Sabtu, 13 November 2010

kumpulan naskah drama



KANVAS MALAM,wawan


orang-orang terjaring di gigil malam

melukis jutaan tanya dalam keterasingan

mengais-ngais ceceran sampah peradaban demi secuil makna

namun.......

pada akhirnya segala akan berakhir di tempat segala bermula

di dalam DIRI


Pemain:

Tiga Orang

Setting:

Suatu malam terang bulan di tempat yang terasing dari hingar bingar peradaban. Suara-suara malam mengalun dalam harmoni yang monoton. Nyanyian angin dingin menampar bebatuan dan menghamburkan debu kemarau. Cahaya bulan menelanjangi dataran bebatuan-debu itu tanpa ampun. Begitu tandus dan pucat tanpa gairah, berbanding lurus dengan jiwa-jiwa yang tanggal dari inti kesadarannya.

Namun di sana, di atas sebuah batu besar dengan permukaan agak datar, sesosok tubuh duduk tengadah, lurus menatap bulan. Penampilannya sungguh serasi dengan suasana tempat itu. Lusuh, kurus meski pakaian yang dikenakannya jelas bukan pakaian murahan. Namun, menilik cambang, kumis serta rambutnya yang kusam berdebu, siapa pun yang menatapnya tentu akan terjatuh pada prasangka yang sama.

Lama ia menatap bulan hingga akhirnya ia turun dari batu dan menyeret tubuh dengan langkah agak terseok menghamburkan debu yang menyelimuti tempat itu. Pada langkah kesekian ia berhenti dan kembali menatap bulan, lalu sejenak menengok ke arah batu besar tempat semula ia duduk. Kembali bulan disambarnya dengan kilat matanya, wajahnya tampak membatu, rahang terkatup rapat, kedua pelipis bergerak-gerak, jakun turun-naik. Dua titik air yang lahir dari dua sudut matanya menghadirkan sebuah kontras. Tanpa melepas pandang ke arah bulan, tangan kanannya meraba sesuatu dari balik bajunya. Sesuatu yang berkilat-kilat tertimpa cahaya bulan. Belati. Ia kini memejamkan mata, berlutut. Kedua tangannya yang menggenggam belati teracung. Maksud siap ditunaikan.

Namun, ........... ah, kuping sialan. Sebuah suara yang bukan suara malam, bukan suara angin menyapu debu menggetarkan gendang telinganya. Sebuah siulan bercampur senandung berirama kacau yang keluar dari mulut seseorang yang datang membuatnya menurunkan tangan.

Maksud dibatalkan, atau ........ ditunda?

Orang Kedua : (mendekat sambil terus bersiul dan bersenandung). Rupanya ada sebuah pertunjukan menarik. (berjalan melewatinya sambil bersiul menuju batu yang cukup besar dan buang air di sana)

Orang Pertama : (teramat jengkel). Hei, kau siapa? Mengapa malam-malam begini berkeliaran di sini?

Orang Kedua : (tak peduli dengan ucapan lawan bicaranya). Kau punya tissue? Ya? O, pasti tidak. Ah, tak ada tissue batu pun jadi.

Orang Pertama : (jengkelnya kini bercampur amarah yang memuncak). Bangsat! Sampi! Rupa-rupanya kau benar-benar cari gara-gara. (Ia menggeram sambil mengacungkan belati yang berkilat-kilat ke arah tamunya). Kau tahu apa yang aku pegang ini, hah?

Orang Kedua : (menjawab seenaknya sambil menaikkan risleting celananya). Punyaku sudah dipotong. Kalau dipotong lagi bagaimana pula nasib para gadis yang tergila-gila padaku. Mereka pasti akan sangat kecewa, karena .......

Orang Pertama : (habis sabarnya). Lehermu yang mau aku potong!!!

Orang Kedua : (mulai waspada). Wah, itu tindak pidana namanya. Mengancam adalah salah satu bentuk perbuatan tidak menyenangkan. Dan kalau kau potong ini, (menunjuk lehernya sendiri), leherku satu-satunya ....... dan aku mati, maka kau terjerat pasal tindak pidana tentang pembunuhan berencana.

Orang Pertama : Aaaah!!! Persetan dengan segala tindak pidana! Persetan dengan segala penggolongan tindak pidana! Sekali lagi, persetaaaan!!!

Orang Kedua : (makin waspada namun berusaha tetap tampak santai). Ya, betul. Persetan! Ha, ha, ha, ............ p-e-r-s-e-t-a-n!!! Kau tahu kenapa? Karena, ....pascksstgjk .......(mulutnya bergerak-gerak dimonyong-monyongkan seperti mengucapkan sesuatu, namun yang keluar hanya suara desisan. Jelas maksudnya hendak mengolok)

Orang Pertama : (sambil memburu Orang Kedua dengan langkah agak terseok). Kau benar-benar memang harus mati! Bangsat! Sampi!

Orang Kedua : (sambil menghindari kejaran). Eit, tunggu, tunggu! Bukankah tadi kau mau bunuh diri? Kenapa sekarang malah jadi mau bunuh orang? Itu tidak konsisten namanya.

Orang Pertama tambah marah. Maka terjadilah kejar-kejaran. Orang Kedua menghindar sambil memperolok-olok. Orang Pertama mengejar sambil memaki-maki. Pada saat itu muncullah Orang Ketiga yang tanpa basa-basi langsung melibatkan diri dalam “permainan”. Keadaan jadi kacau sebab sekarang tak jelas siapa yang mengejar dan siapa yang dikejar. Yang tampak jelas hanyalah tiga orang sedang berlarian mengitari bebatuan di tengah kepulan debu tebal. Masing-masing dengan ekspresinya sendiri. Suara-suara ejekan, makian dan tawa cekikian campur aduk

Orang Kedua yang dengan segera menyadari keadaan berusaha menghentikan “permainan” tersebut.

Orang Kedua : Tunggu, tunggu! Berhenti! Stop, stoop!

Orang Ketiga : (tiba-tiba berhenti). Stooooop!!!

Orang Pertama terkejut dan jatuh terjerembab terantuk batu. Belatinya terpental jatuh di sela bebatuan. Orang Ketiga yang menyaksikan kejadian ini terpingkal-pingkal sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Orang Kedua : (mendekati Orang Pertama dan membantunya bangun). Ayo, bangun. (memapah dan mendudukkannya di sebuah batu yang cukup besar).

Orang Pertama : (sambil terengah-engah dan dengan nada datar). Kau butuh ucapan terimakasih?

Orang Kedua : (tertawa kecil, hambar). Aku tidak memerlukannya. Terutama dari orang yang seharusnya sudah mati.

Orang Pertama : (bangkit lagi marahnya). Cis!!! Dari nada bicaramu aku merasa bahwa kau menganggap dirimu pahlawan hanya karena telah berhasil menggagalkan suatu tindakan yang menurutmu tentu sebuah kejahatan, dosa besar. Dan kau bangga sekali dengan anggapan itu sampai-sampai kau merasa tidak perlu lagi memberi sedikit penghargaanmu kepadaku.

Orang Kedua : (jengkel tapi masih mencoba tidak terpancing, bicaranya tetap tenang). Baru kali ini aku bertemu dengan bangkai yang begitu sombong. Ya! Bangkai! Sebab manusia yang daya hidupnya telah padam sama sekali tak beda dengan seonggok bangkai. Tak memberi manfaat apa pun bagi dirinya sendiri apalagi bagi orang lain.

Orang Pertama : Bicaramu makin membuatku mual. Kau tak bedanya seekor lalat yang tercebur ke dalam segelas kopi padahal dia bisa terbang ke mana saja ia suka.

Orang Kedua : (mengangguk faham). Analogimu cukup tajam. Baik! Aku tak perlu jadi seekor lalat. Ayo! Lakukan saja keinginanmu!

OrangPertama : (berteriak). Bagaimana aku bisa melakuknnya kalau kau tetap di sana?!

Orang Kedua : (berteriak balik). Bagaimana mungkin kau memaksaku pergi sementara tempat ini bukan milikmu?!

Orang Pertama : (gemas, dengan nada yang sedikit menurun). Kau memang lalat di gelas kopi!

Orang Kedua : Biar! Apa perdulimu? Lagipula, (dengan tekanan pada nada suaranya) aku ingin menyaksikan keberanian paling bodoh yang pernah dipraktekkan manusia. Apa itu salah?

Orang Pertama : Tentu saja salah! (berteriak).

Orang Kedua : Salah? Di mana letak salahnya?

Orang Pertama : (tetap berteriak). Tentu saja salah! Kau telah mencampuri suatu urusan yang bukan urusanmu sama sekali!!

Orang Kedua : Baik! Mari kita dudukkan persoalannya secara proporsional. Kau menuduhku mencampuri urusanmu dengan berada di tempat ini. Tapi, apa kau sadar, bahwa pada saat yang bersamaan kau telah mencampuri urusanku dengan memaksaku meninggalkan tempat yang sama sekali bukan milikmu?

Orang Pertama : (sangat jengkel). Tapi mengapa kau datang pada saat aku sedang berusaha bunuh diri?

Orang Kedua : (tak mau kalah). Dan mengapa kau mesti bunuh diri pada saat aku tiba di tempat ini dengan kantong kemih penuh air kencing?

Orang Pertama : Kau, kan bisa kencing di tempat lain!

Orang Kedua : Apa kau pikir aku bisa mengatur kapan dan di mana aku akan kencing? Apa kau bisa mengatur kapan dan di mana kau akan mengantuk, hah?!

Orang pertama terdiam. Dia tampak letih beradu argumen dengan lawan bicaranya. Sementara itu, Orang Ketiga yang sedari tadi menghilang di balik bebatuan muncul kembali dengan jangkrik di tangannya.

Orang Kedua : (dengan suara melunak). Ah, sudahlah! Mungkin kau memang harus menunda keinginanmu itu hingga waktu yang lebih tepat. (mengalihkan pembicaraan). Kau lihat orang itu? (menatap ke arah Orang Ketiga yang tengah sibuk bermain dengan jangkrik yang ditangkapnya di tempat itu)

Orang Pertama : (mengarahkan tatapannya ke arah Orang Ketiga namun segera mengalihkan pandangannya ke arah lain). Aku tidak punya kepentingan dengannya.

Orang Kedua : (merasakan keengganan dalam nada suara Orang Pertama. Tiba-tiba, entah pikiran dari mana, timbul keinginannya untuk membanding-bandingkan kedua orang itu. Ganti-berganti dipandanginya kedua orang itu. Sebuah kesimpulan bergayut di benaknya. Dan meledaklah tawanya). Ha, ha, ha, ha ..............!!!

Orang Ketiga : (kesibukannya terusik oleh tawa itu. Ia menengok lalu tertawa keras). Ha, ha, ha, ha ..............!!!

Orang Kedua : (kepada Orang Ketiga, masih terbawa oleh irama tawanya). Kau siapa?

Orang Ketiga : Aku? Siapa? Mmm..... (tampak bingung, garuk-garuk kepala. Matanya seperti mencari-cari sesuatu. Lalu matanya tertumbuk pada jangkrik yang berada di tangannya). Jangkrik! Kau?

Orang Kedua : Mmm ........ siapa, ya? (berlagak seperti orang bingung, garuk-garuk kepala. Matanya seperti mencari-cari sesuatu. Lalu telinganya menangkap suara kibasan sayap kelelawar). O, ya! Batman! (menirukan gaya Batman)

Orang Ketiga : (matanya berbinar jenaka. Bergerak mendekati Orang Kedua dengan tatapan menyelidik sambil tertawa-tawa girang. Sejenak ia terpaku diam, namun tiba-tiba tersentak marah). Kau ...... kau ..... kau bohooong!!! (memungut kerikil dan melempari Orang Kedua). Kau ...... kkkau ..... pasti orang upahan Bapak. Tidak! Aku tidak mau pulang! Aku tidak mau dikurung di gudang belakang bersama kambing yang suka memuntahkan biji sirsak lewat pantatnya! (berlari ketakutan sambil menangis)

Kini tinggal Orang Pertama dan Orang Kedua. Orang Kedua memandang kepergian Orang Ketiga dengan tatapan iba. Orang Pertama hanya mengikuti dengan sudut matanya

Orang Kedua : Kasihan! Sungguh kasihan!

Orang Pertama : (diam. Matanya menerawang menusuk bulan. Disedotnya udara sepenuh paru-paru, dihela lagi dengan keras hingga tandas)

Sepi sesaat. Suara-suara malam dan angin kemarau menyapa angan-angan mereka. Menemaninya terbang ke puncak tertinggi segala harapan, menukik ke palung-palung terdalam segala resah. Kesunyian mungkin teramat indah, namun hidup mesti ditancapkan di bumi kenyataan, meski itu adanya di sudut-sudut paling suram dari kesadaran.

Orang Kedua : (berusaha mencairkan suasana). Kau ....... sering datang ke tempat ini?

Orang Pertama : Ya. Kau?

Orang Kedua : Karena kita baru berjumpa saat ini, tentu kau sudah tahu jawabannya.

Orang Pertama : Bukan tidak mungkin tempat ini pernah akrab denganmu jauh sebelum aku. Dan kau kemari untuk menggali kenangan-kenangan tertentu dalam hidupmu yang lekat dengan tempat ini.

Orang Kedua : (tersenyum getir, sebuah senyum yang patah sebelum mengembang). Tidak. Bagiku kenangan, tak lebih dan tak kurang, hanyalah sesuatu yang purba. Sebuah artefak. Fosil yang telah membatu.

Orang Pertama : (tertawa kecil). Jawabanmu sama sekali tidak menegaskan pendirianmu ikhwal kenangan itu sendiri. Kau hanya berupaya membuatnya kongkret dengan menganalogikannya dengan benda-benda yang kau sebutkan tadi dan berharap jawabanmu benar tanpa merasa perlu percaya akan kebenaran jawaban itu sendiri. Bagiku, jawabanmu hanya upaya pengelakan. Sebenarnya, kau sama-sekali tidak bermaksud menjawab pertanyaanku. Kau menjawab dengan memaksakan sebuah definisi tertentu pada jawabanmu, namun yang terdefinisikan justru kebalikan dari maksudmu.

Orang Kedua : (jengkel) Dan penjelasanmu telah dengan gamblang menggambarkan kualitas dirimu yang gemar mendramatisir segala hal yang kau temui. Bahkan tubuh dan jiwamu pun tak kau biarkan merdeka dari kegemaran gilamu itu.

Orang Pertama : Hei, mengapa kau begitu marah? (heran campur jengkel)

Orang Kedua : (tak kalah sengit). Mengapa kau begitu menjengkelkan?!

Orang Pertama : Aku hanya menilai jawabanmu! (berdiri sambil menunjuk lawan bicaranya)

Orang Kedua : (berdiri sambil menunjuk lawan bicaranya). Lagakmu mengingatkan aku pada seorang dosen yang kepala botaknya pernah kutimpuk dengan biji nangka!

Orang Pertama : (tiba-tiba tertawa). Ha, ha, ha, ...... Kau? Menimpuk kepala seorang dosen berkepala botak? Ha, ha, ..... Dengan biji nangka ........ ha, ha, ha .....

Orang Kedua : (sejenak heran campur bingung namun kemudian menimpali tawa Orang Pertama). Ha, ha, ha, ....... dengan biji nangka. B-i-j-i n-a-n-g-k-a, ha, ha, ha. Dan kau tahu apa yang terjadi kemudian?

Orang Pertama : (dengan rasa ingin tahu). Apa? Coba cerita!

Orang Kedua : (nada suaranya merendah). Gara-gara kejadian itu, sebulan lebih dia tidak mengajar. Itu kata kawan-kawanku. Aku merasa sangat bersalah meski sering dibuat jengkel olehnya.

Orang Pertama : Lalu, apa tindakan pihak kampus terhadapmu. Apa kau diskors atau malah dikeluarkan?

Orang Kedua : (menggeleng). Tidak. Mereka sama sekali tidak bisa melakukan itu

Orang Pertama : (heren). Lho, bagaimana bisa? Mereka punya kuasa untuk itu. Kecuali .... kecuali kau adalah putra atau keluarga pemilik yayasan tempat institusimu bernaung.

Orang Kedua : Sama sekali tidak karena aku kuliah di universitas negeri. Dan mereka memang punya kuasa untuk hal semacam itu. Hanya saja ......

Orang Pertama : (memotong dengan rasa ingin tahu yang membuncah). ..........hanya saja, apa?

Orang Kedua : Hanya saja, mereka tidak bisa memecat orang yang bukan mahasiswa lagi.

Orang Pertama : Jadi, ...... ha, ha, ha. Jadi, sebelum kau dipecat kau berhenti sendiri? Atau kau ada merasa akan dipecat dan mendahului langkah mereka dengan memecat diri sendiri?

Orang Kedua : Bukan! Bukan! Aku berhenti karena memang dipecat!

Orang Pertama : Lho, jadi .......

Orang Kedua : ..... aku berhenti karena memang dipecat (agak jengkel) dan aku dipecat atas tuduhan menteror dosenku sendiri.

Orang Pertama : Dan tuduhan itu benar?

Orang Kedua : Benar atau tidak tergantung persepsi dan perspektif orang yang menilainya. Bagiku sendiri, peristiwa yang terjadi sangat manusiawi. (menerawang) Aku jatuh cinta pada seorang dosen wanita yang kebetulan mengampu mata kuliah di kelasku. --- Kalau kau pernah jatuh cinta tentu kau tahu rasanya.--- Berkali-kali aku menulis surat cinta yang aku selipkan di lembar tugasku. Bahkan, beberapa kali sehabis ia mengajar aku mengejarnya hanya untuk memberinya setangkai kembang sepatu. Mula-mula cintaku berbalas senyum. Namun, kemudian dia memberiku surat.

Orang Pertama : Jadi akhirnya dia membalas cintamu juga?

Orang Kedua : (tak peduli). Kau tahu rasanya diberi surat oleh orang yang kau cintai? Diberikan dengan tangannya sendiri? Aku tak dapat menggambarkan perasaanku saat itu. Kuciumi surat itu berkali-kali seolah-olah surat itu dia sendiri. Bahkan kuajak surat itu bercakap-cakap seolah surat itu dia sendiri. (menerawang)

Orang Pertama : Apa yang ia katakan dalam surat itu?

Orang Kedua : Hingga tiga hari surat itu tak kubuka. Ada sebuah sensasi bermain-main dalam benakku. Sensasi yang membawaku ke alam utopia yang hanya berisi aku dan dia. Kulakukan itu karena aku ingin bermimpi lebih lama sebelum aku kembali kepada kenyataan yang terdapat di dalam amplop surat itu. (memandang kosong ke arah awan malam yang berarak di langit yang jernih)

Orang Pertama : Lalu, setelah hari ketiga?

Orang Kedua : Tepat pada hari keempat, saat bangun-tidur sebelum apa pun yang dapat disebut sebagai kegiatan aku lakukan, surat itu kubuka. Dan.....hal pertama yang tertangkap oleh mataku mematahkan semua impianku.

Orang Pertama : Apa yang kau lihat?

Orang Kedua : Kop surat

Orang Pertama : (sudah dapat menebak cerita selanjutnya). Ha, ha, ha, .......!!! Jadi, dia memberimu sebuah surat resmi, dan bukan surat pribadi?

Orang Kedua : Tepat. Dan itu adalah surat panggilan resmi dari pihak kampus.

Orang Pertama : Kau penuhi panggilan itu?

Orang Kedua : (menggeleng). Aku merasa tidak perlu memenuhinya. Bahkan dua surat sesudahnya yang isinya persis sama. (mendesah). Kemudian, datang surat keempat yang berisi dakwaan dan putusannya, seperti hasil sebuah sidang in absetia

Sunyi sejenak. Masing-masing kembali tenggelam di alam pikirannya sendiri

Orang Pertama : (mendesah). Kau tidak kuliah lagi di tempat lain?

Orang Kedua : Tidak. Setelah aku pikir-pikir, kuliah hanya menghabiskan biaya dan tidak menjamin sama sekali bahwa semuanya akan terbayar dengan sesuatu yang setimpal dengan apa yang aku belanjakan, termasuk energi dan pikiran yang terkuras habis ......

Orang Pertama : (menyambung) ..... apalagi di tengah-tengah kebobrokan yang sudah menjadi menu utama di hampir setiap sisi kehidupan di negeri ini.

Orang Kedua : Yaaah, ........ bahkan telah menjadi semacam konsensus bahwa semua kebobrokan itu merupakan seperangkat aturan yang tak boleh dilanggar. Kalaupun ada yang melanggar, artinya menolak menjadi bagian dari kebobrokan itu, maka harus siap menerima resiko mulai dari yang paling halus hingga yang paling kasar.

Orang Pertama : Jangan-jangan memang itulah jalan yang dipilih oleh Undang Undang Dasar negeri ini demi mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Orang Kedua : Aaah, ......... sudah, sudah! Mengapa kita harus membicarakan sesuatu yang sampai mati pun tak akan kita temukan ujungnya? Paling-paling pembicaraan seperti itu hanya akan bermuara pada sikap mengasihani diri sendiri. Dan sikap inilah yang menyebabkan orang-orang yang terlempar ke pojok-pojok sejarah seperti kita ini menjadi lemah. Kita dilemahkan oleh pikiran-pikiran yang ditindihkan oleh kenyataan hidup yang senantiasa memandang kita sebagai sampah. Semua itu membuat kita lupa menengok ke dalam diri sendiri.

Orang Pertama : (menghela nafas panjang). Bagaimana mungkin manusia meluputkan diri dari pikiran tentang kenyataan hidup yang setiap detiknya merupakan ancaman terhadap hidupnya?

Orang Kedua : Ya. Kau benar. Manusia memang tak mungkin melarikan diri dari realitas yang terhampar di hadapannya. Namun, membiarkan seluruh jiwamu dikunyah habis oleh nasib adalah suatu tindakan bodoh.

Orang Pertama : Bicaramu membingungkan. Kau mengatakan bahwa manusia tak punya pilihan selain menghadapinya, lalu pada saat bersamaan kau hakimi sikap tersebut sebagai tindakan bodoh. (menatap dengan pandangan menghakimi) Jangan-jangan kau ini jenis manusia yang tak memiliki konsep hidup, dan menilai seluruh masalah hidup secara paradoksal

Orang Kedua : (tertawa). Apa menurutmu manusia harus punya konsep hidup dan setia kepadanya?

Orang Pertama : Ya ..... dan tidak.

Orang Kedua : Jika demikian, kita sependapat.

Orang Pertama : Aku pikir, tidak. Pandanganmu tidak bersesuaian dengan suatu konsep tertentu.

Orang Kedua : (jengkel). Otakmu terlalu literal, terlalu tekstual. Kau terlalu fanatik kepada teori-teori yang kau suapkan ke otakmu. Kau lupa mempertanyakan dan menguji teori-teori yang telah terjejal di otakmu itu dengan realitas yang menari-nari di depan matamu. Apa kau pikir teori-teori sialan itu sama seperti makanan siap saji, hah?

Orang Pertama : Oke! Oke! Kau tak perlu marah. Daripada kita bersitegang hanya karena perbedaan pandangan, bukankah lebih baik kalau kita sepakat bahwa kita tidak sepakat?

Orang Kedua : (tak mau mengalah). Untuk sepakat tentang sesuatu, kita mesti dipersatukan oleh sebuah pandangan yang kita terima bersama. Tapi ..... ah, sudahlah. Kita sepakat saja untuk tidak sepakat, toh aku juga bukan penjaja ideologi tertentu. (menyalakan sebatang rokok, lalu mengulurkan bungkusnya kepada Orang Pertama). Kau merokok?

Orang Pertama : (mengangguk sambil menerima uluran itu). Apa ini sebuah simbol perdamaian?

Orang Kedua : (tersenyum, lalu menyedot rokoknya dalam-dalam)

Orang Pertama : Sebenarnya, apa maksud ucapanmu tadi mengenai hubungan manusia dengan realitas?

Orang Kedua : Aku hanya ingin mengatakan bahwa manusia menjadi lemah karena terus-menerus memusuhi realitas dirinya. Manusia yang berani berdamai dengan kenyataan pahit yang dihadapinya akan punya kesempatan untuk memikirkan hal-hal yang berguna bagi hidupnya.

Orang Pertama : Itu pasti sangat sulit. (tampak gelisah karena merasa tersindir)

Orang Kedua : Mungkin. Tapi itu pilihan satu-satunya jika tidak ingin terus-menerus hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan penyesalan.

Orang Pertama : Tidak ada jalan lain lagi?

Orang Kedua : Sebenarnya ada. Bunuh diri!

Orang Pertama : (makin gelisah). Kkau.....menyindir aku, ya?

Orang Kedua : (tersenyum. Senyum seorang yang mendapati umpannya termakan ikan). Maaf, kau sendiri yang bertanya. Sebenarnya, apa yang mendorongmu melakukan tindakan bunuh diri?

Orang Pertama : (diam. Matanya menerawang seperti sedang berusaha menemukan sesuatu sebagai tempat menambatkan segala resahnya. Dua titik air menitik, matanya basah). Apa menurutmu laki-laki tidak boleh menangis?

Orang Kedua : Tuhan menciptakan air mata tidak hanya untuk perempuan, itu berarti laki-laki punya hak yang sama untuk menangis. Hanya saja, kaum kita terkadang terlalu sombong dan munafik dalam hal ini sehingga mereka menciptakan pameo bahwa laki-laki tidak boleh menangis.

Orang Pertama : Kau sering menangis?

Orang Kedua : Selama itu perlu, .... kenapa tidak?

Orang Pertama : Apa yang bisa membuatmu menangis?

Orang Kedua : Apa saja yang membutuhkan airmata.

Orang Pertama : Bila demikian, kau tentu tidak akan menganggap aku cengeng kalau aku menangis.

Orang Kedua : Tidak. Dan bagiku airmata bukan tolok ukur satu-satunya untuk menilai sebuah kecengengan.

Orang Pertama : (mulai terlihat tenang). Boleh aku minta rokok?

Orang Kedua : Boleh, boleh. Ambil saja. Rokok adalah pelarian yang paling praktis dan murah.

Orang Pertama : (menyulut rokok dengan tangan gemetar, menghisapnya dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat seperti sedang berusaha menghalau segala resah di dadanya)

Orang Kedua : (sambil menyulut sebatang rokok). Kau benar-benar tak mau cerita?

Orang Pertama : (tampak ragu). Mmmm......... (mulai gelisah). Aku ...... mmmmm........

Orang Kedua : Kau kehilangan sesuatu yang sangat berharga?

Orang Pertama : (tersentak. Memandang lurus ke mata lawan bicaranya, lalu melengos melarikan pandangannya ke bulan). Ya, .....eh, tidak!

Orang Kedua : Maksudmu?

Orang Pertama : Maksudku ........ maksudku yang hilang itu tidak berharga

Orang Kedua : Aneh, bagaimana mungkin kau bisa kehilangan sesuatu yang tak pernah kau miliki?

Orang Pertama : Maksudku .......Ah, ..... aku baru tahu sesuatu itu sangat berharga justru setelah ia tidak kumiliki lagi. (menangis)

Orang Kedua : Kau tidak mencoba menemukannya kembali?

Orang Pertama : Ia tidak kemana-mana.

Orang Kedua : Tunggu! Coba kau definisikan apa yang kau maksud dengan sesuatu itu.

Orang Pertama : Kau pasti dapat menduganya.

Orang Kedua : Baiklah. Karena segala sesuatu yang terbuka seluruhnya tanpa menyisakan rahasia atau pertanyaan tentu tidak indah. Baik. Kita namakan saja sesuatu itu “sesuatu”.

Orang Pertama : Ya, lebih baik begitu

Orang Kedua : Jika sesuatu itu tak kemana-mana, mengapa kau tidak mencoba memilikinya kembali?

Orang Pertama : Sudah. Tapi tak bisa

Orang Kedua : Mengapa? Apa sesuatu itu terlalu sulit untuk digapai?

Orang Pertama : Bukan itu masalahnya!

Orang Kedua : Lalu?

Orang Pertama : Sesuatu itu telah menjadi milik orang lain.

Orang Kedua : (menghela nafas berat). Dan kau sama sekali tidak dapat melihat sebuah alasan yang membuatmu ingin terus hidup setelah kehilangannya?

Orang Pertama : (menunduk lesu). Aku tahu, kau menganggapku sebagai manusia lemah. Bahkan aku tahu mengapa kau tertawa ketika menyaksikan tingkah orang gila yang tadi datang ke sini. Kau menganggap aku tak ada bedanya dengan dia. Kau menganggap aku sama gilanya dengan dia.

Orang Kedua : (menatap iba kepada Orang Pertama). Sejujurnya, aku memang menganggapmu demikian. Tapi, bagiku kau tidak identik dengannya.

Orang Pertama : Ah, kata-katamu hanya penghiburan tak tulus. Hanya sebuah identifikasi kontradiktif. Sesuatu yang dengan bangga kau sebut sebagai konsep hidup. Pada akhirnya, apa yang kau sebut sebagai “tidak identik” itu akan berpulang juga pengertiannya pada anggapan yang kau buat.

Orang Kedua : (tertawa miris). Ha, ha, ha, ...... kau kembali mengungkit sesuatu yang kita telah sepakat untuk tidak sepakat. Maksudku dengan “tidak identik” adalah bahwa kau menempuh jalan penyelesaian yang berbeda dengan yang dia tempuh. Di situlah letak perbedaan kau dan dia. Cara! Sekali lagi, cara!

Orang Pertama : Maksudmu, dia menyelesaikan masalahnya dengan menjadi gila sebagai pilihannya dan aku dengan cara bunuh diri? Begitu?

Orang Kedua : Tepat. Meski pada hakekatnya menjadi gila itu sendiri bukan sebuah pilihan namun lebih sebagai sebuah konsekwensi ketidaksanggupan memilih.

Orang Pertama : Kalimatmu terdengar sangat analitis. Tapi kau lupa bahwa di dalam keterbatasan pilihan di mana pilihan yang ada tidak menawarkan sesuatu yang diinginkan, tidak memilih pada akhirnya adalah sebuah alternatif pilihan.

Orang Kedua : Aku pikir kau benar.

Orang Pertama : ....... dan kau salah?

Orang Kedua : Bisa, ya. Bisa, tidak. Yang jelas, menurutku inti persoalannya adalah jawaban atas pertanyaan: Apakah cara yang ditempuh sanggup menjawab persoalan atau tidak?!

Orang Pertama : Apakah kau ingin mengatakan bahwa dengan menjadi gila persoalan tidak teratasi?

Orang Kedua : Tepat.

Orang Pertama : Mengapa?

Orang Kedua : Bukankah orang gila adalah masalah, bukan saja bagi orang lain tapi juga terutama bagi dirinya sendiri?

Orang Pertama : (bingung). Bagaimana orang gila jadi masalah bagi dirinya sendiri?

Orang Kedua : Orang gila menyembunyikan diri dari realita keberadaannya sebagai manusia serta menyumbat paksa seluruh kasadaran manusiawinya di balik topeng status kegilaannya itu.

Orang Pertama : Kau mengatakan itu seolah-olah orang gila sadar akan ketidaksadarannya. Lagi-lagi sebuah paradoks

Orang Kedua : Dan lagi-lagi hal seperti ini dapat dilogikakan dengan sebuah analogi.

Pada saat itu, terdengar suara mendekat. Satu sosok tubuh muncul sambil mendeklamasikan serangkaian kata-kata. Entah pantun, entah puisi. Ternyata Orang Ketiga, orang yang sedang menjadi topik pembicaraan Orang Pertama dan Orang Kedua.

Orang Ketiga : sampi hidup, dibelot ikan gurami

arti hidup, kalau sudah pelot tidak ada kata bersemi.*

tiada warna tiada rupa, aku jatuh di malam peteng

tiada apa-apa, lebih baik aku makan plemeng. (mengeluarkan sesuatu dari saku celana dan memakannya).

(* kalimat ini penulis pungut di perempatan Pancor, dari mulut seseorang yang oleh semua orang dinyatakan sebagai orang gila).

Orang Kedua : (kepada Orang Pertama). Kau dengar itu? Menurutmu bagaimana kalimat semacam itu bisa terpikir oleh orang gila? (kepada Orang Ketiga). Hey, kawan, angin apa yang meniupmu ke tempat ini?

Orang Ketiga : (kepada Orang Kedua) Wahai, manusia bodoh. Jam segini angin sudah tidur.

Orang Kedua : Tapi angin di mulutmu pasti belum tidur. Coba kau tiup tanganmu keras-keras.

Orang Ketiga : (melakukan apa yang dikatakan Orang Kedua).

Orang Kedua : Bagaimana? Anginnya masih bangun apa masih tidur?

Orang Ketiga : Wah, kau hebat. (meniup lagi). Anginnya masih bangun! (berjingkrak-jingkrak sambil sesekali meniup). Apa angin di mulutku tidak bisa mengantuk, ya? (termenung). Tunggu! Pasti tadi dia sudah tidur, tapi, ... (menunjuk Orang Kedua) ...... tapi kau .... kau curang ..... kau menyuruh aku membangunkannya. (marah)

Orang Pertama : Ah, sudahlah. Dia (mengisyaratkan dengan gerakan kepala ke arah Orang Kedua) pasti tidak tahu kalau angin di mulutmu sedang tidur. (Orang Kedua tersenyum penuh arti melihat Orang Pertama akhirnya mau berbicara dengan Orang Ketiga)

Orang Ketiga : Tidak bisa! Ndekku gemes! Pokokne kalian harus mendedenya supaya tidur.

Orang Pertama dan Orang Kedua bingung. Orang Ketiga terus marah-marah sambil berteriak dan melemparkan kerikil ke arah dua orang tersebut.

Orang Kedua : Eit, tunggu! Tunggu! (meraba saku celananya). Kalau kau mau angin di mulutmu tidur, nih! (mengangsurkan sebatang rokok).

Orang Ketiga : (membuang kerikil yang masih di tangannya, mendekat dan menerima rokok dengan mata berbinar senang).

Orang Kedua : (menyulutkan rokok yang sudah terjepit di bibir Orang Ketiga). Bagaimana? Sekarang anginnya sudah tidur, ke?

Orang Ketiga : (terlihat nikmat sekali dengan rokok di bibirnya). Nikmat! (duduk di atas sebuah batu besar)

Orang Kedua : Anginnya, bagaimana?!

Orang Ketiga : (tidak perduli, asyik bermain-main dengan asap rokok sambil tertawa-tawa menyaksikan lingkaran-lingkaran asap yang dia buat).

Orang Kedua : (jengkel). A-ng-i-n-n-y-a b-a-g-a-i-m-a-n-a??!!

Orang Ketiga : (bangun, mendekati Orang Kedua sambil terus bermain asap). Angin?

Orang Kedua : Iya, bagaimana?

Orang Ketiga : (merenung). Anginnya ...... (sejenak menatap Orang Kedua lalu berbalik berjalan menjauh sambil terus bermain asap, tiba-tiba berhenti dan berbalik dengan langkah cepat menuju Orang Kedua). Ya! Aku tahu! Aku tahu! Kau mau tahu?

Orang Kedua : (mengerutkan kening). Bagaimana?

Orang Ketiga : (menyedot rokok dalam-dalam lalu menyemburkannya ke wajah Orang Kedua). Pfuhh ....... Anginnya ...... sudah jadi asap! Ha, ha, ha, .....(tertawa-tawa sambil berjingkrak-jingkrak meninggalkan tempat itu, meninggalkan kepulan debu di belakangnya, meninggalkan kejengkelan Orang Kedua, meninggalkan tawa Orang Pertama yang mentertawakan Orang Kedua)

Orang Kedua : (jengkel). Mengapa kau tertawa?

Orang Pertama : Ha, ha, ha, ..........

Orang Kedua : Hei, aku bertanya!!

Orang Pertama : Ha, ha, ha, .........

Orang Kedua : (dengan jengkel melempar Orang Pertama dengan kerikil).

Orang Pertama : Eit, sebentar! Sabar! Ha, ha, ha, ..... kau .... kau ......(berusaha meredam tawa) ..... kau diskakmat orang gila. Ha, ha, ha ........ Pemandangan yang sungguh indah!

Orang Kedua : (berusaha mengalah, tapi masih jengkel). Ya, ya!! Aku harap kejadian tadi dapat membuatmu melihat ke dalam dirimu.

Orang Pertama : Ah, kau tak pernah mau berhenti menyindir aku (salah tingkah)

Orang Kedua : Syukurlah, kau masih bisa merasa tersindir. Itu artinya naluri dan perasaanmu masih berdesir.

Orang Pertama : Ya, sudahlah.

Orang Kedua : Ya, sudah!

Orang Pertama : Terus...?

Orang Kedua : Teruskan saja!

Orang Pertama : Terus, apa?

Orang Kedua : Maumu, apa?

Orang Pertama : Lho!!!

Orang Kedua : Iya, apa?

Orang Pertama : Apa, sajalah!

Orang Kedua : Lho!!!

Mereka saling pandang dengan kebingungan yang sama. Sadar dengan keadaan, mereka sama-sama tertawa lepas. Lalu sepi sejenak, mereka kembali menjenguk ke kedalaman rasa masing-masing.

Orang Pertama : Sebenarnya, kau ini siapa?

Orang Kedua : Sama sepertimu. Bukan siapa-siapa

Orang Pertama : (tercenung). Bukan siap-siapa. Ya! Bukan siapa-siapa

Orang Kedua : (memandang jauh, menembus batas awan dan langit). Benar-benar bukan siapa-siapa. Mungkin kita hanya orang asing bagi dunia. Hanya sebuah noktah anonim dalam sejarah.

Orang Pertama : (pandangannya masih menerawang). Kau pernah mengalami keadaan seperti yang aku hadapi sekarang?

Orang Kedua : (mengangguk).

Orang Pertama : Apa yang kau lakukan?

Orang Kedua : (tersenyum pahit). Sama sepertimu

Orang Pertama : Bunuh diri? Tapi kau masih hidup.

Orang Kedua : Nyaris. Tapi aku ternyata tak punya cukup keberanian melakukannya.

Orang Pertama : Maksudmu?

Orang Kedua : Aku mengikatkan seutas tali ke leherku dan ujungnya aku ikatkan di dahan pohon. Begitu tali menjerat leherku, sebelum melompat, aku mencoba bertanya pada diriku sendiri. Mencoba menimbang keberanian dan ketakutanku. Ternyata aku cukup pengecut untuk ukuran orang yang hendak bunuh diri.

Orang Pertama : Itu artinya kau kembali lagi ke dunia yang telah membuatmu tak ingin lagi hidup.

Orang Kedua : Kau benar. Aku kembali

Orang Pertama : Maka, itu berarti – sesuai pandanganmu – kau tidak memilih.

Orang Kedua : (mengangguk). Aku coba untuk tidak memilih

Orang Pertama : Dan ....?

Orang Kedua : Aku menjadi seonggok bangkai berjalan. Secara biologis aku tetaplah manusia hidup, sedang secara naluriah aku sudah tidak memiliki diriku sendiri.

Orang Pertama : Bagaimana rasanya jadi orang gila?

Orang Kedua : (tertawa). Untunglah kau bertanya sekarang, sebab jika kau bertanya saat itu tentu kau akan mendapat jawaban seperti yang kudapatkan dari orang tadi. Ha, ha, ha, .... Apa kau berminat untuk menjadi salah satunya?

Orang Pertama : Ha, ha, ha, ..... Kukira tawaranmu patut dipertimbangkan. Jadi ...?

Orang Kedua : Dengan menjadi manusia dengan predikat gila, apa pun yang kau lakukan tak dapat dipersalahkan dalam pandangan hukum apa pun. Namun, hak istimewa yang kau miliki tersebut tak sebanding dengan siksaan yang datang setiap saat. Setidaknya itulah yang terjadi padaku entah dengan orang sinting lainnya.

Orang Pertama : Siksaan? Dari siapa? Atau oleh apa?

Orang Kedua : Apa kau pikir kesadaran yang terpasung di dasar jiwamu akan membiarkan dirinya tunduk dalam pasungan?

Orang Pertama : Artinya, -- lagi-lagi sebuah paradoks – kesadaran ikut termanifestasi dalan ketidaksadaran?

Orang Kedua : Hanya saja kesadaran itu tidak terwujud sebagai hasil olah rasa dan logika yang kemudian menjadi sebuah sikap “berkesadaran”. Itulah mengapa sebuah tanggung jawab tidak dapat dituntut dari orang gila.

Orang Pertama : Bukan main! Aku merasa seperti sedang bertanya pada seorang pedagang tentang barang dagangannya (bersikap seolah-olah kagum). O, ya. Rasanya seperti sambal kurang cabe kalau kau tidak cerita ikhwal habis gelap terbitlah terang, habis gila terbitlah waras. (dengan nada agak meremehkan, karena merasa cerita yang didengar terasa dikarang-karang).

Orang Kedua : (merasakan nada lawan bicaranya, menjawab sekenanya). Aku jadi waras karena bosan jadi orang gila.

Orang Pertama : O, ya? Fantastis! Ck,ck,ck .... (menggelang-gelang dengan irama dan mimik yang dibuat-buat).

Orang Kedua : (jengkel) Kenapa? Apa kau pikir segala hal tentang hidup mesti berjalan pada suatu keumuman? Apa kau pikir logika adalah aturan yang mesti dipertuhankan? (jiwa perlawanannya menyala menjadi api yang siap membakar). Bagi manusia semacam kau, hidup tak ubahnya fast food; tinggal makan. Itulah mengapa manusia macam kau ini selalu gagap menghadapi kenyataan. Alam pikiran kalian telah tersihir teori-teori yang tertulis dalam buku-buku teks sehingga merasa tak perlu lagi bertanya dan menafsir ulang.

Orang Pertama : Kau berkata seperti itu seakan-akan kau tidak tahu bahwa teori-teori tersebut adalah santan yang diperas dari kelapa yang tumbuh di pohon realitas.

Orang Kedua : Di sanalah kesalahannya bermula.

Orang Pertama : Maksudmu?

Orang Kedua : Kau tidak bisa memelihara tongkol di kolam air tawar dan memelihara gurami di laut lalu berharap tongkol dan gurami tersebut hidup berkembangbiak dengan ransum terbaik hanya karena keduanya adalah makhluk yang hidup di air.

Orang Pertama : (coba mengalah meski tidak merasa kalah, lebih karena keengganan untuk terus berdebat).Ya, ya. Aku faham ...... setidaknya, mencoba untuk faham

Orang Kedua : (masih jengkel). Bagiku tidak terlalu penting kau faham atau tidak, kau terima atau tidak. Yang kulakukan hanya menyampaikan isi perasaanku.

Orang Pertama : Ya, ya, ya ......

Orang Kedua : Aku merasa perlu mengatakannya. Itu saja alasannya. Kau tahu kenapa?

Orang Pertama : Apa aku perlu tahu?

Orang Kedua : Perlu atau tidak bukan wewenangku untuk menilai. Yang jelas, aku hanya ingin mengatakannya. Dan satu-satunya orang di sini yang bisa mendengarnya hanya kau.

Orang Pertama : Sudahlah jangan berputar-putar

Orang Kedua : Aku merasa perlu menyampaikan perasaanku karena .... karena aku tak mau lagi jadi orang sepertimu.

Orang Pertama : (melengos dengan muka merah padam). Sialan, kau!

Orang Kedua : Ha, ha, ha, ...... Otakmu penuh dengan timbunan sampah. Kau menjadikan otakmu tempat pembuangan sampah yang dikerubuti lalat-lalat dan jadi sarang penyakit. (sengaja memancing)

Orang Pertama : (terpancing) Sudah! Sudah! Sudaaaah!!!

Orang Kedua : (berteriak). Ayo! Marahlah! Keluarkan semua kemarahanmu! Keluarkan semua sumpah serapah yang kau punya! Ayo!

Orang Pertama : Bangsat, kau! Sampi pekek! (semakin marah dan mulai memungut kerikil)

Orang Kedua : (sambil waspada, siap-siap menghindar dari sambitan)Ya, bagus! Ayo, terus! Jangan ragu-ragu. Ayo, otak karung sampah!

Orang Pertama : (melempar dengan kerikil campur debu). Setaaan! Kau pasti sengaja kemari untuk mengganggu dan ingin menyakiti perasaanku (mulai terisak). Kau tidak rela membiarkan aku tenang. Kau ...... kau ....... aaah .... (mengamuk dan melemparkan kerikil campur debu membabi-buta) ...... Bastooong!!!

Orang Kedua : (sambil terus menghindar). Ah, kurang kotor! Kurang kasar! Cobalah bereksplorasi dengan kata-kata seperti, basong atau godek, misalnya. Ha, ha, haaaaa, ......

Orang Pertama : (kehabisan tenaga, kini duduk terisak). Kkau ...... Mengapa kau lakukan ini padaku? (sambil terisak)

Orang Kedua : (tidak menjawab, dibiarkannya Orang Pertama menumpahkan seluruh bebannya sambil memandang iba).

Orang Pertama : (tanpa gairah) Mengapa?

Orang Kedua : Hei, kawan! Untuk apa kau biarkan bebanmu membusuk di pikiranmu? Apa kau pikir yang busuk itu bisa jadi terasi yang kau bungkus dan jual ke pasar?

Orang Pertama : (dengan nada putus asa). Jadi, aku mesti bagaimana?

Orang Kedua : Tuhan memberi manusia akal dan nurani. Alangkah bodohnya jika tidak kau gunakan itu.

Orang Pertama : (menerawang). Aku bingung.

Orang Kedua : Aku pernah bingung sepertimu dan sekarang pun aku bingung melihat kebingunganmu.

Orang Pertama : Bingung? Kau?

Orang Kedua : Aku bingung. Ya! Aku bingung mengapa Tuhan mempertemukan aku dengan begitu banyak orang bingung sepertimu.

Orang Pertama : Jika kita berdua bingung bagaimana kita, ...... eh, aku .....

Orang Kedua : (menyela)..... pakai ini (menunjuk ke pelipis) dan ini (memegang dada).

Orang Pertama : Kau tahu, ....? Bahkan sebelum aku gila, orang sudah mencapku gila. Mungkin aku memang depresi tapi aku tahu, aku yakin, aku tidak gila. Aku menghindar dari keramaian dan perjumpaan dengan manusia, tapi ..... tapi aku ....... aku .... tidak gila. Atau menurutmu aku gila?

Orang Kedua : Jika dunia tidak perduli padamu mengapa mesti merepotkan diri dengan merasa khawatir pada pandangan dunia terhadapmu? “Apa kata dunia jika bla bla bla?” Cis!!! Tai!!!

Orang Pertama : (tertunduk lesu). Ya, untuk apa?

Orang Kedua : Kaulah yang menentukan hidupmu sendiri. Jadi, untuk apa mesti memaksakan diri membunuh identitas dirimu hanya karena tidak sesuai dengan patokan umum tentang sesuatu dalam dirimu

Orang Pertama : Tapi, bukankah setiap manusia hidup di sebuah dunia yang di dalamnya pasti hidup juga manusia lainnya?

Orang Kedua : Benar. Namun, jika kau bercita-cita hidup di dalam masyarakat tanpa resistensi, maka siap-siaplah kecewa sebab kau mustahil mendapatkannya dalam kenyataan. Kau hanya akan menemukannya di alam ide.

Orang Pertama : Jadi, aku harus menerima perlakuan masyarakat serta ketidakperdulian mereka, begitu?

Orang Kedua : Inti persoalan sebenarnya adalah dirimu sendiri. Jika kau tak sanggup berdamai dengan sesuatu yang “hidup” dalam dirimu maka bagaimana kau dapat berdamai dengan segala yang “hidup” di masyarakat? Semakin kuat resistensimu dengan sesuatu yang “hidup” di dalam dirimu, semakin kuat pula kau rasakan resistensi dengan masyarakat.

Orang Pertama tercenung, menerawang jauh menembus batas langit malam, mencoba mencerna segala yang didengarnya, mencoba mencerna persoalan hidup yang menderanya. Malam merangkak, bulan merangkak, waktu merangkak. Suara-suara malam belum mau lelap. Angin menusuk tulang, menampar batu-batu, meniup debu. Dua manusia terus melukis dirinya di kanvas malam.

Orang Kedua : Aku dapat merasakan rasa sangsi yang tertancap kuat dalam dadamu.

Orang Pertama : (mendesah). Aku merasa, semakin banyak persoalan yang terjawab semakin banyak pula pertanyaan yang menggugat untuk dijawab

Orang Kedua : Tidak ada jawaban yang final selama masih ada “hidup”. Setiap jawaban sejatinya adalah pintu bagi pertanyaan lainnya.

Orang Pertama : (mendesah berat lalu berbicara seolah-olah suaranya datang dari tempat yang teramat jauh untuk kemudian dihujamkan kembali ke dalam dadanya). Hidup! Sebuah kata yang teramat rumit dimaknakan.

Orang Kedua : (mengangguk sambil tersenyum)

Orang Pertama : (menjenguk ke kedalaman air muka lawan bicaranya mencoba menemukan sesuatu di sana). Kau sanggup berdamai dengan setiap kenyataan hidupmu?

Orang Kedua : (menatap dalam ke paras lawan bicaranya). Setiap saat hidup menawarkan perang baru.

Sunyi sesaat. Malam semakin jauh. Suara-suara malam tak berhenti.

Orang Kedua : Malam makin jauh. Kau tak pulang?

Orang Pertama : Kau mau pulang?

Orang Kedua : Ada kehidupan lain yang menungguku pulang.

Orang Pertama : Keluarga?

Orang Kedua : Seorang istri serta tiga orang anak.

Orang Pertama : Istri? Anak? Sulit kupercaya. Bagaimana orang sepertimu bisa terjebak di tempat seperti ini?

Orang Kedua : Sama sekali aku tidak terjebak. Ada saat di mana seseorang – siapa pun dia -- mesti meluangkan waktunya untuk menengok ke dalam dirinya.

Orang Pertama : Tapi ......

Orang Kedua : (menyela) ...... bagaimana mungkin orang yang pernah sinting seperti aku bisa meyakinkan seorang perempuan bahwa aku sanggup memberi hidup yang layak dan membahagiakannya, begitu maksudmu?

Orang Pertama : (mengangguk)

Orang Kedua : Jawabanya sangat mudah. Aku telah memilih. Dan pilihanku adalah “hidup”.

Orang Pertama : (menggumam). Entah siapa perempuan yang tidak beruntung itu.

Orang Kedua : Ha, ha, ha, .... Kau salah! Kau tahu apa yang dikatakannya? Dia mengatakan bahwa di sangat beruntung mendapatkan aku.

Orang Pertama : Pasti perempuan itu pernah sinting juga sepertimu. Kalian saling jatuh cinta dalam keadaan sama-sama sinting, barangkali?

Orang Kedua : Ha, ha, ha. Kau salah lagi. Istriku justru merasa sangat beruntung justru karena aku pernah sinting. Menurutnya, tidak ada orang yang sinting dua kali. Jadi, dia tidak perlu khawatir aku bakalan sinting. Ha, ha, ha ..... Dan kau pasti akan sangat terkejut mengetahui siapa istriku

Orang Pertama : Mengapa aku harus terkejut?

Orang Kedua : Karena dia adalah bekas dosenku.

Orang Pertama : Apa???

Orang Kedua : Ya!

Orang Pertama : Dia???

Orang Kedua : Ya, dia!

Orang Pertama : Bagaimana mungkin?

Orang Kedua : Ha, ha, ha, .... (tertawa lepas, saat itu matanya menangkap sesuatu yang berkilat-kilat tertimpa cahaya bulan. Dia mendekati benda itu. Ternyata belati milik Orang Pertama yang tadi terpental). Realitas dan akal sehat terkadang saling mengkhianati. (menyodorkan belati kepada Orang Pertama). Kurasa ini milikmu

Orang Pertama : (ragu-ragu, namun belati itu akhirnya diterimanya juga). Apa kau merasa bahwa aku tidak akan menggunakan belati ini lagi untuk bunuh diri?

Orang Kedua : (tersenyum). Aku sama sekali tidak berkuasa atas hidup seseorang.

Orang Pertama : (menimang-nimang belati). Kau mau pulang sekarang?

Orang Kedua : Ya, pulang. Kehangatan senyum dan tubuh istriku menungguku pulang.

Orang Pertama : Apa kita akan bertemu lagi?

Orang Kedua : Entahlah. (tersenyum lalu beranjak pergi. Pada langkah kesekian ia menengok dan tersenyum penuh arti). Selamat tinggal.

Orang Pertama : (balas tersenyum, menatap kepergian Orang Kedua hingga ia lenyap)

Kini tinggal Orang Pertama seorang di tempat itu. Belati di tangannya ditimang-timang. Ia menghela nafas berat, menatap bulan, kemudian menatap belati di tangannya. Sejenak ia mematung menatap bulan. Kembali terdengar hempasan nafas berat. Ia menatap seluruh tempat itu, bahkan menjenguk ke balik batu-batu yang ada di tempat itu mencoba meyakinkan dirinya bahwa tak ada siapa pun di tempat itu. Setelah benar-benar yakin, ia berlutut dan mengangkat belati dengan dua tangannya. Mata dipejamkan. Tak ada butir-butir air mata. Sedetik, dua detik, tiga detik, ..... detik-detik berlalu namun belum terjadi apa-apa. Tiba-tiba matanya terbuka, sebuah sinar kemarahan tampak di matanya. Kedua tangan diturunkan, lalu dengan penuh kemarahan berdiri.

Orang Pertama : (berteriak sambil tengadah). Tuhan mengapa Kau tanamkan rasa ragu dalam dadaku?! Kau tidak adil! (berjalan agak terseok mengitari tempat itu seolah-olah Tuhan akan ditemukan di salah satu sisi atau sudut tempat itu, langkah-langkahnya membangkitkan debu yang dengan segera mengepul memenuhi tempat itu). Jika Kau tak membiarkan aku bahagia, mengapa tak Kau biarkan juga aku mengakhiri penderitaan ini?! Kau tidak adil!!! Aku tidak terima! Aku tidak terimaaa!!!!

HABIS????

Ujung Malam

6 September 2010

Kamar Puntung-Debu




WEK WEK

ADEGAN I

Petruk : Sejauh mata memandang, sawah luas terbentang tapi tak sebidang pun adalah milikku. Padi aku yang tanam. Juga aku yang ketam, tapi tidak segenggam pun adalah milikkku. Bebek tiga pupuh ekor, semuanya tukang bertelor. Tapi tidak juga sebutir adalah milikku. Badan hanya sebatang, hampir-hampir telanjang. Hanya itu saja yang menjadi milikku.

ADEGAN II

Bagong : Aku orang berada, apa-apa ada. Juga buah dada. Itulah beta. Sawah berhektar-hektar, pohon berakar-akar, rumah berkamar-kamar. Itulah nyatanya. Kambing berekor-ekor, bebek bertelor-telor, celana berkolor-kolor, film berteknik kolor. Perut buncit ada, mata melotot ada, pokoknya ada.

ADEGAN III

Gareng : Badannya langsing, matanya juling, otaknya bening. That’s me. Tipu menipu, adu-mengadu, ijazah palsu. That’s me. Gugat-menggugat, sikat-menyikat, lidah bersilat. That’s me. Profesiku Pokrol Bambu. Siapa tidak tahu? That’s you.

ADEGAN IV

Semar : Saya jadi Lurah sejak awal sejarah. Sudah lama kepingin berhenti. Tapi tidak ada yang mau mengganti. Sudah bosan, jemu, capek, lelah. Otot kendur, mata kabur. Mau mundur dengan teratur. Mau ngaso di atas kasur. Saya gembung bukan karena busung. Mata berair bukan karena banjir, tapi karena menjadi tong sampah. Serobotan tanah....Pak Lurah. Curi air sawah....Pak Lurah. Semua masalah....Pak Lurah. Tapi kalau rezeki melimpah, Pak Lurah tidak usah.....Payah.

ADEGAN V

Bagong : Jaman ini memang jaman edan. Tidak ikutan ngedan tidak kebagian. Di terminal calo berkuasa. Dia tentukan penumpang naik apa. Di dunia film produser merajalela. Dia tentukan sutradara bikin apa. Di sini itu, si Petruk sialan datang merangkak minta pekerjaan. Aku suruh dia angon bebek tiga pupuh ekor. Tiap minggu harus antar lima puluh telor. Eeee...dia tentukan sendiri berapa harus setor. Sungguh-sungguh kurang ekor.

Nah, sekali waktu aku datang mengontrol, bebeknya hilang dua ekor. Waktu ditanya, ia jawab: Dimakan burung kondor. Di sini mana ada burung kondor. Dia kali yang kondor.

Dia datang melolong minta tolong. Sudah ditolong, eeee...dia nyolong.

Orang seperti ini harus dipukuli. Sayang, aku tidak berani. Lagi pula aku tidak mau mengotori tanganku dengan menyentuh tubuhnya yang kotor dan bau itu. Aku tidak mau jadi hakim sendiri.a apa gunanya Pak Lurah digaji.

ADEGAN VI

Petruk : Orang sudah melarat,ditimpa kualat. Telor sudah dimakan masih juga digugat. Padahal yang bertelor tidak peduli, apa mau dimakan atau dicuri. Pokoknya, kan aku tiap mingu setor sekitar lima puluh telor. Waktu menyeberang jalan, datang motor. Bebek kabur. Satu ketubruk dan mati konyol.

Sekarang aku harus menghadap Pak Lurah untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan menurut versi Bagong dongkolan itu. Oh, siapa menolongku. Siapa membantuku.

Gareng : Apa masalahmu, menangis tersedu-sedu

Apa persoalan, merengek tersedan-sedan

Jangan takut, aku ukan polisi.

Bukan maut, juga bukan polusi.

Petruk : Begitu mulutnya dibuka, mendadak hilanglah duka. Permisi, mohon bertanya. Kok, mau menyapa saya?

Gareng : Aku sedih melihat orang susah. Aku murka melihat orang marah. Aku membantu orang yang kejepit. Kena urusan berbelit-belit.

Petruk : Ikan dicita, ulam pun tiba. Janda dicinta, sebab kaya-raya. Bapak mau menolong saya, yang lagi kena perkara?

Gareng : Aku diturunkan ke bumi ini dengan membawa sebuah misi. Membantu orang yang kena perkara, baik yang perdata mau pun yang perjasa. Nah, pilih yang mana? Buat saya sama saja.

Petruk : Anu, Pak. Ini urusan telor dan bebek.

Gareng : Ah, telor dan bebek. Bukan telor dan ayam? Di sini telor, di sana telor. Sama-sama telor. Di sini bebek, di sana ayam. Sama-sama berekor.

Petruk : Ya, tapi saya melarat, Pak.

Gareng : Lho, saya juga melarat. Oleh karenanya, harus kerjasama yang erat. Segala sesuatu itu harus dikerjakan dengan mufakat. Misalnya saja tentang honorku. Biar bagaimana, aku ini Pokrol Bambu. Jadi, kamu harus hargai profesiku.

Petruk : Ya, tapi bapak juga harus sadari profesi saya yang tidak menghasilkan apa-apa. Harta karun, tidak ada. Warisan, tidak punya. Yang ada cuma cemeti dan celana. Jadi ambil saja cemeti, biar saya cari lagi. Tapi, jangan ambil celana, nanti saya celaka. Menambah lagi perkara, perkera pusaka dewata.

Gareng : Lho, ini bukan perkara cemeti dan celana. Tapi, urusan telor dan bebek. Jelas, urusan telor dan bebek. Telor dan bebek. Tor, tor dan wek, wek.

Petruk : Tor, tor dan wek, wek. Maksud bapak?

Gareng : Sssst!!! Jangan keras-keras!

Mereka saling berbisik, kemudian tertawa terbahak-bahak. Ha ha ha hi hi hi. Berahasia. Mengandung arti. Nakal.

ADEGAN VII

Semar : Sudah dipikir masak-masak?

Bagong : Sudah. Malah hampir busuk.

Semar : Kalau dipikir-pikir, berapalah rugimu?!

Bagong : Ini memang bagi saya bukan soal untung dan rugi. Ini soal kepercayaan saya yang dilukai. Muka saya diludahi. Sudah ditolong masih mencuri. Saya kurang baik apa? Masih saja orang bilang saya medit, pelit, bakhil, kedekut…

Semar : Penghisap, pemeras, penggencet, penyedot, pengepres…

Bagong : Ya, semua yang tidak beres!

Semar : Kalau dia mengaku, apa tindakanmu?

Bagong : Dia harus bayar kerugianku

Semar : Kalau dia tidak dapat?

Bagong : Apa boleh buat. Pecat.

Semar : Lantas apa nasibnya?

Bagong : Itu urusannya. Urusan Pak Lurah

Semar : Kalau dia tidak mengaku bersalah?

Bagong : Pak Lurah atur supaya dia menyerah. Nanti saya atur supaya padi Pak Lurah bertambah.

Semar : Saya sudah jadi Lurah sejak awal sejarah. Jangan omonganmu membikin aku marah.

Bagong : Maaf, Pak. Maksud saya sama sekali tidak mempengaruhi. Hanya si Entong anak Bapak kemarin bilang kepingin Kawasaki.

Semar : Kalau dia kepingin, tentu dia akan bilang sama saya.

Bagong : Dia kemarin pesan, kalau tidak Kawasaki, ya, Honda saja.

Semar : Mau tutup mulut, tidak? Mau aku suruh depak?

Bagong : Maksud saya…..

Datang Petruk dan Gareng

Gareng : Eh, Pak Lurah. Selamat pagi, selamat ketemu lagi. Apa kabar Pak Cukong? Apa masih suka membagong?

Bagong : Pokrol busuk. Awas, jangan sembarang ngomong.

Semar : Perkara apa yang kita hadapi? Hina-menghina atau curi-mencuri?

Bagong : Maaf, Pak Lurah. Dia yang mulai.

Semar : Baik. Gareng, kau jadi pembela?

Gareng : Betul. Pembela dan kuasa penuh.

Bagong : Maksudnya, kalau kalah perkara Saudara masuk penjara?

Gareng : Saya kira, yang akan kalah Saudara.

Semar : Baik kita mulai. Dan apabila ada yang mau bicara harus dengan seijin saya.

Bagong : Setuju.

Gareng : Kalau maunya Pak Lurah begitu, okelah!

Petruk : Bb, bb, bb….

Semar : Bagaimana kau, Petruk?

Bagong : Tergugat, terdakwa, tertuduh, tersangka…

Semar : Kalau mau bicara harus dengan seijin saya.

Bagong : Maaf, Pak Lurah. Bagaimana, Petruk?

Petruk diam saja.

Semar : Jawab, Petruk!

Gareng : Maaf, Pak Lurah

Semar : Pembela?

Gareng : Boleh saya bicara?

Semar : Silakan

Gareng : Sebelumnya, saya mohon maaf bagi klien dan pasien saya. Klien, karena ia minta saya menjadi pembelanya dan kuasa hukumnya. Pasien, kerena dia minta saya menjadi dokternya. Ada pun keterangan dan penjelasannya; Sewaktu ia datang pada saya yaitu hari Kamis Legi yang lalu, tanggal 32 September tahun 1999. Getaran pada jam 10, 30 menit, 6 sekon, 7 dekon, 8 trikon, 9 skala richter, udara 24° celsius, curah hujan 25 senti, wuku sia-sia, naga di selatan, singa di utara, bintang Venus berada di….

Bagong : Pak Lurah, saya protes.

Semar : Kenapa?

Bagong : Urusan apa ini bawa-bawa si Venus segala? Sebentar lagi dia pasti mengatakan si Wati, si Inah, si Anu…

Semar : Protes diterima. Pembela sebaiknya menyampaikan fakta yang langsung berhubungan dengan fenomena dan yang berkaitan dengan perkara.

Gareng : Walau hak saya dikurangi…tidak apalah. Saudara Petruk ini datang pada saya, di kantor saya di kaki enam di depan pasar, sebelah kiri toko sepeda, sebelah kanan warung tegal, berseberangan dengan pomp minyak goreng. Dia menceritakan pada saya musibah yang menimpa dirinya yang disebabkan oleh telor bebek dan Bapak Bagong. Dengan suara yang bergetar kedinginan, Pak Lurah, ia datang berlari langsung dari sawah yang kehujanan lebat sekali, mengamankan bebek-bebek dan telor-telor yang menjadi tanggungannya. Tiba-tiba, mendadak kilat menyambar dari langit. Mendadak banjir datang dari kali. Dua ekor bebek dibawa banjir.

Bagong : Astaga. Telornya?

Gareng : Sepuluh butir telor disambar petir, hancur berantakan.

Bagong : Telor-telorku!

Semar : Benar semua ini terjadi?

Petruk : Ya,….wek….wek…wek….

Semar : Jawab yang betul

Petruk : Wek…wek…wek…

Semar : Jangan main-main

Gareng : Wek…wek. Maaf, Pak Lurah. Selesai dia menceritakan pengalamannya yang mengerikan itu, ia jatuh pingsan. Badannya menggigil, keringatnya mengalir, mukanya pucat, ia mengeluh, wek…wek…wek…. Nah, waktu sadar kembali, Pak Lurah, terlanjur suara yang bisa ia keluarkan hanya wek. Selain wek tidak ada. Seperti yang Pak Lurah dengar tadi. Ia sedih sekali, sehingga saya ikut sedih dan berjanji padanya akan menyembuhkannya. Jadi, kalau ia hanya menjawab dengan wek, wek maafkanlah dia.

Semar : Bagaimana, Petruk?

Petruk : Wek…wek…wek….

Bagong : Pak, Lurah, ini saya kira suatu permainan yang licik. Akal-akalan si Pokrol Bambu, Pokrol tipu, Pokrol….

Gareng : Pak Lurah, dengan ini saya adukan Cukong Bagong pada Pak Lurah karena telah menghina say di depan umum. Pak Lurah mendengar sendiri, kan, dari moncong si Bagong itu?

Bagong : Pak Lurah, dengan ini saya adukan Pokrol itu kepada Pak Lurah karena telah menyebut mulut saya dengan moncong.

Semar : Saya catat. Sudah saya catat. Gareng menghina Bagong. Bagong menghina Gareng. Skor satu lawan satu. Draw. Remis. Sama kuat. Selesai. Saya peringatkan sekali lagi. Jangan ada yang menyeleweng lagi. Kita ini sedang membicarakan perkera Petruk dengan bebeknya dan telornya Bagong.

Gareng : Lho, Pak Lurah. Saya tidak punya urusan dengan telornya Bagong.

Bagong : Iya, Pak Lurah. Telor saya jangan dibawa-bawa.

Gareng : Memangnya kamu tinggalkan di rumah?

Semar : Lama-lama bisa hilang kesabaran saya. Tekanan darah saya bisa naik. Kita ini sedang membicarakan soal wek wek.

Bagong : Pak Lurah, ini bukan perkara wek wek.

Gareng : Tapi, ada kaitannya dengan wek wek. Kenapa Petruk sekarang hanya bisa bilang wek wek? Hah? Kenapa? Karena ia ingat pada bebek yang dibawa air bah. Karena ia cinta pada bebek asuhannya. Karena ia merasa sepenuhnya bertanggung jawab atas keselamatan bebeknya yang berbunyi wek wek wek itu. Karena ia saban hari dan saban malam mendengar hanya suara wek wek, sehingga suara wek wek menjadi obsesi. Otaknya penuh dengan suara wek wek. Syarafnya diganggu oleh wek wek. Pita suaranya pun terstem pada nada wek wek. Dia hanya akan bisa berwek wek sampai akhir hayatnya. Bahkan kuburannya nanti, Pak Lurah, akan berbunyi wek wek. Dan doa untuk arwahnya harus berbunyi wek wek. Dan kita sekarang harus membicarakan perkara ini dengan bahasa wek wek.

Bagong : Saya protes. Tidak bisa. Saya belum pernah belajar bahasa wek wek. Apa-apaan mesti berwek wek wek wek. Apa wek wek?!

Semar : Ini terlalu ekstrim. Kalau kita harus menyelesaikan perkara ini dengan bahasa wek wek, maka terpaksa perkara ini harus ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan. Sampai kita telah mahir berwek wek wek. Dan itu akan memakan waktu yang lama sekali, sebab guru bahasa wek wek belum ada. Kamusnya belum ada. Buku penuntunnya belum ada. Perlu diadakan lebih dahulu penelitian dan seminar wek wek.

Petruk : (mengeluh) Weeeek…wek. Weeeek….wek.

Semar : Apa maunya?

Gareng : Kasihanilah saya. Saya tidak bersalah.

Bagong : Bohong! Dia telah mencuri tiga belas telur dan tiga ekor bebek!

Petruk : (keras) Weeek…wek. Wek…wek…wek….

Gareng : Tidak salah!

Bagong : Salah!

Petruk : Weeek! Wek!

Gareng : Tidak!

Bagong : Salah!

Semar : (melerai) Week..wek!

Gareng : Ya wek wek!

Bagong : Apa, wek wek!

Petruk : Wek wek!

Semar : Wek wek!

Bagong : Wek wek!

Gareng : Wek wek!

Semar : Diaaam! Week wek wek. Sudah jadi bebek semua!!

Petruk : Weeeeek wek. Wek…wek.

Gareng : Yah, seandainya dulu dia tidak dipaksa harus hidup berhari-hari dengan bebek, dia tidak akan jadi begini. Dia jadi begini karena Bagong!

Bagong : Lho, dia datang pada saya minta pekerjaan. Yang lowong itu angon bebek. Dia terima pekerjaan itu. Saya tidak paksa.

Semar : Apa keadaan yang harus dipersalahkan? Bagong, berapa ekor yang harus ia jaga? Dan berapa telor yang harus dia setor?

Bagong : Bebek, tiga puluh ekor!

Gareng : Kelamin?

Bagong : Kelamin? Jangan menghina, ya! Jelas saya laki-laki.

Gareng : Aku tidak tanya kelaminmu! Kelamin bebek!

Bagong : Uuuh! Tiga puluh. Betina semua!

Semar : Berapa telor harus dia setor?

Bagong : Lima puluh butir seminggu. Bebek bertelor tiga hari sekali. Seminggu bertelor dua kali. Jadi, tiga puluh bebek bertelor selama seminggu enam puluh. Nah, saya minta setoran cuma lima puluh. Yang sepuluh buat upah Petruk. Kan, cukup lumayan. Sepuluh kali lima puluh perak, kan, lima ratus perak seminggu.

Semar : Lima ratus rupiah seminggu? Sehari…? Tujuh puluh rupiah! Bisa hidupkah dengan uang tujuh puluh rupiah sehari? Apa bisa dia penuhi setoran itu?

Bagong : Tidak pernah. Mula-mula Cuma empat puluh. Makin lama makin berkurang.

Petruk : Wek wek wek wek. Wek wek wek.

Semar : Apa maksudnya?

Gareng : Bebek tiga puluh betina semua. Tidak ada jantannya. Bagaimana bisa bertelor? Pak Lurah, ini jelas satu contoh pemaksaan kemauan dan penghisapan di luar batas kemanusiaan dan kebinatangan!

Bagong : Tapi, nyatanya mula-mula bebek itu bertelor!

Gareng : Itu karena baru saja kau beli dan langsung diserahkn. Lebih-lebih dia baru saja bergaul dengan bebek jantan, kemudian….

Bagong : Nyatanya, kemudian masih bertelor! Hayo!

Gareng : Ini berket jasanya si Petruk!

Semar : Hei! Kau boleh menipu macam-macam. Tapi, tipuan yang ini tidak berlaku. Masak Petruk berhubungan dengan bebek!

Bagong : Oh, biarkan saja Pak Lurah, asalkan bebek saya yang bertelor.

Gareng : Kenapa tidak kau gauli sendiri saja bebek-bebek itu? Pak Lurah, maksud saya tidak seperti yang Pak Lurah pikirkan. Karena Petruk diam-diam pinjam bebek jantan dari tukang angon lain dan membiarkan si jantan itu menggauli bebek betina, maka masih ada telor yang bisa dipungut. Tapi, biar nafsu kebinatangan bebek jantan itu luar biasa, dia tidak mungkin sanggup menggauli bebek betina sebanyak itu.

Semar : Kalau begitu, si Petruk berjasa ganda. Berjasa terhadap bebek-bebek betina itu dan berjasa terhadap kamu, Bagong!

Petruk : Wek wek wek wek wek!

Semar : Apa katanya?

Gareng : Dasar orang tidak tahu terima kasih. Tidak tahu menghargai jasa orang.

Semar : Bagaimana, Bagong?

Bagong : Ya, tapi…bebek yang dua ekor di mana?

Gareng : Kan, dibawa banjir, Bagong!

Bagong : Bukan yang itu! Yang sebelumnya?! Ah, pasti dijual!

Gareng : Menurut Petruk, yang satu disambar alap-alap, yang lain dimakan anjing.

Bagong : Bohong! Percuma punya bebek, hilang-hilang melulu, beri telor tidak. Ah, percuma tukang angon!

Petruk : Wek wek wek wek wek!

Bagong : Apa lagi?!

Gareng : Tiap kali pinjam pejantan dia harus bayar dua telor.

Bagong : Huh! Pemeras!

Gareng : Siapa?

Bagong : Itu yang pinjamkan pejantan.

Gareng : Kau bisa mengatakan orang pemeras. Lantas kau maunya pinjam gratis, begitu?

Semar : Nah, perkaranya sudah jelas. Bagong, nampaknya kau yang kalah. Betul, Petruk kurang dapat memenuhi janjinya. Tetapi itu karena keadan yang kau ciptakan sendiri. Kau tidak bisa memecat dia. Dan kalau kau mau bebekmu bertelur, ya, belilah barang tiga ekor pejantan baru bebekmu bisa bertelor. Sekarang kau mesti bayar biaya dukun yang akan mengobati Petruk.

Bagong : Saya tidak mau mengatakan Pak Lurah berat sebelah. Tapi,…berapa, sih, ongkos dukun?

Gareng : Sepuluh ribu rupiah.

Bagong memberikan dua lembar lima ribuan

Bagong : Uuh,…rugi…rugi. Rugi! (Ia pergi)

Semar : Gareng, sekarang cari dukun yang baik biar Petruk lekas sembuh.

Gareng : Tentu. Akan saya usahakan. Permisi. Ayo, Truk…!

Petruk : (pada Pak Lurah) Wek wek wek wek wek.

Semar : Ya, wek wek wek.

ADEGAN VIII

Gareng dan Petruk tertawa penuh kemenangan

Gareng : Ha ha ha ha ha ha…..

Petruk : Wek wek wek wek wek wek wek wek….

Gareng : (membagi uangnya) Nah, kau selembar. Aku selembar.

Petruk : Wek wek wek wek.

Gareng : Sekarang mana itu dua bebek yang dibawa banjir?

Petruk : Wek wek wek wek…(tangannya menirukan bebek dibawa banjir)

Gareng : Ayo, jangan main-main. Sandiwaranya sudah selesai.

Petruk : (menunjuk tenggorokannya) Wek wek wek wek…..

Gareng : Janjimu bagaimana? Mana imbalanku?

Petruk : (menunjuk uang ditangan gareng) Wek wek wek wek…..(keluar)

Gareng : Wah, sialan. Si Petruk bodoh tapi lihay. Aku Pokrol Bambu kena tipu. (keluar)

ADEGAN IX

Semar dan Petruk

Semar : Ha ha ha…. Aku ini sudah jadi Lurah sejak awal sejarah, Truk..!

Petruk : Iya, Pak Lurah saya mengaku telah menipu

Semar : Kau kira aku tidak tahu?

Petruk : Tapi mengapa dibiarkan?

Semar : Biar si Bagong dapat pelajaran.

Petruk : Tapi, soal bebek itu, memang betina semua Pak Lurah.

Semar : Bebek yang dibawa banjir dan telor yang disambar petir…?

Petruk : (cengengesan) Eh, saya tidak akan mungkir. Saya….lapar. Wek…wek…wek…

(keduanya keluar)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar