah yang paling valid dengan seluruh garis Revisionis. Hakekat Gerakan Pembetulan adalah Bolshevikasi Partai-partai Komunis dari kemerosotan dan kerusakan massal karena mengidap penyakit yang paling berbahaya dewasa ini: Revisionisme Modern. Maoisme yang salah satu rumusan terpentingnya termuat di dalam “3 Wasiat Revolusi” atau apa yang sering dikenal dengan Tri Panji. Teori ini merupakan panduan Teori ketiga (T3) yang memberi inspirasi praktek bagi kemenangan perjuangan kelas proletar di berbagai negeri dewasa ini. Maoisme telah menjadi doktrin perjuangan kelas proletar secara universal, yang tidak hanya menjadi pengalaman praktek revolusi Tiongkok semata.
Demikianlah proses dialektis perkembangan praktek dan teori sejak Marxisme hingga Maoisme. Marxisme-Leninisme-Maoisme dengan demikian menjadi panduan teori perjuangan revolusioner dewasa ini, gudang senjata di mana proletariat modern paling maju harus mengambil argumen-argumen mereka yang paling kuat dan mematikan untuk menggempur kapitalisme dan memenangkan revolusi sosialis kelas proletar.





 Peranan Aktif Pimpinan dalam Perjuangan Massa

Masih dalam pembahasan peranan aktif ide dalam memimpin perkembangan materi. Kali ini kita membahas pengertian ini dalam konteks peranan pimpinan dalam perjuangan massa, sebuah penjabaran yang memiliki peranan maha penting dalam praktek perjuangan proletar yang revolusioner. Dalam perspektif Marxisme, ide juga memiliki arti sebagai pimpinan. Sedangkan materi memiliki arti sebagai massa. Pemimpin dan massa adalah dua hal yang tak terpisahkan sebagaimana materi menentukan ide. Keduanya memiliki ikatan kongkret yang menjelaskan kedudukan dan peranannya.

“Dalam tradisi Marxisme yang revolusioner, kelahiran seorang pemimpin hanya dari satu-satunya ‘bidan’ bernama praktek memimpin perjuangan massa dan satu-satunya ‘rahim’ bernama kawah perjuangan massa.”

Dalam tradisi Marxisme yang revolusioner, kita tidak mengenal ‘bidan’ maupun ‘rahim’ yang lain dalam melahirkan seorang pemimpin. Ia hanya bisa dilahirkan melalui praktek langsung memimpin perjuangan massa, perlawanan dan pemberontakan rakyat yang sungguh-sungguh. Tanpa ada perjuangan massa, tidak mungkin lahir pemimpin yang sebenarnya. Untuk itulah, generasi Marxis harus selalu mengobarkan perjuangan massa di zaman kapitalis ini kapan pun dan di mana pun. Tak ada jalan lain. Kehormatan dan kewibawaan seorang pemimpin hanya didapat ketika ia telah berjasa dan berarti; setelah melewati pengorbanan panjang dalam memimpin perjuangan massa dan mengubah kehidupan massa menjadi lebih baik. Tidak ada rumusan yang lain. Bila kita memegang teguh prinsip ini, maka praktek memimpin perjuangan massa menjadi satu-satunya sekolah terbaik untuk melahirkan pimpinan dari tengah-tengah massa. Dari sudut pandang ini persoalan akan semakin jelas, apakah seorang itu pemimpin sejati atau pemimpin gadungan; apakah ia lahir dari perjuangan konkret massa atau sejenis pimpinan palsu yang mengotori dan menyelewengkan perjuangan massa rakyat. Jelas kiranya bagi kita bahwa pemimpin tidak lahir hanya karena ia kebetulan anak seorang pemimpin besar revolusi, atau apa yang sering kita kenal dengan “anak ideologis” dan “anak biologis” yang asing bagi massa.
Dalam tradisi Marxisme yang sejati juga tidak dikenal pemisahan antara pimpinan dan massa. Keduanya menyatu bagaikan ikan dan air. Lahirnya seorang pimpinan semata-mata ketika seseorang hidup dan bersatu bersama massa, bergaris massa, mengatasi segala kesulitan massa dan merebut kepentingan massa dalam praktek langsung memimpin perjuangan massa. Peranan pimpinan adalah sebagai faktor yang membangkitkan, mengorganisasikan, mempersatukan, dan memimpin arah perjuangan massa. Dalam konsepsi inilah seorang revolusioner sejati tidak pernah muncul dalam wujud sebagai seorang yang sakti dan bijaksana sebagai hasil dari pertapaan yang panjang di semak belukar hutan belantara seperti dalam tradisi feodalisme yang lapuk itu. Seorang revolusioner selalu lahir dari pengorbanan dan perjuangan massa yang konsisten dan mencapai puncaknya dalam revolusi sosial.
Demikianlah tradisi Marxisme dalam melahirkan para pemimpinnya. Pertalian erat antara pimpinan dan massa, pengabdian seorang pemimpin kepada massa, dan pengorbanan konkret pimpinan dalam perjuangan massa menjadi faktor yang mengikat kecintaan massa rakyat kepada pimpinannya. Apalagi para pemimpin besar yang lahir dalam puncak perjuangan massa bernama revolusi di suatu negeri. Marx dan Engels akan dikenang sebagai pemimpin yang namanya harum dan abadi dalam hal memberi inspirasi fundamental bagi perjuangan kelas proletariat di dunia. Demikian juga Lenin yang telah memimpin kemenangan kelas proletar merebut kekuasaan dalam Revolusi Besar Oktober 1917 di Rusia, Ho Chi Minh memimpin rakyat Vietnam dalam memenangkan perang pembebasan nasional melawan negara-negara imperialis seperti Perancis dan Amerika Serikat. Demikian pula Fidel Castro dalam kemenangan Revolusi di Kuba di tahun 1975. Ia dipertahankan sebagai Presiden hingga usia tua karena faktor kecintaan rakyat terhadap pimpinannya. Tidak peduli Amerika Serikat sudah 10 kali mengganti presidennya, dan cerewet merasa diri paling demokratis dengan mengecam rakyat Kuba yang seolah-olah tidak bisa mengganti pimpinannya. Mereka semua adalah para pemimpin revolusioner yang dicintai oleh rakyatnya. Selama belum lahir pemimpin baru yang memiliki jasa besar bagi rakyat, mereka tidak akan mengganti pimpinannya. Hanya rakyat di suatu negerilah yang menentukan pimpinan idealnya, dan bukan oleh propaganda hitam ciptaan imperialisme AS yang anti rakyat tersebut.
Faktor-faktor inilah yang membedakan antara pemimpin revolusioner dalam tradisi Marxisme dengan pimpinan-pimpinan model kelas feodal maupun kelas borjuis yang keropos, palsu dan pada akhirnya disingkirkan oleh rakyatnya sendiri. Masih segar dalam ingatan kita, pimpinan semacam Suharto yang muncul di panggung kekuasaan Orde Baru dengan disokong oleh kekuatan imperialisme Amerika Serikat dan dilantik dengan darah dan penderitaan rakyat Indonesia, pada akhirnya dilengserkan dan dimusuhi oleh mayoritas rakyat Indonesia. Juga para pimpinan yang dilahirkan dari kotak suara dalam pemilu, hanya bertahan selama 5 tahun atau satu periode kepemimpinan. Mereka semua segera kadaluwarsa. Selebihnya sebatas rutinitas usang yang menjemukan dan tidak mengubah nasib rakyat. Sejarah hanya mencatat mereka sepintas lalu. Tidak ada yang menarik untuk dibicarakan, tak ada yang berharga untuk dikenang bagi para komprador musuh rakyat itu.
Kembali pada pasal peranan aktif ide dalam perkembangan materi. Pimpinan adalah ide yang muncul dari jutaan materi bernama massa rakyat. Dalam hubungan peranan aktif pimpinan dalam perkembangan massa, faktor pimpinan-lah yang kemudian menentukan perkembangan massa. Menempati kedudukan sebagai penyatu dan pengarah perkembangan massa, posisi pimpinan adalah ide yang memiliki peranan aktif dalam memimpin perkembangan massa. Pasal ini memberikan pemahaman kita, bahwa peranan pimpinan menempati kedudukan yang pokok dalam memimpin perkembangan materi bernama massa.
Kemenangan rakyat di suatu negeri semacam Tiongkok dalam periode perjuangan pembebasan nasional, kepemimpinan Mao Tsetung menjadi faktor pokok yang mampu menyatukan dan mengarahkan perjuangan rakyat Tiongkok hingga kemenangan besar dan tegaknya Demokrasi Rakyat dengan perspektif Sosialisme di negeri Tiongkok. Dalam hal ini Mao Tsetung menjadi pimpinan yang besar dan tepat dalam memimpin perkembangan rakyat Tiongkok dari kondisi negeri jajahan dan feodal menjadi negeri yang berdaulat dalam tatanan Demokrasi Rakyat dan berhari depan sosialis. Namun faktor pimpinan pasca Mao Tsetung, yakni Deng-Xioping, Jiang Zemin, dan Hu Jin Tao dewasa ini yang terkena penyakit Revisionisme Modern telah merestorasi Tiongkok dari Tiongkok yang berhari depan sosialis menjadi Tiongkok yang kapitalis. Kapitalisme telah direstorasi oleh kelas borjuis yang memimpin Partai Komunis Tiongkok hari ini. Dengan demikian demokrasi borjuis yang berkuasa kembali dan memimpin perkembangan Tiongkok hari ini.
Disebabkan oleh faktor kesalahan pimpinan Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) yang revisionis pula, telah memimpin kembalinya kelas borjuis di dalam tubuh Partai Proletar dan memimpin kebangkrutan dan kehancuran Uni Soviet. Bubarnya Uni Soviet bukanlah kegagalan dan kehancuran Marxisme-Leninisme dan sosialisme, namun kebangkrutan dan kegagalan dari rezim revisionisme modern penempuh jalan kapitalis. Dan faktor kesalahan pimpinan yang revisionis pula yang telah menjerumuskan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kehancuran dan kerusakan melalui avonturisme pimpinan yang gagal di tahun 1965. Semakin terang kiranya bahwa faktor kemenangan dan kegagalan dalam konteks ini tak bisa lepas dari faktor kepemimpinan yang mempengaruhi dan menentukan arah perjuangan massa.
Dalam perspektif peranan pimpinan dalam perkembangan massa, faktor pimpinan menduduki posisi pokok yang seringkali menentukan perkembangan massa. Kemenangan dan kegagalan suatu perjuangan terletak di tangan kolektif pimpinan yang memimpin arah perjuangan massa. Dalam konteks inilah kita tidak bisa dan tidak boleh menyalahkan massa dalam suatu perjuangan massa yang gagal. Massa tidak pernah salah. Kesalahan selalu terletak di tangan kolektif pimpinan sebagai pihak yang lebih maju dan aktif dalam melakukan propaganda, pengorganisasian massa, dan memimpin perjuangan massa.
Demikianlah hubungan antara pimpinan dan massa sebagai bagian dari persoalan yang tidak bisa kita lepaskan dari persoalan filsafat. Yakni peranan aktif ide dalam perkembangan materi.


• Dunia Materi adalah Satu Kesatuan Organik

Manusia
Hewan
Tumbuhan
Bintang-bintang
Planet-planet
Materi-materi alam lainnya

Ciri paling penting dari filsafat materialisme Marx-Engels yang membedakan dengan materialisme pra-Marx adalah metode mendekati gejala alam, mempelajari dan memahami seluruh gejala alam secara dialektik. Dialektika dalam konteks filsafat Marxisme merupakan suatu kritik atas metode berpikir metafisis yang sepotong-sepotong dan terpisah-pisah dalam mendekati persoalan. Pengertian metode dialektika adalah suatu usaha untuk mengenali, mempelajari, dan menganalisa segala sesuatu dengan hukum-hukum kesaling-hubungan dan gerak perkembangan seluruh gejala (materi) yang berlangsung secara obyektif.
Di dalam perspektif materialisme dialektik, memandang dunia materi bukanlah apa yang lahir dari ketiadaan, atau hasil ciptaan ide atau roh. Materi juga bukan suatu tumpukan gejala-gejala yang terjadi secara kebetulan, berdiri sendiri dan tak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Kebalikan dari itu semua, materialisme dialektika memandang bahwa materi merupakan gejala dari kesaling-hubungan organik. Susup-menyusup, saling mempengaruhi dan saling menentukan antara satu dengan yang lainnya dan telah berjalan secara historis. Dalam perspektif filsafat Marxisme, tidak ada satu manusia, satu hewan, satu tumbuhan, satu bintang, satu planet, satu zarah, atau materi apa pun itu namanya yang berdiri sendiri. Semuanya terikat dalam kesaling-hubungan organik dalam susunan semesta alam obyektif ini. Hal ini merupakan hukum yang obyektif. Tidak bisa dibantah. Dan bukan pula karena ciptaan manusia secara subyektif.
Sebagai contoh, mari kita jumpai sahabat kita Hegel yang hebat itu. Ia adalah seorang manusia yang memiliki nama lengkap George Wilhelm Friedrich Hegel, lahir tahun 1770 di kota Stuttgart, Jerman, dan meninggal tahun 1831 di kota Berlin karena penyakit kolera, tak bisa dipisahkan dari masyarakat manusia Jerman pada waktu itu. Jerman di tengah perkembangan kapitalisme yang paling lemah di Eropa; di bawah kekuasan feodalisme Friedrick Wilhelm III dan IV. Hegel juga tak bisa berdiri terpisah dari mata rantai filsafat Jerman Klassik, pengaruh arus besar politik yang digelorakan oleh Revolusi Perancis, pelajaran teologi yang diterimanya, Goethe yang digemarinya, dan juga tak bisa lepas dari pengaruh karibnya belajar teologi dan filsafat di Tubingen bernama Schelling. Hegel sebagai manusia konkret adalah manusia yang tak bisa lepas dari seluruh gejala kesalinghubungan sosial dan organik sebagai basis material hidupnya. Satu-satunya kesulitan yang sia-sia kita cari adalah hubungan material antara Hegel dan “roh-absolut” ciptaannya itu. Siapakah dia? Di manakah dia? Bagaimanakah parasnya? Hegel sendiri pasti menderita kesulitan setengah mati menghadirkan “roh absolut” pujaannya itu, untuk dipersilahkan duduk di kursi bersama kita dan mengkaji hal-ihwal dunia obyektif ini. Sebab “roh absolut” yang dia rumuskan itu bukanlah kenyataan obyektif, melainkan khayalan Hegel semata. Filsafat idealisme obyektif Hegel dalam hal ini telah tewas karena terpasung oleh metode dialektikanya sendiri.
Demikian pula dengan sistem kapitalisme yang telah melangsungkan diri selama kurang lebih 400 tahun ini. Ia bukan sebagai total jenderal dari masyarakat barang dagangan (komoditas) semata-mata. Ia adalah sistem yang sangat kompleks dan rumit, apa yang muncul dari hukum perampasan dengan cara kekerasan dan membangun dirinya di atas reruntuhan sistem lama (feodalisme). Suatu pertarungan yang memiliki makna hidup dan mati yang melibatkan bangunan sistemik: sistem berpikir lama dan baru (filsafat), sistem ekonomi-politik lama dan baru (apa yang diulas secara detil dan menyeluruh oleh Marx dalam buku Kapital – dari proses produksi kapitalis, komoditi, upah, akumulasi kapital, lahirnya kapitalis industri, hingga teori kolonisasi modern), bentuk-bentuk organisasi lama dan modern, sistem moralitas, budaya, adat-istiadat, dan seluruh hal-ihwal hingga perkembangannya yang tertinggi dan terakhir bernama imperialisme. Sistem kapitalisme sungguh merupakan susunan bangunan yang kompleks dengan hukum-hukum jaringan internalnya sendiri; suatu tatanan yang bila tidak kita kuasai dengan baik akan sulit menjelaskan apa yang disebut dengan negara persemakmuran (welfare state), negara jajahan atau semi-jajahan, krisis ekonomi, krisis politik, krisis revolusioner, maupun perang imperialis, dan kenapa kita harus melakukan perjuangan melawan imperialisme. Seluruh hal-ihwal ini tak ada yang berdiri sendiri. Dan kesulitan akan bersifat permanen bila seluruh usaha kita membongkar dan menghancurkan sistem kapitalisme tanpa melibatkan disiplin sistem yang baru sama sekali sebagai lawan tandingnya yang setimpal: yakni teori dan praktek Marxisme-Leninisme-Maoisme dengan seluruh konsekuensinya! Dalam disiplin teori (berpikir) dan praktek (bertindak) inilah kita bisa menilai warna-warni bendera dan isi panji-panjinya: bahwa seluruh pekerjaan kaum reformis adalah sia-sia dan tak dapat ganjaran yang bernilai historis karena tidak revolusioner dalam melakukan pembebasan kelas. Mereka tak ubahnya sebagai tukang renovasi sistem lama; juru bedak dari wajah kapitalisme yang penuh bopeng betapa pun tampak mulia jenis pekerjaan tersebut. Hal ini juga berlaku bagi para tukang mimpi sosialisme masa depan (utopis) – Saint Simon, Fourier, Robert Owen, dan para ahli warisnya masing-masing. Dan tak lupa pula kita sebutkan di sini teman-teman dari barisan oportunis, dua saudara kembar yang mengisi sayap kanan dan sayap kiri: Kautskyisme dan barisan kaum Anarkho – Bakunin dan para ahli warisnya di masa kini.
Ketidakpahaman tentang susunan organis dari sistem kapitalisme dan bagaimana harus diperlakukan secara revolusioner, akan segera berdampak pada penderitaan dalam berbagai bentuk inkonsistensi. Dari 1001 jenis inkonsistensi mari kita ambil dua contoh saja: sudah sejak tahun 1867 Marx menulis, “Gereja Inggris akan lebih memaafkan serangan-serangan terhadap 38 dari 39 ayat-ayat kepercayaannya ketimbang serangan terhadap 1/39 penghasilannya. Dewasa ini atheisme sendiri merupakan dosa ringan (culpa levis), dibandingkan dengan kritik terhadap hubungan kepemilikan yang berlaku.” Dari kupasan Marx ini kita bisa sedikit menguak persoalan, di mana kedudukan gereja Inggris dalam susunan masyarakat kapitalis yang paling maju tersebut, dan apa yang membedakan antara katolisisme Vatikan dan protestanisme Calvin, karyawan gereja yang mencangkokkan protestanisme ke jantung kapitalisme.
Dari tanah Inggris kita menuju ke tanah air kita. Seorang pengkhotbah keliling, mereka yang menganjurkan kesabaran dan keikhlasan kepada warga miskin seperti petani surudan yang tak punya tanah di pedesaan Wonosobo atau seorang buruh pabrik kuas di Jakarta Barat yang hidup dengan gaji Rp. 900.600/bulan pada tahun 2007. Dengan alam pikirnya sendiri, sang pengkhotbah keliling itu tampaknya tidak memahami asal-usul kemiskinan mereka. Lantas apa arti kesabaran di tengah susunan kekerasan penghisapan ekonomi semi-feodal? Apa makna keikhlasan di hadapan sistem perbudakan upahan modern kapitalisme? Dua kata bijak nan polos itu bagaikan balsem gosok yang tak manjur dan tak menghibur untuk menembus jaring-jaring sistem kokoh penghisapan kapitalisme. Dua kata itu (kesabaran dan keikhlasan) menjadi demikian sia-sia dan tak memiliki makna kecuali sifat kereaksionerannya. Dua kata ‘kesalehan’ yang penuh lumuran dosa kemanusiaan. Ia bukannya membela dan menjawab soal-soal kemiskinan, namun menjadi bagian dari operasi kekerasan sistemik; pembunuhan dengan cara-cara paling halus; bermantelkan jubah kesalehan dan kata-kata paling lembut.
Demikianlah manfaat pemahaman atas kesatuan organis dalam hal ini. Dari Hegel dan pengkhotbah keliling yang malang, mari kita beralih ke kerajaan flora dan fauna yang lebih sederhana. Soal saling hubungan warna-warni pada tumbuhan dan hewan, mengapa mayoritas tumbuhan daerah tropis berwarna hijau? Mengapa katak pohon dan serangga pemakan daun juga berwarna hijau? Mengapa binatang-binatang padang pasir berwarna kuning tanah sementara binatang-binatang dari daerah kutub berwarna putih salju? Apakah gejala alamiah ini karena dewa-dewi memiliki proyek pengecatan massal menurut selera warna-warni kesukaan mereka? Jawaban sains mengatakan tidak. Gejala warna-warni itu dapat dijelaskan dengan kekuatan fisikal dan agen-agen kimiawi yang bekerja secara alamiah. Dalam ilmu biologi teori adaptasi menjelaskan, bahwa warna-warni itu karena pengaruh lingkungan di mana hewan-hewan itu hidup. Seekor beruang kutub dengan bulu kulit tebal berwarna putih tentu karena adaptasi lingkungan salju yang dingin dan pengaruh warna putih salju yang mengelilinginya. Seekor kerbau rawa yang berwarna hitam itu tentu akan sangat menderita hidup di derah salju, sebelum alam akan membikinnya punah. Dengan kecepatan adaptasi yang sangat tinggi, seekor bunglon mampu beradaptasi demikian cepat terhadap lingkungannya untuk motif-motif mengelabui musuh atau menangkap buruannya. Seekor bunglon, dengan kecepatan adaptasi warnanya, tentu bukan suatu iseng atau tindakan oportunisme lingkungan yang main-main. Alam telah mendidiknya dalam banyak hal, baik dalam tingkah laku maupun warna-warni mereka. Semua gejala kesalinghubungan organik ini bukanlah mainan komposisi warna yang kasar, fanatik dan semena-mena dari Sang Pencipta. Karena kesucian itu identik dengan warna putih, maka cat putih yang dilaburkan di tubuh seekor beruang kutub. Karena warna hitam identik dengan warna kejahatan, maka dilaburkan tinta hitam di tubuh seekor burung gagak. Sungguh kasihan hewan-hewan itu bila memang demikian hukumnya. Dogmatisme macam ini tentu salah karena tidak obyektif. Tidak sesuai dengan kenyataan atau dalam pengertian lain tidak ilmiah.
Demikian pula dengan perilaku hewan-hewan. Atas dasar apa ikan-ikan kecil di dalam samudra memiliki ikatan perserikatan yang kuat, hilir mudik mencari makanan dan menghindari serangan musuh dengan cara bergerombol? Demikian juga dengan perserikatan dalam masyarakat semut dan lebah. Organisme-organisme alam (hewan dan tumbuhan), sesunguhnya memiliki hukum-hukum kependudukan mereka sendiri, yang bila kita selidiki lebih jauh memiliki manfaat tak terkirakan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya teori asal-usul dan perkembangan spesies. Siapakah pencetus yang menentukan bagi pekerjaan besar ini? Tak lain dan tak bukan adalah Charles Darwin. Dialah yang memasuki keseluruhan alam organik dan menemukan hukum-hukum perkembangan alam organik; teori kelangsungan hidup, seleksi alam berupa survival of the fittest, atau secara umum dijelaskan dalam teori evolusi. Istilah-istilah tersebut kini telah mengisi perbendaharaan dunia ilmu pengetahuan sebagai khasanah ilmu modern. Teori seleksi alam, berbicara tentang perkembangan organisme-organisme, sifat-sifat khasnya dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi kehidupannya; proses adaptasi seperti kesamaan warna serangga daun dengan daun-daunan; kemajuan dalam efisiensi fungsi-fungsi utama fisik seperti cara terbang, penglihatan dan berbagai perilaku fisik lainnya; teori penyimpangan sifat (divergensi) atau penganekaragaman (diversifikasi) spesies yang bergantung pada keadaan-keadaan alam hidupnya. Seluruh hal-ihwal flora dan fauna, dalam teori evolusi Darwin, mampu dirumuskan sebagai suatu hukum biologi universal yang menakjubkan.
Sungguh menggairahkan seluruh jiwa ilmiah kita bila membaca hidup Charles Darwin, berlayar bersama kapal besar HMS Beagle itu (The voyage of the Beagle 1831-1836), menyelidiki pantai-pantai yang masih perawan di Amerika Selatan, di mana ia menemukan fosil-fosil mamalia raksasa yang telah punah dalam lapisan-lapisan yang tidak memperlihatkan tanda-tanda katastrofi ataupun perubahan iklim. Di Kepulauan Galapagos Darwin menemukan bahwa mockingbird berbeda dari satu pulau ke pulau lainnya, dan ketika kembali ke Inggris kepadanya diperlihatkan bahwa kura-kura Galápagos (tortoise) dan burung-burung finch juga berbeda-beda spesiesnya tergantung pada masing-masing pulau yang mereka huni. Binatang berkantung dari Australia, kanguru dan platipus, adalah binatang-binatang yang sangat aneh sehingga ia berpikir “Seorang yang tak tahu mungkin akan berkata, pastilah ia dikerjakan ada dua Pencipta (Tuhan) yang berbeda”. Di Tasmania, di mana kaum budak di sana diperlakukan sangat buruk oleh kolonialis Inggris, sungguh menggetarkan nurani kemanusiaanya dan membuatnya menolak segala bentuk perbudakan. Ia juga meyakini bahwa tidak ada pembenaran moral apa pun yang yang mendasari perlakuan buruk manusia atas manusia karena perbedaan ras. Suatu pandangan maju yang terbit juga di masa pelayarannya, bahwa manusia sebenarnya tak jauh beda dengan binatang, bukan seperti yang diyakini oleh kaum pendeta misionaris yang hendak membikin suku-suku liar itu hidup lebih beradab.
Charles Robert Darwin (1809-1882) adalah seorang naturalis (materialisme dialektika di bidang ilmu biologi) yang teori revolusionernya meletakkan dasar-dasar bagi teori evolusi modern dan prinsip garis keturunan yang sama (common descent) dengan mengajukan seleksi alam sebagai mekanismenya. Teori ini kini dianggap sebagai komponen integral dari ilmu biologi. Dan kini ilmu biologi telah berkembang sedemikian maju dan mampu menerangkan susunan bentuk dan warna-warni hewan dengan penjelasan yang cukup historis dan ilmiah. Dengan suatu keyakinan ilmiah yang tak terbantahkan, dalam kesimpulan atas teorinya, Darwin mengatakan: “Izinkanlah saya mengatakan dalam karya ini dan selanjutnya, bahwa saya telah memposisikan diri secara tegas: saya yakin bahwa seleksi alam telah menjadi sarana utama, tapi bukan satu-satunya, sarana modifikasi.”
Tentu menjadi aneh dan kuno bila masih ada ilmuwan yang hidup di zaman modern sekarang lebih takjub dengan tindakan penciptaan yang ajaib ketimbang kelahiran yang biasa dan alamiah semacam ini. Seluruh penjabaran ilmiah dari sains modern telah menyingkirkan teori penciptaan dalam sekejap yang tak masuk di akal, seperti kitab Genesis maupun teori Kreasionisme yang telah mati membeku bersama kitab-kitab kunonya yang malang. Kitab Genesis dalam ajaran Katholik menyatakan bahwa Tuhan menciptakan bumi seisinya ini dalam waktu 6 hari. Pada awalnya Tuhan menciptakan tumbuhan, kemudian penghuni laut dan udara, dan pada hari terakhir menciptakan binatang-binatang darat. Sementara manusia, diciptakan pada awalnya Adam dan Hawa yang tinggal di surga. Namun karena keduanya tidak taat pada Tuhan, mereka dihukum dengan menjadi penghuni bumi. Dalam ajaran Islam, teori penciptaan dunia ini terjadi dalam sekejap oleh sabda Tuhan dalam bahasa Arab: “Kun fayakun” (Jadilah, maka jadilah).
Seluruh hal-ihwal ini, secara terang dan obyektif telah menunjukkan bagaimana hukum alam berkembang sebagai satu kesatuan organik yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Dan sejarah alam telah berjalan sebagai satu-kesatuan organik jauh hari sebelum ilmu-ilmu alam (astronomi, geologi, biologi, kimia, fisika, dsb.) menemukannya dan mampu memecahkan rahasia hukum-hukumnya. Inilah kenyataan obyektif yang telah dibenarkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sebagaimana sejarah masyarakat juga telah berkembang sangat tua, sebelum dirumuskan dan dipecahkan oleh ilmu sosial yang muncul kemudian.


• Gerak Sebagai Cara Beradanya suatu Materi & Dunia Materi Senantiasa Bergerak secara Abadi

Alam dan masyarakat, dalam perspektif materialisme dialetika, dipandang bukan hanya sebagai satu-kesatuan organik, namun sebagai dunia material yang senantiasa bergerak dan berkembang, patah-tumbuh hilang berganti. Gerak, perkembangan, dan perubahan adalah suatu yang abadi di dalam setiap materi.
Seluruh alam, dari sebutir pasir hingga matahari, dari protista sampai manusia selalu dalam keadaan timbul dan lenyap, senantiasa dalam keadaan mengalir, bergerak, berubah tiada henti. Bumi bergerak mengelilingi matahari, dan berotasi pada sumbunya. Matahari juga bergerak berotasi pada sumbunya setiap 26 hari, bersama dengan bintang-gemintang di galaksi kita. Neutron bergerak dan berubah menjadi proton, demikian pula sebaliknya. Masih menurut Engels, gerak adalah cara beradanya suatu materi, atau suatu materi yang pasti terikat dalam suatu gerak. Di manapun dan sampai kapan pun tak pernah ada suatu materi tanpa gerak. Materi tanpa gerak sama tidak mungkinnya gerak tanpa materi. Oleh karenanya, gerak sebagaimana materi itu sendiri tak dapat diciptakan atau dilenyapkan. Keduanya kekal abadi di alam semesta ini. Ia hanya dapat diubah (transform) menjadi bentuk-bentuk tertentu.
Karenanya, dalam sejarah evolusi ilmu-ilmu pengetahuan alam kita melihat bagaimana yang paling pertama-tama sekali dikembangkan adalah teori mengenai perubahan tempat yang paling sederhana, mekanika dari benda-benda langit dan massa-massa bumi; ia kemudian disusul oleh teori mengenai gerak molekular (fisika), dan nyaris bersama-sama, ilmu pengertahuan mengenai gerak atom-atom (kimia). Hanya setelah berbagai cabang pengetahuan mengenai bentuk-bentuk gerak yang menguasai alam non-biologi itu telah mencapai suatu derajat perkembangan yang tinggi, baru dapatlah penjelasan mengenai proses-proses gerak yang mewakili proses kehidupan itu dicapai dengan lebih maju. Ini merupakan kemajuan secara proporsional khususnya mengenai ilmu-ilmu mekanika, fisika, kimia maupun biologi.
Ilmu fisika sendiri menjelaskan gerak perubahan energi seperti energi mekanik, energi panas, energi listrik, energi nuklir, cahaya, suara, dsb. Energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan kerja. Setiap materi (zat) di dunia ini pasti memiliki energi karena setiap materi dapat melakukan kerja terhadap benda lain. Air memiliki energi sebab ia dapat menggerakkan roda kincir. Selain menggerakkan kincir, air terjun juga dapat memutar suatu dinamo sehingga memproduksi energi listrik. Energi listrik yang timbul ini kemudian juga mampu menimbulkan energi cahaya (menyalakan lampu), energi panas (memanaskan seterika), energi kimia (menguraikan air menjadi hidrogen dan oksigen). Bensin mempunyai energi sebab jika dibakar dapat membebaskan panas yang mampu menggerakkan motor. Mesiu juga memiliki energi sebab dapat meledak yang memiliki daya rusak di sekitarnya. Itulah penjelasan yang sangat terang dan ilmiah apa yang kita maksud dengan gerak materi dan cara beradanya. Dunia materi bergerak dan berkembang secara abadi.
Jelaslah dalam pandangan materialisme dialektika sebagai cerminan dari kondisi obyektif yang memang senantiasa dalam keadaan bergerak dan berkembang. Suatu pandangan yang sudah dirumuskan oleh Heraklitus, filosof Yunani Kuno dengan istilah Pantha-rai. Materi dan gerak tidak bisa kita tiadakan, ia adalah kenyataan seperti air yang mengalir. Demikian juga pepatah rakyat Melayu mengatakan, patah tumbuh hilang berganti, gugur satu tumbuh seribu. Kehidupan yang telah berusia jutaan tahun ini menjadi ajang pembuktian yang nyata dari kebenaran pandangan ini.


• Gerak materi adalah gerak materi itu sendiri

Pandangan materialisme dialektika menyatakan bahwa gerak merupakan cara beradanya suatu materi. Gerak materi dengan demikian adalah gerak materi itu sendiri, gerak yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan internal materi itu sendiri. Ia tidak ditentukan oleh dorongan-dorongan dari kekuatan di luar materi. Keadaan internal suatu materi adalah dasar dari perubahan sedangkan keadaan-keadaan luar adalah faktor-faktor dari syarat perubahan. Dengan demikian gerak internal materi menjadi dasar yang menentukan adanya perubahan dan peranan faktor luar hanyalah mempengaruhi; dalam dalam hal semakin memperkuat kematangan faktor intern maupun memperlemahnya. Kenyataan ini obyektif ini telah mendapat pembenaran dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu sosial yang berkembang demikian maju dan luas. Kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu alam, misalnya teori tentang atom, adanya transmutasi unsur-unsur di dalamnya telah membenarkan hal ini. Demikian pula teori evolusi, yang menjabarkan sejarah perkembangan evolusioner fisik dan organisme hewan-hewan dan tumbuhan. Dan tak kalah dengan ilmu alam, ilmu sosial juga menerangkan dengan tepat pengalaman sejarah umat manusia, bahwa perkembangan sejarah tidak ditentukan oleh materi di luar masyarakat manusia. Perkembangan sejarah masyarakat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari dalam masarakat itu sendiri, dengan mengambil contoh nyata bagaimana perjuangan kelas telah menggerakkan sejarah perkembangan masyarakat.
Terbentuknya embrio bayi manusia sebagai proses yang diawali dari penyatuan sperma dan ovum, merupakan proses gerak perkembangan organik dari bakal manusia itu sendiri dengan proses-proses material di dalamnya selama kurang-lebih 9 bulan. Bila kemudian sudah tiba waktunya lahir, ia membutuhkan bidan untuk membantu kelahirannya. Bidan dalam hal ini hanyalah faktor luar yang membantu kelahirannya dan bukan faktor yang menentukan lahirnya seorang bayi. Demikian pula dengan contoh dua materi bernama telur dan batu. Kedua materi tersebut bila diletakkan di dalam suhu dengan panas tertentu, pada perkembangannya, oleh gerak materi di dalamnya, telur menjelma menjadi anak ayam. Sementara dengan suhu yang sama tidak mungkin mengubah batu menjadi anak ayam. Materi bernama batu tetaplah batu yang tidak melahirkan apa pun.
Penerapan pasal ini juga berlaku dalam sejarah masyarakat Indonesia. Lahirnya gerakan pembebasan nasional melawan kolonialisme, adalah suatu proses dari tumbuhnya kesadaran masyarakat Indonesia atas penghisapan dan penindasan yang dilakukan, baik oleh kolonialisme Belanda maupun Jepang. Ide gerakan revolusi nasional tidak jatuh dari langit dan lahirnya Republik Indonesia juga bukan hadiah dari Tuhan maupun kolonialisme. Baik ide tentang revolusi nasional maupun lahirnya Republik Indonesia merupakan buah dari perjuangan rakyat Indonesia sendiri yang paling menentukan dalam membebaskan negeri dari cengkeraman kolonialisme. Faktor-faktor luar seperti situasi internasional, kemenangan gerakan pembebasan nasional di berbagai negeri yang memberi inspirasi perjuangan, mundurnya Jepang karena kehancuran Nagasaki dan Hiroshima, hanyalah faktor yang mempengaruhi kematangan faktor internal perjuangan pembebasan nasional di Indonesia.
Banyak negeri yang syarat-syarat geografis dan iklimnya hampir sama, perkembangannya jauh berbeda dan tidak sama. Bahkan perubahan-perubahan sosial yang besar sekali terjadi di suatu negeri yang sama meskipun geografi dan iklimnya tetap tidak berubah. Rusia yang imperialis berubah menjadi Uni Sovyet yang sosialis pada tahun 1917; suatu kemajuan sangat besar yang memberi pengaruh luas dan maju bagi seluruh gerakan pembebasan nasional di negeri-negeri kolonial. Jepang feodal yang mengunci pintu terhadap dunia berubah menjadi Jepang yang imperialis, meskipun geografi dan iklim kedua negeri itu tidak berubah. Tiongkok yang telah lama dikuasai oleh feodalisme mengalami perubahan yang besar sekali pada tahun 1949, Tiongkok yang bebas dan merdeka, meskipun geografi dan iklimnya tidak berubah. Geografi dan iklim dunia dalam keseluruhannya dan di setiap bagiannya memang mengalami perubahan-perubahan, tetapi perubahan-perubahan ini sangat tak berarti jika dibandingkan dengan perubahan-perubahan di dalam masyarakat; perubahan-perubahan geografi dan iklim itu hanya kentara dalam ukuran waktu puluhan ribu tahun, sedangkan perubahan-perubahan sosial sudah kentara dalam ribuan, ratusan atau puluhan tahun, bahkan dalam beberapa tahun atau beberapa bulan saja (di masa revolusi). Menurut pandangan dialektika materialis, perubahan alam terutama disebabkan oleh perkembangan kontradiksi intern di dalam alam itu sendiri. Perubahan-perubahan masyarakat terutama disebabkan oleh perkembangan kontradiksi-kontradiksi intern di dalam masyarakat itu sendiri, yaitu kontradiksi antara tenaga-tenaga produktif dengan hubungan-hubungan produktif, kontradiksi antara klas-klas, dan kontradiksi antara yang baru dengan yang lama; perkembangan kontradiksi inilah yang mendorong maju masyarakat dan mendorong pergantian masyarakat lama oleh masyarakat baru.
Faktor-faktor inilah yang kita maksud dengan gerak materi merupakan gerak perkembangan materi itu sendiri. Gerak materi bukanlah gerakan yang dihasilkan atau ditentukan oleh sebab-sebab ghaib atau materi di luar materi itu sendiri. Kita harus mampu membedakan dengan tepat antara faktor yang menentukan dan faktor yang mempengaruhi gerak suatu materi.


• “Diam” adalah Suatu Bentuk Gerak

Dengan pandangan bahwa dunia material itu selalu bergerak dan berkembang, bukan berarti bahwa Materialisme Dialektika menyangkal adanya keadaan diam atau statis. Materialisme dialektika berpendapat bahwa gejala demikan itu adalah suatu bentuk dari gerak, suatu bentuk gerak dalam keadaan tertentu di mana imbangan kekuatan-kekuatan di dalam materi itu, atau imbangan antara kekuatan-kekuatan di dalam dengan kekuatan-kekuatan di luar dari materi itu mencapai keseimbangan yang sifatnya sementara atau relatif. Keadaan demikian itu disebut juga kestabilan relatif dari suatu keadaan materi. Pandangan materialisme dialektika tidak mengenal pengertian diam dalam arti diam yang mandek atau mati. Sebab tidak ada suatu materi pun yang diam, mandek, mati yang tak bergantung atau terpisah dari gejala saling hubungan materi yang lain.
Mari kita ambil contoh. Di jalanan suatu ketika kaki kita terantuk sebongkah batu. Batu tersebut oleh pandangan mata telanjang kita mungkin saja dalam keadaan diam tak bergerak atau dalam keseimbangan mekanik; tetapi kediaman ini tidak berarti membebaskan dia dari gejala kesalinghubungan dengan materi yang lainnya. Diamnya sebongkah batu tak menghalanginya berpartisipasi dalam merayakan gerak bumi, gerak seluruh sistem matahari, partikel-partikel terkecil dalam melaksanakan getaran-getaran yang ditentukan oleh suhu udara, atau atom-atom yang tengah menjalankan proses kimiawi, dan proses-proses alamiah lainnya. Dalam hitungan hari kita mungkin tak melihat secara kasat mata perubahan-perubahan yang menimpa sebongkah batu tersebut, namun dalam hitungan bulan dan tahun ia tak akan selamat dari proses-proses alamiah yang mengepungnya, menggesernya, dan mengubahnya. Sebongkah batu itu lebih tidak akan selamat lagi ketika seorang kuli pengumpul batu menemukannya; semacam “takdir historis” yang segera membawa dirinya pada kehancuran berkeping-keping.
Dalam jagat astronomi pun juga dikenal adanya gerak diri (proper motion) suatu bintang, yakni perubahan kecil dalam posisi bintang selama jangka waktu tertentu. Perubahan tersebut disebabkan oleh gerakannya dalam antariksa. Gerak diri bintang ini tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, karena ia hanya bisa diketahui dari gambar foto skala besar yang diambil dari teleskop selama bertahun-tahun. Gerak diri bintang pada akhirnya akan mengubah pola rasi yang sudah dikenal. Bintang Barnard sebagai contoh, adalah salah satu bintang dalam gerak diri terbesar selama jangka waktu 180 tahun.
Demikianlah materialisme dialektika berpandangan bahwa bentuk gerak itu beraneka ragam coraknya. Semakin maju praktek sosial manusia semakin maju pula dan banyak aspek yang kita kenali sebagai gerak suatu materi. Gerak materi bukan pula semata-mata gerak mekanis sebagaimana perpindahan suatu benda pada tempatnya, namun juga meliputi panas dan sinar, listrik dan magnit, persenyawaan dan peruraian dalam kimia, sebagaimana gerak di dalam masyarakat, semuanya adalah gerak materi dari tingkat yang sederhana yang mekanis hingga yang rumit dalam gerak alam yang organis.
Jasad orang mati yang dikubur, adalah apa yang siap diterima dan diolah oleh materi tanah dengan segenap unsur-unsur organik di dalamnya. Dalam hitungan waktu, hari, bulan, tahun, jasad manusia segera terurai menjadi unsur organik yang tak terpisahkan dari tanah. Pun juga situasi keheningan atau kesunyian, adalah keadaan relatif suatu ruang yang disusun oleh minimnya unsur-unsur seperti suara, gerak, maupun cahaya secara obyektif. Suatu keadaan yang kerap kali ditafsirkan secara subyektif sebagai keadaan hampa atau suwung, kerajaan sunyi yang berdaulat dan soliter, yang memunculkan ide-ide transendental yang bermuara pada hal-hal mistik atau menjadi sumber ilham bagi berbaris-baris puisi seorang penyair. Mistik ataupun puisi selalu berlaku subyektif sebagai cerminan hal obyektif yang dirumuskan dengan cara tertentu oleh para pengarangnya. Ia bisa berupa mantera-mantera atau kata-kata yang berjumbai-jumbai.
Gerak juga bermakna tingkat perkembangan suatu materi. Di dunia ini tidak dikenal adanya masyarakat yang mandek tanpa aktifitas atau tanpa pergerakan. Kita bisa menyaksikan gerak masyarakat kapitalis pada tingkat awal sebagai persaingan bebas antar kapitalis (pra-monopoli) kemudian berkembang hingga tingkat kapitalis monopoli atau imperialisme sebagai tahap tertinggi dan terakhir dari sistem kapitalisme. Imperialisme pun juga akan berkembang ke tingkat berikutnya sebagai hukum pertentangan dalam gerak sistem masyarakat itu sendiri, yakni kehancurannya. Dan bentuk gerak materi yang satu juga dapat berubah menjadi gerak yang lain. Bentuk penghisapan antar kelas-kelas menumbuhkan kekuatan perjuangan kelas yang memiliki daya ledaknya dalam bentuk revolusi. Penemuan ilmu baik di lapangan sosial maupun sains telah demikian kaya memamerkan gerak materi dalam berbagai ragam bentuknya. Semua ini semakin membuktikan bahwa gerak tak hanya gerak mekanik semata, namun juga gerak organik. Telaah metode dialektika tentang gerak telah menemukan kebenaran obyektif karena kesesuaiannya dengan kenyataan dan jalannya kenyataan.






• Materi, Ruang, dan Waktu

“Bentuk-bentuk dasar dari semua keberadaan senantiasa terikat dengan ruang dan waktu, berada di luar waktu adalah suatu kemustahilan sebagaimana berada di luar ruang.”
F. Engels

Kedudukan materi selalu memiliki kesalinghubungan konkret dengan ruang dan waktu. Ruang dan waktu merupakan sesuatu yang obyektif, yang tak terpisahkan dengan gerak materi, abadi dan tak terbatas. Keduanya bersatu secara mutlak dan relatif.
Lantas apa yang kita maksud dengan ruang dan waktu?
Ruang adalah sifat universal dari proses-proses material yang saling berhubungan dengan cara tertentu. Ruang merupakan suatu keluasaan yang menjadi tempat saling ber-ada-nya suatu obyek dan fenomena, tempat bergeraknya segala sesuatu.
Waktu adalah sifat universal dari badan-badan materi yang memiliki perbentangan, menduduki tempat tertentu, dan diletakkan dengan cara tertentu dalam hubungannya dengan obyek-obyek lainnya. Bila ruang menjadi tempat saling ber-ada-nya obyek dan fenomena, maka waktu menjadi tempat pergantian obyek dan fenomena. Waktu memiliki satu dimensi, yakni pergerakan dari masa lalu ke masa depan.
Ketiga unsur ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keadaan materi selalu berada di dalam ruang yang bisa merujuk pada pengertian suatu keluasan; baik itu berupa alam semesta, dunia, negara, kota, desa maupun tempat tertentu. Ruang dalam pengertian keluasan ini tidak pernah mengenal kekosongan. Sehingga tidak dikenal suatu ruang kosong tanpa materi. Materi juga berkembang dalam rentang waktu. Dalam pengertian lain waktu bisa merujuk pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Waktu terus-menerus mendorong materi berkembang maju secara “historis”, tersusun setingkat demi setingkat, fase demi fase dalam proses yang terus berubah dan berkembang. Pengukuran waktu didasarkan pada berulangnya fenomena alam, misalnya satu tahun dijelaskan sebagai jumlah waktu yang dibutuhkan oleh bumi untuk melakukan satu putaran lengkap mengelilingi matahari. Satu hari didefinisikan sebagai jumlah waktu yang dibutuhkan oleh bumi untuk melakukan satu putaran lengkap pada porosnya. Waktu kemudian dirinci menjadi unit-unit lain seperti sekon, detik, menit, jam, hingga abad. Rumusan tentang waktu banyak diberi sumbangan oleh ilmu fisika dan matematika. Dalam perspektif materialisme dialektik, tidak ada satu materi pun yang berada di luar ruang dan waktu. Ketiganya mengikat dalam kesalinghubungan yang nyata.
Mari kita terapkan pembahasan abstrak di atas dengan contoh konkret. Materi bernama kelas borjuis dalam ruang bernama Revolusi Perancis dan jarum waktu yang menunjukkan bulan Mei 1789, adalah materi sebuah kelas yang memiliki watak revolusioner anti-feodalisme. Sebagai suatu kelas, ia terlibat dan memimpin langsung revolusi borjuis demokratis yang melibatkan kelas buruh dan kaum tani dalam menentang dan menumbangkan monarki feodal (Raja Luis XIV). Kelas borjuis Perancis pada waktu itu melakukan pukulan yang mematikan bagi kekuasaan monarki absolut. Oleh syarat-syarat sosial sebagai kelas yang baru tumbuh dalam dominasi dan penindasan feodalisme, kelas borjuis Perancis secara obyektif merupakan kelas paling maju dan revolusioner pada waktu itu.
Namun dalam perkembangannya, disebabkan oleh pertumbuhan corak produksi kapitalisme dan perkembangan ke tingkat tertinggi dalam bentuk imperialisme dewasa ini, merujuk pada jarum waktu tahun 2007, kelas borjusi Perancis oleh perkembangan syarat-syarat produksinya telah meninggalkan watak revolusioner dan berganti dengan watak reaksioner. Watak yang mereaksi segenap kemajuan, watak kelas yang mereka tunjukkan dan sama persis dengan watak kelas feodal yang keras kepala dan reaksioner, di mana mereka sendiri pernah melakukan perlawanan revolusioner terhadapnya. Perubahan watak kelas ini bukanlah suatu hal yang asing dan tak bisa kita kenali. Pandangan materialisme dialektik yang dinamis menjelaskan sejarah yang berkembang, masyarakat kapitalisme dan watak kelas-kelas di dalamnya dalam suatu tinjauan kontradiksi. Bagaimana kelas borjuis lahir, tumbuh dan berkuasa, menyusun sistem penghisapan manusia atas manusia yang lebih maju ketimbang feodalisme, dan bagaimana mereka dimakmurkan oleh seluruh buah-buah yang dipanen dari sistem busuk imperialisme dewasa ini. Demikianlah adanya dan jalannya (hukum) sejarah.
Materialisme dialektik tidak memandang segala sesuatu itu membeku dan abadi, sebagaimana pandangan kaum metafisis. Materi bernama kelas borjuis Perancis yang kita contohkan dalam uraian ini, terikat dalam ruang bernama imperialisme Eropa dan dalam panah waktu yang bergerak dari tahun 1789 menuju tahun 2007; telah berubah dan berkembang menjadi kelas reaksioner. Pelajaran ini mengajarkan pada kita bahwa dalam meninjau, menganalisa, dan memecahkan suatu persoalan, kita tidak bisa memisahkan satu gejala dengan gejala yang lainnya. Suatu materi senantiasa terikat dalam susunan suatu ruang tertentu dan perkembangan waktu. Dengan kata lain, seluruh kenyataan memiliki sejarahnya.


D. KATEGORI-KATEGORI DALAM MATERIALISME DIALEKTIKA

Seluruh susunan kenyataan selalu memiliki kesaling-hubungan, dan tidak ada satu hal pun yang tak memiliki hubungan atau berdiri sendiri secara mutlak. Susunan kenyataan merupakan gejala kesalinghubungan yang konkret dan memiliki segi-segi menurut kedudukan dan peranannya. Kesalinghubungan adalah gejala saling hubungan dalam arti konkret, nyata, bukan abstrak atau direka-reka. Kesalinghubungan juga memiliki kedudukan dan peranannya, bukan berlaku umum dan abstrak. Di bawah ini beberapa kategori materialisme dialektika dalam hubungannya dengan kontradiksi yang perlu kita ketahui.


 Sifat Kontradiksi: Kekhususan dan Keumuman Kontradiksi

Keumuman kontradiksi adalah suatu kontradiksi yang ada di dalam setiap proses perkembangan hal-ihwal, seluruh kenyataan obyektif. Keumuman kontradiksi terdapat di dalam kekhususan. Keumuman kontradiksi bersifat mutlak.

Kekhususan kontradiksi adalah suatu keberadaan yang adanya dalam kesalinghubungannya dengan keumuman. Ia memiliki awal dan memiliki akhir. Kekhususan kontradiksi bersifat relatif.





Keumuman Kontradiksi

Mao Tsetung, guru proletariat kita, dalam tulisannya berjudul Tentang Kontradiksi, mengulas dengan panjang lebar dan tepat soal-soal keumuman dan kekhususan kontradiksi ini. Karya tersebut sungguh memperkaya dan mengembangkan teori filsafat Marxisme-Leninisme yang sangat berguna bagi gerakan proletariat di dunia dan menjadi sumber teoritik dari kupasan kita kali ini.
Benar sekali bila ada pandangan Marxis yang menyatakan bahwa hukum kontradiksi menjadi sendi dari kehidupan ini, sebab ia terdapat di seluruh kehidupan dunia obyektif. Guru besar proletariat kita, Karl Marx di dalam karya besarnya Kapital menjadi tauladan tiada duanya dalam hal mengupas anatomi kelas-kelas dalam masyarakat kapitalis; menganalisa hubungan yang paling sederhana, paling biasa, paling pokok, paling umum, yang bersifat sehari-hari di dalam masyarakat kapitalis (masyarakat barang-dagangan), hubungan yang dijumpai jutaan kali dalam pertukaran barang dagangan. Di dalam gejala yang sangat sederhana ini, sebagai analisa di dalam “sel masyarakat borjuis” yang menyingkapkan semua hukum kontradiksi; benih-benih dari semua kontradiksi dalam masyarakat modern. Pembahasan selanjutnya menunjukkan kepada kita perkembangan kontradiksi-kontradiksi ini dan masyarakat ini, dalam jumlah dari bagian-bagiannya yang tersendiri-sendiri, dari awal hingga akhir.
Kutipan langsung yang kita ambil dari Engels di bawah ini cukup menjelaskan pandangan tentang keumuman kontradiksi:

Jika perubahan tempat secara mekanis yang sederhana itu saja sudah mengandung kontradiksi, maka lebih-lebih lagi berlaku bagi bentuk-bentuk gerak materi yang lebih tinggi, teristimewa bagi kehidupan organik dan perkembangannya. Kita melihat bahwa kehidupan terdiri dari justru dan terutama atas hal ini – bahwa suatu keberadaan pada setiap saat adalah dirinya sendiri namun juga sesuatu yang lain. Kehidupan oleh karenanya juga suatu kontradiksi yang hadir dalam hal-ihwal dan proses itu sendiri, dan secara terus menerus melahirkan dirinya dan menyelesaikan dirinya sendiri; dan segera setelah kontradiksi itu berhenti, kematian pun tiba. Begitu pula yang kita lihat di bidang pikiran, kita tak bisa menghindari kontradiksi, dan bahwa misalnya, kontradiksi antara kapasitas pengetahuan manusia yang secara pembawaan tidak terbatas dan kehadiran aktualnya pada hanya pada manusia perseorangan saja yang terbatas dan memiliki pengetahuan yang terbatas, namun mendapat pemecahannya di dalam yang ada – setidak-tidaknya secara praktek bagi kita – suatu pergantian generasi tanpa akhir, dalam kemajuan tak terhingga.

Marx-Engels dalam suatu manifesto yang paling garang yang pernah ada di dunia ini menuliskan:

“Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang-merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang-ahli dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas, senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang tiada putus-putusnya, kadang-kadang dengan tersembunyi, kadang-kadang dengan terang-terangan, suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan-kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan.”

Juga Lenin, murid terbaik dari Marx-Engels, menjelaskan keumuman kontradiksi sebagai berikut:

Dalam ilmu matematika: + dan -. Diferensial dan integral
Dalam mekanika: aksi dan reaksi
Dalam fisika: listrik positip dan listrik negatip
Dalam ilmu kimia: persenyawaan dan penguraian atom-atom
Dalam ilmu sosial: perjuangan kelas.

Semakin terang bagi kita bahwa keumuman kontradiksi ada di mana-mana dalam kehidupan dunia obyektif ini. Sejarah masyarakat, pertentangan kelas-kelas dalam masyarakat seperti yang diungkapkan kawan Lenin di atas, juga mencerminkan kontradiksi yang menciptakan pengetahuan maupun ideologi. Pun juga di dalam kehidupan berpartai. Akar dari kemunculan revisionisme modern di tubuh PKI dalam periode 1950-an hingga 1960-an, tidak bisa lepas dari kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia, khususnya lautan borjuis kecil sebagai basis sosial berkembangnya ideologi suyektifisme. Besarnya jumlah borjuis kecil ini memiliki dasar dari karakter masyarakat Indonesia yang berkarakter setengah jajahan dan setengah feodal. Belum berkembangnya industri nasional serta masih luas dan besarnya jumlah petani kecil perseorangan, perusahaan-perusahaan pemilik kecil, telah meletakkan PKI dalam lingkungan lautan borjuis kecil yang besar jumlahnya, termasuk asal kelas anggota PKI. Basis sosial ini telah menciptakan kondisi yang potensial menguatnya ideologi borjuis kecil di dalam Partai proletariat. Secara terang persoalan ini dikupas dalam Oto-Kritik Polit-Biro (OKPB) yang terbit pada tahun 1966, sebuah dokumen yang sangat penting dan wajib dibaca oleh generasi Marxis Indonesia agar belajar dari kesalahan-kesalahan subyektifisme di masa lalu:

“Metode berpikir borjuis kecil adalah subyektif, berat sebelah dalam meninjau masalah-masalah. Tidak bertolak dari kenyataan obyektif, dari imbangan kekuatan-kekuatan kelas-kelas yang obyektif, tetapi dari kemauan subyektif, perasaan subyektif, angan-angan subyektif. Subyektifisme inilah yang menjadi sumber ideologi kesalahan-kesalahan dogmatisme atau empirisisme di bidang teori, oportunisme kanan atau oportunisme “kiri” di bidang politik, dan liberalisme atau sektarianisme di bidang organisasi, yang pernah terjadi di Partai kita.”

Demikianlah kiranya, keumuman kontradiksi ada dan terjadi sebagai kemutlakan di seluruh kenyataan, menjadi sendi dari gerak alam semesta dan masyarakat. Generasi Marxis Indonesia harus belajar dan menguasai metode berpikir ini agar menguasai hal-hal umum dari kontradiksi di dalam sejarah masyarakat dunia dan masyarakat kita sendiri. Sebagaimana pepatah Melayu juga mengajarkan tentang kontradiksi ini dengan kata-kata: “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Suatu pepatah yang benar dan dialektis, mengajari kita tentang keumuman dan kekhususan kontradiksi. Bahwasannya kita tidak boleh menganggap semua belalang di setiap ladang adalah sama, atau semua ikan di setiap lubuh adalah sama. Masing-masing memiliki kekhususannya sendiri-sendiri sebagai hasil dari setiap keadaan yang menciptakannya.


Kekhususan Kontradiksi

Kekhususan kontradiksi merupakan kontradiksi yang terjadi di dalam gerak materi secara khusus. Suatu hal-ihwal yang menuntut pengenalan secara khusus yang membedakan kualitas suatu materi dengan kualitas materi yang lainnya. Menurut Mao Tsetung:

“Dalam hubungan dengan setiap bentuk gerak materi itu, kita harus memperhatikan titik-titik persamaan dengan bentuk-bentuk gerak lainnya. Tetapi yang terlebih penting, yang menjadi dasar pengetahuan kita tentang hal-ihwal, ialah memperhatikan kekhususannya, yaitu memperhatikan perbedaan kualitatifnya dengan bentuk-bentuk gerak lainnya. Hanya bila memperhatikan ini, kita dapat membeda-bedakan hal-ihwal. Bentuk gerak apa pun di dalamnya selalu mengandung kontradiksinya sendiri yang khusus. Kontradiksi khusus ini merupakan hakekat khusus yang membedakan suatu hal ihwal dari hal-ihwal lainnya. Inilah sebab dalam, atau dapat juga dinamakan dasar, sebagai adanya perbedaan hal-ihwal dalam seribu satu macam di dunia ini… Hakekat khusus setiap bentuk gerak materi ditentukan oleh kontradiksinya sendiri yang khusus. Ini berlaku bukan hanya bagi alam saja, tetapi juga bagi gejala-gejala sosial dan ideologi. Setiap bentuk masyarakat, setiap bentuk ideologi, mempunyai kontradiksinya yang khusus dan hakekatnya yang khusus.”

Menurut urutan gerak pengetahuan manusia, pengetahuan selalu meluas secara berangsur-angsur dari pengetahuan mengenai hal-ihwal yang satu-satu dan khusus ke pengetahuan mengenai hal-ihwal pada umumnya. Seseorang selalu terlebih dulu mengenal hakekat khusus dari banyak hal-ihwal yang berbeda-beda, kemudian baru dapat lebih jauh melakukan generalisasi dan mengenal hakekat umum dari berbagai hal-ihwal. Setelah mengenal hakekat umum ini, maka dengan berpedoman pada pengetahuan mengenai hakekat umum ini, seseorang lebih lanjut melakukan studi mengenai berbagai hal-ihwal konkrit yang belum pernah dipelajari atau belum secara mendalam dipelajari, untuk menemukan hakekat khusus masing-masing; hanya dengan demikian dapatlah melengkapi, memperkaya dan mengembangkan pengetahuan mengenai hakekat umum ini tidak menjadi layu dan beku. Demikanlah dua proses pengetahuan: yang satu dari khusus ke umum (induktif-deduktif), dan yang lainnya dari umum ke khusus (deduktif-induktif).
Masih menurut Mao Tsetung, pengetahuan manusia selalu bergerak secara melingkar, dan setiap lingkaran – selama kita berpegang keras pada metode ilmiah – dapat mengangkat pengetahuan manusia setingkat lebih tinggi, sehingga pengetahuan manusia atas suatu kenyataan semakin meninggi dan mendalam. Kesalahan kaum dogmatis dalam masalah ini adalah, di satu pihak, mereka tidak mengerti bahwa hanya setelah mempelajari kekhususan kontradiksi dan mengenal hakekat khusus satu-satu hal-ihwal, dapatlah kita sepenuhnya mengenal keumuman kontradiksi, sepenuhnya mengenal hakekat umum hal-ihwal, dan di sisi lain, mereka tidak mengerti bahwa setelah mengenal hakekat umum hal-ihwal itu, kita harus pula lebih lanjut mempelajari hal-ihwal nyata yang belum secara mendalam dipelajari atau yang baru saja muncul. Kaum dogmatis adalah pemalas - mereka menolak untuk melakukan setiap pekerjaan studi yang berat mengenai hal-ihwal yang nyata, mereka menganggap kebenaran umum sebagai sesuatu yang muncul dari udara, menjadikannya rumus-rumus abstrak belaka yang tidak dapat ditangkap, dengan demikian sama sekali menyangkal serta memutarbalikkan urutan yang normal dari pengetahuan manusia mengenai kebenaran. Inilah sumber kesalahan epistemologis. Mereka juga tidak mengerti akan saling-hubungan antara dua proses pengetahuan manusia – dari khusus ke umum dan kemudian dari umum ke khusus. Mereka sama sekali tidak mengerti teori Marx tentang pengetahuan.
Banyak dari kalangan kita yang masih sukar menghubungkan secara konkret penghisapan dan penindasan dua sistem reaksioner imperialisme dan sisa-sisa feodalisme dalam masyarakat Indonesia dewasa ini sebagai akar dari kemiskinan rakyat. Mereka gemar sekali bicara hal-hal umum dan frase-frase teoritik, diskusi omong kosong tentang politik, namun lupa melakukan pekerjaan investigasi sosial secara mendalam. Mereka tidak pernah tahu apa hubungan antara kemiskinan pedesaan dan sistem semi-feodal? Apa hubungan antara perampokan sumber daya alam kita, kedudukan dan peranan pemerintah boneka, dengan imperialisme? Apa hubungan antara dipangkasnya subsidi rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, dsb, dengan imperialisme? Bahkan soal-soal konkret sehari-hari seperti apa hubungan antara kemacetan lalu-lintas di ibukota Jakarta, banjir mobil-mobil pribadi buatan asing itu, dengan imperialisme? Semakin jelas kiranya bahwa tugas-tugas investigasi sosial adalah suatu usaha kita untuk mengetahui keadaan khusus secara lebih konkret dan mendalam; kemudian bagaimana tindakan kita mengubah keadaan. Dan sudah jelas pula sikap kita untuk segera meninggalkan seluruh tindakan omong-kosong tentang politik, frase-frase umum dan teoritik yang tidak konkret dan tidak mampu memecahkan persoalan massa rakyat.
Dengan mengenali kekhususan kontradiksi, maka kita juga akan mampu memecahkan penanganan kontradiksi tersebut. Misalnya, kontadiksi antara proletariat dengan borjuis dipecahkan dengan cara revolusi sosialis; kontradiksi antara massa rakyat dengan sistim feodal dipecahkan dengan cara revolusi demokratis; kontradiksi antara tanah jajahan dengan imperialisme dipecahkan dengan cara perang revolusioner nasional; kontradiksi antara kelas buruh dengan klas tani di dalam masyarakat sosialis dipecahkan dengan cara kolektifisasi dan mekanisasi pertanian; kontradiksi di dalam Partai Komunis dipecahkan dengan cara kritik dan otokritik; kontradiksi antara masyarakat dengan alam dipecahkan dengan cara mengembangkan tenaga-tenaga produktif. Proses-proses pertentangan selalu berubah secara abadi, proses lama dan kontradiksi lama melenyap, proses baru dan kontradiksi baru timbul, karena itu cara-cara memecahkan kontradiksi juga berbeda-beda. Pemecahan kontradiksi-kontradiksi yang berbeda dengan cara yang berbeda – inilah prinsip yang harus ditaati dengan keras dan penuh disiplin oleh kaum Marxis-Leninis. Kaum dogmatis tidak mentaati prinsip ini: mereka tidak mengerti akan perbedaan keadaan dalam berbagai macam revolusi, oleh karenanya juga tidak mengerti berbagai macam revolusi, oleh karena juga tidak mengerti akan keharusan memecahkan kontradiksi-kontradiksi yang berbeda dengan cara-cara yang berbeda; sebaliknya, mereka selalu dengan serampangan menerapkan ke mana-mana rumus yang itu-itu juga, yang dianggap tak dapat diubah; dan ini hanya mungkin mengakibatkan kekandasan-kekandasan revolusi atau membikin rusak sama sekali apa yang sebetulnya dapat dikerjakan dengan baik.
Sangat tepat sekali apa yang dikatakan oleh kawan Lenin, bahwa “nyawa dari Marxisme adalah analisis konkret atas situasi konkret.” Pernyataan ini mengandung pengertian penting bagi kita untuk melakukan penyelidikan atas seluruh hal-ihwal materi yang selalu memiliki kekhususan agar menjauhkan diri kita dari tindakan subyektifisme. Mari kita menerapkan saran kawan Lenin ini dalam membedah penyakit subyektifisme dalam bentuk revisionisme yang khas (khusus) dari PKI sejak tahun 1951 hingga 1965. Suatu perpaduan antara kekhususan berupa kelemahan subyektivisme di dalam tubuh kolektif pimpinan PKI dan keumuman revisionisme modern yang terjadi dalam skala dunia.
Seiring dengan pengesahan resolusi “Jalan Baru” 1948 yang pada hakekatnya merupakan usaha nyata untuk memperkuat ideologi proletariat di dalam tubuh Partai, dan melaksanakannya. Namun perjuangan internal di bidang ideologi ini tampaknya belum mencapai ke semua tingkatan anggota Partai sehingga belum mampu mencabut subyektifisme sampai ke akar-akarnya. Tan Ling-Djie sebagai pimpinan Partai pada waktu itu memang diturunkan karena kritik dan kesalahan yang disimpulkan sebagai kesalahan subyektifisme. Politbiro yang baru di bawah kepemimpinan DN Aidit kemudian tampil memimpin Partai. Di bawah kepemimpinan DN Aidit, pada tahun 1951, PKI terlibat dalam persiapan politik pemilu untuk pertama kalinya pada tahun 1955. Dalam kurun waktu 6 tahun semenjak “Jalan Baru” ditetapkan, tepatnya pada tahun 1954, dalam Kongres Nasional ke-V PKI mengesahkan garis manifes pemilu yang salah dalam bentuk program “Menuju kotak pemilu untuk membentuk Pemerintah Demokrasi Rakyat”. Untuk melancarkan garis ini, Kongres Nasional juga menetapkan garis Front Persatuan Nasional sebagai tugas yang utama, dan pembangunan Partai sebagai tugas yang kedua. Garis ini terus dipertahankan dan dilanjutkan dalam Kongres Nasional ke-VI.
Terlepas kesalahan manifes pemilu PKI itu kemudian dikoreksi, namun koreksi itu tidak disertai penjelasan apa sebabnya; seolah perubahan dilakukan hanya karena belum waktunya untuk diajukan. Kasus ini menunjukkan, pimpinan Partai tidak bertindak secara Marxis-Leninis yaitu jika mengalami kesalahan harus mengakui secara terang-terangan, dengan menganalisa sebab-sebabnya dan menentukan tindakan untuk membetulkannya. Dengan demikian perubahan program tersebut sama sekali tidak mengandung koreksi sumber kesalahan berupa oportunisme kanan di dalam internal partai. Selain tidak mendapat koreksi yang benar, garis politik yang dihasilkan oleh Kongres Nasional sebagai forum tertinggi organisasi ini mengandung kesalahan oportunisme “kiri” dan kanan sekaligus. Ditinjau dari segi program yang terlampau jauh, melampaui apa yang bisa dicapai berdasarkan syarat-syarat obyektif, merupakan bentuk kesalahan “kiri”. Akan tetapi bila ditinjau dari cara berpikir bahwa Demokrasi Rakyat akan bisa dicapai melalui jalan damai pemilihan umum, merupakan kesalahan kanan. Garis yang salah ini tentu suatu perwujudan subyektifisme di dalam Partai, sebuah pandangan yang kita kenali dengan revisionisme modern.
Sebagaimana kita ketahui secara teoritik bahwa Pemerintah Demokrasi Rakyat adalah kekuasaan politik dari kekuatan-kekuatan anti-imperialis, anti-kapitalis birokrat atau komprador, dan anti-tuan tanah, di bawah pimpinan kelas buruh. Kekuasaan politik demikian hanya mungkin didirikan sebagai hasil revolusi demokrasi rakyat, dan diperlukan untuk menjamin berlangsungnya peralihan dari masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal ke sosialisme. Kekuasaan demikian tidak mungkin didirikan melalui pemilihan umum dalam sistem demokrasi borjuis.
Kesalahan yang tidak dibetulkan ini kemudian muncul kembali dan memuncak dengan diresmikannya “jalan damai” sebagai ciri dari revisionisme modern yang paling jelas dalam Kongres Nasional ke-VI PKI tahun 1959. Konstitusi PKI hasil Kongres ke-VI itu sendiri mencantumkan dengan nyata bahwa:

“... adalah suatu kemungkinan bahwa sistem Demokrasi Rakyat sebagai tingkat peralihan ke sosialisme di Indonesia dicapai dengan jalan damai, jalan parlementer. PKI dengan sekuat tenaga berjuang untuk menjadikan kemungkinan ini suatu kenyataan.”

Garis revisionisme modern di tubuh PKI ini tidak pernah mengalami pembetulan, bahkan dipakukan kembali dalam Kongres Nasional ke-VII PKI pada tahun 1964. Kasus yang lain adalah apa yang terjadi pada tahun 1963, ketika ketua CC PKI DN. Aidit mendapat undangan dari PKT untuk datang ke Peking guna menerima pengangkatan sebagai anggota kehormatan dari Akademi Sinica Tiongkok. Menyambut pengangkatannya, DN. Aidit menyampaikan pidato politik berjudul “Dua Aspek dalam Kekuasaan Negara Republik Indonesia”. Hal ini oleh OKPB disebut dengan “teori dua aspek” dan merupakan ciri khas revisionisme PKI. Sungguh ironis, teori revisionis itu disiarkan melalui Radio Peking, alat propaganda penting PKT, yang waktu itu merupakan mercusuar pejuangan melawan revisionisme dalam skala dunia. Ditambah lagi, dalam seremoni penganugerahan tersebut, tidak tanggung-tanggung hadir pula Liu Shiau-Chi, ialah wakil ketua CC PKT yang merangkap sebagai Presiden RRT.
Lahirnya “teori dua aspek” menunjukkan betapa lemahnya pengertian teori pimpinan Partai. Menurut ajaran Marxisme-Leninisme, negara adalah alat kekuasaan kelas yang menguasai ekonomi. Dalam masyarakat kapitalis, negara adalah alat kelas kapitalis untuk melindungi kekuasaanya atas ekonomi, untuk menindas kelas buruh dan rakyat pekerja lainnya. Di Indonesia sebagai negeri setengah kolonial dan setengah feodal, negara adalah alat kekuasaan kelas-kelas kapitalis monopoli asing, kapitalis birokrat atau komprador dan tuan tanah. Namun fakta ini seperti tidak diketahui dengan benar oleh pimpinan Partai waktu itu.
Revisionisme modern yang dikembangkan oleh Khruschev sejak Kongres Partai Komunis Uni-Soviet (PKUS) ke-XX pada tahun 1956 merupakan jenis opurtunisme kanan yang paling berbahaya dan menguasai hampir mayoritas Partai-partai kelas buruh di dunia. Semenjak tampilnya Khruschev di pucuk kepemimpinan, revisionisme sudah menguasai PKUS dan mengkampanyekan tiga damai; peralihan secara damai dari kapitalisme ke sosialisme; hidup berdampingan (koesistensi) secara damai antara sosialisme dan imperialisme, serta kompetisi secara damai antara ekonomi sosialis dan ekonomi kapitalis. Mendamaikan sosialisme dengan imperialisme hakekatnya merupakan pembelaan sangat efektif terhadap imperialisme yang sudah berada dalam proses keruntuhannya pada waktu itu. Tesis-tesis revisionis telah melucuti senjata ideologi proletariat dalam menghadapi imperialisme. Hal ini telah mengakibatkan kemunduran besar dalam Gerakan Komunis Internasional, dan perjuangan pembebasan rakyat tertindas melawan imperialisme.
Langkah-langkah politik oportunis kanan PKI yang lahir akibat metode berpikir subyektif dan berat sebelah sebagai kekhususan ini, sesuai benar dengan keumuman revisionisme modern PKUS yang menggantikan perjuangan kelas dengan perdamaian kelas; maka di sini berpadulah opurtunisme kanan PKI dengan revisionisme modern PKUS yang dalam perkembangannya membentuk revisionis yang khas dari PKI. Revisionis khas PKI dengan demikian sebagai perpaduan antara langkah-langkah khusus yang bertemu dengan kecenderungan umum partai-partai revisionis dunia yang dipimpin oleh Khruschev. Hukuman atas kesalahan subyektifisme ini maka PKI mengalami kerusakan hebat pada tahun 1965, sedangkan PKUS mengalami kerusakan yang serupa pada tahun 1991 yang mengakibatkan bubarnya Uni-Soviet.
Inilah perpaduan antara keumuman kontradiksi dengan kekhususan kontradiksi; hubungan antara watak umum dengan watak khusus dari kontradiksi. Kebenaran tentang watak umum sebagai kemutlakan dan watak khusus sebagai kerelatifan, adalah intisari dari masalah kontradiksi suatu hal-ihwal. Bila kita tidak mengerti dan menggunakan pandangan ini, maka kita telah melepaskan metode berpikir dialektika dan membuang Marxisme ke dasar laut.
Suatu pandangan yang berat sebelah juga akan melahirkan berbagai penyakit subyektifisme. Bila pandangan kita terlampau berat pada aspek keumuman kontradiksi, maka kita akan jatuh ke dalam lumpur dogmatisme. Sedangkan bila kita terlampau berat pada aspek kekhususan kontradiksi, kita akan teseret dalam cengkeraman kesalahan empirisisme. Demikianlah kegunaan ajaran Marxisme yang cemerlang, suatu senjata berpikir untuk menjauhkan diri kita dari berbagai kesesatan berpikir yang bersumber dari subyektifisme.


 Keharusan dan Kebetulan

Keharusan adalah sesuatu yang terjadi sebagai keniscayaan menurut keadaan-keadaan tertentu.

Kebetulan adalah sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak terjadi menurut keadaan-keadaan tertentu.

Keharusan dan kebetulan memiliki kesalinghubungan dialektis

Di dalam fenomena alam dan sosial yang beraneka ragam ini terdapat dua gejala yang kita sebut dengan saling hubungan keharusan dan kebetulan. Saling hubungan keharusan adalah saling hubungan yang pasti dan harus terjadi, tidak bisa dielakkan, tidak bisa ditiadakan, dan tidak bisa dihindari. Namun di dalam fenomena alam dan sosial juga terdapat saling hubungan kebetulan. Suatu gejala yang belum tentu terjadi, terkadang tidak mengikuti hukum perkembangan yang teratur atau serangkaian hukum kausalitas yang ada. Inilah apa yang kita maksud dengan fenomena kesalinghubungan antara keharusan dan kebetulan. Sebuah jawaban materialisme dialektika terhadap apa yang secara salah sering disimpulkan oleh kaum mistikus sebagai mukjizat atau fenomena keajaiban yang tak terurai. Semua fenomena memiliki saling hubungan, maka tidak ada lagi ruang persembunyian bagi mistisisme. Suatu peristiwa yang tak terurai, semata-mata karena pengetahuan manusia yang belum mencapai pemahaman ilmiah untuk menjawab suatu gejala kenyataan. Soal ini juga untuk memberi jawaban kepada keterbatasan saintis yang terjebak dalam kepastian matematis yang mengabaikan faktor kebetulan, betapa pun tugas sains pada satu sisi memang memperkecil tingkat kesalahan atau kebetulan.
Kesalahan saintis dan filosofis juga sering terjadi ketika memandang sesuatu fenomena dengan ukuran kepastian dan menyimpulkan segalanya berjalan menurut sistem yang telah disusun secara pasti (determinisme). Dunia adalah susunan hukum kepastian, demikianlah mereka menyimpulkan secara subyektif. Kebetulan, dilihat dari sudut pandang kepastian ini, adalah konsepsi subyektif yang digunakan untuk menolak suatu akibat yang tidak diketahui sumber sebabnya. Pandangan ini tentu salah karena menempatkan dua hal yang berbeda—keharusan dan kausalitas—secara identik. Benar, bila kita katakan bahwa tidak ada fenomena tanpa sebab di dunia ini, dan bahwa fenomena kebetulan itu ditentukan oleh sebab. Namun hal ini tidak berarti bahwa suatu kebetulan atau kecelakaan merupakan fenomena keharusan.
Marilah kita ambil suatu contoh. Sebuah kecelakaan terjadi ketika kereta api keluar dari relnya dan menyebabkan kehancuran. Kita mungkin mendapatkan beberapa sebab dari kecelakaan ini, sebagai misal, petugas lintasan kereta lalai dalam memeriksa kondisi rel kereta yang terkena longsor sehingga mengakibatkan kecelakaan. Di sini kita kemudian tahu bahwa suatu musibah terjadi bukan karena suatu keharusan. Namun karena hal-ihwal suatu keadaan tertentu terkait dengan kelalaian petugas (human error), atau sikap tidak disiplin, petugas kereta yang tidak terorganisasi dengan baik, sehingga kecelakaan terjadi sebagai suatu peristiwa kebetulan yang terjadi. Walaupun terkadang petugas kereta api yang lalai juga belum tentu menyebabkan kecelakaan. Dalam kasus ini kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa kecelakaan bukan suatu keharusan dihubungkan dengan hukum-hukum gerak lalu lintas lintasan kereta, yang secara teknis telah dipastikan dengan cukup memadai bahwa kecelakaan tidak akan terjadi.
Penolakan obyektif seringkali jatuh ke dalam dua lubang kesalahan subyektifisme baik dalam bentuk idealisme subyektif maupun idealisme obyektif: saintisisme maupun mistisisme. Penafsiran seorang saintis yang menganggap bahwa segala sesuatu sebagai keharusan yang pasti akan gagal dalam membedakan masalah yang mana esensial dan bukan esensial, atau yang mana keharusan dan yang mana kebetulan. Mereka akan kecewa karena alam berjalan tidak menurut hitung-hitungan kepastian mereka. Sedangkan di kubu mistikus, penafsiran yang dangkal dan anti-kenyataan sering menyatakan bahwa kekuatan ghaib yang entah berantah itu pasti telah memainkan peranan dalam kecelakaan ini. Kaum mistikus selalu berasumsi pada hal-hal ghaib, atau memaksa seluruh argumen rasional tidak berlaku agar bisa dengan mudah memulangkan seluruh ketidakmampuan manusia pada tempat penampungan terakhir; ke haribaan Sang Maha Kuasa: Tuhan! Pelucutan rasionalitas oleh kaum mistikus ini tentu tidak bisa dibenarkan atau dibiarkan begitu saja. Sebab manusia sendiri yang akan merugi karena terkena hukuman alam atas faktor-faktor yang tidak diketahuinya.
Pandangan yang tepat dan tempat memulangkan seluruh argumentasi ilmiah adalah materialisme dialektika. Suatu konsep yang memandang bahwa keharusan dan kebetulan meliputi pandangan yang tidak hanya membedakan di antara keduanya, namun terlibat dalam gejala saling hubungan dialektik di antara mereka. Keharusan sebagai hal esensi, dan kebetulan sebagai faktor bukan esensi yang berlaku sebagai faktor ikutan dari hal yang esensi. Metafisika secara total telah gagal dalam memahami gejala konkret saling hubungan ini, yang memandang keharusan dan kebetulan sebagai dua hal yang berlawanan. Mereka sering memberi jubah atas kejadian-kejadian keharusan dan kebetulan dengan kelambu hitam bernama mukjizat, keajaiban, kemahakuasaan Tuhan, dsb.
Lebih jauh, suatu kebetulan mungkin memberi pengaruh pada perkembangan suatu proses keharusan, apakah mempercepat atau memperlambat. Bahkan terkadang, suatu kebetulan masuk lebih dalam dan mempengaruhi proses perkembangan keharusan dan kemudian menjadi keharusan. Meminjam teori Darwin, sekejap kebetulan yang menguntungkan mampu mempengaruhi suatu organisme secara turun temurun, menguat dalam suatu proses evolusi, yang pada tingkat tertentu bahkan bisa menentukan perubahan spesies. Perbedaan-perbedaan kebetulan kemudian menjadi keharusan dalam karakteristik spesies baru. Namun sekejap kebetulan bila tidak menguntungkan suatu perkembangan spesies juga tidak akan mempengaruhi proses perkembangannya. Fakta dan bukti ini jelas menerangkan bahwa keharusan dan kebetulan bukanlah dua hal terpisah, namun menemukan pertalian dalam fenomena saling hubungan konkret. Mereka saling berhubungan dan melepaskan dalam suatu proses perkembangan suatu fenomena.
Sebagai contoh lain yang bersifat statistik, di Amerika Serikat memaparkan suatu perbandingan bahwa angka harapan hidup warga kulit putih lebih tinggi dibandingkan warga kulit hitam. Fakta umum ini tidak kemudian bermakna bahwa semua warga kulit putih pasti lebih panjang usianya dibandingkan warga kulit hitam. Terdapat juga warga kulit putih yang meninggal dalam usia muda, dan ada juga warga kulit hitam berumur panjang hingga usia tua. Namun dari statistik umum yang menjelaskan situasi warga Amerika Serikat ini, mencerminkan situasi buruk warga kulit hitam yang mengalami diskriminasi rasial, upah rendah, kondisi hidup yang buruk, dsb.
Hal-hal keberaturan menentukan gejala kebetulan juga telah digeneralisasi dalam sejumlah teori saintis, khususnya dalam teori matematika tentang kemungkinan (probabilitas). Inilah manfaat kita mempelajari keharusan dan kebetulan dan penerapannya dalam kehidupan obyektif. Semakin berkembang maju kekuatan produktif suatu masyarakat, semakin kecil faktor kebetulannya. Kontradiksi manusia dengan alam semakin terjawab oleh teknologi dan taraf berpikir yang maju dan mengusir takhayul dari lubang-lubang hitam kenyataan. Dan sebaliknya, semakin terbelakang kekuatan produktif suatu masyarakat akan semakin kecil faktor keharusan dan semakin besar faktor kebetulan. Keterbelakangan taraf berpikir yang tidak ilmiah menjadi basis berkembangnya berbagai macam fantasi takhayul dan mistisisme.


 Sebab dan Akibat

Sebab adalah keadaan yang menyebabkan fenomena yang lainnya.

Akibat adalah hasil dari beroperasinya suatu sebab.

Sebab-akibat memiliki kesalinghubungan dialektis





Bentuk kesaling-hubungan yang paling populer dan sering diucapkan banyak orang, yang terjadi di berbagai tempat dan kasus, adalah saling hubungan sebab dan akibat. Sebab atas suatu fenomena seringkali berarti membawa suatu akibat tertentu. Fenomena yang diproduksi oleh sebab kemudian disebut akibat atau konsekuensi. Hal ini, hubungan sebab dan akibat, merupakan fenomena universal baik di alam maupun masyarakat, baik fenomena yang sederhana maupun yang rumit, baik fenomena yang sudah diketahui oleh ilmu pengetahuan maupun fenomena yang belum terpecahkan. Setiap fenomena pasti lahir dari suatu sebab-sebab tertentu. Dengan melakukan investigasi dan memahami dunia, sains telah memasuki akar-akar setiap fenomena. Mengabaikan kebenaran sebab dari suatu fenomena akan memustahilkan kesadaran yang ilmiah dan maju; lebih jauh lagi akan memunculkan pandangan non-ilmiah, fantasi, takhayul, dan penjelasan mistis atas suatu fenomena. Inilah problem yang telah menjadi subyek perdebatan dan kontroversi tiada henti antara idealisme dan materialisme. Bagaimana idealisme menolak saling hubungan sebab-akibat dari kenyataan obyektif, dan menyatakan bahwa sumber dari seluruh gejala ini bukanlah terletak pada alam obyektif namun suatu hal yang sifatnya spiritual, seperti ungkapan Wittgenstein hukum sebab-akibat utama (causal nexus) adalah supersition atau yang adikodrati.
Pandangan idealis ini telah ditolak oleh seluruh sejarah sains modern. Suatu rasion d’etre atas alam dan masyarakat adalah apa yang secara prinsipil menjadi perhatian dari studi ilmu dan penemuan atas fenomena sebab dan akibat. Dan bukti yang paling meyakinkan adalah watak obyektif atas sebab-akibat yang dipaparkan dan disediakan oleh aktifitas produksi dari manusia. Namun idealisme dan agama menentang teori sebab-akibat materialisme dengan doktrin apa yang disebut dengan teleologi (dari kata Yunani ‘telos’ yang artinya tujuan). Menurut sudut pandang teleologi, materi dan perkembangan fenomena atas segala sesuatu, ditentukan oleh tujuannya atau “sebab final” yang akan dengan mudah bisa disimpulkan pada alasan tertinggi bernama Kehendak Tuhan. Suatu pandangan yang seringkali diwakili dengan pernyataan polos, “bahwa tikus diciptakan untuk dimangsa kucing”.
Namun materialisme dialektika tentu menolak pandangan tersebut. Saling hubungan sebab-akibat memiliki watak universal baik di alam maupun masyarakat. Angin (tekanan udara) sebagai contoh, adalah sebab yang menggerakkan kapal layar. Terdapat serangkaian tertentu di dalam waktu antara sebab dan akibat. Sebab selalu datang lebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh akibat. Namun suatu “urutan” (subsequent) tidak berarti keharusan suatu konsekuensi atau akibat. Sebagai contoh, siang selalu diikuti oleh malam, dan malam selalu diikuti oleh siang, namun siang bukanlah sebab dari adanya malam, sebagaimana malam bukanlah sebab dari adanya siang. Fenomena ini sudah cukup terkenal sebagai sebab dari perputaran (alternation) siang dan malam adalah perputaran bumi di porosnya, menyebabkan pencerahan terlebih dahulu dan satu sisi dan kemudian kegelapan berikutnya.
Akibat adalah serangkaian keharusan yang dihubungkan dengan sebab. Jika sebab ada, maka akibat akan mengikuti dengan sendirinya. Bila kita menekan pemicu dari sebuah senapan, maka akan menyebabkan letusan. Namun terkadang letusan tidak terjadi. Apakah dengan demikian hubungan sebab-akibat kehilangan karakter keharusannya? Sama sekali tidak. Gagalnya suatu letusan hanya berarti bahwa terdapat sebab lain yang tidak menjadikannya letusan. Mungkin pegas pemicunya lemah, atau bubuk mesiu lembab, pelurunya rusak, dsb. Dengan melakukan penyelidikan seluruh keadaan kita akan mampu menentukan apa sebab yang menjadikannya akibat, munculnya suatu fenomena. Dengan demikian kita telah mengatasi atau mampu memecahkan saling hubungan sebab akibat.
Cukup sering terjadi, khususnya pada kasus-kasus yang rumit, faktor sebab sering dibingungkan dengan kebetulan (occasion). Kebingungan semacam itu berlaku pada pandangan yang dangkal dan ketidakmampuan untuk melihat kebenaran yang sejati yang menimbulkan suatu fenomena. Kebetulan itu sendiri tidak pernah mampu menciptakan fenomena. Sebagai contoh, pembunuhan atas pangeran Austria Franz Ferdinand di Sarajevo, bukanlah yang menjadi sebab dari pecahnya Perang Dunia Pertama pada tahun 1914. Perang Dunia I tersebut dalam pandangan hubungan sebab dan akibat yang material adalah karena meningkatnya persaingan yang semakin tajam di antara negara-negara imperialis. Yakni akumulasi dari kontradiksi yang tak tertanggungkan antara kekuatan-kekuatan imperialis utama – Inggris, Perancis, Jerman, Austro-Hungaria dan Rusia. Situasi pada tahapan puncak krisis, di mana aroma mesiu sudah tercium di mana-mana, ia hanya menuntut satu percikan kecil untuk menciptakan ledakan yang sangat besar bernama Perang Dunia I. Hal yang tak kalah aktual adalah kenyataan bahwa sebab dari agresi militer Amerika Serikat dan sekutunya ke Afghanistan dan Irak, bukanlah karena disebabkan oleh serangan ‘terorisme’ atau senjata pemusnal masal milik rezim Saddam Husain yang sampai kini tak terbukti kebenarannya itu. Rakyat dunia tidak bisa dengan mudah ditipu oleh motif-motif hakiki yang teramat kasar hingga tidak bisa mereka sembunyikan lagi di balik mantel palsu “kedamaian” atau “kesalehan” mereka. Krisis energi yang mengancam pasokan bahan utama energi bagi industri-industri besar di negeri-negeri imperialis, telah menelanjangi diri mereka sendiri tentang siapa mereka sesungguhnya; si maling besar, bandit penjarah dan perampok sumber-sumber kekayaan alam dan musuh bagi rakyat tertindas di seluruh dunia. Imperialisme semakin jelas menampakkan diri sebagai si maling besar yang harus dilawan oleh seluruh rakyat di dunia ini.
Demikian pula dengan berbagai fenomena yang muncul di dalam sistem kapitalisme seperti penghisapan kelas pekerja, pengangguran, korupsi, prostitusi, kompetisi dan anarkhi produksi, dan perjuangan kelas antara buruh melawan borjuis; adalah serangkaian fenomena yang disebabkan oleh hak kepemilikan pribadi dan cara produksi di bawah sistem kapitalisme. Kesemua gejala akibat itu tidak akan pernah bisa diselesaikan tanpa kita menghancurkan sebab yang bersumber dari sistem kapitalisme itu sendiri. Memahami dan memegang teguh suatu peristiwa dengan benar dalam masalah-masalah praktis, baik yang sederhana maupun yang rumit, kita harus mampu memilah-milah antara mana yang menjadi sebab dan yang berupa akibat.
Pemahaman yang baik atas soal ini, akan membimbing kita pada cara penyelesaian yang tepat dan menyingkirkan seluruh bentuk pekerjaan yang sia-sia. Seperti tukang sampah yang hanya bekerja membersihkan sampah karena tak tahu dari mana datangnya sampah. Bila kemudian kita memahami secara obyektif bahwa sistem kapitalisme telah memproduksi sangat banyak sampah dalam perabadan umat manusia ini, maka tak ada alasan lain bagi kita kecuali menghancurkan kapitalisme sebagai biang dari segala biang kerusakan umat manusia.


 Esensi dan Penampakan

Esensi adalah bagian dalam (the inner), sisi kestabilan relatif dari kenyataan obyektif yang tersembunyi di bawah permukaan dan yang menentukan penampakan tersebut.

Penampakan adalah bagian luar (the outer), sisi yang dapat berubah-ubah dari kenyataan obyektif dan yang bergantung pada esensi. Penampakan adalah manifestiasi dari esensi.


Pandangan dalam filsafat ini membimbing kita untuk mampu membedakan antara yang esensial dan penampakan dalam memandang kenyataan obyektif. Istilah “esensi” secara pengertian sama artinya dengan istilah yang sering kita kenal dengan “hakekat” atau “inti kenyataan”. Bila materialisme telah mengantarkan kita pada kulit dari dunia obyektif ini, metode dialektika bertugas untuk mengurai dan membedah bagian dalam dari dunia obyektif. Ada dua tugas mulia filsafat dan ilmu di dalam mengamban tugas emansipatif manusia; pertama, menyelidiki dengan cara masuk ke bagian dalam kenyataan dan menyingkap hukum-hukum yang terjadi. Kedua, memerangi kaum idealis dan agnotikus yang tidak becus melakukan tugas emansipatif tersebut, atau sebagian dari mereka sebenarnya melakukan tugas namun menyerah di tengah jalan seperti kemalangan ilmiah yang menimpa Hume dan Kant; Profesor-profesor desertir yang malang itu.
Meneruskan estafet seluruh proyek besar penyelidikan ilmiah di dalam masyarakat dan alam semesta obyektif, inilah yang membedakan kaum Marxist dengan mereka. Mari kita mempraktekkan pembedahan bagian dalam dari kenyataan ini. Berbagai pandangan metafisis telah merusakkan pemahaman ilmiah berjalannya kenyataan ketimbang meneranginya dengan tepat. Khususnya teori-teori borjuis dalam hal ekonomi-politik, di mana Karl Marx sangat serius membongkar rahasia penipuan ini dan menelanjangi kebodohan ekonom borjuis dalam karya Kapital.
Apakah esensi dari kapitalisme sebagai sistem perekonomian modern dewasa ini? Dengan tepat sekali Marx menjelaskan: penguasaan alat produksi oleh kelas kapitalis, yang melangsungkann produksinya dengan melakukan penghisapan nilai lebih atas kelas buruh dengan motif mengakumulasi keuntungan sebagai hukum utamanya. Inilah hal yang esensial dari sistem kapitalisme. Inilah bagian dalam (the inner) sebagai jantung tempat berdenyutnya sistem kapitalisme. Hal yang esensial ini kemudian mewujudkan berbagai penampakan yang menyertainya (the outer) seperti: semakin kejamnya penghisapan terhadap kelas buruh, upah minimum, memperpanjang waktu kerja dengan jam-jam lembur, memberlakukan sistem perburuhan fleksibel, massifnya buruh kontrak, semakin dipangkasnya hak-hak normatif buruh, intensifnya persaingan pasar bebas, intensifikasi produksi, ekspor kapital, munculnya kapitalis monopoli, hingga naiknya anggaran militer untuk menduduki negeri-negeri jajahan (kolonialisme) maupun perangnya imperialis. Dalam perkembangannya yang sempurna, badan eksekutif dari sebuah negara modern tak ubahnya sebagai komite untuk mengatur urusan-urusan bersama dari seluruh borjuis di suatu negeri, dan hubungan kerja sama penghisapan borjuis antar negara. Ke semuanya persoalan yang menyertai tersebut bermula dari apa yang kita sebut sebagai esensi dari kapitalisme hingga tingkat perkembangannya yang tertinggi dan terakhir: imperialisme. Inilah esensi dari sistem ekonomi dunia hari ini dengan seluruh badan-badan serta regulasi struktural bentukannya yang mendominasi dunia. Hal yang lebih jelas diungkapkan Marx dan Engels dengan bahasa yang lebih baik dalam Manifesto Partai Komunis:

“Borjuis, di mana saja ia telah dapat memperoleh kekuasaan, telah mengakhiri semua hubungan feodal patriarkal pedesaan. Ia dengan tiada kenal kasihan telah merenggut putus pertalian-pertalian feodal yang beraneka ragam yang mengikat manusia pada "atasannya yang wajar", dan tidak meninggalkan ikatan lain antar manusia dengan manusia selain daripada kepentingan sendiri semata-mata, selain daripada "pembayaran tunai" yang kejam. Ia telah menghanyutkan getaran yang paling suci dari damba keagamaan, dari gairah keksatriaan, dari sentimentalisme filistin, ke dalam air dingin perhitungan egois. Ia telah menjatuhkan harga diri dengan nilai-tukar, dan sebagai ganti dari kebebasan-kebebasan tak terhitung jumlahnya yang telah disahkan oleh undang-undang yang tak boleh dibatalkan itu, ia telah menetapkan satu-satunya kebebasan yang tidak berdasarkan akal – perdagangan bebas. Pendek kata, penghisapan yang diselimuti dengan ilusi-ilusi keagamaan dan politik digantikan olehnya dengan penghisapan yang terang-terangan, tak kenal malu, langsung, ganas.”

Dalam karya Kapital, Marx menguraikan panjang lebar hingga ke tingkatan anatomis, berbagai kenyataan inti dan penampakan-penampakan yang ditimbulkannya. Marx membedah hubungan antara modal dan kerja, suatu engsel yang di atasnya berputar seluruh sistem masyarakat modern. Karya Kapital, sungguh suatu penerapan dari materialisme dialektika sekaligus memproklamirkan inti dan penampakan seluruh jalinan rumit dari sistem ekonomi kapitalis. Seluruh penampakan yang dipalsukan telah disingkirkan manakala hubungan-hubungan praktis antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, sebagai jalinan murni dan rasional. Selubung kenyataan ini hendak dipertahankan oleh kelas-kelas yang melakukan kontrol dan rencana di atas perkembangan historis hubungan produksi yang panjang dan menyiksa. Yakni bagaimana proses produksi telah menguasai manusia secara massif dan bukan manusia yang menguasai proses produksi.
Kita memiliki argumen yang menjelaskan mengapa Marx demikian unggul dan tepat dibandingkan dengan semua ahli sosial di zamannya dalam hal menjelaskan esensi kapitalisme. Marx lebih unggul karena ia mendaki hingga ke puncak ketinggian, di mana Owen, Saint-Simon, Fourier hanya sampai ke punggung bukit. Kita memang layak memberi penghormatan terhadap para pendaki gunung ini, namun penghormatan tertinggi tentu hanya bagi mereka yang sampai puncak gunung. Dan Marx berdiri di puncak gunung di mana seluruh medan hubungan-hubungan sosial modern dapat dilihat dengan jelas dan lengkap, persis sebagaimana pemandangan perbukitan yang lebih rendah terlihat oleh seorang pengamat yang berdiri di puncak tertinggi. Dan mengapa Marx mampu menjelaskan lebih tepat, karena ia melacak proses yang dihasilkan oleh hubungan modal dan kerja tepat di depan rahim tempat kelahirannya dan dengan demikian membuat seluruh esensi dari sistem kapitalisme ini menjadi terang benderang. Seluruh jalinan rumit kapitalisme menjadi seperti rumah kaca baginya.
Mari kita menguak soal-soal esensial tentang kebutuhan kerja, kerja lebih, upah dan nilai lebih (surplus-value). Dalam membahas soal ini, para ekonom borjuis dan agen-agen “legal” lainnya, mencoba mengelabui kenyataan dalam hal pembagian antara kebutuhan kerja dan kerja lebih yang dikaburkan oleh “bentuk upah” sebagai penampakannya. Di dalam fenomena upah seolah-olah telah menyiratkan kenyataan bahwa seluruh pekerjaan buruh telah dibayar, yang di dalamnya tersembunyi perbedaan besaran antara kebutuhan kerja dan kerja lebih dari hasil kerja buruh. Kerja lebih buruh adalah sumber profit bagi pemilik modal, yang diakumulasi sedemikian panjang dan besar hingga menjadi super-profit. Penemuan asal-usul nilai lebih yang dihasilkan kerja lebih buruh, benar-benar telah membuka tabir rahasia esensi penghisapan kapitalisme sekaligus memecahkan persekongkolan bisu ahli-ahli ekonomi borjuis. Kerja lebih yang menghasilkan nilai lebih, adalah kerja yang tidak dibayar yang digunakan oleh kapitalis untuk mempertahankan dan memelihara semua orang yang tak bekerja. Pajak-pajak yang diberikan kepada negara, sejauh itu menjaga kepentingan kapitalis itu sendiri, menjadi fakta yang tak terbantahkan.
Kita bisa mengungkapkan satu data yang relevan untuk menjelaskan soal ini. PT Freeport Indonesia, sebuah perusahaan tambang milik swasta Amerika Serikat yang mendapatkan kontrak karya untuk mengeksploitasi kekayaan tambang berupa tembaga dan emas di pulau Papua, pada tahun 2006 membayarkan pajak kepada negara Indonesia senilai 1,6 dollar AS atau senilai 14 trilyun rupiah. Pajak negara tersebut berasal dari pajak penghasilan badan, PPh karyawan, pajak daerah, royalti, dan deviden. Sementara hanya dalam rentang waktu bulan Januari hingga Juni 2007, PT Freeport Indonesia kembali membayarkan pajak senilai 952 miliar dollar AS atau senilai 8,5 trilyun rupiah. Sebuah super-profit yang luar biasa fantastis bukan? Apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh jerih payah para buruh tambang tersebut, sejumlah nominal uang yang demikian besar, dibagi-bagikan kepada negara borjuis Republik Indonesia dan sebagian besar keuntungan tentu saja dibawa pulang oleh borjuis besar di negeri imperialis Amerika Serikat sebagai sang pemilik. Jumlah uang trilyunan tersebut baru pajak dari satu perusahaan milik imperialis, belum belasan perusahaan besar milik imperialis lainnya di sektor minyak, perkebunan, air, dan sumber kekayaan alam lainnya.
Fakta tersebut tentu semakin meneguhkan hubungan modal dan kerja dalam sistem kapitalisme, dan fenomena upah dalam kajian masyarakat borjuis, seolah masalah biasa dan masuk akal; apa yang oleh Marx mengandung tikungan dan pembalikan yang menjadi dasar ide-ide yang mengelabuhi buruh. Dan seluruh pemalsuan kenyataan itu telah dipadatkan hingga sedemikian keras seolah-olah sebagai penampakan kenyataan yang adil oleh seluruh agen-agen borjuis, hukum negara borjuis dan politik kelasnya. Namun seluruh penampakan tersebut bukanlah ilusi, sebagaimana esensi tidak lebih nyata dari apa yang merupakan penampakan. Antara esensi dan penampakan adalah nyata, dengan kata lain keduanya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Secara tajam dan tak terbantahkan Marx juga mengecam cara kerja para ahli ekonomi borjuis yang sama persis dengan ahli teologi. Bagi mereka hanya ada dua jenis lembaga, yang satu asli dan yang lainnya palsu atau tiruan. Lembaga yang berdiri pada masa kepemilikan budak dan feodal adalah palsu, sedangkan lembaga borjuis adalah wajar. Cara berpikir ini mirip dengan pendapat yang menyatakan bahwa semua agama yang bukan milik mereka adalah palsu, bikinan manusia, sedangkan agama mereka sendiri adalah asli sebagai pancaran cahaya Tuhan. Mereka, para ahli ekonomi borjuis itu, mengecam kerajaan Romawi kuno dan sistem feodal sebagai ekonomi berdasarkan perampokan dan perampasan yang sangat barbar dan menjijikkan. Sementara mereka memuja ekonomi borjuis tidak berlaku demikian, tidak merampas, tidak merampok, dan tidak menghisap manusia. Selubung ekonomi kapitalis yang menampakkan seolah-olah mereka tidak merampas dan tidak menghisap manusia inilah yang disingkap oleh guru besar kita Marx; yakni membedah esensi dari kapitalisme dan bentuk-bentuk penampakkannya dengan seterang-terangnya.





Dari esensi kapitalisme dan perwujudannya, mari kita menuju materi yang lainnya dalam kehidupan praktis sehari-hari. Apakah yang dimaksud air secara esensial? Esensi air, oleh proses penemuan ilmiah, merupakan gabungan dari dua unsur bernama Hidrogen dan Oksigen (H2O). Bila kita menjumpai berbagai penampakan air, baik itu air minum, air sumur, air hujan, air embun, air pancuran, dsb. Dari pelajaran ini kita memegang suatu hal yang esensial bernama air sebagai kenyataan esensial dari H2O.
Dari air kita beralih ke uang. Apa yang kita sebut dengan uang secara esensial? Esensi uang pada awalnya adalah nilai tukar yang bisa kita temui dalam berbagai penampakan mata uang seperti Rupiah, Dolar, Pounsterling, Euro, Dinar, dsb, baik dalam bentuk koin maupun lembaran kertas. Namun esensi awal uang sebagai nilai tukar ini, begitu memasuki zaman kapitalisme, telah berkembang ke berbagai tingkatan esensi yang tak hanya sebatas alat tukar namun telah bertransformasi menjadi alat pembayaran dan modal sekaligus. Demikianlah uang secara esensial. Di zaman masyarakat berkelas-kelas, khususnya dalam wujudnya yang terkini, lembar-lembar kertas warna-warni itu telah menjadi “barang ajaib” yang menjadi sumber dari keributan dunia. Uang sejauh ini telah menjadi kepemilikan pribadi untuk membeli segala sesuatu; universalitas kepemilikan telah menghantarkan uang sebagai wujud atas kepemilikan obyek-obyek; basis kemahakuasaan karena uang didaulatkan sebagai sang maha kuasa, mucikari kebutuhan manusia dengan obyek-obyek kehidupan dan sarana kehidupan. Uang semakin memperoleh kekuatan nyawanya oleh watak masyarakat kapitalis sebagai setumpuk barang dagangan (komoditas).
Aku sebagai pemilik uang adalah aku dengan kekuasaan dan keluasaan kekuasaan yang nyaris tak bertapal batas. Marx juga mengulas dalam sebuah artikel yang sangat memikat berjudul Uang pada tahun 1844. Apa aku dan apa kemampuanku, sama sekali tidak ditentukan oleh individualitasku. Aku jelek, tetapi aku dapat membeli untuk diriku wanita tercantik. Oleh karena itu, aku tidak jelek, karena efek kejelekan dibatalkan oleh uang sebagai kekuasaan penangkalnya. Aku, sebagai seorang individu, kondisinya pincang, namun uang membekali diriku dengan banyak kelebihan lain. Aku jahat, tidak jujur, tidak bermoral, bodoh, tetapi uang dihormati, dan juga pemiliknya. Uang itu kebaikan tertinggi, sehingga pemiliknya adalah baik. Di samping itu, uang menyelamatkan diriku dari masalah ketidakjujuran; karenanya aku dianggap jujur. Aku ini adalah dungu, tetapi uang adalah pikiran segala sesuatu yang sejati, lalu bagaimana pemiliknya bisa dianggap dungu? Di samping itu, ia dapat membeli orang-orang berbakat untuk dirinya, dan orang-orang yang memiliki kekuasaan atas yang berbakat tidakkah lebih berbakat daripada yang berbakat itu? Tidakkah aku, yang berkat uang mampu akan segala yang dihasratkan hati manusia, memiliki semua kapasitas manusia? Bukankah uangku mengubah semua ketidakmampuanku menjadi kebalikannya? Jika uang merupakan tali yang mengikat diriku pada kehidupan manusia, mengikat masyarakat padaku, mengikat aku dan alam dan manusia, tidakkah uang itu mengikat semua ikatan? Tidakkah ia dapat membubarkan dan mengikat semua ikatan? Tidakkah ia, karenanya, merupakan agen perceraian universal? Ia adalah agen perceraian yang sesungguhnya maupun agen pengikat yang sesungguhnya – semacam kekuatan kimiawi masyarakat.
Shakespeare dalam Timon of Athens, melukiskan dengan bagus sekali sifat uang yang sebenarnya. Mari kita simak syair di bawah ini:

Wahai, dikau pembunuh raja, dan perceraian terhormat di antara putra alam dan Bapak!
Dikau pencemar terang ranjang paling suci selaput perawan!
Dikau Mars yang berani!
Dikau perayu yang selalu muda, segar, disayang, dan lembut
Yang amarah wajahnya dapat mencairkan salju yang disucikan yang rebah di pangkuan Diana!
Dikau tuhan yang tampak!
Pematri hal yang nyaris mustahil, dan membuat mereka mengecup!
Berbicara dengan semua bahasa, pada setiap tujuan! O sentuhan hati!
Pikirkan budak kalian memberontak, dan berkat kalian tempatkan mereka dalam keganjilan-keganjilan yang kacau,
Binatang-binatang itu, mungkin saja menguasai dunia!

Sifat-sifat esensial dari uang sungguh tampak dengan terang bagaikan kristal-kristal paling cemerlang dalam syair Shakespeare di atas. Tak ada benda seajaib uang yang pernah diciptakan oleh manusia. Pada awalnya ia hanyalah alat yang memiliki nilai tukar, namun sifat-sifat esensialnya sekarang semakin berkembang, tak hanya sebatas alat penukar namun juga pencampur universal – segala sesuatu yang terbalik, pencampur dan penukar semua kualitas alamiah manusia. Di hadapan uang, kebaikan, kesetiaan, kecantikan, kesatriaan, kejujuran, kekuatan, tak lebih sebagai seabrek barang komoditas yang bisa cepat kadaluwarsa! Bila Anda mencintai seseorang dengan sepenuh jiwa-raga, sudah semestinya mengandung aspek-aspek individual manusia yang hakiki seperti pembuktian dengan tindakan-tindakan kerja keras untuk mewujudkan apa artinya kesetiaan, kejujuran, pengorbanan, cinta-kasih; namun di hadapan uang semua itu menjadi satu kali transaksi tanpa keringat, tanpa kesetiaan, tak membutuhkan kejujuran dalam suatu kegiatan “cinta-kasih” yang langsung dan palsu; baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.


 Isi dan Bentuk

Isi adalah pengumpulan atas seluruh unsur-unsur, kesalinghubungannya dan perubahannya menjadi suatu fenomena. Isi menentukan bentuk. Perubahan isi lebih cepat dibandingkan perubahan bentuk.

Bentuk adalah suatu kestabilan relatif atas kesalinghubungan di antara unsur-unsur isi fenomena dan cara beradanya isi.


Isi dalam pengertian ini adalah suatu kesalinghubungan unsur-unsur yang menyusun suatu keberadaan. Mari kita membedah hubungan isi dan bentuk sistem kapitalisme. Kita mulai dari penjelasan sebagai berikut: Semua manusia hidup perlu makan, tempat tinggal, pakaian, dsb. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka seluruh kebutuhan hidup harus diproduksi. Untuk berproduksi seseorang memerlukan alat kerja (cangkul, sabit, mesin, dsb) dan sasaran kerja (tanah, bahan mentah, dsb). Alat kerja dan sasaran kerja merupakan dua syarat yang menjadikan alat produksi. Alat produksi menuntut adanya tenaga kerja. Hubungan antara alat produksi dan tenaga kerja membentuk tenaga produktif (productive forces). Tenaga produktif mengadakan hubungan produksi yang memiliki dua bentuk cara produksi (mode of production) yang menentukan sistem ekonomi: penindasan dan penghisapan (kapitalisme) dan kerja sama atau kolektif (sosialisme). Dalam cara produksi kapitalisme, kelas buruh merupakan kelas tanpa alat produksi (proletariat), dengan syarat-syarat yang ada ia terpaksa bekerja (oppressed), menjual tenaga kerja dan terhisap (exsploitated) oleh pemilik alat produksi yang dikuasai oleh kelas kapitalis.
Bila kita mengupas persoalan di atas maka segera tampak jelas apa yang kita sebut sebagai isi dan bentuk dari sistem kapitalisme, yakni bentuk hubungan produksi yang berisi penindasan dan penghisapan kelas majikan terhadap kelas buruh. Di dalam isi yang membentuk cara produksi kapitalisme ini, terdapat unsur-unsur salinghubungan yang bergerak sangat dinamis dengan apa yang kita sebut dengan tenaga produktif. Di dalam tenaga produktif inilah secara obyektif kapitalisme secara sadar maupun tidak mereka telah menciptakan kuburan bagi sistemnya sendiri, di mana aspek-aspek sosialisme telah lahir dan terbina di dalamnya. Yakni, kerja sama (kolektif), solidaritas, disiplin, kesadaran kelas yang terpupuk dari kesatuan nasib buruh sebagai kelas terhisap dan tertindas. Seluruh faktor-faktor sosialis tersebut pasti akan tumbuh membesar dan menguat sebagai keniscayaan obyektif. Pada akhirnya, seiring dengan semakin menguat dan membesarnya isi tersebut, secara pasti akan menghancurkan bentuk hubungan produksi kapitalis yang sudah tidak mampu lagi menahan kehendak obyektif; membuat retak kemudian pecahlah cangkang (bentuk) hubungan produksi yang menindas dan menghisap tersebut.
Peristiwa bagaimana isi menghancurkan bentuk ini bisa kita lihat secara visual dalam proses alamiah bagaimana embrio ayam yang masih terbungkus cangkang telur kemudian lahir dengan cara mematuk cangkangnya. Ia telah berhasil membebaskan diri dari cangkang telur dan menghirup udara kehidupan dunia ini. Sebuah cangkang telur, betapa kuatnya, akan sia-sia mempertahankan diri. Demikian pula dengan embrio manusia, yang terus tumbuh berkembang di dalam rahim seorang ibu. Hingga si ibu telah hamil tua, rahim itu tidak mampu lagi menampung janin itu dan lahirlah si jabang bayi.
Dari contoh di atas, tak begitu salah bila dikatakan bahwa situasi revolusioner ibarat seorang ibu yang sedang hamil tua. Ia akan segera melahirkan seorang manusia baru. Atau dalam konteks revolusioner, isi masyarakat yang semakin kuat kehendak pembebasan kelasnya, akan menghancurkan seluruh bentuk-bentuk penindasan dan penghisapan yang ada. Ia merebut kekuasaan dari tangan pemerintah reaksioner, ia merebut seluruh alat produksi kapitalis dan tuan tanah, menasionalisasi industri dan melakukan revolusi agraria sebagai basis pembangunan ekonomi sosialis untuk membangun syarat-syarat baru bagi lahir dan tersusunnya masyarakat baru. Seluruh pelajaran yang obyektif dan ilmiah ini, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh kelas-kelas reaksioner. Bahwa segala sikap konservatif yang semakin usang itu, betapa kuatnya, betapa kerasnya, akan terkena hukum sejarah kehidupan. Benteng sekuat apa pun yang kalian bangun, pasti akan dijebol dan dihancurkan oleh bangkitnya kesadaran dan kehendak kelas buruh dan rakyat tertindas.
Demikian juga dengan proses transisi berbagai negeri di dunia ini menuju sosialisme. Perkembangan masyarakat sebagai isi dari kelas-kelas di suatu negeri membedakan bentuk revolusinya. Semua ini mengikuti ajaran Marx-Engels yang dialektis tentang hukum perkembangan tak seimbang (uneven development) kapitalisme dalam skala dunia. Kita tidak boleh dogmatis dengan menyamaratakan tingkat perkembangan masyarakat di seluruh negeri dan bentuk revolusi yang ditempuh. Persoalan yang sangat penting ini pernah dijelaskan oleh Lenin sebagai berikut:

“Semua negeri akan menuju ke sosialisme – hal ini tak bisa dibantah lagi, namun meskipun demikian tidak semua proses akan melalui jalan yang sama, masing-masing akan memberikan suatu sumbangannya dalam berbagai bentuk demokrasi, berbagai bentuk kediktatoran proletariat, berbagai tingkat transformasi sosialis dalam berbagai aspek kehidupan sosial yang berbeda-beda.”

Tidak jauh beda bila kita kupas isi dari kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Sebuah masyarakat dengan tingkat perkembangan yang tidak sama dengan negeri-negeri imperialis, yang bisa langsung mengambil bentuk revolusi sosialis sebagai jalan revolusinya. Isi dari masyarakat Indonesia merupakan khas negeri semi-jajahan dan semi- feodal. Suatu negeri dengan kedudukan politik di bawah dominasi imperialisme (setengah-jajahan) dan kedudukan ekonomi dengan masih bercokolnya sistem ekonomi lama di pedesaan secara luas (setengah-feodal). Kedua sistem reaksioner ini, suatu perpaduan antara sistem reaksioner dunia (imperialisme sebagai keumuman) dengan sisa-sisa sistem lama di Indonesia (sisa-sisa feodalisme sebagai kekhususan), menjadi batu penghambat perjuangan rakyat untuk mencapai kedaulatan politik dan kemandirian ekonominya. Penjelasan tesis masyarakat sebagai isi dan bentuk revolusi demokrasi baru (pengertian Revolusi Demokrasi Baru sama hakekatnya dengan revolusi demokrasi rakyat atau revolusi demokratis nasional) menjadi jalan revolusi yang ditempuh untuk melahirkan Indonesia baru. Revolusi Oktober 1917 telah mengawali Revolusi-revolusi Proletar Sosialis dunia yang akan mengakhiri zaman kapitalisme. Ia telah mengubah watak revolusi borjuis demokratik di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan setengah feudal menjadi revolusi-revolusi borjuis demokratik tipe baru. Revolusi-revolusi di negeri-negeri tersebut, walaupun wataknya masih borjuis demokratik, tetapi tidak lagi menjadi bagian dari dari revolusi borjuis demokratik tipe lama seperti Revolusi Prancis 1789, melainkan menjadi bagian dari revolusi proletar sosialis dunia. Dengan pimpinan partai komunis yang benar, revolusi-revolusi di negeri jajahan, setengah jajahan dan setengah feudal, yang terjadi setelah revolusi oktober 1917, merupakam komponen kedua revolusi proletar sosialis dunia. Revolusi demikian itu telah berkobar di Tiongkok dan mencapai kemenangan pada tahun 1949.
Suatu Indonesia baru tidak bisa dilahirkan bila bentuk perjuangan hanya sebatas reformasi ekonomi maupun politik parlementer. Untuk mengubah isi dan bentuk masyarakat Indonesia lama menjadi masyarakat Indonesia baru, hanya dengan memperkuat isi, yakni melahirkan gerakan rakyat revolusioner yang dipimpin oleh Partai kelas buruh yang Marxis-Leninis dengan mengobarkan revolusi demokrasi baru; partai yang memimpin Perang Rakyat Jangka Panjang yang pada hakekatnya adalah revolusi agraria bersenjata di bawah pimpinan Partai Kelas Buruh; partai yang memimpin aliansi dasar buruh dan petani serta borjuis kecil lainnya sebagai bentuk persatuan pokok kekuatan rakyat yang mencerminkan isi masyarakat Indonesia dewasa ini. Dengan keadaan obyektif masyarakat Indonesia dan kesanggupan syarat-syarat subyektif inilah, Indonesia akan mencapai kemenangan yang gilang gemilang di masa depan. Cangkangnya yang semi-kolonial dan semi-feodal akan hancur oleh desakan kekuatan internal massa rakyat. Tanpa syarat-syarat ini, tesis revolusi Indonesia akan gagal dan tidak akan mencapai kemenangannya.





• Kemungkinan dan Kenyataan


Kemungkinan adalah apa yang muncul dari keumuman perkembangan, namun belum terjadi sebagai kenyataan.

Kenyataan adalah segala sesuatu yang telah terjadi.


Dalam kajian ini kita membahas masalah yang sering kita ungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Soal kedudukan dan hubungan antara kemungkinan dan kenyataan, bagaimana persoalan ini kita kaji secara dialektis. Bila kita mengkaji soal kemungkinan, maka kita tidak bisa melepaskan hubungannya dengan keadaan umum yang mendasarinya, yakni hukum umum perkembangan suatu hal-ihwal. Suatu kemungkinan tidak mungkin berdiri sendiri dan terlepas dari keadaan yang mendasarinya. Ketepatan dalam mengkaji kesalinghubungan ini akan memudahkan suatu analisis apakah suatu hal-ihwal mungkin terjadi atau tidak mungkin terjadi. Pendasaran secara obyektif dan ilmiah akan berguna dalam menyingkirkan berbagai bentuk penalaran spekulasi yang tidak ilmiah maupun kesewenang-wenangan mistik.
Khususnya dalam kajian sosial, di mana suatu hal-ihwal berjalan dan bertautan dalam seluk-beluk yang kompleks, suatu kemungkinan bisa terjadi dalam berbagai macam. Sebagai contoh, bentuk perlawanan rakyat dalam masyarakat dengan sistem kapitalisme terjadi dalam berbagai macam kemungkinan. Seperti perlawanan reform parlementer, reform ekstra-parlementer, hingga perlawanan revolusioner rakyat bersenjata. Kesemuanya perlawanan tersebut muncul sebagai kemungkinan berbagai macam perlawanan yang muncul dari perkembangan umum kapitalisme (keharusan). Namun di sisi lain, karena kuatnya faktor kekuatan reaksioner yang berkuasa, juga memunculkan berbagai macam kemungkinan penghisapan dan penindasan yang semakin intensif yang menandakan menguatnya kekuatan lama. Perlawanan adalah kecenderungan maju dalam perkembangan masyarakat (progresif) yang muncul dalam berbagai macam kemungkinan. Sedangkan penindasan atas seluruh perkembangan maju adalah kencenderungan mundur (regresif) yang berwatak reaksioner. Inilah gambaran pertentangan antara unsur-unsur yang maju dan revolusioner melawan yang mundur dan reaksioner dengan berbagai macam kemungkinan yang ada. Sehingga semakin terang bagi kita, bahwa suatu kemungkinan muncul dan mengada dalam hubungannya dengan keharusan dari hukum perkembangan umum suatu hal-ihwal.




Dalam pasal ini kita juga dibimbing untuk memahami apakah suatu kemungkinan bisa terjadi atau tidak mungkin terjadi (kemustahilan). Kemustahilan adalah suatu hal-ihwal yang bertentangan dengan hukum perkembangan umum, sehingga kita bisa menyimpulkan dengan tepat suatu hal-ihwal yang mustahil terjadi. Artinya, kemustahilan ini berdasarkan atas pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh faktor-faktor yang ada. Kekurangtelitian dan tidak menyeluruhnya suatu pemeriksaan, sehingga suatu kemungkinan yang tidak diperkirakan terjadi, seringkali menjadi pintu masuk bagi mistisisme yang seolah-olah mendapatkan dasarnya yang obyektif. Pandangan mistisisme yang selalu bertumpu pada campur tangan fakotr luar atau faktor ghaib (Tuhan) sebagai sang maha kuasa. Pengertian yang tepat atas soal ini, bukanlah pada masuknya faktor luar yang mengintervensi kemustahilan menjadi kemungkinan, namun belum terjangkaunya faktor obyektif yang luas dan kaya itu dari jangkauan ilmu pengetahuan manusia. Di tengah perkembangan masyarakat yang semakin maju, berbagai kemungkinan semakin ilmiah atau bertumpu pada hukum perkembangan umum kenyataan. Dan semakin mundur kebudayaan suatu masyarakat, spekulasi non-ilmiah (mistik) akan memberi pengaruh yang kuat.
Sedangkan kenyataan adalah segala sesuatu yang telah menjadi kenyataan. Ia bukan berlaku sebagai kemungkinan lagi. Hadirnya suatu kenyataan juga tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan keharusan dari hukum perkembangan umum suatu hal-ihwal. Hadirnya suatu kenyataan akan memunculkan berbagai macam kemungkinan baru yang berdasarkan pada keharusan baru yang ada. Dengan demikian, kenyataan adalah realisasi atas berbagai kemungkinan di masa lalu dan menjadi dasar dari munculnya berbagai kemungkinan baru dan kenyataan baru yang akan terjadi di masa datang.
Dengan senantiasa meletakkan pendasaran bagaimana sesuatu terjadi atau mungkin terjadi secara obyektif dan ilmiah, kita akan jauh dari berbagai macam pikiran subyektif yang seringkali muncul dalam menganalisis suatu hal-ihwal. Spekulasi khayalan yang anti-nalar, anti-perkembangan dan anti-obyektifitas; atau ketakjuban yang membuat kita terkagum-kagum pada suatu hal-ihwal baru yang dengan cepat disimpulkan sebagai mukjizat atau kemustahilan yang terjadi; adalah pandangan yang seringkali muncul karena kita tidak melakukan pendasaran suatu fenomena secara obyektif dan ilmiah.






E. KLASIFIKASI PERANAN KONTRADIKSI


 Kontradiksi Pokok dan Non-Pokok

Kontradiksi pokok adalah kontradiksi yang menjadi poros dan yang memimpin segi-segi kontradiksi yang lainnya.

Kontradiksi non-Pokok adalah kontradiksi yang bukan menjadi poros. Ia berada dalam pengaruh dan dipimpin oleh kontradiksi yang pokok.

Di dalam proses perkembangan hal-ihwal yang rumit di dalam setiap kontradiksi, di antaranya pasti ada salah satu yang merupakan kontradiksi pokok yang adanya dan perkembangannya menentukan dan memimpin adanya dan perkembangan kontradiksi-kontradiksi yang lain. Dalam pengertian lain ia adalah saling hubungan yang menjadi poros dan segi yang memimpin perkembangan kesalinghubungan yang lain. Bila kita merujuk pada masyarakat kapitalis, maka kontradiksi antara kelas kapitalis dan kelas buruh menjadi kontradiksi pokok. Demikian juga dalam masyarakat feodal, sebelum lahirnya kelas borjuis, kontradiksi pokok antara raja dan buruh-tani. Sementara kontradiksi-kontradiksi lainnya, seperti kotradiksi antara sisa-sisa feodal dengan borjuis, kontradiksi antara borjuis kecil tani dengan borjuis besar, kontradiksi antara proletariat dengan borjuis kecil tani, kontradiksi antara kelas parasit di pedesaan dengan kaum tani, kontradiksi antara kaum kapitalis bukan monopoli dengan kaum kapitalis monopoli, kontradiksi antara negeri-negeri kapitalis satu sama yang lainnya, kontradiksi antara imperialisme dengan tanah jajahan dan sebagainya, semua ditentukan atau dipengaruhi oleh kontradiksi pokok tersebut.
Bila kita luaskan ruang analisis kita dalam zaman ini, maka kedudukan imperialisme atau kapitalis monopoli sebagai pihak yang menempati peranan pokok yang menjadi poros dan memimpin perkembangan dunia yang menindas perlawanan kelas buruh, rakyat pekerja, dan bangsa terjajah di dunia. Dominasi dan hegemoni imperialisme sangat menentukan perkembangan rezim-rezim boneka imperialis, kelas borjuis nasional, borjuis komprador, juga memberi pengaruh kuat terhadap perkembangan negeri-negeri setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia. Dalam kehidupan negeri-negeri setengah jajahan dan setengah feodal yang miskin dan terbelakang, pemerintah boneka imperialis selalu bergantung pada imperialisme dalam hal pinjaman uang, investasi asing, transfer teknologi maju, pelatihan militer dan persenjataan; sementara posisi imperialis yang superior bisa membuat ketentuan-ketentuan yang menguntungkan mereka untuk merampok kekayaan alam, diuntungkan oleh upah buruh yang murah dan menjadikan negara-negara jajahan/setengah jajahan juga sebagai pasar bagi komoditas barang dagangan mereka. Relasi pokok dalam hal ini adalah saling hubungan perampasan dan penjarahan baik secara terselubung maupun kasar dalam bentuk agresi militer yang dilakukan imperialisme terhadap negeri-negeri terjajah. Posisi ini hanya menguntungkan para agen-agen imperialis di suatu negeri, rezim-rezim boneka, borjuis komprador maupun kapitalis birokratnya yang korup. Dan secara langsung mereka menindas rakyat dan pasti mendapat perlawanan dari rakyat secara luas.
Bila kita menyatakan bahwa kontradiksi pokok dunia hari ini adalah antara imperialisme pimpinan Amerika Serikat yang menindas perlawanan kelas buruh, rakyat pekerja, dan seluruh rakyat tertindas dan bangsa terjajah di dunia, sungguh karena kedudukan dan peranan imperialisme yang menjadi sumber dari segala perampokan, penjarahan, pemiskinan, dan peperangan di dunia dewasa ini. Dalam hal ini kita melihat secara faktual dalam perang Irak bagaimana Amerika Serikat memerkosa negara-negara netral untuk diseret dalam perang tersebut walaupun mendapat tentangan dari rakyat di negerinya. Mereka adalah para pembonceng, terseret menjadi gerombolan maling besar dengan watak penyamun, yang pasti mendapat bagian keuntungan dari perang perampokan tersebut.
Demikian juga bila kita mengupas kontradiksi pokok di Indonesia dewasa ini antara rezim anti rakyat boneka imperialis (kediktatoran bersama antara borjuis komprador, kapitalis birokrat, dan tuan tanah) melawan rakyat Indonesia (buruh, tani, borjuis kecil dan borjuis nasional); bagaimana mereka melayani berbagai kebijakan yang ditentukan oleh imperialisme dan secara langsung berhadap-hadapan dengan kepentingan rakyat secara mayoritas. Mereka adalah batu penghalang reaksioner yang menghambat rakyat menggapai kesejahteraan, kaum kepala batu yang menindas gerakan demokrasi rakyat untuk merebut kedaulatannya yang tulen. Demikianlah kesalinghubungan pokok dalam pengertian ini memberikan pemahaman kita tentang kedudukan dan peranannya dalam kehidupan sosial. Bahwa saling hubungan pokok adalah saling hubungan yang menjadi poros yang memimpin perkembangan kontradiksi yan lainnya. Dalam pandangan kita, kontradiksi pokok menuntut penyelesaian yang utama atau sasaran revolusi yang pertama. Kontradiksi pokok harus dituntaskan pertama kali, karena ia menjadi batu penghambat seluruh gerak kemajuan rakyat yang revolusioner. Tanpa adanya penyelesaian kontradiksi pokok, sulit bagi gerakan revolusioner untuk menuntaskan kontradiksi dasar.
Sementara kesalinghubungan tidak pokok, bukanlah kedudukan yang menempati peranan pokok dalam kontradiksi. Dalam tinjauan dewasa ini, persoalan-persoalan yang mengemuka seperti konflik agama, etnis, ras, dsb, yang menjadi fenomena baik dalam skala internasional maupun lokal, bukanlah kontradiksi pokok. Kontradiksi tidak pokok tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu dan seringkali muncul karena persoalan-persoalan yang memiliki kaitan erat dengan kontradiksi pokok yang menjadi sumbunya. Dengan memahami secara tepat akar masalah dengan analisis ekonomi-politik, apa itu kontradiksi pokok dan tidak pokok, akan memandu kita membaca seluruh gejala keadaan dengan tepat. Usaha-usaha untuk adanya mutasi kontradiksi, atau menggeser atau menutup-nutupi masalah yang pokok dengan yang tidak pokok, seringkali dimunculkan oleh kekuatan-kekuatan reaksioner untuk mengelabuhi pandangan rakyat. Mereka menggunakan seluruh kekuatan politiknya, media massa untuk berpropaganda, dan orang-orang mereka untuk meredakan kemarahan rakyat. Maksud dari mutasi kontradiksi ini adalah agar rakyat tidak mengetahui masalah pokok rakyat, hingga lambat-laun rakyat akan melupakannya.
Kapan kontradiksi pokok akan pecah? Apakah semua krisis politik bermakna pecahnya kontradiksi pokok? Apa tugas-tugas kaum revolusioner dalam menghadapi pecahnya kontradiksi pokok? Beberapa pertanyaan ini merupakan soal-soal penting yang harus kita pahami dengan baik untuk menyatukan pengertian (pikiran) dan memandu kesatuan praktek.
Pertama, pecahnya kontradiksi pokok ditandai dengan kebangkitan dan perlawanan rakyat yang terjadi hampir di seluruh negeri. Kebangkitan rakyat ini menjadi momentum terbukanya topeng kepalsuan dan kebusukan sistem dan kelas berkuasa yang memegang kekuasaan. Mereka, musuh-musuh rakyat yang bercokol di pemerintahan itu, tiba saatnya berhadapan secara langsung dengan rakyat. Perwatakan kelas-kelas akan lebih terbuka dan tanpa tedeng aling-aling lagi. Pecahnya kontradiksi pokok dengan demikian berarti krisis ekonomi telah berkembang menjadi krisis politik dan sedang melanda suatu negeri. Inilah momentum penting bagi rakyat dan tugas-tugas kaum revolusioner untuk tampil dan memimpin keadaan menyeretnya menjadi krisis revolusioner. Tugas memimpin situasi ke arah krisis revolusioner ini hanya bisa dipikul di atas pundak kaum revolusioner, bukan oleh kaum reformis atau kaum yang lainnya. Dalam konteks sejarah politik Indonesia, kita bisa menandai peristiwa krisis ekonomi di tahun 1997 hingga krisis politik dan lengsernya rezim fasis Orde Baru Suharto pada bulan Mei 1998, merupakan peristiwa yang bisa kita golongkan dalam pecahnya kontradiksi pokok. Situasi pada waktu itu bahkan sudah menuju situasi krisis revolusioner. Rakyat telah bangkit dan melawan kekuasaan lama rezim Suharto di seluruh negeri. Rakyat sudah tidak percaya lagi dengan seluruh penyelesaian yang ditawarkan oleh rezim lama dengan program reaksionernya. Namun disebabkan oleh belum kuat dan satunya syarat-syarat subyektif revolusioner melalui sebuah partai revolusioner dan program revolusioner, maka kaum revolusioner telah gagal memimpin perjuangan rakyat hingga kemenangan tiba. Kegagalan tersebut tentu menjadi pelajaran yang sangat penting bagi segenap kaum revolusioner di negeri ini.
Kedua, tidak semua krisis politik berarti pecahnya kontradiksi pokok. Pengertian ini bisa kita jabarkan bahwa dalam situasi tertentu terkadang muncul keretakan dan perpecahan di dalam kelas-kelas reaksioner yang menopang suatu kekuasaan reaksioner. Perpecahan ini tentu menyangkut perbedaan kepentingan di antara kelas-kelas reaksioner tersebut, tidak ada satu pandangan dan semakin tajamnya kontradiksi di kalangan mereka sendiri. Soal-soal di kalangan kelas-kelas reaksioner ini seringkali mengambil bentuk dalam pembagian jatah kekuasaan (sharing of power) yang tidak adil, adanya kebijakan politik yang merugikan kelas dan klik di kalangan mereka. Soal-soal ini kemudian memicu tindakan oposisi dan berkembang hingga upaya mengganti pucuk kekuasaan dari kalangan kelas-kelas reaksioner itu sendiri. Krisis politik dan resolusi politik yang masih berkisar di kalangan kelas-kelas reaksioner, selama belum menyentuh kepentingan rakyat secara mayoritas dan memicu kebangkitan dan perlawanan rakyat secara nasional, belum bisa kita sebut pecahnya kontradiksi pokok. Sehingga dalam pengertian ini, semua krisis politik tidak berarti sebagai pecahnya kontradiksi pokok. Dalam sejarah panggung politik di Indonesia, pergantian presiden dari Abdurrahman Wahid ke Megawati Sukarno Putri bisa mewakili kasus ini.
Namun memandang krisis politik internal kekuasaan reaksioner di dalam suatu tindakan-tindakan taktik politik, kaum revolusioner bisa mengambil manfaat dari retaknya aliansi kekuasaan reaksioner. Retaknya aliansi kekuasaan harus terus menerus dipertajam dengan tekanan yang kuat dan semakin besar dari gerakan rakyat. Kaum revolusioner sangat berkepentingan untuk mengembangkan langkah-langkah taktis dengan menarik setiap imbangan kekuatan politik agar bandulnya semakin berpihak ke rakyat atau revolusi. Di satu sisi, dalam kubu kekuatan reaksioner pasti terdapat klik yang paling reaksioner yang harus terus menerus kita gempur dan kucilkan dengan politik pembelejetan agar membuka topeng-topeng kepalsuan mereka yang sebenarnya. Sementara di sisi lain, kaum revolusioner perlu menarik kekuatan borjuis demokratis yang tentu juga berkontradiksi dengan klik yang paling reaksioner. Dengan langkah-langkah politik taktis yang tepat, kaum revolusioner bisa menyeret kontradiksi internal kelas-kelas reaksioner ke dalam pecahnya kontradiksi pokok.
Ketiga, tugas-tugas kaum revolusioner di dalam situasi pecahnya kontradiksi pokok adalah bagaimana mampu memanfaatkan gerakan rakyat yang sedang pasang menuju krisis revolusioner yang berkepanjangan hingga kemenangan tiba. Krisis politik yang sudah mencapai tingkat pecahnya kontradiksi pokok menjadi situasi yang paling baik bagi kaum revolusioner untuk melatih gerakan rakyat dalam bentrokan-bentrokan revolusioner. Pekerjaan ini ibarat menempa baja selagi panas, atau memimpin perlawanan massa rakyat dari percikan-percikan kecil menuju kobaran. Situasi yang sangat menguntungkan untuk mempropagandakan ide-ide revolusioner, melancarkan agitasi-agitasi politik revolusioner untuk mematangkan keaktifan gerakan massa revolusioner; mengkonsolidasikan kepemimpinan rakyat di bawah Partai kelas buruh menuju langkah-langkah politik dan militer yang tepat. Kecakapan, keterampilan, dan ketepatan seluruh langkah-langkah ini sungguh memiliki arti penting dan menentukan bagi semakin kuat dan besarnya kekuatan rakyat menuju kemenangan revolusioner yang menentukan: yakni menghancurkan negara lama, mengambil alih kekuasaan, dan membangun negara baru, yakni demokrasi baru di bawah diktatur rakyat. Namun juga berlaku sebaliknya, sedikit saja kita melakukan kesalahan hitungan dalam langkah-langkah taktik-politik, bisa mengakibatkan kegagalan dan kehancuran seluruh gerakan revolusioner.
Tanpa kita mampu menuntaskan kontradiksi pokok, sulit bagi segenap kekuatan revolusioner untuk melanjutkan pada tahap berikutnya. Penuntasan kontradiksi pokok adalah penuntasan politik atau revolusi politik dengan cara menghancurkan dan merebut kekuasaan negara reaksioner. Atas nama revolusi rakyat, kita meniadakan seluruh hukum yang melindungi hak milik imperialis, mengganti seluruh aparatus negara reaksioner, dan membangun sistem politik yang baru sama sekali. Jalannya proses ini hanya akan lancar dengan dijalankannya diktatur rakyat yang berhari depan sosialis. Kemenangan politik ini akan menjamin revolusi ekonomi pada tahap berikutnya, yakni menuntaskan kontradiksi dasar dengan merebut alat produksi kelas kapitalis, menasionalisasi seluruh aset-aset imperialis dan mensosialkan alat produksi. Sedangkan tahap tertingginya adalah revolusi kebudayaan, yakni menghancurkan cara berpikir lama dan mendidik rakyat dengan cara berpikir yang lebih maju dalam kebudayaan proletariat. Demikianlah pelajaran penting tentang kontradiksi pokok ini dalam konteks perjuangan revolusioner kita.


 Kontradiksi Dasar dan Non-Dasar

Kontradiksi dasar adalah kontradiksi yang menentukan adanya bentuk suatu sistem masyarakat.

Kontradiksi non-dasar adalah kontradiksi yang tidak menentukan adanya bentuk suatu sistem masyarakat.

Kontradiksi dasar ialah kontradiksi yang menentukan perkembangan suatu sistem masyarakat, suatu fundasi tempat berdiri dan tegaknya bangunan atas. Dalam masyarakat feodal, kontradiksi dasar berupa pertentangan antara kelas tuan tanah dan kelas buruh-tani atau petani hamba. Kelas tuan tanah adalah mereka segelintir orang yang memiliki tanah yang sangat luas sebagai alat produksi. Mereka tidak terlibat dalam proses produksi secara langsung dan mendapatkan hasil melimpah-ruah melebihi yang mereka butuhkan. Seluruh produksi yang melimpah-ruah tersebut berasal dari penghisapan buruh-tani atau petani-hamba, mereka yang melakukan kerja produksi untuk kepentingan tuan tanah. Hubungan produksi yang muncul dari kontradiksi dasar antara tuan tanah dan tani-hamba ini menjadi fundasi bagi berdiri dan tegaknya sistem feodalisme dan segala perwujudannya dalam bangunan atas masyarakat feodal.
Demikian pula dalam masyarakat kapitalis yang berdiri di atas reruntuhan masyarakat feodal. Kontradiksi dasar muncul dari pertentangan antara kelas kapitalis dan kelas buruh. Kelas kapitalis adalah mereka segelintir orang yang memiliki alat produksi, yang kelangsungan produksinya dijalankan sepenuhnya oleh kelas buruh. Mereka menghisap kelas buruh dengan cara merampas nilai lebih yang dihasilkan oleh kelas buruh. Mereka mengakumulasi keuntungan yang semua itu dihasilkan oleh keringat dan tenaga kerja yang dikeluarkan oleh kelas buruh. Kontradiksi dasar inilah yang menjadi fundasi bagi berdiri dan tegaknya sistem kapitalisme dengan segala perwujudannya dalam bangunan atas masyarakat kita dewasa ini.
Dalam kedudukannya, kontradiksi dasar merupakan pertentangan kepentingan antara dua kelas yang antara satu dengan yang lainnya tidak bisa didamaikan. Dalam pendirian kelas borjuis, sebagai kelas tuan pemilik alat produksi, mereka membangun motif kelas untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya melalui sitem kerja upahan, di mana upah kelas buruh dibayar serendah-rendahnya untuk motif keuntungan kelas majikan yang sebesar-besarnya. Sedangkan kelas buruh yang juga mempunyai kepentingan atas hidup layak sebagai manusia, menuntut upah yang setinggi-tingginya. Kepemilikan pribadi atas alat produksi kelas kapitalis dengan demikian berkontradiksi dengan proses kerja kolektif yang dilakukan oleh kelas buruh.
Demikian juga dengan perkembangan sistem sosial dunia dewasa ini, di bawah perkembangan sistem kapitalisme dalam tahap yang tertinggi dan terakhir bernama imperialisme. Yakni kontradiksi dasar antara negara-negara jajahan dan setengah jajahan dengan kaum penjajah (imperialis). Kaum imperialis mempunyai kepentingan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari tanah jajahan, yakni sumber bahan mentah bagi industri mereka, upah buruh yang murah, dan sekaligus pasar bagi barang komoditas mereka. Sedangkan rakyat dari bangsa-bangsa terjajah ingin hidup layak dan bebas dari penjajahan. Mereka ingin berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya. Namun seluruh usaha-usaha rakyat ini tidak akan dibiarkan oleh kaum imperialis, dengan cara-cara imperialis yang mendukung rezim-rezim boneka mereka, selalu menciptakan ketergantungan ekonomi dan meracuni kebudayaan rakyat dengan ideologi imperialis yang merusak cara berpikir dan gaya hidup umat manusia itu.
Demikianlah uraian tentang kontradiksi dasar. Sekarang kita membahas tentang kontradiksi non-dasar atau perkembangan yang mempengaruhi suatu sistem. Di dalam sistem besar dunia dewasa ini, secara jelas dan terpilah menuntut jurang pemisah yang tegas antara mereka yang berdiri sebagai kaum reaksioner penyokong dan pelestari imperialisme di satu sisi, dan mereka yang berdiri sebagai kekuatan revolusioner penyokong sistem sosialis sebagai transisi menuju masyarakat komunis. Pemisahan yang tegas ini akan memudahkan kita dalam mengelompokkan kelas-kelas dan golongan yang melestarikan sistem kapitalisme dan kelas-kelas serta golongan masyarakat yang menginginkan kehancurannya. Dari penerapan disiplin berpikir ini, maka semakin jelas kiranya bahwa seluruh kekuatan pendukung rezim pemerintahan negara reaksioner adalah para pelestari sistem kapitalisme. Dalam kedudukan pemerintah Republik Indonesia dewasa ini, khususnya diwakili oleh kediktatoran bersama antara borjuis komprador, kapitalis birokrat, tuan tanah, dan kaki tangan mereka adalah kaum reaksioner sepenuhnya; musuh dari rakyat dan musuh dari revolusi. Demikian juga berlaku bagi seorang reformis yang paling saleh dan kritis sekali pun, adalah tak lebih dari tukang tambal sulam dari sistem reaksioner ini. Dalam berbagai kesempatan mereka seluruhnya, kekuatan reaksioner tersebut, sering kita dapati melampiaskan kebencian sepahit empedu anti-Marxis-nya, akan tetap mendapat hukuman dari sejarah yang terus bergerak. Sedangkan di sisi yang berseberangan, mereka yang memegang teguh dan mengamalkan teori dan praktek Marxisme dengan setia, yakni kelas buruh yang revolusioner dan sekutu terpercaya dari kaum tani, dan borjuis kecil progresif lainnya. Mereka adalah kelas-kelas masyarakat yang mayoritas dan memiliki watak anti-imperialis, kekuatan yang menyongsong revolusi sosialis di bawah kepemimpinan kelas buruh yang memiliki hari depan cemerlang.
Demikianlah penjabaran kita tentang kontradiksi dasar dan non-dasar ini, suatu pandangan yang berguna untuk memperjelas persoalan-persoalan dan menyingkirkan pengaburan-pengaburan pandangan yang akan menyesatkan pandangan dan tindakan kita.


 Kontradiksi Antagonis dan Non-Antagonis

Kontradiksi antagonis adalah kontradiksi yang menjelaskan isi dan cara penyelesaiannya. Isi dari pertentangan antagonis adalah kontradiksi dasar yang menuntut cara penyelesaian kekerasan untuk menghancurkan suatu sistem.

Kontradiksi non-antagonis adalah suatu pertentangan yang tidak bertolak dari kontradiksi dasar. Oleh karenanya bentuk penyelesaian non-antagonis bukan dengan jalan kekerasan, namun jalan damai yang bertujuan untuk memperbaiki suatu sistem.

Kontradiksi antagonis, yakni suatu cara penyelesaian yang mengambil bentuk kekerasan untuk menghancurkan suatu sistem. Pandangan ini tentu bertolak dari kontradiksi yang memiliki watak permusuhan yang dasariah atau kontradiksi antara kelas kapitalis dan kelas buruh sebagai penentu adanya sistem kapitalisme. Kontradiksi yang berisi penghisapan manusia atas manusia ini, yang tak akan pernah terdamaikan untuk selamanya, maka harus kita urus secara antagonis. Yakni kita gempur dengan cara kekerasan untuk menghancurkan sampai ke akar-akarnya. Mengapa harus dengan cara kekerasan, tidak adakah jalan damai yang lebih baik untuk mewujudkannya? Secara teori dan praktek seluruh jalan damai dalam mengurus kontradiksi dasar ini adalah memungkinkan hal yang tidak mungkin. Memungkinkan hal yang tidak mungkin adalah angan-angan seorang manusia yang bersifat subyektif. Adalah hal yang tidak mungkin sistem penghisapan dan penindasan yang telah mensejarah, mengeras dan membatu itu akan mencair dengan cara dielus-elus. Adalah hal yang tidak mungkin bagi kelas buruh untuk berharap dan menunggu keinsyafan kelas kapitalis agar menyerahkan seluruh alat produksi mereka menjadi milik bersama kelas buruh. Adalah tindakan sia-sia dan suatu utopia dengan menunggu dorongan kalbu kelas mereka, atas pengaruh faktor-faktor metafisis dari rasa belas kasihan mereka kepada buruh, kemudian melahirkan pandangan sosialis pada diri mereka. Perbedaan pendirian kelas, cara pandang, dan metode berpikir mereka sudah demikian terang menjelaskan perbedaan yang bertolak belakang antara kapitalis dan buruh. Seluruh dasariah ini menjadi titik tolak yang obyektif bila kita mengurus musuh kelas buruh bernama kapitalis dengan cara kekerasan untuk melenyapkannya dari sistem sosial umat manusia. Selama sistem ini masih ada, maka di situ pula akan tercipta penghisapan manusia atas manusia.
Dan penghancuran sistem kapitalisme dengan berbagai turunannya seperti sistem demokrasi borjuis yang pada hakekatnya adalah pelaksanaan dari kediktatoran borjuis, hanya akan berjalan dengan benar bila kita menjalankan kediktatoran kelas buruh (proletariat). Tidak ada jalan yang lain. Demokrasinya kelas borjuis dengan demikian dihancurkan dan diganti dengan demokrasinya kelas buruh. Inilah pandangan ideologi proletariat yang bertolak dari kontradiksi dasar antara kelas kapitalis dan kelas buruh dan cara pengurusannya secara antagonis. Kesalahan dalam mengurus apa yang seharusnya diperlakukan secara antagonis menjadi non-antagonis, merupakan kesalahan yang sangat berbahaya bagi ideologi proletariat.
Bila kontradiksi dasar menuntut penyelesaian antagonis, maka penyelesaian non-antagonis juga harus kita terapkan untuk memecahkan persoalan kontradiksi non-dasar. Apa saja kiranya perwujudan dari penyelesaian kontradiksi non-antagonis ini? Terjadinya perbedaan pandangan di dalam Partai Kelas Buruh, semisal benturan pandangan antara kelas buruh dan sisa-sisa pandangan borjuis kecil maka harus kita urus dengan kritik dan otokritik. Tindakan-tindakan politik baik dalam bentuk oportunisme kiri maupun kanan juga harus dilakukan otokritik agar langkah-langkah berikutnya menjadi tepat. Kontradiksi suami-istri di dalam sebuah keluarga kelas buruh, adalah bagaimana bisa diselesaikan dengan jalan damai tanpa ada cara kekerasan seperti pukul-pukulan atau caci-maki. Keseluruhan dari pandangan ini bertujuan agar kita tidak salah urus mengelola kontradiksi dalam kehidupan ini.
Kesalahan dalam mengurus kontradiksi, apa yang seharusnya ditempuh dengan cara antagonis namun non-antagonis pernah terjadi dalam sejarah gerakan kelas buruh dunia. Kesalahan ini telah berakibat sangat fatal bagi kemajuan perjuangan kelas buruh karena ia merupakan bentuk pengkhianatan kelas, atau masuknya ide-ide kelas borjuis ke dalam Partai Proletariat. Pengkhianatan ini sering dikenal dengan pengkhianatan kaum revisionis. Revisionis klasik adalah pengkhianatan dua orang tokoh bernama Karl Kautsky dan Bernstein dalam periode Internasionale II. Gagasan revisionis ini muncul dalam masa-masa damai di Eropa, di mana para pemimpin partai-partai buruh disibukkan dengan merayakan demokrasi borjuis dalam pemilu dan parlemen. Mereka melupakan kewajiban untuk melatih dan memimpin kelas buruh dalam bentrokan-bentrokan revolusioner. Kesibukan mereka dalam menyembah-nyembah demokrasi borjuis ini telah melahirkan pandangan revisionis. Karl Kautsky memiliki pandangan determinisme ekonomi, yakni optimalisasi reformasi ekonomi yang terus menerus hingga mencapai sosialisme untuk menghindari revolusi kekerasan. Kautsky dengan demikian telah meninggalkan tugas-tugas utama kaum Marxis dalam memimpin revolusi proletar. Demikian juga dengan Brenstein, yang mengedepankan pandangan reformasi politik atau pemuja demokratisisme parlementer; yakni revisi-revisi politik yang disesuaikan dengan perkembangan yang nyata sehingga revolusi tidak perlu terjadi. Kedua tokoh revisionis klasik tersebut adalah para pengkhianat dalam partai kelas buruh, renegad-renegad yang mencoba mendamaikan kontradiksi dasar dengan cara-cara kompromis non-antagonistik. Gerakan proletar dunia berhutang besar pada kawan Lenin yang tampil dalam memerangi pandangan-pandangan yang salah dan menyesatkan tersebut.

“Hanya bangsat atau orang tolol saja yang akan berpendapat bahwa proletariat harus terlebih dahulu mencapai suara terbanyak dalam pemilihan yang dilakukan di bawah tindasan borjuis, di bawah tindasan perbudakan upahan, dan bawah sesudah itu baru merebut kekuasaan politik. Yang demikian itu adalah puncak ketololan atau kemunafikan, adalah berarti mengganti perjuangan kelas dan revolusi dengan penungutan suara di bawah sistem lama dan dengan kekuasaan lama.”

Garis politik kelas buruh yang ilmiah telah memenangkan ide-ide revolusionernya dengan bukti kemenangan Revolusi Bolshevik 1917 yang sekaligus membangkrutkan para penjaja ide-ide revisionis klasik tersebut. Kaum sosial-demokrat tersebut hingga sekarang masih sujud menyembah-nyembah sistem demokrasi borjuis yang sudah membusuk ini.
Pengkhianatan berikutnya adalah kaum renegad dalam revisionisme modern, atau revisionisme setelah kemenangan kelas buruh di Rusia. Adalah Earl Browder, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Amerika Serikat, pada tahun 1935 mulai memperlihatkan pandangan revisionismenya. Ia sebagai komunis telah melupakan keharusan kritik terhadap pemerintah borjuis, membagus-baguskan demokrasi borjuis, bahkan menyatakan bahwa diktatur borjuis sebagai surganya komunis dengan semboyan, “Komunisme adalah Amerikanisme Abad Keduapuluh”. Seiring dengan dibentuknya front persatuan anti-Fasis internasional selama Perang Dunia II, Browder lebih terpesona lagi dengan “demokrasi”, “kemajuan” dan “akal sehat” borjuis dan bersembah sujud di hadapan sistem borjuis ini. Gagasan utama Browder adalah meniadakan revolusi, meniadakan perang dengan imperialisme dan menuju sosialisme dengan jalan damai. Dengan gagasan-gagasan borjuis ini, Browder melikuidasi Partai Komunis Amerika Serikat. Browderisme kemudian memang mendapat kritik yang tajam dari kawan komunis lain di AS yang dikepalai oleh William Z. Foster dan Partai sekawan lainnya. Namun Browderisme ini tidak dikritik dan dilikuidasi sampai ke akar-akarnya oleh gerakan komunis internasional seluruhnya.
Pandangan-pandangan revisionisme kembali muncul seusai Perang Besar Patriotik melawan Fasisme. Kali ini berkembang dari Liga Komunis Yugoslavia di bawah kepemimpinan 4 tokohnya: J. Bros. Tito, Milovan Djilas, Edvard Kardelilj dan Rankovic. Secara sistematis mereka telah mengubah peranan Partai Komunis sebagai partai pelopor kelas buruh menjadi Front Rakyat yang tidak memandang perbedaan ideologi. Mereka mengabaikan kepemimpinan kelas proletar; mereka menolak mengakui pembagian kelas dalam masyarakat petani dan menganggap petani sebagai fundasi kelas paling stabil dalam negara Yugoslavia; mereka menolak bahwa terdapat elemen kapitalisme yang tumbuh di dalam negeri dan konsekuensi dari tajamnya kontradiksi dan perjuangan kelas di dalam negeri; mereka meletakkan kebijakan ko-eksistensi damai terhadap imperialisme sebagai kebijakan luar negeri Yugoslavia dan mengintegrasikan diri secara ekonomi dan politik dengan sistem kapitalisme untuk berkompetisi secara damai; Tito menyatakan kebijakan non-blok dan bersebrangan dengan kubu sosialis; dan secara nyata mereka telah mencampakkan teori dan praktek yang telah diletakkan oleh Marx-Engels-Lenin serta dengan sendirinya telah meninggalkan Marxisme-Leninisme sebagai panduan teori perjuangan revolusioner.
Seiring dengan tampilnya Khruschev di tampuk pimpinan PKUS, terjadi perubahan-perubahan yang sistematis di tubuh PKUS. Dalam Kongres yang ke-XX pada tahun 1956, Khruschev memimpin PKUS dalam melaksanaan garis revisionisme modern dengan mengikuti jalan Tito. Klik Khruschev-Tito kemudian tampil dengan teori “3 damai”-nya dan berlaku sebagai pemecah belah terbesar dalam gerakan komunis internasional yang pada waktu itu sudah menguasai mayoritas dari kekuatan dunia.
Dalam situasi yang sangat sulit tersebut, di mana Partai-partai komunis di dunia terpecah-belah dan dalam situasi yang membingungkan, Mao Tsetung tampil memerangi kaum revisionis modern dan membela keilmiahan Marxisme-Leninisme. Tindakan Mao Tsetung ini secara kualitas sama dengan tindakan Lenin dalam memerangi ide-ide revisionis klasik dipimpin oleh Kautsky dan Brenstein serta membela keilmiahan Marxisme.
Demikianlah dua peristiwa penting yang menjadi pelajaran berharga bagi segenap partai kelas proletariat dalam memerangi ide-ide borjuis yang masuk ke dalam Partai kelas buruh. Keduanya hendak mengobrak-abrik keilmiahan Marxisme-Leninisme dengan mengubah dasar yang ilmiah ini, yakni menempuh cara damai dalam menyelesaikan kontradiksi dasar antara kelas kapitalis dan kelas buruh. Seluruh angan-angan subyektif tersebut, baik revisionisme klasik maupun modern, adalah musuh ideologi proletar yang harus terus menerus kita perangi dan tumpas sampai ke akar-akarnya.
Kekuasaan kelas-kelas reaksioner pada hakekatnya adalah kekuasaan despotik. Demokrasi borjuis adalah demokrasi despotik dari kediktatoran bersama tuan-tuan pemilik alat produksi atas kelas buruh dan rakyat pada umumnya. Setiap hari mereka memutar dan menjalankan mesin kekerasan, perbudakan, eksploitasi yang memakan korban seiring dengan bertambahnya kemiskinan; mereka yang tercampak, terenggut, frustasi, kecelakaan, terseret dalam pusaran kriminalitas, dan pembunuhan. Fenomena ini sudah berjalan ratusan tahun, bagaimana kelas-kelas penindas berceramah petitah-petitih tentang ketaatan hukum, ketertiban tanpa kekerasan kepada rakyat umum, dengan kedudukan mereka sebagai mesin kekerasan setiap hari. Karena mereka menggunakan mesin kekerasan setiap hari maka ia harusnya tidak mengeluh ketika diusir keluar dengan kekerasan pula. Sebab hanya dengan kekerasan mereka mempertahankan dirinya, dan dengan kekerasan pula rakyat mempertahankan dirinya dan menumbangkan mereka. Dalam pengertian yang elementer ini menjelaskan jalannya kenyataan secara alamiah, suatu hukum sosial dalam sejarah masyarakat. Kesimpulan dari dasar berpikir ini sangat tepat bila kemudian kita rumuskan: revolusi dengan kekerasan adalah hukum universal dari revolusi proletar.







F. PERUBAHAN KUANTITAS MENUJU KUALITAS

Perubahan kuantitas adalah perubahan yang masih dalam ruang lingkup keadaan yang lama.

Perubahan kualitatif adalah perubahan yang mengakhiri perubahan kuantitas dan melahirkan kualitas yang baru. Demikian sebaliknya.

Hukum perubahan kuantitas menuju kualitas merupakan hukum dialektika yang menerangkan proses perubahan suatu hal-ihwal. Hukum ini berlaku dalam mendekati berbagai gejala kehidupan obyektif, baik dalam alam semesta maupun masyarakat. Kita dapat memungut jutaan contoh yang bertebaran di tumpukan kenyataan ini. Bahwa perkembangan segala sesuatu berproses dalam tingkatan perubahan kuantitatif dan perubahan kualitatif. Perubahan kuantitatif adalah perkembangan berangsur-angsur (evolusioner) dan hingga tingkatan tertentu, apabila perkembangan internal semakin matang, maka cangkang yang membungkus isi akan pecah; seketika itu juga terjadi lompatan secara revolusioner. Inilah yang kita sebut dengan perubahan kualitatif. Suatu perubahan menuju kualitas baru yang berbeda sama sekali dengan materi lama. Memasuki perubahan kualitatif berarti ‘kualitas’ tersebut menjadi kuantitas menuju perubahan kualitas. Demikian seterusnya.
Perubahan kuantitatif memproses perkembangan menuju kualitatif, dan perubahan kualitatif menyelesaikan perubahan kuantitatif yang lama dan melahirkan serta mengembangkan perubahan kuantitatif yang baru. Berdasarkan hukum perubahan ini, maka kita dalam memandang seluruh hal-ihwal harus mengetahui dengan jelas kuantitas dan kualitas, menguasai dengan benar perubahan-perubahan kuantitas apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan suatu hal-ihwal menjadi kualitas yang baru. Perubahan kuantitas tanpa ada perspektif kualitas adalah suatu kesalahan reformisme, yakni tambal-sulam di atas sistem lama yang sudah usang. Sebaliknya, perubahan kualitas tanpa dipersyarati dengan perubahan-perubahan kuantitas adalah kesalahan avonturisme, suatu perubahan yang tidak mungkin dan tanpa ada arah tujuan yang jelas.
Teori paling umum yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari adalah air. Seorang ibu yang tidak pernah membaca filsafat dialektika Hegel, ketika ia memasak air maka tanpa disadari sedang mempraktekkan kegiatan yang kita bahas kali ini. Di mana air akan mendidih dalam titik normal ketika suhu mencapai 100 derajat Celcius. Ketika air belum mencapai titik didih, peningkatan suhu panas terus terjadi namun keadaan air masih mampu mempertahankan keseimbangannya. Molekul-molekul air belum beterbangan karena masih terikat dalam satu kesatuan. Hingga volume panas meningkat mencapai 100 derajat Celcius, di mana pergolakan air sudah terjadi, maka penambahan sekecil apa pun volume panasnya akan menimbulkan loncatan yang ditandai dengan berhamburnya air menjadi partikel-partikel dalam bentuk uap ke udara bebas. Air-air itu telah lepas merdeka dari ikatan lamanya.
Pun juga sebaliknya. Kegiatan seorang penjual es lilin yang menjajakan dagangannya dari kampung ke kampung. Ia membutuhkan air masak dengan campuran rasa tertentu menurut selera kesukaan anak-anak calon pembelinya. Kemudian memprosesnya dalam mesin pendingin. Pada suhu dingin tertentu, segera atom-atom dalam air akan bergerak melambat sepadan dengan suhu dingin yang menurunkan derajat panasnya. Hingga mencapai titik 0 derajat Celcius, molekul-molekul air akan terikat dalam kepadatan dan menjadi beku. Di sinilah terjadinya perubahan kuantitas menuju kualitas. Baik keadaan air pada titik didih 100 derajat Celcius menjadi uap atau titik beku menjadi batuan es pada 0 derajat Celcius.
Bila contoh perubahan kuantitas menjadi kualitas dari materi bernama air tersebut sudah menjadi hapalan, ada baiknya kita ajukan contoh lain yang sering dikutip dalam pendidikan di sekolah dasar. Barang itu berupa sapu lidi. Ya, sapu lidi adalah kesatuan ikatan dari sejumlah (mungkin) ratusan lidi yang kita ambil dari tulang daun kelapa atau daun pohon enau. Satu lidi dari tulang daun kelapa tidak bisa kita sebut sebagai sapu lidi. Satu batang lidi sangat mudah dipatahkan dengan jari-jemari anak kecil sekalipun. Namun sebaliknya, sebuah sapu lidi yang kuat adalah himpunan kuantitas dalam jumlah ratusan lidi yang terikat menjadi satu. Sapu lidi yang kuat tidak bisa dipatahkan dengan mudah oleh lengan gempal penuh tato milik preman paling jagoan dari Tanah Abang sekalipun. Manfaat sapu lidi yang kuat berguna untuk menyapu sampah-sampah di halaman rumah kita. Sebuah ibarat yang sangat bersahaja, bahwa bila rakyat kuat dan bersatu sungguh sangat efektif untuk membersihkan sampah-sampah reaksioner dari negeri kita tercinta ini.
Frederick Engels dalam buku Anti-Duhring menguraikan berbagai contoh perubahan kuantitas menuju kualitas ini dalam disiplin ilmu kimia sebagai berikut:

CH2O2 ¬ – asam format titik didih 100oC titik cair 1oC
C2H4O2 ¬ – asam asetat titik didih 118oC titik cair 17oC
C3H6O2 ¬– asam propionat titik didih 140oC –
C4H8O2 ¬ – asam butirat titik didih 162oC –
C5H10O2 ¬– asam valerianat titik didih 175oC –

Dan begitu seterusnya C30H60O2, asam melissiat, yang cair dalam suhu hanya 80oC dan tidak memiliki titik didih sama sekali, karena ia tidak dapat menguap tanpa mengalami penguraian. Itulah contoh-contoh yang bisa kembangkan lebih kaya lagi dari kehidupan kita sehari-hari. Kita tidak boleh berhenti pada satu contoh agar tidak menjadi beku. Kita berkewajiban mengembangkan apa yang telah diuraikan Engels di atas dengan memajukan langkah terus-menerus di dalam menjabarkan hukum-hukum alam yang sangat kaya ini. Selain ilmu kimia, Engels juga pemerhati yang baik masalah-masalah militer. Tak heran bila dalam tulisannya Eleanor Marx, putri Karl Marx yang menawan itu, berjudul Karl Marx (beberapa catatan ringan); menjuluki Frederick Engels dengan "sang Jenderal". Dalam Anti-Dühring, ia menguraikan bagaimana hukum kuantitas dan kualitas terkait dengan soal-soal kemiliteran:

"Sebagai kesimpulan, kita akan memanggil satu saksi lagi bagi perubahan kuantitas menuju kualitas, yaitu Napoleon. Ia melukiskan pertempuran antara kavaleri Perancis, yang terdiri dari para penunggang kuda yang buruk tapi berdisiplin, dan pasukan Mameluk, yang merupakan pasukan berkuda terbaik dalam pertempuran pada zamannya tapi sangat tidak berdisiplin, sebagai berikut: “Dua orang Mameluk pastilah bukan lawan tanding bagi tiga serdadu kavaleri Perancis; 100 orang Mameluk setara dengan 100 kavaleri Perancis; 300 kavaleri Perancis pada umumnya dapat mengalahkan 300 Mameluk, dan 1.000 kavaleri Perancis pasti dapat menghancurkan 1.500 Mameluk.”
Seperti apa yang dikatakan oleh Marx, suatu jumlah minimum nilai-nilai tukar tertentu, sekalipun bervariasi, diperlukan untuk memungkinkan pengubahannya menjadi kapital. Demikian pula dengan Napoleon. Suatu detasemen kavaleri mesti terdiri dari jumlah minimum tertentu agar dapat menerapkan kedisiplinan, yang terwujud dalam susunan-susunan rapat dan pengerahan yang terencana, untuk menjadikan dirinya dan bahkan mengangkat dirinya menjadi keunggulan di hadapan pasukan kavaleri yang tidak teratur yang lebih besar, sekalipun musuhnya penunggang kuda dan pejuang-pejuang yang lebih tangkas, dan setidaknya sama beraninya dengan pasukan itu sendiri.

Penerapan yang tak jauh beda bila kita praktekkan dalam perjuangan massa. Dalam teori revolusi, terjadinya perubahan revolusioner merupakan akumulasi aksi-aksi dari aksi kecil menjadi besar, dari aksi-aksi lokal menjadi aksi nasional, dari mogok ekonomi sektoral menjadi mogok umum nasional, dari aksi-aksi damai dengan membentangkan poster dan spanduk menjadi aksi kekerasan dalam bentuk perjuangan bersenjata. Revolusi bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, namun hasil dari latihan-latihan perjuangan massa puluhan hingga ratusan kali, dari gerakan-gerakan reformasi demokratis menjadi gerakan revolusioner.
Demikian pula bila kita terapkan dalam situasi konkret Republik Indonesia masa kini yang secara politik setengah terjajah oleh imperialisme dan masih terjerat dalam sistem lama ekonomi semi-feodal. Krisis ekonomi yang permanen dan kemiskinan yang kian memburuk menimpa kehidupan rakyat pada umumnya, tidak akan ada solusi yang mendasar di tangan kelas-kelas reaksioner yang berkuasa hari ini. Indonesia baru yang bebas dan mandiri tidak akan tercipta tanpa adanya revolusi demokratis nasional yang memerangi kelas-kelas reaksioner di dalam negeri. Namun untuk mencapai tujuan demikian dibutuhkan syarat-syarat kuantitatif, yakni dengan memperkuat kekuatan subyektif rakyat; lahirnya kader-kader Marxis yang revolusioner melalui praktek perjuangan massa, berhasilnya kita mengubah desa-desa yang miskin dan terbelakang menjadi benteng-benteng revolusi yang kuat, terbangunnya partai proletariat yang menjadi detasemen termaju dari kelas buruh, perjuangan bersenjata di bawah kepemimpinan partai kelas buruh, dan lahirnya front persatuan nasional dari aliansi dasar buruh dan tani. Ketika syarat-syarat subyektif revolusi ini telah terbangun, di mana kekuatan rakyat semakin besar dan kuat, maka batu karang reaksioner sekeras apa pun pasti bisa dihancurkan. Indonesia menyongsong kualitas yang baru. Dan hanya di kepalan tangan rakyat yang kuat dan bersatu, maka seluruh pekerjaan besar bagi kemanusiaan dan hari depan negeri ini dapat dikerjakan dengan baik.
Demikianlah jika kita dengan sadar (obyektif dan berpegang teguh pada metode ilmiah) menggunakan hukum perubahan kuantitas menuju kualitas ini dalam praktek perjuangan rakyat. Seluruh tindakan revolusioner yang kita lakukan hari ini memiliki sumbangan kuantitatif dalam memproses perubahan revolusioner di masa akan datang.


G. HUKUM NEGASI DARI NEGASI

Negasi adalah meniadakan

Negasi dari negasi adalah meniadakan yang meniadakan





Berbagai bentuk negasi dari negasi dalam berbagai fenomena baik di alam maupun masyarakat:

Tumbuhan: biji padi, tumbuhan padi, biji-biji padi
Hewan: ulat, kepompong, kupu-kupu
Masyarakat: masyarakat tanpa kelas, masyarakat berkelas-kelas, masyarakat tanpa kelas dalam bentuk yang baru.
Bentuk ekonomi: monopoli feodal, persaingan bebas, monopoli modern
Filsafat: materialisme purba, idealisme, materialisme dialektika (materialisme modern)

Hukum negasi dari negasi atau meniadakan yang meniadakan adalah hukum dari arah perkembangan segala sesuatu. Suatu gerak perubahan melingkar (spiral) yang terus menerus, dari tingkat yang rendah menuju ke tingkat yang lebih tinggi, dan bukan suatu gerak berulang-ulang tanpa mengenal ujung pangkal. Pasal tentang negasi ini seringkali disalahpahami dan menjadi soal yang membingungkan, atau bila tidak sering menuntun kita ke arah pandangan dogmatis.
Mari kita bentangkan pengertian negasi di sini dalam makna yang dialektis. Kata Negasi dalam pengertian terminologis memang bermakna meniadakan, melenyapkan, menghancurkan. Namun pengertian negasi dari negasi dalam konteks ini adalah suatu proses meniadakan sekaligus melestarikan pada saat yang bersamaan. Kelas borjuis seringkali memutarbalikkan kata dan pengertian menjadi kacau-balau. Benar sekali bila kita membunuh seekor ulat berarti “menegasikan”-nya dan seekor ulat tidak menjelma menjadi kupu-kupu yang indah, atau bila kita menghancurkan sebuah biji padi juga berati “menegasikan”-nya sehingga ia tidak menjelma menjadi tumbuhan padi yang menjanjikan kemakmuran rakyat. Bentuk penegasian yang demikian adalah penghancuran yang tidak bermakna melestarikannya sekaligus. Dengan kata lain, suatu penegasian yang anarkhis dan anti-dialektis!
Masyarakat tanpa kelas dalam periode komune primitif, di mana semua rakyat memulai dengan kepemilikan bersama atas tanah. Ia kemudian dihapuskan, dinegasi oleh munculnya masyarakat berkelas-kelas dalam periode masyarakat kepemilikan budak, feodalisme, dan kapitalisme. Masyarakat yang berkelas-kelas ini kemudian dinegasi oleh revolusi yang dipimpin oleh kelas buruh sebagai kelas tanpa milik alat produksi; sebuah revolusi sosialis sebagai transisi menuju masyarakat tanpa kelas dalam masyarakat komunis yang paling modern. Nah, dalam penjabaran ini sering muncul kekacauan pemahaman yang berangkat dari ketakutan kelas borjuis itu sendiri. Ketakutan kelas yang kemudian melahirkan fitnah sebagai omong-kosong yang keji. Bahwa masyarakat komunis itu anti-individu, menghancurkan individu sebagaimana kita bisa sewenang-wenang membunuh seekor ulat atau menginjak-injak biji padi hingga hancur! Justru sebaliknya, kaum komunis adalah pelestari individu yang sangat memuliakan manusia. Apa yang hendak dihancurkan atau dinegasi adalah penguasaan atas alat produksi berdasarkan pada hak milik perseorangan (privat), di mana hal ini dijadikan oleh kelas kapitalis untuk menghisap manusia yang lain dalam kesatuan kelas buruh.
Inilah ciri istimewa dari komunisme – bukanlah penghapusan milik pada umumnya, namun pengapusan milik borjuis. Milik perseorangan borjuis modern adalah pernyataan terakhir dan paling sempurna dari sistim menghasilkan dan memiliki hasil-hasil yang didasarkan pada antagonisme-antagonisme kelas, pada penghisapan yang banyak oleh yang sedikit. Dalam artian ini, teori kaum komunis dapatlah diikhtisarkan dalam satu kalimat saja: penghapusan milik perseorangan. Bagaimana Marx-Engels menerangkan perkara ini, khususnya soal kepemilikan pribadi, dengan sangat tajam dan tepat dalam Manifesto Partai Komunis:

Kita kaum komunis telah dimaki bahwa kita ingin menghapuskan hak atas milik yang didapatkan seseorang sebagai hasil kerja orang itu sendiri, milik yang dianggap sebagai dasar dari semua kemerdekaan, kegiatan dan kebebasan seseorang.
Milik yang diperoleh dengan membanting tulang, yang direbut sendiri, yang dicari sendiri secara halal! Apakah yang tuan maksudkan itu milik si tukang kecil, milik si tani kecil, suatu bentuk milik yang mendahului bentuk milik borjuis? Itu tidak perlu dihapuskan; perkembangan industri telah menghancurkannya banyak sekali, dan masih terus menghancurkannya setiap harinya.
Ataukah yang tuan maksudkan itu milik perseorangan borjusi modern?
Tetapi adakah kerja-upahan, kerja si proletar, mendatangkan sesuatu milik untuk dia? Sama sekali tidak. Ia menciptakan kapital, yaitu semacam milik yang menghisap kerja-upahan, dan yang tidak bertambah besar kecuali dengan syarat bahwa ia menghasilkan kerja-upahan baru untuk penghisapan baru. Milik dalam bentuknya yang sekarang ini adalah didasarkan pada antagonisme antara kapital dengan kerja-upahan. Marilah kita periksa kedua belah segi dari antagonisme ini.
Untuk menjadi seorang kapitalis, orang tidak saja harus mempunyai kedudukan perseorangan semata-mata, tetapi kedudukan sosial dalam produksi. Kapital adalah suatu hasil kolektif, dan ia hanya dapat digerakkan oleh tindakan bersama dari banyak anggota, malahan lebih dari itu, pada tingkatan terakhir, ia hanya dapat digerakkan oleh tindakan bersama dari semua anggota masyarakat. Oleh karena itu, kapital bukanlah suatu kekuasaan pribadi. Ia adalah suatu kekuasaan sosial.

Inilah jawaban paling akurat yang menjelaskan sejarah kepemilikan pribadi dalam perspektif Marxisme. Apa yang dikhawatirkan oleh borjuis tidak lain adalah ketakutan sejati dari seorang perampas hasil kerja kolektif kelas buruh. Dan apa yang mereka puja sebagai kebebaan individu, kemerdekaan pribadi dalam pengertian borjuis yang liberal, tak lain adalah pelanggengan sistem kepemilikan atas alat produksi. Maka semakin terang dalam hal ini bahwa kaum komunis pada hakekatnya adalah merampas dari tangan kelas perampas untuk dibagikan kepada seluruh rakyat (individu-individu pekerja) – apa yang sudah mereka produksi dan sudah seharusnya menjadi milik mereka (individu-individu pekerja). Frederick Engels dalam buku Anti-Duhring menjelaskan pandangan Marx tentang apa yang dimaksud dengan kepemilikan individu sekaligus sosial dalam persoalan ini:

“Itu adalah negasi dari negasi. Ini tidak menegakkan kembali hak milik perseorangan bagi produser, tetapi memberikan padanya hak milik perseorangan yang didasarkan pada perolehan-perolehan di era kapitalis; yaitu pada koperasi dan kepemilikan bersama atas tanah dan alat-alat produksi. Transformasi hak milik perseorangan yang terpencar-pencar, yang lahir dari kerja individual, menjadi hak milik perseorangan kapitalis adalah, dengan sendirinya suatu proses yang jauh lebih panjang, keras, dan sulit daripada transformasi hak milik perseorangan kapitalistik, yang secara praktek sudah bersandar pada produksi yang disosialisasi, menjadi hak milik yang disosialisasi.”

Inilah yang kita maksud dengan tindakan negasi dari negasi dalam konteks ini, adalah merampas dari tangan kelas perampas. Tindakan ini berarti penegakan hak milik perseorangan tetapi atas dasar hak kepemilikan sosial atas tenaga dan alat-alat produksi yang diproduksi oleh kerja itu sendiri. Sebagai hukum perkembangan dari sistem kapitalisme itu sendiri. Mereka yang terus-menerus memonopoli semua kelebihan hasil produksi, secara langsung telah menciptakan luasnya kesengsaraan, penindasan, perbudakan, degradasi, eksploitasi; tetapi dengan keadaan semacam ini pula tumbuh pemberontakan kelas pekerja, suatu kelas yang selalu bertambah dalam jumlah, dan yang disiplinkan, dipersatukan, diorganisasi, oleh mekanisme proses produksi kapitalis itu sendiri. Kapital menjadi belenggu atas cara produksi yang telah timbul dan berkembang subur dengan/dan bersamanya. Konsentrasi alat-alat produksi dan sosialisasi kerja pada akhirnya mencapai titik di mana mereka menjadi tidak cocok dengan pembungkus kapitalis mereka. Pembungkus ini pecah berantakan. Lonceng kematian hak milik perseorangan kapitalis berbunyi. Para perampas telah dirampas.
Dalam buku Kapital secara terang Karl Marx juga menjabarkan secara ringkas:

“Suatu komunitas individu-individu bebas, yang melakukan pekerjaan mereka dengan alat-alat produksi bersama, dan mencurahkan berbagai bentuk tenaga kerja mereka yang banyak itu dengan penuh kesadaran diri sebagai satu tenaga kerja sosial yang tunggal.”

Inilah yang kita sebut dengan masyarakat yang diorganisasi atas dasar sosialis, yakni:

“Produk seluruhnya dari komunitas kita adalah suatu produk sosial. Satu bagian melayani sebagai alat-alat produksi yang segar dan tetap sosial. Tetapi suatu bagian lain dikonsumsi oleh para anggota sebagai kebutuhan hidup. Bagian ini, oleh karenanya, harus dibagikan di antara mereka.”

Demikianlah, dengan melakukan karakterisasi proses ini sebagai negasi dari negasi, atau meniadakan yang meniadakan, atau juga memiliki pengertian merampas yang merampas. Dalam susunan kalimat yang berbeda kita bisa menyatakan, sang perampas dirampas! Dengan rumus yang berbeda namun sama secara esensi, kita bisa juga mengungkapkan persoalan ini dengan pernyataan:

Tesis: Monopoli feodal (sebelum persaingan bebas)
Anti-tesis: Persaingan bebas (kapitalisme)
Sintesis: Monopoli modern (imperialisme)

Monopoli kapitalisme modern, yang puncaknya adalah imperialisme, dengan demikian adalah negasi dari monopoli feodal, sejauh ia berarti sistem persaingan dan negasi dari persaingan itu sendiri adalah monopoli.
Proses ini bukanlah otak-atik pikiran Marx, atau proses yang diharuskan terjadi oleh Marx secara subyektif, namun Marx membuktikan apa yang telah terjadi dalam proses sejarah, apa yang tengah terjadi secara obyektif dalam proses sejarah, dan apa yang kemudian musti terjadi di masa depan dari sejarah ini. Sejarah yang bergerak secara dialektis, sejarah dalam sudut pandang negasi dari negasi!
Sebuah proses yang sama juga terjadi pada diri sebuah biji padi. Bila sebutir biji padi kita tanam di tanah yang cocok, maka dengan pengaruh panas dan kelembaban ia menjalani suatu proses perubahan tertentu, ia berkecambah; butir itu sendiri telah berakhir keberadaannya. Ia telah dinegasi. Dan sebagai gantinya muncullah tanaman yang telah lahir darinya, negasi dari biji padi tersebut. Ia terus tumbuh, kita memberikan rabuk bagi kesuburannya, ia mulai berkembang, biji-bijian padi tumbuh dan semakin matang. Pada gilirannya batang tumbuhan padi itu mati, ia kita cabut dan campakkan. Sementara butir-butir padi, ratusan hingga ribuan jumlahnya, ada di tangan kita sebagai sumber makanan bagi kemakmuran rakyat. Inilah pengertian meniadakan dan melestarikan sekaligus pada saat bersamaan. Apa yang berlaku di dunia tumbuhan.
Demikian pula dengan keseluruhan fenomena alam lainnya yang merupakan hukum negasi dari negasi; serangkaian pecah-berantakan beruntun dari bentukan-bentukan lama dan deposit-deposit baru karang baru. Pertama-tama, kerak bumi asli yang dilahirkan oleh pendinginan massa cair yang dibongkar oleh aksi-aksi oseanik, meteorologi, dan atmosferik-kimiawi, dan massa-massa yang terkeping-keping ini disusun secara bertingkat di atas dasar samudera. Pergolakan-pergolakan lokal landasan samudera di atas permukaan laut mengenakan bagian-bagian dari lapisan-lapisan pertama ini sekali lagi pada aksi berupa hujan, pergantian suhu musim-musim, oksigen, dan asam karbonik dari atmosfer. Pengaruh yang sama dari massa batu karang yang cair dan keluar dari pedalaman bumi, menembus lapisan itu dan kemudian mendingin. Dengan cara ini, perjalanan berjuta-juta abad, lapisan yang selalu terbentuk lagi dan pada gilirannya sebagian besar dihancurkan, kembali berlaku sebagai material untuk pembentukan lapisan-lapisan baru. Hasil dari seluruh proses ini semua adalah suatu yang positif: penciptaan tanah yang terdiri dari unsur-unsur kimiawi yang sangat beraneka ragam dan secara mekanis terbagi-bagi yang memungkinkan tumbuhan-tumbuhan yang kaya dan beraneka ragam. Dengan pengertian negasi dari negasi ini pula kita bisa menjelaskan siklus gempa-gempa bumi dalam skala besar yang terjadi selama sekian abad di Indonesia. Benarkah Indonesia dewasa ini tengah menghadapi siklus dari pembentukan kembali struktur lempeng kerak bumi?
Secara wilayah, posisi pulau-pulau di Indonesia berada di atas pergeseran lempeng yang paling aktif di dunia. Kita bisa mengambil contoh pertemuan lempeng Pasifik yang bergerak 12 cm/tahun dengan lempeng Eurasia di sekitar Papua dan Maluku. Pertemuan lempeng itu telah menciptakan 32 kali gempa di dasar yang laut yang menyebabkan tsunami sepanjang periode 1600-2005. Frekuensi tsunami paling tinggi tercatat di Laut Banda yang meliputi Kepulauan Banda, Kepulauan Tanimbar, Seram, Pulau Buru, dan Flores. Pergeseran lempeng kerak bumi, baik dalam skala kecil maupun besar, merupakan fenomena alam yang tak mampu kita cegah. Bagaimana pergeseran lempeng kerak bumi tersebut, yang bergerak dari ketidakstabilan akan menemukan kestabilan baru, demikian seterusnya. Kita harus mengerti karakter lempengan bumi di mana kita tinggal agar mengetahui secara ilmiah dan tahu bagaimana menghadapinya secara ilmiah pula. Demikianlah hukum negasi dari negasi sekali lagi mendemonstrasikan kepada kita sebagai hukum dialektika dari seluruh perkembangan alam obyektif ini. Suatu cara pandang dan metode berpikir yang secara langsung melucuti seluruh tinjauan klenik maupun teologi sebagai penjelasan kehidupan pra-ilmiah yang tak berdaya.
Sejarah filsafat itu sendiri pun juga bergerak dalam hukum negasi dari negasi. Pada periode awal masyarakat purba, mucullah materialisme primitif atau materialisme langsung yang alamiah itu. Ketika ia tidak mampu menerangkan hubungan konkret antara pikiran dan materi karena keterbatasan metodis, penjelasan ini membawa pada doktrin roh yang terpisah dari tubuh hingga keabadian roh yang berujung pada agama-agama monotheisme. Dengan demikian materialisme kuno dinegasi oleh filsafat idealisme! Ia berkuasa di pikiran umat manusia selama ribuan tahun, hingga kemunculan materialisme modern. Ya, Materialisme modern, yang tampil tidak hanya mengenyahkan idealisme dari pikiran umat manusia untuk selamanya, namun menjemput dan menegakkan kembali materialisme kuno di atas landasan-landasan ilmiah yang jauh lebih tepat, kokoh, dan permanen. Yakni materialisme dialektika, senjata berpikir kita yang paling maju dan obyektif ini.
Hukum negasi dari negasi dengan demikian berlaku sebagai hukum perkembangan alam, sejarah, dan pemikiran yang sangat umum. Baik di kerajaan binatang, tumbuhan, geologi, matematika hingga sosialisme-komunisme. Bila memang bukti-bukti ilmiah sudah demikian jaya, yang menjelaskan gerak dan perkembangan dunia obyektif ini berjalan secara dialektis, maka sekali lagi, musuh terbesar umat manusia adalah subyektifisme. Yakni kesesatan berpikir yang masih dipertahankan oleh sebagian kaum kepala batu, mereka yang membiarkan pikiran umat manusia di dalam keterbalakangan idealisme dan kepicikan metafisika. Bila kita ajukan pertanyaan, lantas di manakah ruang bagi pertahanan sekaligus persembunyian filsafat mereka? Sepetak ruang itu masih ada. Dan satu-satunya benteng pertahanan terakhir mereka hanya ada di dalam kepala mereka sendiri yang gelap dan reaksioner itu. Di luar kepala mereka, dunia obyektif seisinya ini, sebagian besar telah ditaklukkan, sedang ditaklukkan dan akan terus ditaklukkan sepenuhnya oleh kemajuan ilmu pengatahuan yang berpihak kepada materialisme dialektika. Demikianlah takdir sejarah telah membuktikan dan mengajarkan pada kita semua.



Perbedaan Negasi dari Negasi dari Dua Metode Berpikir



Metafisika

Dialektika

Faktor ekstern sebagai sebab dari peniadaan (negasi).

Sebab negasi terletak di dalam fenomena itu sendiri, dalam perkembangan internal kontradiksinya.


Negasi adalah mungkin terjadi di setiap saat.

Negasi hanya mungkin ketika kontradiksi telah matang, ketika perubahan kuantitatif telah mendekati puncak batasnya.


Corak negasi tidak bergantung pada fenomena yang dinegasi.

Cara negasi bergantung pada hal-hal keumuman dan kekhususan proses alamiah. Setiap fenomena terdapat cara khusus dari negasi.


Suatu fenomena dinegasi secara total dan menghentikan perkembangannya.

Suatu bentuk dinegasi seluruhnya hanya ketika seluruh yang masih terus hidup dalam isi suatu fenomena yang telah dikuasai, dan muncul fenomena baru sebagai tahap lebih tinggi dalam perkembangannya.




H. RANGKUMAN ATAS EPISTEMOLOGI MARXISME:
PENGETAHUAN SEBAGAI REFLEKSI ATAS KENYATAN


Praktek adalah aktifitas material manusia untuk mengubah keadaan dunia.

Teori adalah cerminan atas keumuman dunia obyektif, suatu generalisasi logis atas pengalaman dan praktek sosial manusia.

Apa yang dimaksud dengan refleksi? Refleksi merupakan cerminan dengan cara tertentu atas materi (keadaan obyektif). Hal ini berlaku universal dan meliputi semua aspek dari tingkat yang sederhana hingga ke tingkat yang lebih tinggi dan rumit. Tidak ada satu hal pun dalam pikiran manusia, perkembangan hewan maupun tumbuhan selain apa yang tercermin dari keadaan obyektif. Apa yang tercermin di dalam pikiran manusia yang tidak berangkat dari kondisi obyektif merupakan khayalan atau angan-angan subyektif.

Materialisme Dialektika merupakan metode berpikir universal, suatu pengamatan ilmiah atas kenyataan obyektif (alam semesta dan masyarakat).






 Tahap-tahap Perkembangan Pengetahuan

Tahap pertama
Pengetahuan Inderawi: Pengamatan melalui organ-organ inderawi seperti mata untuk memandang, telinga untuk mendengar, lidah untuk mencicip rasa, dsb. Pengamatan langsung inderawi merupakan cerminan nyata atas kenyataan.

Sensasi: Cerminan dari sifat-sifat obyek yang diterima oleh organ-organ inderawi manusia (merah warna darah, bel berbunyi, asin rasa garam, dsb).

Persepsi: Cerminan menyeluruh (integral) atas obyek-obyek yang diterima oleh organ-organ inderawi (gambaran atas hal khusus seperti manusia, binatang, tumbuhan, batu-batuan, dsb).

Representasi: Reproduksi dalam kesadaran atas fenomena yang berlangsung atas apa yang diterima oleh organ-organ inderawi pada masa lalu (bau bunga itu harum, rasa buah itu manis, merupakan sekumpulan rasa yang tersimpan dalam ingatan atas suatu obyek).

Tahap Kedua
Pengetahuan Logis: Pengamatan rasional melalui bahasa pemikiran yang abstrak, yang digeneralisasi dan dimediasi oleh cerminan atas kenyataan.

Konsep: Pemikiran yang mencerminkan keumuman dan hal yang esensial dari penampakan suatu obyek (manusia, tumbuhan, binatang, planet, dsb).

Penilaian: Pemikiran yang mencerminkan fenomena dalam salinghubungannya dengan fenomena yang lain (Maria adalah manusia, daun itu hijau, singa adalah binatang, bumi itu berputar, dsb).

Kesimpulan: Proses berpikir sebagai hasil dari suatu penilaian baru yang ditarik dari dua penilaian atau lebih (semua manusia akan mati, Sokrates adalah seorang manusia, Sokrates akan mati.)


 Tentang Kebenaran

Kebenaran adalah pengetahuan yang memiliki kesesuaian dengan kenyataan obyektif.

Delusi (khayalan) adalah tidak sesuainya pengetahuan dengan kenyataan. Suatu gerhana berpikir di mana pikiran manusia diliputi kegelapan dan tidak sesuai dengan kenyataan obyektif.

Kebenaran obyektif adalah suatu kebenaran yang ditentukan oleh dunia obyektif, dan tidak bergantung pada pikiran manusia. Untuk mencapai suatu kebenaran obyektif manusia dituntut dengan tindakan-tindakan ilmiah.

Kebenaran relatif: Pengetahuan yang hanya sebagian memiliki kesesuaian dengan kenyataan. Pengetahuan yang secara khusus harus mendapatkan pengamatan lebih lanjut untuk disempurnakan.

Pengetahuan absolut: Dalam pengertian kata yang luas, kesesuaian yang penuh antara pengetahuan dan kenyataan. Pengetahuan yang sudah sempurna dan memuaskan sebagai tujuan dari ilmu pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih sempit, pengatahuan absolut adalah pengetahuan yang sudah tidak akan berubah-ubah lagi dan tidak menuntut pengamatan lebih lanjut.







 Peranan Praktek dalam Pengamatan

Praktek dalam tiga bentuk aktivitas umat manusia:

Produksi material: Aktifitas produksi manusia untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Aktifitas ini sebagai titik berangkat dan dasar dari lahirnya pengamatan: kondisi-kondisi yang mengharuskan dan memunculkan obyek pengamatan. Pekerjaan ini menjadi faktor yang menentukan tugas-tugas pengamatan.

Aktifitas sosial-politik manusia: Sejumlah aktifitas manusia yang memiliki tujuan dan kekuatan motif atas pengamatan. Pengetahuan dalam hal ini digunakan untuk mengubah dunia. Dan menciptakan hal-hal material serta peralatan teknis untuk pengamatan.

Eksperimen Ilmiah: Suatu tindakan manusia untuk mencapai ukuran suatu kebenaran ilmiah. Praktek sebagai tindakan untuk memenuhi suatu ukuran ilmiah baik yang masih bersifat relatif maupun ukuran ilmiah yang sudah bersifat mutlak.


















Salah satu ciri penting yang membedakan antara tradisi Marxis yang sejati dan yang campuran atau palsu adalah keutuhannya dalam memandang persoalan di tiga lapangan penting: Ideologi, politik, dan organisasi. Banyak kalangan dari tradisi borjuis kecil dan intelektual liberal yang gagal menyatukan persoalan ini secara utuh karena kepicikan dan egoisme kelas mereka yang tak tahan banting. Keterbatasan mental kelas ini bukanlah hal yang aneh oleh karena pendidikan, propaganda, serta gaya hidup yang rutin dan panjang dalam tradisi sistem nilai-nilai borjuis. Seorang profesor liberal, sering memaknai Marxisme hanya sebatas suatu teori atau pada tataran ideologi semata; demikian jugaa seorang aktifis sosial yang keranjingan dengan aktifisme politik saja. Keduanya telah menyempal ideologi sebatas teori semata dan politik sebatas aktifisme semata tanpa perspektif. Seorang kelas buruh yang aktif dan loyal di dalam organisasi serikat buruh juga tak lepas dari ikatan politik dan ideologi sebagai cermin kepentingan dan kepemimpinannya. Dalam perspektif yang komprehensif inilah, pertalian erat dan kesatupaduan antara Ideologi, politik, dan organisasi, kita akan mampu menilai seluruh persoalan perjuangan massa secara luas dan mendalam.
Sudah sejak tahun 1846 Marx dan Engels menggagas lahir dan berdirinya satu organisasi (partai) kelas buruh yang independen dari pengaruh ideologi dan politik borjuis. Gagasan ini adalah rintisan yang paling awal dari kesatuan Ideologi-Politik-Organisasi atau I-P-O. Terbentuknya Liga Komunis (1846-1847) maupun Internasionale Pertama (1864-1876) merupakan rintisan dan perwujudan ide dan praktek yang mulia dari Marx-Engels yang kemudian berkembang dan berpengaruh sedemikian besar dan luas. Namun pekerjaan ini ternyata bukan perkara mudah untuk mewujudkannya hingga sekarang. Lebih tepatnya perjuangan untuk menegakkan keutuhan I-P-O ini sungguh perjuangan yang maha berat, rumit, panjang, yang harus tetap dilalui untuk menjamin kemenangan dan cita-cita proletariat.
Kepaduan ideologi, politik, dan organisasi adalah selaras seperti halnya kesatuan antara teori dan praktek. Ketiganya tidak bisa kita pisahkan secara semena-mena seolah-olah tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Ideologi kelas buruh adalah cermin obyektif kepentingan kelas buruh yang dirumuskan sedemikian rupa secara independen dan bebas dari ideologi non-proletar. Rumusan teori ideologi yang tepat akan diturunkan dalam garis politik (program perjuangan dan rencana aksi) sebagai pedoman jalannya organisasi dan tindakan-tindakan taktikal yang dilaksanakan oleh segenap jajaran organisasi. Kesemuanya ini jelas menuntut kesatuan pandangan dan disiplin dalam tindakan. Lemahnya salah satu bidang, tidak bisa lepas dari lemahnya bidang yang lain. Suatu tindakan liberal di dalam organisasi, tidak bisa lepas dari kelemahan ideologis; sebagaiman suatu tindakan oportunisme politik juga tak bisa lepas dari kelemahan ideologis dan kelonggaran organisasi. Inilah arti penting kita dalam menjalankan tradisi Marxis yang sejati, yakni memeriksa secara menyeluruh di tiga lapangan penting ini dan terus-menerus melancarkan perjuangan dua lini agar bebas dari kesalahan-kesalahan subyektifisme. Uraian di bawah ini membahas beberapa bentuk kesalahan subyektifisme di lapangan ideologi, politik, dan organisasi.


 Subyektifisme di bidang Ideologi

Dogmatisme: Secara umum dogmatisme adalah pandangan yang membuta tanpa ada dasar kebenaran ilmiah yang sesuai dengan kenyataan obyektif. Suatu pandangan yang terbit dari sikap menganggap remeh praktek dan keharusan belajar dari praktek. Dogmatisme itu sendiri suatu pengertian yang diambil dari tradisi agama yang beku, menerima kebenaran sebagai hal yang jadi dan terberi. Dengan demikian seluruh sistem kepercayaan atau agama-agama di dunia ini adalah jenis dari dogmatisme yang paling tulen. Secara khusus, dalam lingkungan gerakan proletariat internasional juga dikenal penyakit ini. Yakni pembatuan pikiran sebagai hukum perkembangan dari pembekuan dan kecupetan berpikir. Di dalam lingkaran aktivis borjuis kecil, mereka yang terlampau banyak membaca teori, kurang melakukan praktek atau melakukan penyelidikan keadaan sosial, berpotensi terkena penyakit dogmatisme ini. Dalam periode-periode awal, khususnya sejak periode Internasionale ke-3, seiring dengan munculnya partai-partai komunis di berbagai negeri, muncul kecenderungan dogmatisme di lingkungan gerakan proletar internasional. Mereka yang hendak meniru kemenangan revolusioner kaum Bolshevik di Rusia (1917), tanpa meninjau syarat-syarat obyektif dan memampuan subyektif di masing-masing negeri. Pemberontakan tani bersenjata tahun 1926 di Indonesia, sebuah gerakan perlawanan anti-kolonialisme yang paling maju selama kurun waktu itu yang dipimpin oleh PKI, mengalami kegagalan karena kesalahan dogmatisme ini.

Empirisisme: Secara filsafat, empirisisme adalah pandangan yang meletakkan pengalaman inderawi sebagai basis utama dari lahirnya pengetahuan (epistemologi). Tokoh-tokoh utamanya seperti Francis Bacon, Thomas Hobbes dan John Locke. Pada perkembangannya, kelemahan pandangan empirisisme ini telah dijawab dengan sempurna dengan lahirnya Materialisme Dialektika. Engels menerangkan soal ini dalam Dialektika Alam: "Empirisme semata, yang paling banter hanya mengijinkan dirinya berpikir dalam bentuk perhitungan matematik, berkhayal bahwa dirinya bekerja hanya dengan fakta-fakta yang tak terbantahkan. Kenyataannya, ia bekerja terutama dengan paham-paham tradisional, dengan hasil-hasil pemikiran yang kebanyakan telah kuno, demikianlah halnya dengan kelistrikan positif dan negatif, akan pemisahan kekuatan listrik, teori kontak. Paham-paham ini menyajikannya sebagai landasan dari sejumlah tak terhingga perhitungan matematik di mana, karena keketatan rumus matematikanya, sifat hipotetis dari premis-premisnya terlupakan begitu saja. Jenis empirisme seperti ini bersikap lugu terhadap hasil-hasil pemikiran para pendahulunya sebagaimana ia bersikap skeptis terhadap hasil-hasil pemikiran sezamannya. Baginya, bahkan fakta-fakta yang ditetapkan melalui pengamatan secara bertahap menjadi tidak terpisahkan dari interpretasi tradisionalnya… Mereka terpaksa bersandar pada segala macam manuver dan kebijaksanaan usang, pada cara yang bersifat tambal sulam atas segala kontradiksi yang tak terpecahkan, dan akhirnya mendaratkan diri mereka ke dalam serangkaian kontradiksi yang membelenggu mereka tanpa dapat dilepas lagi”. Dalam khasanah gerakan rakyat, penyakit empirisisme juga muncul dalam bentuk pandangan yang berat sebelah dengan menitikberatkan pada pengalaman diri sendiri semata, pada praktek diri semata. Ia tidak menimba pengalaman yang lain yang lebih maju. Dalam sejarah gerakan proletar, ia memerangi pandangan-pandangan cupet dari kaum nasionalis – sovinisme sempit. Gerakan proletar di suatu negeri merupakan bagian dari perjuangan proletariat di dunia. Kemenangan gerakan proletar di suatu negeri menjadi bagian dari kemenangan proletariat sedunia. Kaum Marxis-Leninis yang lebih maju, harus mampu memerangi kepicikan kaum nasionalis dengan meletakkan kepemimpinan kelas buruh di suatu negeri sebagai bagian dari revolusi proletariat dunia.

Revisionisme: Pandangan yang hendak merevisi atau mengoreksi pandangan yang obyektif atas hukum perkembangan masyarakat. Dalam konteks keilmiahan ajaran Marxisme, ia hendak menggeser batu sendi Marxisme yang revolusioner menjadi sekedar gerakan reformisme belaka. Mereka hendak mengubah ujung politik revolusioner yang runcing itu menjadi tumpul. Dalam sejarah gerakan proletariat internasional, muncul dua jenis revisionisme: revisionisme klasik yang dikepalai oleh Brenstein dan Kautsky (reformisme ekonomi dan demokratisisme parlementer) atau sering diwakili dengan istilah Kautskyisme. Dan revisionisme modern yang muncul setelah kemenangan besar kaum Bolshevik, yang dikepalai oleh klik Tito-Khruschev yang menjajakan pandangan salah bernama ”teori 3 damai”. Keduanya sama-sama hendak mengubah keilmiahan doktrin Marxisme-Leninisme dengan jalan damai dan melupakan jalan revolusioner. Keduanya hendak mempreteli doktrin Marxisme yang ilmiah dan obyektif dengan berbagai penyesuaian dengan pikiran borjuis. Keduanya ibarat kuda troya dalam gerakan proletariat internasional, ideologi borjuis yang menyusup dan meresap ke dalam tubuh organisasi/partai proletariat. Mereka menggunakan istilah dan fraseologi Marxis, namun hakekatnya suatu penyimpangan atas Marxisme yang sejati. Mereka adalah musuh dalam selimut. Borjuis yang menyaru-nyaru sebagai Marxis. Lihatlah jidat mereka yang keras dan kapalan karena setiap hari bersembah sujud di hadapan sistem kapitalisme yang busuk ini. Di hadapan Marxisme-Leninisme dan revolusi, mereka adalah pendosa besar. Dan bajingan-bajingan revisionis itu telah mendapat ganjaran setimpal dari teladan-teladan proletariat kita. Revisionisme Klasik diperangi oleh kawan Lenin. Revisionisme modern dilawan oleh kawan Mao Tsetung.

Eklektisisme (sinkretisme): Konsistensi atau disiplin teoritik, sistematika, prinsip-prinsip, kategori-kategori adalah masalah yang sangat penting dalam teori filsafat. Metode dialektika seperti tesis-antitesis-sintesis juga menjadi syarat metodis penting dalam teori filsafat. Namun terkadang ditemukan suatu sinkretisme, suatu aliansi sistem yang dangkal, tidak utuh dan tidak jujur (subyektif) antara prinsip-prinsip teori yang saling berkontradiksi yang direncanakan oleh orang-orang yang buruk pemahaman teorinya semata-mata agar publik merasa puas dan tenang dengan aliansi sistemis tersebut. Inilah yang kita maksud dengan eklektisisme, suatu paham yang mencampuradukkan berbagai pandangan teori filsafat tanpa prinsip dan tidak obyektif. Perkawinan teoritik yang melanggar disiplin atau teori gado-gado yang mengacaukan pikiran. Dalam sejarah filsafat, istilah ini diberikan kepada sekelompok filosof Yunani Kuno, berawal dari kajian seluruh sejarah filsafat, kemudian hendak memilah-milih doktrin-doktrin yang paling rasional untuk dibuat sistem filsafat yang baru. Wakil dari kaum eklektis ini seperti kaum Stoik: Panaetius (150 S.M) dan Posidonius (75 S.M). Juga kaum Akademi Baru: Carnaedes (155 S.M) dan Philo (75 S.M). dalam periode Roma, Cicero juga dikenal eklektis, yang mencoba menyatukan filsafat Stoik dan doktrin Akademi Baru. Neo-Platonisme, sebagai produk dari filsafat spekulatif Yunani Kuno terakhir, juga hendak menggabungkan antara filsafat Yunani kuno dengan agama-agama Timur.
Dalam gerakan proletariat, juga muncul kecenderungan ini. Suatu kecenderungan yang terus-menerus diperangi baik oleh Karl Marx, Lenin hingga Mao Tse-tung. Dalam karya Kritik atas Program Gotha, Marx mencela eklektisisme yang ditampilkan oleh kaum sosial-demokrat Jerman: ”Jika harus bersatu, maka adakanlah persetujuan-persetujuan guna memenuhi tujuan-tujuan praktis gerakan, tetapi jangan memperkenankan adanya tawar-menawar mengenai prinsip, jangan memberikan ”konsesi” dalam soal-soal teori.” Pandangan yang tepat dari Marx ini kemudian ditimpali dengan benar oleh kawan Lenin dengan pernyataannya yang terkenal: ”Tanpa teori revolusioner tak mungkin ada gerakan revolusioner”.
Dalam pengalaman gerakan rakyat di Amerika Latin pada awal 1970-an, muncul teologi pembebasan sebagai upaya memadukan antara ajaran Marxisme dan ajaran gereja. Upaya yang banyak dinilai oleh sebagian kalangan sebagai perpaduan yang maju ini, tak lebih dari usaha-usaha untuk menyempitkan dan mengerdilkan doktrin Marxisme yang universal menjadi semacam sekte. Marxisme bukanlah sekte yang bisa dengan semena-mena dicangkokkan pada jantung agama. Ia bertentangan dan menyalahi prinsip-prinsip teori Marxisme yang universal. Di belahan negeri lain, proletariat Indonesia juga pernah ada pengalaman eklektisisme ini dalam masa kepemimpinan Presiden Sukarno. Pada waktu itu PKI kehilangan watak kritis-revolusionernya dengan ikut terlibat dalam menyokong pandangan Sukarno tentang Nasakom (Nasionalis-Agamis-Komunis). Gagasan Nasakom adalah persatuan yang tanpa prinsip dari berbagai sistem teori dan pada kenyataannya tak bisa diwujudkan dalam praktek. Dan Pancasila adalah produk sinkretisme yang lain dalam edisi paling kini yang tercermin melalui kemiskinan rakyat Indonesia dewasa ini. Sinkretisme ini pada akhirnya gagal sama sekali. Dalam banyak konteks, pandangan eklektisisme ini berkembang kuat di Indonesia baik dalam bidang agama, ideologi, maupun aliran politik. Pandangan ini sering menimpa orang-orang yang tak memiliki landasan prinsip yang kuat dan utuh; tidak memiliki disiplin teoritik; pencinta teori ”gado-gado” yang mencampur-aduk apa saja ajaran-ajaran yang disukainya secara subyektif untuk memuaskan angan-angan dan kepentingan pragmatisnya. Hasil dari pencampuran tanpa prinsip ini jelas melahirkan kekacauan teoritik yang menyesatkan tindakan dan merugikan gerakan proletariat. Suatu hal yang mutlak harus kita perangi dengan memperdalam investigasi filosofis atas kenyataan dan menghubungkannya dalam kepaduan yang utuh atas seluruh hal-ihwal.


 Subyektifisme di bidang Politik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1990, istilah oportunisme dijelaskan sebagai berikut: ”Suatu paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip-prinsip tertentu.” Penjelasan ini secara keumuman tidak sepenuhnya salah. Khusus dalam konteks gerakan proletariat, secara pengertian, oportunisme adalah suatu pandangan dan tindakan yang mengorbankan kepentingan pokok kelas buruh untuk keuntungan subyektif yang sesaat dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian pada kepentingan kelas borjuis. Dasar keumuman ekonomi oportunisme adalah penghisapan imperialis baik di negeri-negeri imperialis maupun di negeri-negeri jajahan atau semi-jajahan. Pada prakteknya mereka (imperialis dan kompradornya) menyisihkan sebagian dari super-profit mereka untuk menyogok sebagian kecil pimpinan-pimpinan buruh atau apa yang sering dikenal dengan “kaum buruh-ningrat”. Suatu program yang dilancarkan oleh imperialis untuk melakukan pemborjuisan terhadap kelas buruh, baik dalam gaya hidup, cara pandang hingga tindakan. Mereka disogok dengan uang, jabatan, dan berbagai kemewahan yang membuat hidup mereka nyaman agar melupakan perjuangan kelas yang sengit dan revolusi. Mereka menjadi demikian jinak dan menyebalkan; pengecut yang takut menderita dan mudah patah arang dalam menghadapi kesulitan hidup. Secara hakekat mereka adalah teman seperjalanan yang palsu. Agen-agen borjuis yang menyusup dalam tubuh gerakan kelas buruh. Mereka menjadi pemecah-belah gerakan revolusioner, menciptakan ketidakpercayaan-diri di kalangan buruh dengan cara mengecer ide-ide picik tentang reformisme dan sovinisme. Kita harus mengusir elemen-elemen oportunis ini dari Partai Buruh dan gerakan kelas buruh agar mencapai kemenangan dalam perjuangan panjang dan keras melawan imperialisme.

Oportunisme kanan: Dalam pengertian gerakan proletar, pandangan oportunisme kanan adalah pandangan yang terlalu membesar-besarkan kekuatan musuh, mengecilkan kekuatan sendiri; suatu pandangan dan tindakan yang cenderung kompromis tanpa prinsip, mencari konsesi, lunak-moderat, atau menggantungkan kekuatan diri pada faktor-faktor luar (terlalu bergantung pada front). Seluruh paham opotunisme kanan tersebut, ketika telah menjadi tindakan politik, tentu saja memiliki derajat subyektifisme yang tinggi khususnya di jajaran pimpinan. Kolektif pimpinan partai proletariat di Indonesia pada masa lalu pernah terjerumus dalam oportunisme kanan ini yang berakibat pada hancur dan rusaknya Partai dan suatu kerugian besar bagi gerakan revolusioner. Mereka yang telah mencuri-curi kesempatan untuk mengambil keuntungan bagi diri pribadi pimpinan, menjadikan politik proletar yang tidak mandiri. Pada satu sisi mengatasnamakan gerakan proletar, namun pada hakekatnya merugikan gerakan proletar. Kerugian yang menimpa proletariat dalam hal ini secara pasti akan menguntungkan borjuis dan seluruh kaum reaksi.

Oportunisme kiri: Bila oportunisme kanan adalah paham dan tindakan yang cenderung kompromis tanpa prinsip, namun sebaliknya dengan oportunisme kiri adalah radikal tanpa prinsip. Pandangan ini muncul dari situasi ketidaksabaran yang anti-dialektika, menganggap musuh terlampau kecil, dan menganggap kekuatan sendiri sudah besar dan kuat. Suatu angan-angan subyektif yang ingin cepat menang, melakukan radikalisasi atau insureksi di tengah situasi gerakan revolusioner belum matang sepenuhnya, dan tidak menganggap penting faktor kematangan gerakan massa dan front persatuan nasional. Tindakan radikal tanpa prinsip ini pada hakekatnya juga mengandung oportunisme kanan, karena ingin mencapai suatu cita-cita secepat-cepatnya di luar batas kesanggupan subyektif. Pada akhirnya radikal tanpa prinsip ini juga menguntungkan golongan borjuis, karena perjuangan rakyat dipimpin oleh ide-ide yang salah yang berakibat pada kekalahan dan kerugian di pihak proletariat.


 Subyektifisme di bidang Organisasi

Liberalisme: Suatu pandangan dan tindakan yang menghendaki kebebasan tanpa prinsip, yakni menomorsatukan kepentingan pribadi dan menomorduakan kepentingan rakyat dan revolusi. Liberalisme memiliki akar dalam ideologi borjuis dan sering menampakkan diri dalam oportunisme politik, yakni egoisme borjuis kecil yang gemar menyembah-nyembah pada kebebasan individual atas nama demokrasi. Dalam organisasi yang maju dan memiliki watak revolusioner, liberalisme merupakan karat yang merusak persatuan, merenggangkan hubungan, menyebabkan kepasifan dalam pekerjaan dan menimbulkan perselisihan pendapat. Ia menyebabkan barisan revolusioner tidak memiliki organisasi yang kompak dan disiplin keras, dan garis politik tak dapat dilaksanakan dengan konsekwen. Ia merupakan kecenderungan yang sangat buruk dan merusak organisasi. Mereka terkadang setuju dengan Marxisme namun tidak mempraktekkannya sama sekali atau mempraktekkannya namun tidak sepenuhnya. Orang-orang ini memiliki Marxisme dan liberalisme sekaligus, yakni omongannya Marxisme namun tindakannya liberalisme. Liberalisme adalah semacam manifestasi dari oportunisme dan sama sekali bertentangan dengan Marxisme. Secara obyektif ia memainkan peranan yang menguntungkan musuh, akan disambut gembira musuh-musuh proletar karena memang berakar dari kelas borjuis. Memerangi liberalisme tidak ada jalan lain kecuali dengan sikap jujur dan terbuka, setia dan aktif, meletakkan kepentingan rakyat dan revolusi sebagai jiwanya yang utama, menundukkan kepentingan pribadi kepada revolusi – kapan saja dan di mana saja -- tanpa kenal lelah untuk mengkonsolidasikan kehidupan kolektif organisasi dan mempererat persatuan organisasi dengan massa. Dalam suatu uraian tentang liberalisme, Mao Tsetung mendefinisikan 8 jenis liberalisme yang harus diperangi di dalam organisasi yang maju. Melawan liberalisme harus terus menerus kita anjurkan secara aktif karena ia merupakan perjuangan ideologi untuk mencapai persatuan di dalam organisasi sehingga menguntungkan perjuangan rakyat.
Kecenderungan liberalisme pada perkembangannya bisa mengarah pada tindakan ultra-demokrasi. Suatu keadaan yang berkebalikan dengan persatuan dan kesatuan yang solid. Perkembangan dari liberalisme pasti akan melemahkan kepemimpinan organisasi, tidak berjalannya aturan dan jalur-jalur koordinasi/komunikasi organisasi, dan rusaknya disiplin organisasi. Semua bisa melakukan tindakan apa pun atas dasar kepentingan diri pribadi atau kepentingan klik gerombolanisme dalam organisasi. Tindakan ultra-demokrasi harus kita perangi dengan menjalankan prinsip-prinsip sentralisme demokrasi. Ultra-demokrasi seperti ini merusak dan memecah-belah organisasi dan membawa organisasi menuju kehancurannya.

Sektarianisme: Pengertian sektarianisme adalah bentuk subyektifisme yang mengabaikan pandangan buruh dan massa secara umum. Suatu kecenderungan yang mendahului situasi obyektif tanpa menjadikan massa rakyat sebagai pertimbangan yang utama. Sektarianisme adalah hasil dari praktek seseorang yang mengucilkan diri dari gerakan massa dan berlaku sebagai sekte kecil, memisahkan diri dari massa dan dengan demikian tidak akan mampu memimpin massa untuk lebih maju ke depan. Dalam lapangan praktek, ia muncul dalam bentuk semangat membela suatu kepercayaan agama atau pandangan politik secara picik. Ia terkungkung dalam satu aliran saja, emosional dan reaksioner. Seseorang yang memandang massa rakyat dengan mengkotak-kotakkan mereka ke dalam kesempitan etnis, agama, golongan kepercayaan, ras, jender, dsb. Pandangan sektarian tidak akan mampu meluaskan basis dukungan rakyat dan gagal merengkuh massa secara luas. Pandangan ini akan membuat organisasi tak ubahnya sebagai gerombolan kecil, sektoralis, atau menjadi sekte dalam gerakan rakyat saja. Ia tidak akan mampu membesar dan meluas. Ajaran Marxisme-Leninisme yang maju harus mampu memerangi berbagai kecenderungan sektarianisme ini, dan mengeluarkannya dari gerakan rakyat yang berwatak revolusioner.

Komandoisme (sentralisme): Pengertian komandoisme merupakan metode kerja yang menyingkirkan tugas-tugas analisis dan diskusi secara demokratis atas suatu masalah dengan hanya memerintahkan orang-orang di sekitarnya. Hal ini mencerminkan penyakit ketergesa-gesaan karena melampaui tingkat kesadaran politik massa dan melanggar prinsip aksi massa dengan sepenuh kesadaran dan suka rela. Ini suatu kesalahan yang hanya bisa dihindari dengan bergabung dengan massa dan melakukan investigasi. Secara khusus penyakit komandoisme di bidang organisasi ini muncul dalam dua kecenderungan umum. Pertama, kepemimpinan organisasi hanya ada di tangan segelintir orang pimpinannya. Seluruh dasar-dasar mengambil keputusan dan jalannya organisasi tanpa melibatkan partisipasi anggota, yang mirip dengan organisasi milik perseorangan, atau layaknya sebuah kerajaan yang sangat feodal. Kedua, lemahnya partisipasi seluruh jajaran anggota organisasi, lemahnya laporan dari organisasi bawahan ke atasan, lemahnya koordinasi antar berbagai jajaran/tingkatan organisasi, dengan sendiri seringkali memunculkan situasi subyektif pimpinan yang potensial melahirkan sentralisme atau komandoisme yang berlebihan dan anti-demokrasi.

Buntutisme (Tailism): Buntutisme adalah tindakan membiarkan keadaan tanpa kepemimpinan yang tepat dengan mengekor pada spontanitas gerakan massa. Suatu sikap dengan hanya menunggu dan melihat posisi atau sikap apa yang akan diambil oleh massa secara spontan sebelum mengatakan atau melakukan apa pun. Kaum oportunis, revisionis, sosial-demokrat menjadi contoh dari sikap buntuisme ini tanpa kecuali.

Birokratisisme: Ia adalah praktek dengan berdiri di luar dan di atas massa rakyat pekerja dari posisi jabatan tertentu di dalam organisasi. Pejabat birokratik negara kapitalis, disebabkan dirinya yang berada di luar dan di atas massa rakyat, maka sudah lazim bila dirinya berlaku penuh arogan dan memandang rendah rakyat pekerja. Birokratisisme dengan demikian menjadi penyakit yang khas dari rezim birokrasi kapitalis. Di bawah sosialisme, perjuangan panjang dan konsisten harus berperang dengan watak birokratis borjuis warisan kapitalisme ini. Dalam pengalaman praktek, penyakit ini juga muncul di dalam partai sebagai hasil dari beberapa pemimpin yang mempertimbangkan diri sendiri atas nama pangkat dan merasa dirinya tidak terikat oleh peraturan partai. Hal ini juga bisa muncul dalam bentuk tidak menghormati baik isi maupun bentuk dari demokrasi di dalam partai yang menjunjung tinggi keputusan kolektif dan diskusi kolektif dalam merumuskan berbagai kebijakan dan taktik. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar